Anton memang sudah terbiasa pulang malam, tapi entah kenapa hari ini rasanya sangat melelahkan. Tawaran rekan kerjanya untuk ngopi bersama pun ia tolak. Karena ia ingin secepatnya mengistirahatkan tubuhnya. Untung saja Anton masih bisa mengendarai mobilnya. Jalanan malam ini tidak ramai jadi Anton tidak terjebak macet. Satpam perumahaan menyapa Anton dan hanya dibalas dengan klakson, karna Anton benar-benar malas untuk berbicara, energinya sudah habis seharian. Komplek perumahan sudah terlihat sepi, hanya terlihat dua orang lelaki yang berjalan sambil membawa kantong plastik di tangannya. Rumah Anton ada diujung, di sekelilingnya terdapat pohon-pohon besar yang menutupi area rumah. Kalau ada orang baru yang masuk diperumahan ini tak akan tahu jika ada rumah mewah diujung jalan. Letaknya memang lebih terpencil dibanding rumah yang lain. Anton memang sengaja memilih rumah ini karena ia tidak ingin keluarganya terekspos. Bisa dibilang keluarga Anton sangat tertutup dan tidak mau berbau
"Kalian ngapain?"Suara Kara membuat Kaisar dan Vano langsung salah tingkah. Kotak hitam ditangan Vano langsung ia sembunyikan dibelakang tubuhnya. Kaisar dan Vano tampak seperti maling yang tertangkap basah padahal mereka sedang tidak melakukan tindak kejahatan. Mereka mau masuk ke dalam rumah tapi mereka malah berdebat di depan pintu. Kara yang melihat dari balkon kamarnya langsung turun ke bawah. "Ah, itu-""Gapapa. Nona kenapa belum tidur?" potong Kaisar. Vano menoleh ke Kaisar lalu memalingkan wajahnya. Dia pintar juga mengalihkan topik."Belum ngantuk, kalian juga ngapain ribut-ribut depan pintu? Aku lihat dari atas balkon," ucap Kara. "Kami mau menemui tu-""Tukang kebun," potong Kaisar. Vano memandang sinis lelaki disampingnya yang sedaritadi memotong ucapannya. Namun Kaisar bertingkah biasa saja seolah tak ada rasa bersalah. Kara kebingungan. "Nyari pak Rinto?"Kaisar mengangguk. Kara menunjuk gudang yang pintunya terbuka. "Beliau ada digudang,"Kaisar salah tingkah, ia
Heru langsung duduk disofa setelah pulang bekerja. Jas dan dasinya terlempar ke lantai sementara dua kancing kemeja teratasnya dibiarkan terbuka lebar. Heru memejamkan mata saking lelahnya. Seorang wanita yang mengenakan daster merah selutut mendatangi Heru. Tanpa berkata apapun ia langsung memungut jas dan dasi di lantai lalu memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Setelah itu wanita bersurai hitam panjang tersebut pergi ke dapur lalu kembali membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkan cangkir itu di meja lalu menoleh ke Heru dan menghela nafas. Lelaki itu merentangkan kedua tangannya pada masing-masing sisi sofa sementara kakinya naik ke atas meja di depannya karena memang meja itu pendek. Entah Heru tertidur atau hanya memejamkan matanya karena saking kecapekan. Wanita itu menyentuh lengan Heru pelan."Teh nya diminum dulu habis itu mandi, udah aku siapin air hangatnya," ucap wanita itu. Heru mengangguk pelan tanpa membuka matanya. Ia tahu siapa yang berada disampingnya,
Pagi-pagi sekali Anton mendapat panggilan telepon dari Wildan, salah satu manager diperusahaannya. Dengan nada kesal Wildan meminta Anton untuk segera datang ke kantor karena ada beberapa masalah yang harus ia tangani. Dan pagi itu juga sekitar pukul setengah 6 pagi, Anton sudah berangkat menuju kantor. Ia tidak tahu masalah sebesar apa sampai Wildan memintanya untuk segera datang ke kantor. Jalanan masih lengang pagi itu, jadi Anton sampai ke kantor dengan cepat. Begitu turun dari mobil Anton langsung disambut dengan Wildan yang berdiri di pintu utama tengah berkacak pinggang. "Kau lupa dengan kegiatan hari ini?" tanya Wildan. "Apa?" balas Anton. Wildan menghela nafas kasar, ia sudah menduga itu. Ia mengikuti Anton yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam. "Kau tak ingat yang kukatakan kemarin?" tanya Wildan. Anton menjawab dengan mengendikkan bahunya. "Dasar pikun," lirih Wildan.Entah Anton mendengar atau tidak perkataan Wildan, tapi raut wajahnya terlihat datar seperti
