Langit malam pekat tanpa bintang. Awan gelap menggantung berat, menekan kota dengan hawa dingin yang menusuk. Di sebuah sudut jalan yang remang, sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari gerbang rumah mewah milik Anton. Mesin menyala pelan, lampu dimatikan. Di dalamnya, duduk seorang pria dengan wajah tenang namun sorot mata tajam, Sean.Ia melihat jam tangannya. Sudah waktunya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menoleh ke kursi belakang. Dua pria bertubuh kekar duduk tegap, mengenakan jaket gelap. Anak buah Dodi, pria yang selama ini menjadi perpanjangan tangan Sean untuk urusan lapangan.“Letakkan kotaknya. Jangan banyak gerak,” ucap Sean singkat.Keduanya mengangguk. Mereka keluar dari mobil, masing-masing membawa sebuah kotak hitam seukuran microwave, tanpa tulisan apa pun. Isinya masih misteri, bahkan bagi mereka yang mengantarkannya. Itu bukan pertama kalinya bagi Sean untuk mengantar kotak semacam itu ke rumah Anton. Setiap kali, tanpa penjelasan. Hanya perintah. Tap
Langkah kaki bergema di lorong sempit menuju ruang bawah tanah yang tak pernah digunakan kecuali untuk urusan paling rahasia. Dua pria bermasker hitam itu diseret kasar oleh Kaisar dan Vano, napas mereka tersengal, wajah lebam, namun tetap menyiratkan keteguhan aneh.Anton berjalan di depan dengan mata tajam. Di belakangnya, Leo dan Daniel mengikuti dengan membawa sebuah koper. Raven dan Rei menutup barisan, memastikan tak ada jejak atau celah terbuka dalam pergerakan mereka.Lampu-lampu gantung redup menyala satu per satu ketika mereka memasuki ruang bawah tanah. Ruangan itu dingin, lembap, dengan lantai semen kasar dan dinding baja yang membuat gema terkunci di dalam. Di tengahnya, dua kursi kayu telah disiapkan. Di belakang kursi, tali menggantung.“Dudukkan mereka,” perintah Anton dingin.Kaisar dan Vano menjatuhkan para penyusup itu ke kursi, lalu mengikat tubuh mereka dengan cepat. Tali diperiksa dua kali. Mereka tidak boleh bergerak barang satu inci pun.Salah satu pria masih m
Anton melangkah keluar dari ruangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Langkahnya cepat, penuh ketegangan yang jelas terpancar dari setiap gerakan tubuhnya. Suara pintu yang tertutup di belakangnya menggema pelan di lorong yang sepi. Di belakangnya, Raven mengikuti, menjaga jarak dua langkah, tak bersuara seperti bayangan.Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, Anton menoleh sebentar ke arah Kaisar dan Vano."Tetap di sini. Interogasi dia. Jangan sampai dia mati sebelum kita tahu segalanya,” ucap Anton, suaranya datar tapi tak terbantahkan. “Dan jangan sentuh mayat yang satu lagi. Biar Daniel yang urus.”Kaisar dan Vano mengangguk serempak, tak banyak bicara. Begitu Anton dan Raven menghilang di balik lorong, suasana dalam ruangan mendadak terasa semakin berat. Lampu gantung yang redup menggoyang pelan, seperti menyaksikan adegan yang tak ingin diingat.Vano berjalan mendekati mayat pria yang tergeletak dengan luka tembak di dada. Ia berjongkok sejenak, memperhatikan luka itu
