Dalam bayangan gelap yang menutupi ruangan, seseorang duduk dengan ponsel di telinganya, berbicara dengan suara yang rendah dan tergesa-gesa. Dia memberikan laporan rinci kepada lawannya di telepon tentang rencana mereka untuk menakuti keluarga Anton dengan mengirimkan kotak-kotak hitam misterius yang berisi kenangan-kenangan yang menyeramkan. Dengan suara yang penuh dengan ketegangan, dia menjelaskan setiap detail, berharap agar lawannya mengerti betapa pentingnya untuk melaksanakan misi ini dengan cermat dan tanpa cela."Awalnya kupikir rencana ini akan berhasil," katanya, mencoba meyakinkan lawannya di sisi lain garis.Dia melihat ke sekelilingnya memastikan kondisi. Dia menyadari bahwa reaksi Anton terhadap ancaman itu sangatlah berbeda dengan yang dia harapkan. Meskipun dia berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan rasa takutnya kepada keluarga dan semua orang, Anton terlihat sangat tenang dan biasa saja di depan orang lain."Kenapa? Ada masalah?"Seseorang diujung telepon bertan
Siang ini setelah jam makan siang berakhir, Grita dan Anton sedang dalam perjalanan menuju luar kota untuk bertemu dengan klien penting. Perjalanan ini sangat penting bagi perusahaan karena klien yang akan mereka temui berpotensi membawa kontrak besar yang bisa meningkatkan pendapatan perusahaan secara signifikan.Di dalam mobil yang nyaman itu, Grita duduk di kursi penumpang depan sambil sesekali memeriksa jadwal dan dokumen di tablet-nya. Anton yang menyetir mobil terlihat tenang namun fokus. Ia memang lebih suka pergi kemana saja tanpa supir, bahkan perjalanan jauh seperti ini. Grita juga awalnya heran kenapa seseorang yang sangat sibuk seperti Anton ini tidak memiliki supir pribadi, tapi Grita juga tidak bertanya karena itu bukan urusannya. "Jadi, Grita, bagaimana jadwal kita hari ini?" tanya Anton sambil tetap memandang jalan. Suara Anton terdengar mantap, mencerminkan keyakinannya dalam mengatur timnya.Grita membuka kalender di tablet-nya dan mulai menjelaskan, "Pertemuan deng
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Grita, setelah melalui rangkaian rapat yang melelahkan dan kerja tanpa henti sejak pagi, Grita merasakan kelelahan yang luar biasa. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya mulai kehilangan fokus. Dia duduk di kursi ruangan rapat, berharap bisa mengumpulkan tenaga untuk pulang ke apartemennya.Sementara Anton pergi keluar entah kemana, ia menawarkan Grita untuk pulang bersama dan tentu saja Grita terima. Namun saat ini pria itu pamit pergi entah kemana dan tak kunjung kembali. Sembari menunggu Anton, Grita menelungkupkan wajahnya dimeja dan memejamkan matanya. Tanpa sadar Grita tertidur selama hampir 20 menit. Anton datang sembari membawa dua cup kopi panas. Ia mendekati Grita dengan perlahan. Melihat Grita yang tertidur karena kelelahan, Anton meletakkan cup kopi itu diatas meja. Diperhatikannya wajah damai Grita saat tidur, entah apa yang Anton rasakan tapi ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Grita. Mata Grita terbuka perlahan dan
