Siang ini setelah jam makan siang berakhir, Grita dan Anton sedang dalam perjalanan menuju luar kota untuk bertemu dengan klien penting. Perjalanan ini sangat penting bagi perusahaan karena klien yang akan mereka temui berpotensi membawa kontrak besar yang bisa meningkatkan pendapatan perusahaan secara signifikan.Di dalam mobil yang nyaman itu, Grita duduk di kursi penumpang depan sambil sesekali memeriksa jadwal dan dokumen di tablet-nya. Anton yang menyetir mobil terlihat tenang namun fokus. Ia memang lebih suka pergi kemana saja tanpa supir, bahkan perjalanan jauh seperti ini. Grita juga awalnya heran kenapa seseorang yang sangat sibuk seperti Anton ini tidak memiliki supir pribadi, tapi Grita juga tidak bertanya karena itu bukan urusannya. "Jadi, Grita, bagaimana jadwal kita hari ini?" tanya Anton sambil tetap memandang jalan. Suara Anton terdengar mantap, mencerminkan keyakinannya dalam mengatur timnya.Grita membuka kalender di tablet-nya dan mulai menjelaskan, "Pertemuan deng
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Grita, setelah melalui rangkaian rapat yang melelahkan dan kerja tanpa henti sejak pagi, Grita merasakan kelelahan yang luar biasa. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya mulai kehilangan fokus. Dia duduk di kursi ruangan rapat, berharap bisa mengumpulkan tenaga untuk pulang ke apartemennya.Sementara Anton pergi keluar entah kemana, ia menawarkan Grita untuk pulang bersama dan tentu saja Grita terima. Namun saat ini pria itu pamit pergi entah kemana dan tak kunjung kembali. Sembari menunggu Anton, Grita menelungkupkan wajahnya dimeja dan memejamkan matanya. Tanpa sadar Grita tertidur selama hampir 20 menit. Anton datang sembari membawa dua cup kopi panas. Ia mendekati Grita dengan perlahan. Melihat Grita yang tertidur karena kelelahan, Anton meletakkan cup kopi itu diatas meja. Diperhatikannya wajah damai Grita saat tidur, entah apa yang Anton rasakan tapi ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Grita. Mata Grita terbuka perlahan dan
Entah apa yang merasuki Anton hari ini hingga ia berbaik hati mengijinkan Kara untuk pergi ke kota. Kara langsung bersorak kegirangan seperti anak kecil saat itu juga. Walaupun begitu Anton tidak sepenuhnya membiarkan Kara ke kota begitu saja, ia harus ditemani salah satu bodyguardnya. Batas waktunya juga hanya sampai pukul 6 sore, dan saat itu juga Kara harus sudah sampai dirumah. Satu jam lebih Kara menghabiskan waktunya didalam kamar untuk memilih pakaian yang akan digunakannya. Ia terdiam beberapa saat didepan lemari pakaian melihat rentetan baju-baju miliknya. Hanya ada dress disana, dan sepertinya tidak ada pakaian lain. Kara baru sadar jika selama ini yang ia pakai hanya dress berbagai model serta piyama. Kenapa tidak ada baju yang lain? Kara menyambar sebuah dress tanpa lengan berwarna cream dengan motif bunga-bunga. Dress itu panjangnya sampai mata kaki. Kara memilih dress itu karena ia sangat menyukainya, itu adalah dress favoritnya. Setelah berganti pakaian, Kara duduk s
