Dodi duduk di meja kerjanya dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Setelah berbulan-bulan merencanakan dan menyusun strategi, misinya akhirnya berhasil. Grita, seorang sekretaris yang baru saja bergabung dengan perusahaan saingannya, ternyata berhasil disusupkan olehnya sebagai mata-mata yang akan memberinya keuntungan besar dalam persaingan bisnis mereka.Dia telah merancang setiap langkah dengan cermat, memastikan bahwa Grita akan dapat mengakses informasi penting dan mengirimkannya kepadanya tanpa menimbulkan kecurigaan.Dodi semakin yakin bahwa keputusannya untuk merekrut Grita sebagai mata-mata telah menjadi langkah yang tepat. Grita akan memberinya keunggulan yang lebih besar dalam mengambil keputusan strategis untuk perusahaannya.Meskipun menyadari bahwa tindakannya mungkin tidak etis, Dodi merasa bahwa dalam dunia bisnis yang kompetitif, segala cara diperbolehkan untuk mencapai tujuan. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menggunakan informasi yang diberikan oleh
Anton duduk di meja kerjanya yang teratur, tatapan matanya serius saat dia melihat Grita yang baru saja bergabung sebagai sekretarisnya. Grita, meskipun sedikit gugup, mencoba menampilkan senyuman percaya diri saat dia duduk di hadapannya."Selamat pagi, Pak Anton. Saya siap untuk memulai pekerjaan saya sebagai sekretaris Anda," kata Grita dengan suara mantap, mencoba mengatasi ketegangan di perutnya.Anton menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapannya masih tajam. "Baiklah, Grita. Saya harap Anda bisa menyesuaikan diri dengan cepat dengan cara kerja saya. Saya cukup memerlukan tingkat presisi dan efisiensi yang tinggi dalam semua yang kita lakukan di sini."Grita mengangguk, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Anton. "Saya akan melakukan yang terbaik, Pak. Saya telah mempersiapkan diri dengan baik untuk peran ini dan siap untuk belajar dan berkembang di bawah bimbingan Anda."Anton mengangguk singkat. "Bagus. Sekarang, mari kita mulai dengan membahas jadwal saya untuk minggu ini
"Kalau misalnya Kara minta ijin sama papah buat jalan-jalan keluar boleh ga ya?"Kaisar menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Engga. Emang mau kemana?" tanya Kaisar. Kara mengayun-ayunkan kedua kakinya lalu menggeleng pelan. Kaisar tidak bertanya lagi. Halaman belakang saat sore hari terlihat lebih indah. Cahaya matahari yang mulai meredup, menyebarkan warna-warna hangat ke sekeliling, menciptakan siluet-siluet indah dari bunga-bunga yang berjejer rapi dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Udara yang sejuk dan segar membelai wajah yang melangkah di atas rumput hijau yang lembut. Di tengah-tengah halaman, sebuah pepohonan tua menjulang tinggi dengan dedaunan yang rimbun, memberikan naungan yang menyegarkan bagi siapa pun yang duduk di bawahnya.Bunga-bunga berwarna-warni menjuntai dari pepohonan dan merambat di sepanjang pagar, menciptakan tampilan yang memesona dan menawan hati setiap pengamatnya. Aroma harum bunga-bunga tersebut menyatu dengan udara senja, menciptakan su
Kara duduk tenang di balkon kamarnya, menikmati pesona indah sore hari yang mulai menjelang. Di langit, awan-awan berwarna jingga dan merah muda terhampar dengan gemerlap matahari yang hampir tenggelam di balik cakrawala. Cahaya senja memancar lembut, memberi warna baru pada sekelilingnya. Dia merasakan embusan angin sejuk yang menyentuh wajahnya, membawa aroma segar dari taman-taman di sekitar.Dengan pemandangan yang memukau itu, Kara merasa seperti tersapu oleh ketenangan dan keindahan alam. Dia menghela nafas dalam-dalam, merasakan energi positif memenuhi dirinya. Di sudut hatinya, ada rasa syukur yang tumbuh, merenung tentang keajaiban kehidupan dan anugerah yang diberikan alam.Dari balkon kamarnya, Kara dapat melihat pemandangan kota yang ramai di kejauhan. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, menciptakan panorama gemerlap yang menawan. Namun, di tempatnya yang teduh, jauh dari keramaian itu, dia merasa seperti menemukan tempat perlindungan yang sempurna. Suara gemuruh lalu