Entah apa yang merasuki Anton hari ini hingga ia berbaik hati mengijinkan Kara untuk pergi ke kota. Kara langsung bersorak kegirangan seperti anak kecil saat itu juga. Walaupun begitu Anton tidak sepenuhnya membiarkan Kara ke kota begitu saja, ia harus ditemani salah satu bodyguardnya. Batas waktunya juga hanya sampai pukul 6 sore, dan saat itu juga Kara harus sudah sampai dirumah. Satu jam lebih Kara menghabiskan waktunya didalam kamar untuk memilih pakaian yang akan digunakannya. Ia terdiam beberapa saat didepan lemari pakaian melihat rentetan baju-baju miliknya. Hanya ada dress disana, dan sepertinya tidak ada pakaian lain. Kara baru sadar jika selama ini yang ia pakai hanya dress berbagai model serta piyama. Kenapa tidak ada baju yang lain? Kara menyambar sebuah dress tanpa lengan berwarna cream dengan motif bunga-bunga. Dress itu panjangnya sampai mata kaki. Kara memilih dress itu karena ia sangat menyukainya, itu adalah dress favoritnya. Setelah berganti pakaian, Kara duduk s
Tak ada yang berubah dari taman ini, semuanya tampak masih sama sejak terakhir kali Kara pergi kesini. Kara sangat senang melihat hamparan bunga-bunga dihadapannya, bermekaran dan tumbuh indah. "Ayo, Kai!"Kara menarik tangan Kaisar membuat Kaisar mau tak mau mengikutinya. Gadis itu membawanya menuju ke hamparan bunga tulip kuning. Sesampainya disana Kara melepaskan tangannya dan berlari girang seperti anak kecil. Kaisar hanya melihatnya tanpa ekspresi. Ia mengikuti kemanapun Kara pergi dari belakang.Kaisar baru mengetahui jika ada taman bunga seluas ini dikota. Tamannya sangat bersih, terawat dan banyak bunga yang bermekaran. Kara kembali berjalan menuju kumpulan bunga tulip pink. Ia berjongkok sambil menyentuh bunga itu. "Cantik banget ya, Kai?" tanya Kara. Kaisar mengangguk sekilas. Seakan tersadar sesuatu, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya."Mau saya foto?" tawar Kaisar. Kara mendongak dan tanpa basa-basi ia langsung mengangguk cepat. Kara berjongkok di samping bung
Kaisar hendak menghampiri saat sebuah tangan menarik lengannya. Kaisar menoleh dan melihat Kara menatapnya heran. "Mau kemana? Kara jangan ditinggal," ucap Kara sembari menatap cemas.Kaisar menoleh sekilas dan tidak menemukan keberadaan Grita lagi, seolah gadis itu lenyap ditelan bumi. Kaisar menghela nafas kasar dan berbalik ke Kara lalu kembali duduk disampingnya. "Maaf," ucap Kaisar. Kara mengangguk sambil tersenyum."Kaisar lihat apa tadi?"Kaisar terdiam lalu menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak ada."Kara mengangguk dan tidak bertanya lebih, es krim stroberi ditangannya itu akan segera mencair lama-lama. Kaisar menoleh ke sekeliling berharap masih menemukan keberadaan Grita disana. Namun nihil, ia tak melihat sosok gadis itu walau sedikitpun. Ia hanya ingin memastikan jika yang ia lihat tadi itu bukan hanya sekadar imajinasinya saja, tapi jika itu memang benar Grita untuk apa gadis itu berada di kota ini? Dan siapa pria disebelahnya tadi? Walau hanya melihat belakang tubuh
Malam ini Kaisar tidak bisa tidur dengan tenang. Ia hanya membolak-balikkan tubuhnya ke kanan-kiri. Kaisar teringat dengan kejadian sore tadi, ia melihat dengan jelas bahwa Grita ada dihadapannya, tapi bersama seorang pria di sampingnya. Kaisar mencoba berpikir positif bahwa hubungan Grita dan pria di sampingnya itu hanyalah sekadar rekan kerja, namun melihat interaksi intensif antara mereka membuat Kaisar curiga.Perasaan curiga itu tiba-tiba lenyap saat pesan masuk ke ponsel Kaisar, yang tidak lain tidak bukan dari Grita. Lelaki itu tersenyum kecil membaca pesan dari gadisnya itu.Mengesampingkan rasa cemburu dan curiga, Kaisar lalu berpikir bahwa Grita tidak akan mungkin berselingkuh darinya. Ia menanamkan prinsip bahwa dalam suatu hubungan yang terpenting adalah rasa saling percaya antar kedua belah pihak.***Di balik hiruk-pikuk bisnis dan dunia korporat yang gemerlap, selalu ada permainan kekuasaan dan manipulasi. Termasuk Heru dan Dodi, mereka memandang dunia ini sebagai medan