Tak ada yang berubah dari taman ini, semuanya tampak masih sama sejak terakhir kali Kara pergi kesini. Kara sangat senang melihat hamparan bunga-bunga dihadapannya, bermekaran dan tumbuh indah. "Ayo, Kai!"Kara menarik tangan Kaisar membuat Kaisar mau tak mau mengikutinya. Gadis itu membawanya menuju ke hamparan bunga tulip kuning. Sesampainya disana Kara melepaskan tangannya dan berlari girang seperti anak kecil. Kaisar hanya melihatnya tanpa ekspresi. Ia mengikuti kemanapun Kara pergi dari belakang.Kaisar baru mengetahui jika ada taman bunga seluas ini dikota. Tamannya sangat bersih, terawat dan banyak bunga yang bermekaran. Kara kembali berjalan menuju kumpulan bunga tulip pink. Ia berjongkok sambil menyentuh bunga itu. "Cantik banget ya, Kai?" tanya Kara. Kaisar mengangguk sekilas. Seakan tersadar sesuatu, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya."Mau saya foto?" tawar Kaisar. Kara mendongak dan tanpa basa-basi ia langsung mengangguk cepat. Kara berjongkok di samping bung
Kaisar hendak menghampiri saat sebuah tangan menarik lengannya. Kaisar menoleh dan melihat Kara menatapnya heran. "Mau kemana? Kara jangan ditinggal," ucap Kara sembari menatap cemas.Kaisar menoleh sekilas dan tidak menemukan keberadaan Grita lagi, seolah gadis itu lenyap ditelan bumi. Kaisar menghela nafas kasar dan berbalik ke Kara lalu kembali duduk disampingnya. "Maaf," ucap Kaisar. Kara mengangguk sambil tersenyum."Kaisar lihat apa tadi?"Kaisar terdiam lalu menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak ada."Kara mengangguk dan tidak bertanya lebih, es krim stroberi ditangannya itu akan segera mencair lama-lama. Kaisar menoleh ke sekeliling berharap masih menemukan keberadaan Grita disana. Namun nihil, ia tak melihat sosok gadis itu walau sedikitpun. Ia hanya ingin memastikan jika yang ia lihat tadi itu bukan hanya sekadar imajinasinya saja, tapi jika itu memang benar Grita untuk apa gadis itu berada di kota ini? Dan siapa pria disebelahnya tadi? Walau hanya melihat belakang tubuh
Malam ini Kaisar tidak bisa tidur dengan tenang. Ia hanya membolak-balikkan tubuhnya ke kanan-kiri. Kaisar teringat dengan kejadian sore tadi, ia melihat dengan jelas bahwa Grita ada dihadapannya, tapi bersama seorang pria di sampingnya. Kaisar mencoba berpikir positif bahwa hubungan Grita dan pria di sampingnya itu hanyalah sekadar rekan kerja, namun melihat interaksi intensif antara mereka membuat Kaisar curiga.Perasaan curiga itu tiba-tiba lenyap saat pesan masuk ke ponsel Kaisar, yang tidak lain tidak bukan dari Grita. Lelaki itu tersenyum kecil membaca pesan dari gadisnya itu.Mengesampingkan rasa cemburu dan curiga, Kaisar lalu berpikir bahwa Grita tidak akan mungkin berselingkuh darinya. Ia menanamkan prinsip bahwa dalam suatu hubungan yang terpenting adalah rasa saling percaya antar kedua belah pihak.***Di balik hiruk-pikuk bisnis dan dunia korporat yang gemerlap, selalu ada permainan kekuasaan dan manipulasi. Termasuk Heru dan Dodi, mereka memandang dunia ini sebagai medan
Anton duduk di taman belakang rumah yang nyaman, memandang sekelilingnya di mana sinar matahari sore menyinari dengan lembut. Ia merasakan kecemasan yang aneh di dadanya, sebuah perasaan yang jarang sekali ia rasakan. Di tangannya secangkir kopi yang ia aduk-aduk tanpa henti, bukan karena haus, tetapi lebih karena cemas. Ia tahu, percakapan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia harus melakukannya.Saat itu juga Kara lewat sembari membawa sebuah novel ditangannya. Anton pikir ini adalah