Langkah Sean terdengar tergesa ketika memasuki markas yang tersembunyi di balik bangunan tua bekas pabrik. Lantai beton yang berdebu memantulkan gema sepatunya yang berat. Udara di dalam terasa lembap dan dingin, seolah menyimpan bau masa lalu yang membusuk perlahan. Lampu-lampu neon di langit-langit menggantung rendah dan bergetar pelan, beberapa bahkan berkedip seperti nyaris padam, menambah kesan suram pada tempat itu. Langit malam di luar begitu kelam, tapi kegelapan di dalam pikirannya jauh lebih pekat. Ia baru saja lolos dari situasi genting, tapi bukan tanpa harga. Dua rekan mereka tertangkap, dan satu di antaranya berpotensi jadi lubang kebocoran fatal.Pintu baja yang berat terbuka dengan suara berderit, seperti keluhan besi tua yang dipaksa bekerja lagi. Di dalam ruangan utama markas, beberapa anak buah Dodi tampak duduk bersantai di sofa usang dan kursi kayu reyot, sebagian tidur-tiduran tanpa melepas sepatu. Layar-layar monitor pengawas menampilkan rekaman dari beberapa ka
"Pah, bodyguard yang ini terlalu tua! Ga nyambung kalau diajak ngobrol."Anton memijat kepalanya pusing. Sudah 3 kali dalam seminggu ini ia harus mencari bodyguard yang cocok untuk anaknya. Seperti sekarang, gadis itu berdiri di pintu ruang kerjanya sambil memeluk boneka panda. "Kara mau yang kayak gimana lagi? "tanya Anton. Kara berpikir sejenak. Ia masuk ke ruang kerja ayahnya lalu duduk disofa."Yang muda, jangan terlalu tua,"Anton menaikkan alis nya sebelah. "Itu aja? "Kara mengangguk. Ia melihat ke sekeliling ruang kerja Anton. Rak-rak yang penuh dengan buku, karena dia gemar membaca. Mata Kara tertuju pada sebuah buku bersampul hitam. Ia berdiri lalu mengambilnya. Itu adalah buku tentang misteri dunia. "Kara pinjam ini ya, Pah? "tanya Kara yang dibalas anggukan oleh Anton. Ia memeluk buku dan boneka panda sekaligus lalu berjalan keluar. Tepat di pintu, Kara berhenti lalu menoleh ke arah ayahnya. "Inget ya, jangan yang tua. Kara gak suka!"Anton tersenyum simpul dan meng
"Saya Kaisar, bodyguard anda mulai sekarang, Nona Kara. "Kara menatap lelaki di hadapannya ini. Muda, tinggi, dan berperawakan gagah.Kara akui jika ia terpesona dengan lelaki yang menjadi bodyguardnya ini. Anton memegang bahu Kara. "Sesuai kan sama yang kamu mau?" Kara mengangguk. Kara memuji kecepatan Anton dalam mencari pengganti Dante yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Baru kemarin ia mengatakan keinginannya dan siang ini hal itu sudah terjadi. "Kaisar juga bisa jadi teman kamu, kan? "tanya Anton sambil menoleh ke Kaisar. Kaisar mengangguk. "Tentu, Pak. "Anton lalu pergi meninggalkan Kara dan Kaisar berdua karena akan melanjutkan pekerjaannya di kantor. Suasana menjadi hening dan canggung seketika. Keduanya tidak ada yang memulai percakapan. Kara tidak suka suasana seperti ini tapi lelaki dihadapannya benar-benar membuatnya gugup. "Uhm, Kaisar mau main masak-masakan gak? "***Disinilah Kara dan Kaisar berada, duduk lesehan di halaman belakang yang asri. Kara b
Setelah mengantar Kara ke kamarnya, Kaisar juga bergegas menuju kamarnya untuk beristirahat. Setelah membersihkan tubuh, Kaisar menuju ke kasur untuk mengistirahatkan tubuhnya. Baru saja ia hendak menutup mata, ponsel nya berbunyi. Ada telepon yang masuk. "Hm? " Kaisar menjawab dengan malas. "Kamu udah selesai kerja?"Itu Grita, pacar Kaisar. "Udah," "Langsung istirahat, jangan begadang. "Kaisar membalas dengan deheman. Lelaki itu mengantuk. "Kita bisa ketemu kapan, Kai?""Ga tau. Ga ada cuti."Terdengar helaan nafas dari Grita. "Segitunya? Kamu kerja apa sih?"Kaisar memang tidak memberitahukan pekerjaannya kepada siapapun, termasuk Grita. Ia hanya mengatakan bahwa ia bekerja di luar kota. Itu saja dan Grita sudah percaya. "Ga perlu tau. Udah dulu, gue mau tidur, " ucap Kaisar malas. "Iya. Good night, Kai. " Kaisar mematikan telepon. Ia meletakkan ponsel ke atas nakas. Pikirannya masih tertuju pada ucapan tadi saat bersama Kara. Tentang ia yang mengajukan diri untuk menemani