Terhitung sudah 1 bulan Grita menjabat sebagai sekretaris Anton, dan selama itu juga ia rutin mengirimkan segala hal yang berhubungan dengan Anton kepada Dodi. Meskipun hanya satu bulan berlalu sejak Grita bergabung dengan tim, hasil kerjanya telah melebihi harapan di perusahaan.Dari hari pertama, Grita menunjukkan dedikasi dan komitmen yang luar biasa terhadap pekerjaannya. Dia dengan cepat memahami dinamika perusahaan dan gaya kerja Anton, serta mampu menyesuaikan diri dengan cepat dalam lingkungan yang dinamis dan menuntut. Grita tidak hanya mengelola jadwal Anton dengan sempurna, tetapi juga mampu mengatur pertemuan, menangani korespondensi, dan menyelesaikan tugas-tugas administratif dengan efisien.Keahlian multitasking Grita telah membantu Anton dalam menjalankan tugas-tugasnya dengan lancar, memungkinkan Anton untuk fokus pada prioritas-prioritasnya tanpa khawatir tentang detail-detail administratif. Kehadirannya juga memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada Anton, karena
Dalam bayangan gelap yang menutupi ruangan, seseorang duduk dengan ponsel di telinganya, berbicara dengan suara yang rendah dan tergesa-gesa. Dia memberikan laporan rinci kepada lawannya di telepon tentang rencana mereka untuk menakuti keluarga Anton dengan mengirimkan kotak-kotak hitam misterius yang berisi kenangan-kenangan yang menyeramkan. Dengan suara yang penuh dengan ketegangan, dia menjelaskan setiap detail, berharap agar lawannya mengerti betapa pentingnya untuk melaksanakan misi ini dengan cermat dan tanpa cela."Awalnya kupikir rencana ini akan berhasil," katanya, mencoba meyakinkan lawannya di sisi lain garis.Dia melihat ke sekelilingnya memastikan kondisi. Dia menyadari bahwa reaksi Anton terhadap ancaman itu sangatlah berbeda dengan yang dia harapkan. Meskipun dia berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan rasa takutnya kepada keluarga dan semua orang, Anton terlihat sangat tenang dan biasa saja di depan orang lain."Kenapa? Ada masalah?"Seseorang diujung telepon bertan
Siang ini setelah jam makan siang berakhir, Grita dan Anton sedang dalam perjalanan menuju luar kota untuk bertemu dengan klien penting. Perjalanan ini sangat penting bagi perusahaan karena klien yang akan mereka temui berpotensi membawa kontrak besar yang bisa meningkatkan pendapatan perusahaan secara signifikan.Di dalam mobil yang nyaman itu, Grita duduk di kursi penumpang depan sambil sesekali memeriksa jadwal dan dokumen di tablet-nya. Anton yang menyetir mobil terlihat tenang namun fokus. Ia memang lebih suka pergi kemana saja tanpa supir, bahkan perjalanan jauh seperti ini. Grita juga awalnya heran kenapa seseorang yang sangat sibuk seperti Anton ini tidak memiliki supir pribadi, tapi Grita juga tidak bertanya karena itu bukan urusannya. "Jadi, Grita, bagaimana jadwal kita hari ini?" tanya Anton sambil tetap memandang jalan. Suara Anton terdengar mantap, mencerminkan keyakinannya dalam mengatur timnya.Grita membuka kalender di tablet-nya dan mulai menjelaskan, "Pertemuan deng
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Grita, setelah melalui rangkaian rapat yang melelahkan dan kerja tanpa henti sejak pagi, Grita merasakan kelelahan yang luar biasa. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya mulai kehilangan fokus. Dia duduk di kursi ruangan rapat, berharap bisa mengumpulkan tenaga untuk pulang ke apartemennya.Sementara Anton pergi keluar entah kemana, ia menawarkan Grita untuk pulang bersama dan tentu saja Grita terima. Namun saat ini pria itu pamit pergi entah kemana dan tak kunjung kembali. Sembari menunggu Anton, Grita menelungkupkan wajahnya dimeja dan memejamkan matanya. Tanpa sadar Grita tertidur selama hampir 20 menit. Anton datang sembari membawa dua cup kopi panas. Ia mendekati Grita dengan perlahan. Melihat Grita yang tertidur karena kelelahan, Anton meletakkan cup kopi itu diatas meja. Diperhatikannya wajah damai Grita saat tidur, entah apa yang Anton rasakan tapi ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Grita. Mata Grita terbuka perlahan dan