waktu yang tepat. "Kara, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya dengan suara yang tenang. Kara mengangkat wajahnya dari buku dan memandang ayahnya. "Tentu, Pah. Ada apa?" jawabnya dengan senyum tipis lalu berjalan menghampiri ayahnya. Anton tersenyum kecil dan meminta Kara untuk duduk di sebelahnya. Ia meletakkan kopi di meja lalu menatap wajah anaknya. "Kara, ada sesuatu yang ingin Papah bicarakan denganmu. Ini mungkin sedikit mengejutkan, tapi Papah harap kamu bisa mendengarkan dengan ha
Kaisar merasa hidupnya berubah sejak ia pindah ke kota lain untuk bekerja. Hubungan jarak jauh bukanlah hal yang mudah bagi Kaisar, yang terbiasa dengan kehadiran fisik dan kenyamanan bertemu langsung. Namun, ia dan Grita berkomitmen untuk mempertahankan hubungan itu, meski ada jarak yang memisahkan. Selama beberapa bulan pertama, segalanya berjalan lancar. Mereka saling berkabar, bercerita tentang kegiatan sehari-hari, dan menyempatkan waktu untuk panggilan video. Namun, seiring berjalannya waktu, Kaisar mulai merasakan adanya perubahan yang tak bisa ia abaikan. Perlahan, frekuensi komunikasi mereka menurun. Grita sering kali mengatakan ia sibuk dengan pekerjaan atau terlalu lelah untuk berbicara lama. Kaisar berusaha memahami kondisi Grita, menyadari bahwa pekerjaan barunya memang menuntut perhatian yang lebih. Namun, di hatinya, muncul perasaan cemas dan takut. Ia mulai bertanya-tanya, apakah kesibukan itu hanya alasan, ataukah ada hal lain yang disembunyikan Grita darinya. Kecur
Langit malam gelap tanpa diterangi bulan atau bintang. Awan hitam menggantung rendah, menutup seluruh penjuru langit. Suasana sepi dan udara menusuk. Angin malam menderu pelan, menyentuh kulit. Dodi berdiri diam di tengah bayangan pohon besar yang menjulang di luar pagar rumah Anton. Cabang-cabangnya bergerak ringan tertiup angin.Di sekeliling Dodi, dua puluh sembilan anak buahnya tersebar dengan posisi siaga, tersembunyi di balik semak, kendaraan, dan sudut-sudut gelap yang tak terjangkau cahaya jalan. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah sebagian tertutup masker, senjata dalam genggaman. Hanya sorot mata mereka yang terlihat dingin, fokus, siap. Masing-masing sudah tahu tugasnya, sudah hafal betul sinyal yang akan Dodi berikan.Tim mereka terbagi tiga: sepuluh orang menjaga keadaan sekitar rumah, berjaga agar tak ada yang masuk atau keluar. Delapan orang lainnya menyelinap masuk lewat sisi timur, menargetkan satu sasaran penting yakni Kara. Dan dua belas sisanya termasuk Sean dan
"Aku tidak takut pada ancaman itu, apapun yang terjadi aku tak akan menyerahkan berkas yang dia mau."Leo menatapnya, "Kau yakin pelakunya 'dia'?"Anton mengangguk yakin, "Yakin, 100 persen yakin."Daniel menghela nafas kasar, "Dia tidak mudah menyerah ya?""Dia tak akan menyerah sebelum mendapat yang dia mau, bahkan dengan mengorbankan orang lain," ucap Anton.Leo menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan. Dia tahu apa yang menimpa sahabatnya itu, yang merenggut nyawa istri dan anaknya. Kejadian itu, salah satu kejadian yang membuat Daniel dan Leo cukup trauma. "Dia bilang dalam 48 jam, dia akan melakukan dengan caranya sendiri. Maksudnya dia akan menyerang kita?" tanya Daniel.Leo mengangguk, "Yap, kau pasti sudah tahu.""Lalu sekarang apa?" tanya Raven.Anton dan Leo saling pandang, seolah keduanya berbicara lewat mata. Tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar asing terhadap ancaman. Tapi kali ini terasa berbeda, lebih pribadi, lebih mematikan.“Kita harus bersiap,” kata A