"Abang Kai! "Kaisar menoleh ke sumber suara. Ia melihat Kara tengah tersenyum lebar dan berjalan ke arahnya. Kaisar terkejut, masih tak percaya dengan ucapan Kara. "Ya, nona? ""Nanti ikut aku ke suatu tempat, mau ya?"ajak Kara. "Kemana?"tanya Kaisar. "Ada deh. Nanti juga tahu, " ucap Kara. Kaisar tidak langsung mengiyakan permintaan gadis itu. "Tuan Anton tidak mengijinkan Nona pergi keluar rumah, "ucap Kaisar tegas. Kara menghela nafas kasar. "Nanti aku bujuk papah, "ucap Kara. "Tidak bisa. Tetap di rumah, ini demi keselamatan Nona, " ucap Kaisar tegas. Ia sebisa mungkin bekerja secara profesional. Anton pernah mengatakan padanya bahwa sebisa mungkin untuk memastikan Kara untuk tetap di dalam rumah. Walaupun sudah punya bodyguard yang bisa menjaga Kara, Anton tetap tidak mengijinkan gadis itu pergi dari rumah. Hanya tadi pagi Kara keluar rumah untuk jogging. Itu pun tanpa persetujuan dari Anton. Karena Kara tahu jika ia meminta ijin, Anton tidak akan memperbolehkannya. Kai
Langkah Sean terdengar tergesa ketika memasuki markas yang tersembunyi di balik bangunan tua bekas pabrik. Lantai beton yang berdebu memantulkan gema sepatunya yang berat. Udara di dalam terasa lembap dan dingin, seolah menyimpan bau masa lalu yang membusuk perlahan. Lampu-lampu neon di langit-langit menggantung rendah dan bergetar pelan, beberapa bahkan berkedip seperti nyaris padam, menambah kesan suram pada tempat itu. Langit malam di luar begitu kelam, tapi kegelapan di dalam pikirannya jauh lebih pekat. Ia baru saja lolos dari situasi genting, tapi bukan tanpa harga. Dua rekan mereka tertangkap, dan satu di antaranya berpotensi jadi lubang kebocoran fatal.Pintu baja yang berat terbuka dengan suara berderit, seperti keluhan besi tua yang dipaksa bekerja lagi. Di dalam ruangan utama markas, beberapa anak buah Dodi tampak duduk bersantai di sofa usang dan kursi kayu reyot, sebagian tidur-tiduran tanpa melepas sepatu. Layar-layar monitor pengawas menampilkan rekaman dari beberapa ka
Anton melangkah keluar dari ruangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Langkahnya cepat, penuh ketegangan yang jelas terpancar dari setiap gerakan tubuhnya. Suara pintu yang tertutup di belakangnya menggema pelan di lorong yang sepi. Di belakangnya, Raven mengikuti, menjaga jarak dua langkah, tak bersuara seperti bayangan.Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, Anton menoleh sebentar ke arah Kaisar dan Vano."Tetap di sini. Interogasi dia. Jangan sampai dia mati sebelum kita tahu segalanya,” ucap Anton, suaranya datar tapi tak terbantahkan. “Dan jangan sentuh mayat yang satu lagi. Biar Daniel yang urus.”Kaisar dan Vano mengangguk serempak, tak banyak bicara. Begitu Anton dan Raven menghilang di balik lorong, suasana dalam ruangan mendadak terasa semakin berat. Lampu gantung yang redup menggoyang pelan, seperti menyaksikan adegan yang tak ingin diingat.Vano berjalan mendekati mayat pria yang tergeletak dengan luka tembak di dada. Ia berjongkok sejenak, memperhatikan luka itu