Dunia ini memang sempit, jangan kira dengan miliaran manusia di dunia ini bukan menutup kemungkinan bahwa kita semua saling berhubungan. Entah itu tali persaudaraan atau hubungan lainnya. Siapa yang sangka bahwa pacarmu berselingkuh dengan atasanmu sendiri? tidak akan ada yang mengira itu. Bahkan dengan jarak yang jauh pun tidak menutup kemungkinan pacarmu akan bertemu dengan atasanmu sendiri. Jangan terlalu percaya dengan kata-kata 'setia' jika kau menjalani hubungan jarak jauh. Sudah banyak korbannya, Kaisar salah satunya.Vano saja yang mendengar pengakuan dari Kaisar, langsung terpaku dan merasa tak percaya. Hingga sampai ke depan rumah, Vano masih saja tak mampu berkata-kata saking terkejutnya."Ga usah syok gitu, gua coba lupain," ucap Kaisar kepada Vano saat mereka memasuki gerbang rumah."Siapa yang ga syok coba? lo cerita sana sama Bu Ina juga beliau bakalan kaget," balas Vano."Jangan, kasian orang tua."Vano tertawa, Kaisar hanya tersenyum simpul."Lain kali kalau ada masal
Udara terasa sejuk dengan embun yang masih menempel di dedaunan. Cahaya matahari perlahan muncul dari balik bukit, menyinari langit dengan warna keemasan yang lembut. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan menyejukkan setiap sudut suasana pagi. Burung-burung berkicau riang, seakan menyambut datangnya hari baru dengan ceria. Di kejauhan, kabut tipis melayang-layang di atas pepohonan, menciptakan pemandangan yang menenangkan hati.Vano bangun lebih pagi dari biasanya. Seperti rutinitas biasa ia akan berlari mengelilingi kompleks perumahan. Namun ternyata Kaisar sudah lebih dulu bangun, ia juga lebih dulu lari pagi, Vano mengejarnya."Kenapa lo? ada masalah cerita, Spill it out," ucap Vano yang berlari kecil di samping Kaisar.Kaisar awalnya hanya diam saja. Hingga Vano menghela nafas kasar."Kayak cewek lo, ada apa-apa cerita sama gua, gausah sok-sokan gapapa," sinis Vano.Kaisar menoleh sekilas ke Vano, lalu kembali menghadap depan."Urusan pribadi," jawabnya singkat."Ken
Malam itu, kamar Grita remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu meja yang temaram. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Jarinya melayang-layang di atas layar, sementara pesan dari Anton yang masuk terus menunggu balasan darinya. Pesan-pesan itu biasa, seolah percakapan rutin seorang pria yang mulai tertarik pada wanita. Namun, bagi Grita, setiap pesan adalah pengingat tugasnya yang berat. Bukan hanya risih, hatinya terasa tertusuk setiap kali harus membalas perhatian Anton dengan kata-kata yang ia tahu kosong dari ketulusan.Pesan terakhir Anton tertera di layar.'Sudah sampai rumah, Grita?'Grita memandangi kata-kata itu lama, jari-jarinya berhenti bergerak. Mengapa pria ini, yang tadinya begitu dingin dan tak terjangkau, kini peduli apakah ia sudah sampai rumah atau belum?Sambil menarik napas panjang, Grita mulai mengetik balasan.'Sudah, Pak Anton. Baru sampai tadi. Terima kasih sudah menanyakan.''Maaf ya tadi saya tidak bisa antar kamu pulang, kebetulan
Kamar itu sunyi, hanya ditemani suara detak jam di dinding dan bayangan lembut cahaya yang menerobos dari celah jendela. Udara terasa sejuk, dan setiap sudutnya seakan dipenuhi keheningan yang menggantung. Kara berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit dan hampa. Sejak pengakuan Anton terucap, seakan ada dinding tak kasat mata yang yang berdiri di antara Kara dan dunianya. Ia tak lagi bisa berbicara dengan ayahnya, rasa marah dan terluka itu masih tersimpan penuh dihatinya. "Kenapa? kenapa papah ga nepatin janjinya?" lirih Kara. Dalam kesendirian itu, Kara berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Memahami alasan di balik tindakan ayahnya, mencari-cari pembenaran yang mungkin bisa membuatnya sedikit saja merasa lega. Namun, semakin ia mengingat kejadiannya semakin dalam pula luka yang ia rasakan. Tak ada pembenaran yang mampu menghapus kecewa yang begitu dalam. Tanpa sadar malam mula
Langit-langit kantor itu rendah, dihiasi dengan lampu-lampu neon yang bersinar lembut namun dingin, memantulkan bayangan samar di lantai beton yang halus. Dinding-dindingnya abu-abu kusam, tanpa hiasan atau jendela yang mengarah ke dunia luar. Di sudut-sudut ruangan, beberapa karyawan bekerja di depan monitor yang berderet rapi, jari-jari mereka menari di atas keyboard tanpa suara. Suara pendingin ruangan yang mendengung pelan menambah suasana kaku dan serius. Setiap orang yang berjalan di koridor melangkah dengan langkah cepat, tatapan mata penuh konsentrasi, menyembunyikan seribu rahasia. Pembicaraan antar karyawan jarang terjadi, dan jika pun ada, selalu bisik-bisik penuh kehati-hatian, seakan dinding memiliki telinga. Dodi duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan catatan yang berserakan di meja. Suara ketikan keyboardnya menghiasi keheningan, saat ia terfokus pada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Tiba-tiba, suara notifikasi ponselnya menggema, menarik pe