Anton duduk di taman belakang rumah yang nyaman, memandang sekelilingnya di mana sinar matahari sore menyinari dengan lembut. Ia merasakan kecemasan yang aneh di dadanya, sebuah perasaan yang jarang sekali ia rasakan. Di tangannya secangkir kopi yang ia aduk-aduk tanpa henti, bukan karena haus, tetapi lebih karena cemas. Ia tahu, percakapan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia harus melakukannya.Saat itu juga Kara lewat sembari membawa sebuah novel ditangannya. Anton pikir ini adalah waktu yang tepat. "Kara, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya dengan suara yang tenang. Kara mengangkat wajahnya dari buku dan memandang ayahnya. "Tentu, Pah. Ada apa?" jawabnya dengan senyum tipis lalu berjalan menghampiri ayahnya. Anton tersenyum kecil dan meminta Kara untuk duduk di sebelahnya. Ia meletakkan kopi di meja lalu menatap wajah anaknya. "Kara, ada sesuatu yang ingin Papah bicarakan denganmu. Ini mungkin sedikit mengejutkan, tapi Papah harap kamu bisa mendengarkan dengan ha
Dunia ini memang sempit, jangan kira dengan miliaran manusia di dunia ini bukan menutup kemungkinan bahwa kita semua saling berhubungan. Entah itu tali persaudaraan atau hubungan lainnya. Siapa yang sangka bahwa pacarmu berselingkuh dengan atasanmu sendiri? tidak akan ada yang mengira itu. Bahkan dengan jarak yang jauh pun tidak menutup kemungkinan pacarmu akan bertemu dengan atasanmu sendiri. Jangan terlalu percaya dengan kata-kata 'setia' jika kau menjalani hubungan jarak jauh. Sudah banyak korbannya, Kaisar salah satunya.Vano saja yang mendengar pengakuan dari Kaisar, langsung terpaku dan merasa tak percaya. Hingga sampai ke depan rumah, Vano masih saja tak mampu berkata-kata saking terkejutnya."Ga usah syok gitu, gua coba lupain," ucap Kaisar kepada Vano saat mereka memasuki gerbang rumah."Siapa yang ga syok coba? lo cerita sana sama Bu Ina juga beliau bakalan kaget," balas Vano."Jangan, kasian orang tua."Vano tertawa, Kaisar hanya tersenyum simpul."Lain kali kalau ada masal
Udara terasa sejuk dengan embun yang masih menempel di dedaunan. Cahaya matahari perlahan muncul dari balik bukit, menyinari langit dengan warna keemasan yang lembut. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan menyejukkan setiap sudut suasana pagi. Burung-burung berkicau riang, seakan menyambut datangnya hari baru dengan ceria. Di kejauhan, kabut tipis melayang-layang di atas pepohonan, menciptakan pemandangan yang menenangkan hati.Vano bangun lebih pagi dari biasanya. Seperti rutinitas biasa ia akan berlari mengelilingi kompleks perumahan. Namun ternyata Kaisar sudah lebih dulu bangun, ia juga lebih dulu lari pagi, Vano mengejarnya."Kenapa lo? ada masalah cerita, Spill it out," ucap Vano yang berlari kecil di samping Kaisar.Kaisar awalnya hanya diam saja. Hingga Vano menghela nafas kasar."Kayak cewek lo, ada apa-apa cerita sama gua, gausah sok-sokan gapapa," sinis Vano.Kaisar menoleh sekilas ke Vano, lalu kembali menghadap depan."Urusan pribadi," jawabnya singkat."Ken
