Aurora menegak vodka di hadapannya hingga tandas. Entah sudah berapa gelas dia habiskan untuk minum-minuman yang memiliki alkohol tinggi itu. Sayangnya meski minuman-minuman itu beralkohol tinggi, tetap saja tidak membuat Aurora mabuk. Wanita itu tampak begitu kuat dengan minuman beralkhol. Dia tidak tumbang sedikit pun.Ya, malam kian larut Aurora bahkan tetap berada di klub malam langganannya ini. Suara detuman musik, membuat Aurora tampak enggan beranjak pergi. DJ internasional yang selalu diundang di klub malam itu, membuat para pengunjung semakin ramai. Jakarta bukan hanya sekedar ibu kota. Namun Jakarta adalah pusat bisnis. Banyak Ekspatriat bekerja di Jakarta. Tidak hanya itu, banyak juga orang luar yang memiliki bisnis di Jakarta. Seperti contoh Aurora yang memiliki bisnis di Jakarta. Alasan Aurora masih belum meninggalkan Jakarta karena dia ingin ketika dirinya berada di Boston, tidak ada lagi hujatan yang diterima olehnya. Lebih baik bagi Aurora menetap tinggal di Jakarta un
Aurora mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Ya, setelah Raynold pergi meninggalkanna maka Aurora memutuskan untuk segera kembali ke rumah. Tidak bisa dipungkiri perkataan Raynold membuat Aurora menjadi takut. Membusuk di penjara? Itu adalah hal yang tiba-tiba muncul dalam benak Aurora.Hal yang membuat Aurora tak mengerti kenapa semua orang mengarahkan tuduhkan padanya. Dia tahu dirinya memang pernah menjebak Stella dan Raynold. Namun itu pun bukan murni ide Aurora. Saat itu Aurora hanya menerima bersih. Alesya, adiknya membantunya karena kasihan pada dirinya yang terbelenggu dalam perasaan yang telah melukai hatinya. Jika saja waktu bisa diputar maka Aurora lebih memilih untuk tidak mau mengenal Stella. Dia lebih memilih berdamai pada kenyataan yang ada. Hanya saja, semua telah terjadi. Aurora pun telah mendapatkan banyak balasa dari pada yang dia lakukan di masa lalu. Banyaknya orang membenci dirinya. Bahkan banyaknya orang yang memberikan hujatan dan perkataan kasar di soci
Sean menatap Stella yang masih memejamkan matanya. Perih. Sesak. Rindu mendalam. Melebur menjadi satu. Sepanjang malam Sean tidak henti mengajak Stella berbicara. Ya, dia tidak pernah lelah sedikit pun. Biasanya Sean akan menceritakan tentang bulan madu mereka. Lalu moment-moment indah yang telah mereka lalui bersama. Sean tahu Stella mendengarnya. Dia ingin menyampaikan makna di mana dirinya begitu merindukan sang istri. Sudah cukup hidupnya tersiksa tanpa mendengar suara lembut sang istri yang menyambutnya ketika pulang bekerja. Tidak hanya itu, Sean pun merindukan masakan sang istri. Semua hal yang menyangkut Stella begitu Sean rindukan.Selama Stella berada di rumah sakit, Sean meminta Kelvin yang mengurus semua pekerjannya. Pun Sean tidak pernah pulang ke rumah. Dia meminta pelayan untuk memindahkan pakaiannya ke ruang ICU Stella. Sean tidak mau meninggalkan Stella seorang diri. Meskipun Di depan ruang ICU Stella, banyak pengawalnya yang berjaga-jaga tetap saja Sean sering merasa
Marsha membelai lembut pipi Stella. Dia merapikan rambut panjang dan hitam legam milik menantunya itu yang sedikit berantakan di bantal. Sesaat Marsha menatap Stella lembut. Hatinya teriris melihat keadaan Stella saat ini. Marsha tidak tega melihat menantunya tertidur dengan bantuan alat pernapasan. Ditambah dengan vonis dokter yang Marsha dengar membuatnya sangat terluka. Wanita mana yang tidak hancur ketika tidak bisa memiliki anak?Tanpa sadar, bulir air mata Marsha menetes membasahi pipinya. Banyangan tentang betapa hati Stella terluka mendengar semua itu selalu muncul dalam benaknya.“Selamat pagi, Bibi…” Alika dan Chery melangkah menghampiri Marsha yang tengah menjaga Stella. Mereka menundukan kepalanya dengan sopan ke hadapan Marsha. Ya, sebelumnya Alika sudah mendengar dari Kelvin bahwa Marsha, ibu Sean datang.Marsha mengalihkan pandangannya, menatap dua wanita cantik di hadapannya. “Pagi, apa kalian teman Stella?” tebaknya yang menduga.“Iya, Bibi. Kami teman Stella. Namaku