"Kamu mau menjadi sekertarisnya Anton?"Grita terdiam, ia sangat terkejut. Namun dalam hati Grita juga merasa senang karena ia tak perlu lagi memikirkan cara untuk menjadi sekertaris Anton karena malah ada menawarkan langsung kepadanya. Ini kesempatan emas dan Grita tak akan membuangnya. Tapi Grita penasaran kenapa dari sekian banyak pekerja yang ada malah ia yang diminta untuk menjadi sekertaris Anton. "Tapi kenapa saya, Pak?" tanya Grita penasaran. "Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, kamu orang yang disiplin dan pekerja keras."Grita tidak menjawab. "Saya tidak akan memaksa, tapi saya harap kamu memberikan jawaban saat ini juga karna saya tidak bisa menunggu," ucap Wildan. Grita sudah menentukan jawabannya. "Baik, saya mau."Wildan tersenyum simpul lalu mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu lalu mengirimnya pada seseorang. Grita tentu saja tidak akan menolak tawaran emas ini. Ini adalah yang Grita inginkan, semuanya terasa mudah.Langkah awalnya sudah dimulai, saatny
Sudah menjadi kebiasaan rutin setiap sore, Kara akan merawat bunga-bunga yang ditanamnya di halaman depan rumah. Mulai dari membersihkan rumput liar yang tumbuh dan menyiram bunga. Itu semua Kara lakukan sendiri.Seperti saat ini Kara tengah mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di pekarangan bunga miliknya. Dengan mengenakan kaos lengan pendek berwarna cokelat dan celana jeans panjang yang dipadukan dengan topi yang sengaja dipakai terbalik membuat Kara nampak lucu. Rambut panjangnya di kepang dua dengan bantuan Bi Ina karena Kara tidak bisa melakukannya sendiri. Sementara dari jauh ada Kaisar yang selalu mengawasi setiap pergerakan Kara. Ia duduk di depan pos satpam tapi pandangan matanya tetap tertuju pada Kara. Sebagai seorang bodyguard profesional, tugasnya adalah untuk melindungi Kara dengan segala cara. Meskipun begitu, dia tidak pernah menunjukkan ekspresi yang terlalu ketat atau ketegangan yang berlebihan. Dia hanya diam, tetapi tetap waspada.Setiap kali Kara bermain, Kai
Dodi duduk di meja kerjanya dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Setelah berbulan-bulan merencanakan dan menyusun strategi, misinya akhirnya berhasil. Grita, seorang sekretaris yang baru saja bergabung dengan perusahaan saingannya, ternyata berhasil disusupkan olehnya sebagai mata-mata yang akan memberinya keuntungan besar dalam persaingan bisnis mereka.Dia telah merancang setiap langkah dengan cermat, memastikan bahwa Grita akan dapat mengakses informasi penting dan mengirimkannya kepadanya tanpa menimbulkan kecurigaan.Dodi semakin yakin bahwa keputusannya untuk merekrut Grita sebagai mata-mata telah menjadi langkah yang tepat. Grita akan memberinya keunggulan yang lebih besar dalam mengambil keputusan strategis untuk perusahaannya.Meskipun menyadari bahwa tindakannya mungkin tidak etis, Dodi merasa bahwa dalam dunia bisnis yang kompetitif, segala cara diperbolehkan untuk mencapai tujuan. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menggunakan informasi yang diberikan oleh
Anton duduk di meja kerjanya yang teratur, tatapan matanya serius saat dia melihat Grita yang baru saja bergabung sebagai sekretarisnya. Grita, meskipun sedikit gugup, mencoba menampilkan senyuman percaya diri saat dia duduk di hadapannya."Selamat pagi, Pak Anton. Saya siap untuk memulai pekerjaan saya sebagai sekretaris Anda," kata Grita dengan suara mantap, mencoba mengatasi ketegangan di perutnya.Anton menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapannya masih tajam. "Baiklah, Grita. Saya harap Anda bisa menyesuaikan diri dengan cepat dengan cara kerja saya. Saya cukup memerlukan tingkat presisi dan efisiensi yang tinggi dalam semua yang kita lakukan di sini."Grita mengangguk, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Anton. "Saya akan melakukan yang terbaik, Pak. Saya telah mempersiapkan diri dengan baik untuk peran ini dan siap untuk belajar dan berkembang di bawah bimbingan Anda."Anton mengangguk singkat. "Bagus. Sekarang, mari kita mulai dengan membahas jadwal saya untuk minggu ini