"Aku tidak menemukan mereka, sepertinya mereka disembunyikan di suatu tempat," ucap Sean sambil melepas jaketnya.Suasana ruangan itu seperti biasa: remang, penuh asap rokok, dan beberapa berkas yang berserakan di meja besar di tengah ruangan. Dodi duduk di sana, tangannya memegang cangkir kopi yang isinya sudah setengah dingin. Beberapa anak buah mereka duduk di sekeliling, beberapa sibuk sendiri, dan yang lainnya hanya mendengarkan.Sepulang dari rumah Kara, Sean langsung menuju markas. Menceritakan tentang apa yang terjadi di rumah itu."Bahkan sesuatu yang mencurigakan sedikit pun kau tidak menjumpainya?" tanya Dodi, matanya tak lepas dari wajah Sean.Sean menggeleng, lalu menatap lantai. Ia berpikir sejenak, mengingat kembali saat ia di rumah itu."Aku pergi ke ruang bawah tanah, namun pintunya terkunci. Kupikir mereka pasti disekap di sana. Tapi setelah itu, Kaisar menemukanku.""Lalu?" desak Dodi."Dia mencurigaiku, lalu mengusirku. Namun sebelum pergi, aku mendengar sesuatu da
Daniel kembali ke mobilnya dan duduk di balik kemudi. Disampingnya Raven duduk dengan tenang dengan pandangan fokus ke depan. Mesin menyala, Daniel menginjak pedal lalu mobilnya meluncur keluar dari kawasan rumah Anton. Lokasi pembuangan telah disepakati sebelumnya: sebuah tempat pembakaran ilegal di ujung kawasan industri tua, jauh dari pemukiman, tempat orang-orang seperti mereka menghilangkan jejak.Di dalam mobil, mayat itu tergeletak kaku di dalam bungkus plastik, terikat rapi seperti paket yang hendak dikirim jauh, bedanya, paket ini tak akan pernah diterima siapa pun.Selama perjalanan, Daniel tidak menyalakan radio ataupun sekedar berbincang dengan Raven. Ia hanya berkonsentrasi pada jalanan, namun pikirannya melayang jauh. Berapa banyak orang yang harus mati seperti ini? Berapa banyak rahasia yang harus dikubur bersama tubuh-tubuh yang dibakar hingga tak bersisa?Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Bangunan itu tampak seperti pabrik tua, catnya mengelupa
Daniel kembali datang ke kediaman Anton pada malam harinya. Langit di luar gelap pekat, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing yang memecah keheningan. Malam ini, ia ditugaskan Anton untuk mengurus mayat yang ada di ruang bawah tanah. Selain itu, Anton ingin mendiskusikan langkah selanjutnya dalam menghadapi teror yang semakin menggila, yang mengintai mereka diam-diam.Daniel datang sendirian. Tidak bersama Rei. Gadis itu tak bisa datang karena pekerjaannya menumpuk.Begitu masuk ke area rumah, Daniel langsung menuju ruang tengah. Di sana, ia menemukan Leo sedang duduk santai di sofa dengan secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap."Dimana yang lain?" tanya Daniel tanpa basa-basi."Entah," jawab Leo singkat tanpa memalingkan wajah dari layar TV yang menyala.Daniel mengerutkan dahi, lalu menjatuhkan diri di sofa di sebelah Leo. Ia bersandar, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa sambil mengembuskan napas panjang. Leo meliriknya sekilas, lalu bertanya,"Mana Rei?"