Malam itu, kamar Grita remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu meja yang temaram. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Jarinya melayang-layang di atas layar, sementara pesan dari Anton yang masuk terus menunggu balasan darinya. Pesan-pesan itu biasa, seolah percakapan rutin seorang pria yang mulai tertarik pada wanita. Namun, bagi Grita, setiap pesan adalah pengingat tugasnya yang berat. Bukan hanya risih, hatinya terasa tertusuk setiap kali harus membalas perhatian Anton dengan kata-kata yang ia tahu kosong dari ketulusan.Pesan terakhir Anton tertera di layar.'Sudah sampai rumah, Grita?'Grita memandangi kata-kata itu lama, jari-jarinya berhenti bergerak. Mengapa pria ini, yang tadinya begitu dingin dan tak terjangkau, kini peduli apakah ia sudah sampai rumah atau belum?Sambil menarik napas panjang, Grita mulai mengetik balasan.'Sudah, Pak Anton. Baru sampai tadi. Terima kasih sudah menanyakan.''Maaf ya tadi saya tidak bisa antar kamu pulang, kebetulan
Kamar itu sunyi, hanya ditemani suara detak jam di dinding dan bayangan lembut cahaya yang menerobos dari celah jendela. Udara terasa sejuk, dan setiap sudutnya seakan dipenuhi keheningan yang menggantung. Kara berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit dan hampa. Sejak pengakuan Anton terucap, seakan ada dinding tak kasat mata yang yang berdiri di antara Kara dan dunianya. Ia tak lagi bisa berbicara dengan ayahnya, rasa marah dan terluka itu masih tersimpan penuh dihatinya. "Kenapa? kenapa papah ga nepatin janjinya?" lirih Kara. Dalam kesendirian itu, Kara berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui pikirannya. Memahami alasan di balik tindakan ayahnya, mencari-cari pembenaran yang mungkin bisa membuatnya sedikit saja merasa lega. Namun, semakin ia mengingat kejadiannya semakin dalam pula luka yang ia rasakan. Tak ada pembenaran yang mampu menghapus kecewa yang begitu dalam. Tanpa sadar malam mula
Langit-langit kantor itu rendah, dihiasi dengan lampu-lampu neon yang bersinar lembut namun dingin, memantulkan bayangan samar di lantai beton yang halus. Dinding-dindingnya abu-abu kusam, tanpa hiasan atau jendela yang mengarah ke dunia luar. Di sudut-sudut ruangan, beberapa karyawan bekerja di depan monitor yang berderet rapi, jari-jari mereka menari di atas keyboard tanpa suara. Suara pendingin ruangan yang mendengung pelan menambah suasana kaku dan serius. Setiap orang yang berjalan di koridor melangkah dengan langkah cepat, tatapan mata penuh konsentrasi, menyembunyikan seribu rahasia. Pembicaraan antar karyawan jarang terjadi, dan jika pun ada, selalu bisik-bisik penuh kehati-hatian, seakan dinding memiliki telinga. Dodi duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan catatan yang berserakan di meja. Suara ketikan keyboardnya menghiasi keheningan, saat ia terfokus pada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Tiba-tiba, suara notifikasi ponselnya menggema, menarik pe
"Halo?" ucap Anton. "Oh iya, halo tuan." Anton mengerutkan kening, ini bukan suara Kara. "Bi Ina?" "Iya tuan, ini bibi." "Kok ponsel Kara ada bi Ina?" tanya Anton bingung. "Jadi gini tuan, bibi teh cuma mau nanya ini kenapa kok ponselnya non Kara ada di lantai ruang tamu, terus kok si non ga mau keluar kamar, dikunci dari dalem, bibi panggil juga ga nyaut, non kenapa ya tuan?" Anton terdiam. Kara meletakan ponsel sembarangan itu sudah biasa, tapi menguci kamar dan tidak menyaut bukanlah Kara biasanya. Ada apa dengan gadis itu? apa ini ada hubungannya dengan percakapan antara Anton dengan Kara kemarin? "Kara gak mau keluar dari kamar, bi?" "Iya tuan. Tapi tadi mas Vano udah nge cek dari balkon katanya non gapapa." Vano? batin Anton. "Syukur Kara gapapa, kalau terjadi apa-apa bilang aja ya, bi." "Oh iya baik tuan." Panggilan terputus. Meninggalkan banyak sekali pertanyaan di benak Anton. Ia akan mengetahui jawabannya nanti. *** Gosip tentang hubungan Anton dan Grita mula