Setelah Kara masuk ke kamarnya, Kaisar, Vano, dan Pak Adi berdiri mengitari meja, di mana kotak hitam dan mobil mainan kecil masih tergeletak.“Kita periksa CCTV sekarang,” kata Kaisar akhirnya.Pak Adi mengangguk. “Aku setuju. Semakin cepat kita tahu siapa yang melakukannya, semakin baik.”Vano meregangkan tubuhnya, lalu menghela napas. “Baiklah, ayo ke ruang monitor.”Mereka bertiga berjalan ke ruangan kecil di sudut rumah, tempat layar-layar monitor yang menampilkan berbagai sudut rumah terpasang. Pak Erik, seorang petugas keamanan yang hanya bertugas sekali dalam seminggu itu langsung berdiri ketika mereka masuk.“Pak Adi? Ada apa?”“Kami perlu melihat rekaman dari beberapa jam terakhir. Khususnya bagian gerbang depan,” jawab Pak Adi.Pak Erik mengangguk dan segera mengakses rekaman. Kaisar dan Vano berdiri di belakangnya, menatap layar dengan fokus.01:20 AMLayar menunjukkan rekaman gerbang depan. Semuanya tampak biasa—hanya gerbang besi hitam yang kokoh, jalanan sunyi, dan lamp
Kaisar melangkah keluar, diikuti oleh Pak Adi yang berjalan dengan langkah waspada. Udara malam terasa dingin, menusuk kulit, membawa aroma tanah basah yang khas setelah embun turun. Lampu-lampu di halaman depan rumah Kara menyala redup, menciptakan bayangan panjang di atas tanah berbatu.Vano masih duduk di kursi teras, kedua lengannya terlipat di dada. Ia tampak enggan bergerak, tetapi setelah mendesah panjang, akhirnya ia ikut bangkit. Langkahnya berat, seolah ia sudah bisa menebak bahwa malam ini tidak akan membawa kabar baik.Kara tetap berdiri di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya mengikuti ketiga pria itu yang berjalan menuju gerbang. Dadanya berdebar lebih cepat, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Angin berembus pelan, mengibarkan ujung rambutnya yang dibiarkan terurai. Dari sudut rumah pegawai, beberapa orang masih mengintip dari jendela, rasa ingin tahu mereka sulit dibendung. Bi Ina menyaksikan mereka dari kejauhan dengan raut wajah cemas.Ka
Pak Adi menarik tangan Kara, membawanya masuk ke dalam rumah. Dengan cekatan, ia menutup dan mengunci gerbang.Di dalam, suasana rumah terasa sepi. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka dan hembusan angin yang bergerak pelan.Kara masih berdiri disana, menatap ke luar. Kaisar dan Vano sudah menghilang dalam kegelapan. Ia menggigit bibir, berusaha menahan pikirannya agar tidak berlarian terlalu jauh.Pak Adi memperhatikannya sejenak sebelum berkata, “Non, mereka pasti baik-baik saja.”Kara menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Aku tahu.”Namun, hatinya berkata lain.Ia ingin percaya bahwa Kaisar dan Vano mampu menangani situasi ini, tetapi kotak hitam yang muncul entah dari mana, ditambah dengan sosok misterius yang mengawasi mereka dari balik semak-semak, membuat pikirannya terus bekerja.Pak Adi berjalan ke pos satpam sementara Kara masih berdiri di tempatnya, memperhatikan gerbang yang kini tertutup rapat.Hening.Lalu, terdengar suara langkah kaki.Kara refleks menoleh. Bebera
Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Kaisar, Vano, Pak Adi, dan Kara berdiri di luar gerbang rumah, mengitari sebuah kotak hitam yang entah bagaimana bisa muncul di sana tanpa ada yang melihat siapa yang membawanya. Kaisar mendekat dan memperhatikan setiap detail kotak misterius itu. Namun, sebelum ia sempat menyentuhnya, telinganya menangkap sesuatu, suara langkah kaki di atas kerikil, samar tetapi jelas.Krek… krek… krek…Kaisar langsung menegakkan tubuhnya. “Sst! Diam.”Mereka semua terdiam, menajamkan pendengaran. Suara itu datang dari balik semak-semak. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar, seperti seseorang yang sengaja bergerak dengan hati-hati.Kaisar menegakkan tubuhnya, matanya menyipit, fokus mencari sumber suara itu. Dalam sepersekian detik, ia bergerak. "Ada orang disana!" serunya, langsung berlari ke arah datangnya suara.Vano yang refleks ikut waspada langsung mengejar. “Oi, tunggu! Jangan sendirian!”Vano segera mengejar Kaisar. Namun, sebelum pergi, ia
Langit mulai berubah warna ketika matahari merayap turun di balik pepohonan. Di halaman rumah Kara yang luas, tiga pria berdiri dalam diam, menatap benda asing di hadapan mereka—sebuah kotak hitam yang muncul beberapa hari lalu.Kaisar menyilangkan tangan di dada, rahangnya mengeras. Vano berdiri di sampingnya, menggoyang-goyangkan tubuh seperti anak kecil yang tidak bisa diam, sementara Pak Adi mengusap dagunya dengan wajah penuh keraguan.“Ini sudah malam keempat,” gumam Kaisar, nadanya berat.Pak Adi mengangguk, “Dan yang bikin tambah aneh, tuan nggak pulang.”Vano menghela napas panjang lalu menendang pelan kerikil di kakinya. “Dua kemungkinan, dia kabur karena takut sama kotak ini atau dia udah tahu dan nyari siapa pelakunya?”Pak Adi menggeleng. “Saya juga ga tahu.”Kaisar menunduk, menatap kotak hitam itu. Tidak ada tanda-tanda aneh di permukaannya hanya kotak biasa tanpa tulisan, tanpa petunjuk. Tapi mereka tahu, ada sesuatu yang salah.“Pokoknya, kita nggak boleh lengah. Kita