Malam hari yang dingin, Grita merapatkan jaket yang dipakainya. Walaupun ia memakai jaket yang cukup tebal, dinginnya udara tetap saja menusuk kulitnya, seolah-olah menembus lapisan jaket yang membungkus tubuhnya. Nafasnya mengepul kecil setiap kali ia menghembuskan udara, menandakan betapa dinginnya malam itu. Langit di atasnya gelap, tanpa bintang, hanya temaram lampu jalan yang sesekali menyala redup.Taxi yang Grita tumpangi berhenti di pinggir jalan karena tidak bisa mengakses jalan menuju alamat yang Grita tuju. Tempatnya lagi-lagi di pinggiran kota, dan jalan yang harus Grita tempuh adalah gang-gang kecil yang sempit dan gelap. Jalan-jalan setapak itu hanya cukup dilewati oleh satu orang dewasa, dan di beberapa titik bahkan terlihat genangan air kotor yang memantulkan cahaya dari ponselnya.Untungnya dia sudah tidak kaget dengan keadaan seperti ini. Pekerjaan dan situasi-situasi tidak biasa yang sering dia alami membuatnya terbiasa menghadapi tempat dan kondisi yang tidak nyama
Kara dan Sean mengobrol cukup lama di halaman belakang. Topik mereka ringan, hanya tentang materi pelajaran dan beberapa hal lain yang terdengar seperti basa-basi, tapi suasananya tidak benar-benar canggung. Kaisar tetap bertahan di dapur, berdiri bersandar pada meja sambil memandangi mereka lewat jendela. Matanya tak lepas dari pergerakan Sean. Namun setelah hampir setengah jam berlalu tanpa keanehan apa pun, Kaisar mulai ragu dengan perasaannya sendiri. Mungkin dia hanya terlalu overthinking. Kaisar menghela napas, berniat meninggalkan dapur dan kembali ke ruang tamu. Tapi baru saja ia memutar tubuh, suara Sean terdengar dari belakang."Aku ke toilet sebentar ya," ujar Sean lalu melangkah cepat menjauh.Kaisar yang sempat menoleh sekilas, langsung menyipitkan mata. Insting Kaisar kembali aktif. Ia segera menyusul diam-diam, tak membiarkan jarak terlalu jauh. Tapi alih-alih berbelok ke kanan menuju toilet yang berada di sebelah dapur, Sean justru terus berjalan lurus ke arah lorong
Rentetan pesan dari Grita baru saja Dodi baca, ia sudah membukanya tapi tak membacanya sampai akhir. Isi pesannya semua sama, menanyakan apa yang harus gadis itu lakukan karena Anton telah memecatnya. Dodi tentu terkejut, di luar dugaannya Anton malah memecat Grita di saat gadis itu bahkan belum mendapatkan informasi apapun tentang pria itu."Sepertinya aku memang harus melakukan rencana itu," ucap Dodi pada dirinya sendiri.Ia sudah ada rencana, karena ia yakin bahwa Anton tidak akan menyerahkan berkas yang dia mau begitu saja, jadi rencana lain harus terlaksana. Sean sudah melakukan bagian tugasnya dengan datang ke rumah Anton dan mencari tahu apa yang terjadi dengan dua anak buah mereka yang tertangkap. Tapi sekarang, dengan Grita kehilangan posisinya, semua jadi semakin rumit."Aku harus menemui Grita," gumamnya lagi, lalu mengetik pesan.***Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar Grita melalui tirai tipis yang tak sepenuhnya tertutup. Ponsel di meja kecil di sebelah ranjan
Kaisar dan Vano keluar dari ruang bawah tanah setelah semalaman menginterogasi seorang pria dan seorang mayat. Pria yang masih hidup itu tertidur atau mungkin pingsan, jadi Kaisar dan Vano keluar dan meninggalkannya. Lagipula, berada di ruangan yang sama dengan mayat selama berjam-jam memberikan sensasi aneh yang tidak nyaman. Terutama karena ini adalah kali pertama bagi Kaisar dan Vano merasakannya.Vano menghembuskan napas berat dan langsung berjalan menuju pintu depan, melangkah keluar tanpa sepatah kata. Sementara Kaisar memilih berbalik arah, melangkah ke dapur untuk mengambil minuman. Tenggorokannya terasa kering, seperti gurun setelah semalam yang mencekam.Dapur rumah itu memiliki pintu kayu besar yang langsung menghadap ke halaman belakang. Pintu itu terbuka sedikit, membuat cahaya matahari pagi masuk, mengusir udara dingin dan aroma logam yang masih terasa di hidung Kaisar. Tanpa berniat menguping atau mengintip, pandangannya jatuh pada dua sosok yang duduk di bawah pohon di