Langkah kaki bergema di lorong sempit menuju ruang bawah tanah yang tak pernah digunakan kecuali untuk urusan paling rahasia. Dua pria bermasker hitam itu diseret kasar oleh Kaisar dan Vano, napas mereka tersengal, wajah lebam, namun tetap menyiratkan keteguhan aneh.Anton berjalan di depan dengan mata tajam. Di belakangnya, Leo dan Daniel mengikuti dengan membawa sebuah koper. Raven dan Rei menutup barisan, memastikan tak ada jejak atau celah terbuka dalam pergerakan mereka.Lampu-lampu gantung redup menyala satu per satu ketika mereka memasuki ruang bawah tanah. Ruangan itu dingin, lembap, dengan lantai semen kasar dan dinding baja yang membuat gema terkunci di dalam. Di tengahnya, dua kursi kayu telah disiapkan. Di belakang kursi, tali menggantung.“Dudukkan mereka,” perintah Anton dingin.Kaisar dan Vano menjatuhkan para penyusup itu ke kursi, lalu mengikat tubuh mereka dengan cepat. Tali diperiksa dua kali. Mereka tidak boleh bergerak barang satu inci pun.Salah satu pria masih m
Langit malam pekat tanpa bintang. Awan gelap menggantung berat, menekan kota dengan hawa dingin yang menusuk. Di sebuah sudut jalan yang remang, sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari gerbang rumah mewah milik Anton. Mesin menyala pelan, lampu dimatikan. Di dalamnya, duduk seorang pria dengan wajah tenang namun sorot mata tajam, Sean.Ia melihat jam tangannya. Sudah waktunya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menoleh ke kursi belakang. Dua pria bertubuh kekar duduk tegap, mengenakan jaket gelap. Anak buah Dodi, pria yang selama ini menjadi perpanjangan tangan Sean untuk urusan lapangan.“Letakkan kotaknya. Jangan banyak gerak,” ucap Sean singkat.Keduanya mengangguk. Mereka keluar dari mobil, masing-masing membawa sebuah kotak hitam seukuran microwave, tanpa tulisan apa pun. Isinya masih misteri, bahkan bagi mereka yang mengantarkannya. Itu bukan pertama kalinya bagi Sean untuk mengantar kotak semacam itu ke rumah Anton. Setiap kali, tanpa penjelasan. Hanya perintah. Tap
Di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi layar monitor dan lampu neon redup, Sean menatap layar dengan sorot mata tegang. Ia baru saja menerima kabar dari salah satu informannya. Dengan cepat, ia menghubungi Dodi.“Dia mulai bergerak,” suara Sean terdengar rendah tapi penuh ketegangan.“Siapa?” tanya Dodi di seberang, meski ia sudah tahu jawabannya.“Anton. Dia mulai melacak asal kiriman kotak hitam itu. Tentu dia akan bersama dengan timnya.”Dodi terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Bukankah itu bagus? itu yang kita tunggu-tunggu. Kau akan melihat bagaimana gilanya Anton nanti.”“Lalu bagaimana dengan kotak selanjutnya?” ucap Sean sambil menatap sebuah kotak hitam yang tergeletak dihadapannya.“Tetap kirimkan, tapi jangan kau yang mengirimnya. Suruh salah satu dari mereka untuk melakukannya," perintah Dodi.'Mereka' yang dimaksud adalah anak buah Dodi. Mereka berjumlah sekitar 50 orang ada di dalam satu bangunan yang sama dengan Sean saat itu. Mereka beralih ke bangunan kedua un
Pada malam yang gelap dan sunyi, di sudut kompleks perumahan elite tempat Anton tinggal, cahaya temaram dari pos satpam menjadi satu-satunya penerang yang menembus pekatnya malam. Di dalam pos kecil itu, suasana terasa tegang namun penuh semangat. Anton, sang pria dengan wibawa seorang pemimpin, duduk bersandar di kursi plastik yang mulai lapuk. Di hadapannya, tiga pria yang selama ini menjadi perisai sekaligus rekan kepercayaannya: Kaisar, Vano, dan Pak Adi.Kaisar, bertubuh tegap dengan tatapan tajam seperti elang, bersandar di dinding sambil melipat tangan. Ia bukan orang yang banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu berbobot. Di sebelahnya, Vano, si lebih muda dan bersemangat, duduk di tepi meja pos, menggoyang-goyangkan kakinya, ekspresi wajahnya menunjukkan antusiasme yang nyaris tidak terkendali. Lalu ada Pak Adi yang usianya paling tua di antara mereka, tapi justru memiliki insting yang sangat tajam karena pengalaman puluhan tahun menjaga keamanan tempa