Raven tidak pernah memiliki kehidupan yang mudah. Ia lahir di keluarga miskin di pinggiran kota, tumbuh di lingkungan yang keras di mana kejahatan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap sudut jalan yang ia lalui dipenuhi dengan bayangan gelap; transaksi ilegal di gang-gang sempit, suara sirene polisi yang menjadi latar belakang kesehariannya, dan bisikan ketakutan yang menyelinap di antara orang-orang yang tahu bahwa mereka hidup dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka.Ayahnya adalah seorang pecandu alkohol yang kasar, pria yang lebih sering menghabiskan waktunya di bar daripada di rumah. Ketika pulang, ia membawa serta aroma minuman keras yang menyengat dan amarah yang tak terkendali. Ibunya, sebaliknya, adalah wanita kuat yang bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarganya, tetapi kerja kerasnya tidak pernah cukup untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, dan Raven kecil menyaksikan semua itu dengan mata yang s
Malam itu, hujan turun deras di taman kota yang sepi. Lampu-lampu jalan redup, memantulkan cahaya ke genangan air di trotoar. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.Di salah satu sudut taman, di bawah pohon besar yang batangnya basah oleh air hujan, berdiri seorang pria. Ia mengenakan hoodie hitam yang sudah mulai basah, tetapi ia tidak peduli. Tudung hoodienya menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tampak seperti bayangan yang muncul dari kegelapan. Ia bukan orang sembarangan—ia adalah mata-mata Anton, seorang pria yang bekerja dalam bayang-bayang, mengumpulkan informasi. Nama aslinya sudah lama tenggelam dalam catatan sejarah. Di dunia ini, ia hanya dikenal dengan kode: Raven.Tangan kirinya berada di saku, sementara tangan kanannya memegang ponsel. Jemarinya yang panjang dan dingin menekan tombol panggil. Ia menempelkan ponsel ke telinganya, mendengar suara dering yang memecah keheningan malam.Satu kali. Dua kali. Lalu, suara di seberang menjawab
Malam itu, suasana di dalam ruangan terasa dingin, meski tak ada pendingin udara yang menyala. Lampu di langit-langit menerangi meja kayu di tengah ruangan, tempat seorang pria duduk dengan ekspresi tak terbaca. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, satu tangan menopang dagunya, sementara tatapannya lurus ke depan.Di seberang meja, seorang pria lain berdiri dengan tubuh tegap. Ia mengenakan pakaian serba hitam, tampak formal tapi tetap cukup fleksibel untuk bergerak cepat jika diperlukan. Tangan kanannya mengepal di belakang punggung, sementara tangan kirinya memegang sebuah map tipis berwarna abu-abu.“Sudah tiga hari,” kata pria yang berdiri itu.Yang duduk tidak langsung menanggapi. Ia menggeser jemarinya di atas meja, menelusuri permukaannya yang halus, sebelum akhirnya berkata, “Dan dia tidak kembali ke rumahnya sama sekali?”“Tidak.”Hening sejenak. Angin dari luar jendela berhembus pelan, menggoyangkan tirai tipis yang setengah tertutup.“Tidak ada tanda-tanda dia berada di ru
Sudah dua hari Anton tidak pulang.Bi Ina mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan, seolah menegaskan bahwa waktu terus berjalan tanpa kepastian. Di sampingnya, Pak Adi duduk dengan wajah cemas, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Tuan pergi kemana to, biasanya kalau pulang telat pasti kasih kabar,” keluh Bi Ina, suaranya terdengar lebih khawatir daripada sekadar kesal.Pak Adi menghela napas berat. “Iya, Bu. Saya juga bingung. Biasanya paling lama pulang tengah malam, atau enggak ya nelpon, bilang lagi di mana. Ini dua hari nggak ada kabar.”Mereka saling berpandangan. Keduanya sama-sama tahu bahwa Anton bukan tipe orang yang begitu saja menghilang. Meskipun ia memang sering pulang larut, tapi setidaknya ia akan memberi tahu. Tapi sekarang? Bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi.Pak Adi meraih ponselnya lagi, mencoba menelepon Anton sekali lagi. Hasilnya masih sama—suara operator yang memberi tahu