Di kantor, suasana terasa begitu sibuk dan penuh dinamika. Para karyawan sibuk berlalu-lalang, membawa dokumen atau sibuk berbicara di telepon. Mesin fotokopi berdering tanpa henti, mengisi udara dengan suara ritmis yang menjadi latar bagi percakapan di sekitar. Di pojok ruangan, terdengar suara tuts keyboard yang ditekan cepat, tanda dari seorang karyawan yang tengah berkejaran dengan tenggat waktu. Di ruangan lainnya, ada rapat yang sedang berlangsung; suara diskusi terdengar samar, sesekali diiringi dengan tawa kecil atau gumaman tanda setuju. Ruang kerja berhiaskan pot-pot tanaman hijau untuk menambah kesegaran di antara deretan meja yang penuh dengan berkas dan laptop yang menyala. Di ruangan besar tempat para staf bekerja, ada papan tulis yang penuh dengan coretan ide dan target mingguan. Aroma kopi tercium dari arah pantry, menjadi penguat semangat di pagi hari bagi mereka yang baru memulai aktivitasnya. Beberapa karyawan duduk sambil mengetik dengan serius, sementara yang lai
***Pagi hari di rumah mewah itu terasa damai, ketika sinar matahari perlahan menyusup di antara dedaunan pohon besar yang mengelilingi, menciptakan pola cahaya yang indah di halaman. Suara burung berkicau lembut mengisi udara, sementara embun pagi masih menempel di rumput hijau, menambah kesegaran suasana. Aroma bunga-bunga yang bermekaran berpadu dengan udara segar, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan, seolah waktu berjalan lebih lambat di tempat ini.Sinar matahari baru mulai menyinari halaman rumah mewah di mana Vano, bodyguard yang selalu siaga, berdiri di depan pos satpam, melakukan sedikit pemanasan. Suara burung berkicau mengiringi suasana tenang, hati Vano juga merasakan ketenangan yang sama. Ia memperhatikan rekannya, Kaisar, yang sepertinya tidak bersemangat. Wajahnya tampak berbeda dari biasanya; ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya.Vano mengerutkan kening, bertanya-tanya apa yang terjadi. Biasanya Kaisar meski pendiam, selalu memiliki aura tenang yang b
Kara duduk di balkon kamarnya, malam itu terasa begitu sunyi. Angin dingin berhembus lembut, namun justru membuat hatinya semakin terasa perih. Ia menatap langit gelap yang berhiaskan bintang-bintang, berusaha mencari ketenangan di antara kerlipan cahaya kecil itu. Namun, pikirannya terus kembali ke satu momen yang membuat hatinya hancur—saat Anton, ayahnya, mengakui bahwa ia menjalin hubungan dengan Grita, sekretarisnya. Kata-kata Anton tadi terngiang jelas di benaknya. Ia masih ingat raut wajah ayahnya, serius namun tak bisa disembunyikan dari sorot mata. Bagi Kara, kata-kata itu tidak hanya menghancurkan kepercayaannya pada Anton, tetapi juga meruntuhkan bayangan tentang keluarga yang ia kira masih utuh, meski ibunya sudah tiada. Sambil memeluk lututnya, Kara menundukkan kepala, menahan sesak yang mengisi dadanya. “Papah udah ga sayang sama mamah lagi…” gumamnya lirih. Di tengah keheningan malam, ia seperti berbicara pada dirinya sendiri, pada langit, atau mungkin pada ibunya y