Di rumah Anton, malam mulai turun. Lampu-lampu menyala, tapi suasananya tetap suram. Kara mengurung diri di kamarnya, menolak makan malam dan bahkan tak menjawab panggilan ayahnya. Anton sendiri hanya duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah tumpukan berkas yang tak sempat disentuh. Pikirannya melayang ke Grita, ke cara perempuan itu pergi—marah, terluka, dan kecewa. Dan ia tak bisa menyalahkannya.Pintu ruang kerja diketuk pelan."Masuk," ucap Anton pelan.Pak Adi membuka pintu dan melangkah masuk dengan ragu. "Maaf, Tuan. Saya cuma mau memastikan semuanya aman."Anton mengangguk tanpa menoleh. "Terima kasih."Pak Adi berdiri beberapa detik, lalu berkata pelan, "Kalau butuh sesuatu... kami siap."Anton akhirnya menoleh, menatap satpam setianya itu. "Terima kasih, Pak Adi. Untuk semuanya."Pak Adi membalas dengan anggukan kecil lalu pergi, membiarkan Anton kembali tenggelam dalam pikirannya. Tapi tidak lama setelah itu, ponsel Anton bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak d
Setelah Grita pergi dengan emosi yang menggebu-gebu, Kara langsung masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun. Melewati Kaisar, Vano, dan Pak Adi dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Anton masih termangu selama beberapa saat ditempatnya setelah Grita dan Kara pergi, dua perempuan yang berharga baginya. Ia menghela nafas kasar, mengusap wajahnya lalu masuk ke dalam rumah. 3 penjaga rumah itu langsung mengalihkan pandangannya kearah lain tidak menatap ke Anton. Langkah pria itu terasa berat, sesekali ia juga terlihat menyugar rambutnya. Setelah Anton masuk ke dalam rumah, 3 penjaga itu langsung mendekat. "Apa kotaknya lebih baik jangan kita beritahu dulu?" tanya Vano.Pak Adi menyetujui, suasana hati Anton sedang tidak baik, akan lebih baik jika ia menenangkan dirinya dulu."Setuju, kita simpan saja dulu.""Kita perketat keamanan, firasatku akan ada kejadian yang lebih besar lagi terjadi," ujar Kaisar.Vano dan Pak Adi serentak menoleh pada Kaisar, menatap pria itu dengan waja
Semuanya terdiam, kecuali Grita dan Anton. Ucapannya mampu membuat orang-orang disekitarnya terdiam karena terkejut. Kara marah, Kaisar kecewa, yang lain syok. Kara bisa saja langsung menampar wajah wanita dihadapannya itu andaikan Vano tidak menahannya. Ia benar-benar marah, muak, dan jengkel. Kaisar juga pasti merasakan hal yang sama dengannya, tapi Kaisar lebih kecewa dan sakit hati karena dikhianati dan diselingkuhi secara terang-terangan seperti ini."Jawab jangan diam aja," desak Grita pada Anton yang tak mengatakan apapun.Kara menoleh menatap ayahnya yang terlihat susah mengambil keputusan. "Jawab, kamu pilih aku atau anakmu?" desak Grita.Kara mengernyit heran dengan pertanyaan yang tidak masuk akal itu. Bisa-bisanya dia mengucapkan hal seperti itu."Gila lo?" sinis Kara.Grita menatap sinis, "Gue nggak ngomong sama lo."Kara hendak maju tapi langsung ditahan oleh Anton. Pria itu sudah mengambil keputusan. Ia menghela nafas lalu menatap Grita tanpa ekspresi."Pergi, hubunga