"Halo?" ucap Anton. "Oh iya, halo tuan." Anton mengerutkan kening, ini bukan suara Kara. "Bi Ina?" "Iya tuan, ini bibi." "Kok ponsel Kara ada bi Ina?" tanya Anton bingung. "Jadi gini tuan, bibi teh cuma mau nanya ini kenapa kok ponselnya non Kara ada di lantai ruang tamu, terus kok si non ga mau keluar kamar, dikunci dari dalem, bibi panggil juga ga nyaut, non kenapa ya tuan?" Anton terdiam. Kara meletakan ponsel sembarangan itu sudah biasa, tapi menguci kamar dan tidak menyaut bukanlah Kara biasanya. Ada apa dengan gadis itu? apa ini ada hubungannya dengan percakapan antara Anton dengan Kara kemarin? "Kara gak mau keluar dari kamar, bi?" "Iya tuan. Tapi tadi mas Vano udah nge cek dari balkon katanya non gapapa." Vano? batin Anton. "Syukur Kara gapapa, kalau terjadi apa-apa bilang aja ya, bi." "Oh iya baik tuan." Panggilan terputus. Meninggalkan banyak sekali pertanyaan di benak Anton. Ia akan mengetahui jawabannya nanti. *** Gosip tentang hubungan Anton dan Grita mula
Di kantor, suasana terasa begitu sibuk dan penuh dinamika. Para karyawan sibuk berlalu-lalang, membawa dokumen atau sibuk berbicara di telepon. Mesin fotokopi berdering tanpa henti, mengisi udara dengan suara ritmis yang menjadi latar bagi percakapan di sekitar. Di pojok ruangan, terdengar suara tuts keyboard yang ditekan cepat, tanda dari seorang karyawan yang tengah berkejaran dengan tenggat waktu. Di ruangan lainnya, ada rapat yang sedang berlangsung; suara diskusi terdengar samar, sesekali diiringi dengan tawa kecil atau gumaman tanda setuju. Ruang kerja berhiaskan pot-pot tanaman hijau untuk menambah kesegaran di antara deretan meja yang penuh dengan berkas dan laptop yang menyala. Di ruangan besar tempat para staf bekerja, ada papan tulis yang penuh dengan coretan ide dan target mingguan. Aroma kopi tercium dari arah pantry, menjadi penguat semangat di pagi hari bagi mereka yang baru memulai aktivitasnya. Beberapa karyawan duduk sambil mengetik dengan serius, sementara yang lai
***Pagi hari di rumah mewah itu terasa damai, ketika sinar matahari perlahan menyusup di antara dedaunan pohon besar yang mengelilingi, menciptakan pola cahaya yang indah di halaman. Suara burung berkicau lembut mengisi udara, sementara embun pagi masih menempel di rumput hijau, menambah kesegaran suasana. Aroma bunga-bunga yang bermekaran berpadu dengan udara segar, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan, seolah waktu berjalan lebih lambat di tempat ini.Sinar matahari baru mulai menyinari halaman rumah mewah di mana Vano, bodyguard yang selalu siaga, berdiri di depan pos satpam, melakukan sedikit pemanasan. Suara burung berkicau mengiringi suasana tenang, hati Vano juga merasakan ketenangan yang sama. Ia memperhatikan rekannya, Kaisar, yang sepertinya tidak bersemangat. Wajahnya tampak berbeda dari biasanya; ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya.Vano mengerutkan kening, bertanya-tanya apa yang terjadi. Biasanya Kaisar meski pendiam, selalu memiliki aura tenang yang b
Kara duduk di balkon kamarnya, malam itu terasa begitu sunyi. Angin dingin berhembus lembut, namun justru membuat hatinya semakin terasa perih. Ia menatap langit gelap yang berhiaskan bintang-bintang, berusaha mencari ketenangan di antara kerlipan cahaya kecil itu. Namun, pikirannya terus kembali ke satu momen yang membuat hatinya hancur—saat Anton, ayahnya, mengakui bahwa ia menjalin hubungan dengan Grita, sekretarisnya. Kata-kata Anton tadi terngiang jelas di benaknya. Ia masih ingat raut wajah ayahnya, serius namun tak bisa disembunyikan dari sorot mata. Bagi Kara, kata-kata itu tidak hanya menghancurkan kepercayaannya pada Anton, tetapi juga meruntuhkan bayangan tentang keluarga yang ia kira masih utuh, meski ibunya sudah tiada. Sambil memeluk lututnya, Kara menundukkan kepala, menahan sesak yang mengisi dadanya. “Papah udah ga sayang sama mamah lagi…” gumamnya lirih. Di tengah keheningan malam, ia seperti berbicara pada dirinya sendiri, pada langit, atau mungkin pada ibunya y