Aurora melangkah ke ruang makan, dia duduk dengan santai di kursi meja makan sambil menggigit apel yang dia telah ambil di atas meja. Sesaat Aurora melihat ke arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul sebelas siang. Ya, Aurora memag bangun terlambat hari ini. Terlalu banyak minum kemarin, membuat Aurora terlelap. Namun, tidak biasanya dirinya hanya sendiri di ruang makan. Alesya, adiknya itu pun sering bangun terlambat jika terlalu banyak minum.“Nona, apa anda ingin sesuatu?” Seorang pelayan menawarkan dengan sopan.“Tidak, aku tidak ingin apa-apa,” jawab Aurora datar. “Oh, ya. Apa kau melihat adikku?”“Nona Alesya tadi malam pergi, Nona. Setelah berbicara dengan Nona, beliau langsung pergi,” jawab sang pelayan yang sontak membuat kening Aurora berkerut.“Pergi? Maksudmu tadi malam saat aku masuk ke dalam kamar, adikku pergi dan sampai sekarang belum pulang?” Aurora bertanya kembali memastikan. Tatapannnya menatap lekat sang pelayan, menunggu sampai pelay
“Sean?”Suara lembut Marsha kala melihat Sean baru saja keluar dari ruang ICU Stella. Ya, Marsha kini bisa melihat wajah putranya begitu bahagia. Pancaran di sepasang iris mata cokelatnya menunjukan kebahagiaan. Kini Marsha bersamaan dengan Alika, Chery, dan Kelvin melangkah menghampiri Sean.“Stella sedang tidur. Aku sudah meminta pihak rumah sakit memindahkan ruang rawat VVIP untuk Stella,” ujar Sean saat melihat Marsha, Alika, Chery dan Kelvin berada di hadapannya.Marsha mengangguk. “Baiklah, sayang. Mommy senang melihat Stella sudah pulih.”Sean trsenyum samar. “Mom, aku titip Stella sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan pada Kelvin dan Tomy.”“Iya, sayang. Mommy akan menjaga Stella,” jawab Marsha hangat.“Sean, boleh aku dan Chery menemani Bibi Marsha menjaga Stella?” tanya Alika seraya manatap Sean. Meminta izin dalam menjaga Stella.Sean mengangguk singkat sebagai jawaban atas pertanyaan Alika.Alika dan Chery tersenyum bersamaan. “Terima kasih, Sean.”Kini Marsha, mengajak A
Sean turun dari mobil bersamaan dengan Kelvin dan Tomy yang ikut dengannya. Sean tidak membawa satu pun anak buahnya. Sesuai perkataan Raynold. Dia memilih untuk tak membuat banyak yang mencurigainya. Sesaat mata Sean bertemu pada mobil Raynold yang baru saja terparkir. Kini Raynold melangkah menghampiri Sean yang sejak tadi memberikan tatapan dingin.“Ini apartemen Alesya?” tanya Sean dingin.Raynold mengangguk singkat. “Aurora ada di dalam. Aku tidak tahu Alesya sudah datang atau belum. Kalau Alesya sudah datang kemungkinan akan banyak anak buahnya di sekitar kita. Aku hanya bisa mengatakan kalian berhati-hati.”“Aku bukan orang lemah. Tidak perlu mengingatkanku,” jawab Sean dingin dan tak ramah.Kelvin mengembuskan napas kasar melihat Sean yang tidak pernah baik dalam merespon Raynold. “Singkirkan ego kalian berdua. Lebih baik kita masuk ke dalam. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”Sean mengangguk menyetujui prkataan Kelvin. Didetik selanjutnya, Raynold melangkah lebih dulu
Suara alarm kebakaran rumah sakit berbunyi kencang membuat Marsha, Alika, dan Chery yang tengah menjaga Stella memekik terkejut mendengar alarm itu. Bukan hanya Marsha, Alika, dan Chery tapi William yang tengah duduk di sofa ruang rawat Stella terkejut. Tampak wajah mereka semua begitu terkejut.“Mom, ini kenapa?” Stella menjadi panik mendengar suara alarm kebarakan berbunyi.“Sebentar sayang. Mommy tidak tahu. Tenanglah dulu.” Marsha menjawab menenangkan Stella.“William, ada apa ini? Kenapa alarm rumah sakit berbunyi?” tanya Marsha pada sang suami.“Kau tunggu sebentar, anak buahku pasti akan segera ke sini,” jawab William seraya menatap dingin ke arah pintu.Benar saja, tak berselang lama. Albert, asisten William berlari menghampiri William. Tampak wajah Albert yang begitu panik.“Tuan.” Albert menundukan kepalaya kala tiba di hadapan William.“Katakan ada apa ini, Albert?” seru William dengan penuh peringatan.“Tuan, ada penyusup yang maletakan alat peledak di koridor ini. Saya su