Anton duduk di meja kerjanya yang teratur, tatapan matanya serius saat dia melihat Grita yang baru saja bergabung sebagai sekretarisnya. Grita, meskipun sedikit gugup, mencoba menampilkan senyuman percaya diri saat dia duduk di hadapannya."Selamat pagi, Pak Anton. Saya siap untuk memulai pekerjaan saya sebagai sekretaris Anda," kata Grita dengan suara mantap, mencoba mengatasi ketegangan di perutnya.Anton menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapannya masih tajam. "Baiklah, Grita. Saya harap Anda bisa menyesuaikan diri dengan cepat dengan cara kerja saya. Saya cukup memerlukan tingkat presisi dan efisiensi yang tinggi dalam semua yang kita lakukan di sini."Grita mengangguk, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Anton. "Saya akan melakukan yang terbaik, Pak. Saya telah mempersiapkan diri dengan baik untuk peran ini dan siap untuk belajar dan berkembang di bawah bimbingan Anda."Anton mengangguk singkat. "Bagus. Sekarang, mari kita mulai dengan membahas jadwal saya untuk minggu ini
"Kalau misalnya Kara minta ijin sama papah buat jalan-jalan keluar boleh ga ya?"Kaisar menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Engga. Emang mau kemana?" tanya Kaisar. Kara mengayun-ayunkan kedua kakinya lalu menggeleng pelan. Kaisar tidak bertanya lagi. Halaman belakang saat sore hari terlihat lebih indah. Cahaya matahari yang mulai meredup, menyebarkan warna-warna hangat ke sekeliling, menciptakan siluet-siluet indah dari bunga-bunga yang berjejer rapi dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Udara yang sejuk dan segar membelai wajah yang melangkah di atas rumput hijau yang lembut. Di tengah-tengah halaman, sebuah pepohonan tua menjulang tinggi dengan dedaunan yang rimbun, memberikan naungan yang menyegarkan bagi siapa pun yang duduk di bawahnya.Bunga-bunga berwarna-warni menjuntai dari pepohonan dan merambat di sepanjang pagar, menciptakan tampilan yang memesona dan menawan hati setiap pengamatnya. Aroma harum bunga-bunga tersebut menyatu dengan udara senja, menciptakan su
Kara duduk tenang di balkon kamarnya, menikmati pesona indah sore hari yang mulai menjelang. Di langit, awan-awan berwarna jingga dan merah muda terhampar dengan gemerlap matahari yang hampir tenggelam di balik cakrawala. Cahaya senja memancar lembut, memberi warna baru pada sekelilingnya. Dia merasakan embusan angin sejuk yang menyentuh wajahnya, membawa aroma segar dari taman-taman di sekitar.Dengan pemandangan yang memukau itu, Kara merasa seperti tersapu oleh ketenangan dan keindahan alam. Dia menghela nafas dalam-dalam, merasakan energi positif memenuhi dirinya. Di sudut hatinya, ada rasa syukur yang tumbuh, merenung tentang keajaiban kehidupan dan anugerah yang diberikan alam.Dari balkon kamarnya, Kara dapat melihat pemandangan kota yang ramai di kejauhan. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, menciptakan panorama gemerlap yang menawan. Namun, di tempatnya yang teduh, jauh dari keramaian itu, dia merasa seperti menemukan tempat perlindungan yang sempurna. Suara gemuruh lalu
Terhitung sudah 1 bulan Grita menjabat sebagai sekretaris Anton, dan selama itu juga ia rutin mengirimkan segala hal yang berhubungan dengan Anton kepada Dodi. Meskipun hanya satu bulan berlalu sejak Grita bergabung dengan tim, hasil kerjanya telah melebihi harapan di perusahaan.Dari hari pertama, Grita menunjukkan dedikasi dan komitmen yang luar biasa terhadap pekerjaannya. Dia dengan cepat memahami dinamika perusahaan dan gaya kerja Anton, serta mampu menyesuaikan diri dengan cepat dalam lingkungan yang dinamis dan menuntut. Grita tidak hanya mengelola jadwal Anton dengan sempurna, tetapi juga mampu mengatur pertemuan, menangani korespondensi, dan menyelesaikan tugas-tugas administratif dengan efisien.Keahlian multitasking Grita telah membantu Anton dalam menjalankan tugas-tugasnya dengan lancar, memungkinkan Anton untuk fokus pada prioritas-prioritasnya tanpa khawatir tentang detail-detail administratif. Kehadirannya juga memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada Anton, karena
Dalam bayangan gelap yang menutupi ruangan, seseorang duduk dengan ponsel di telinganya, berbicara dengan suara yang rendah dan tergesa-gesa. Dia memberikan laporan rinci kepada lawannya di telepon tentang rencana mereka untuk menakuti keluarga Anton dengan mengirimkan kotak-kotak hitam misterius yang berisi kenangan-kenangan yang menyeramkan. Dengan suara yang penuh dengan ketegangan, dia menjelaskan setiap detail, berharap agar lawannya mengerti betapa pentingnya untuk melaksanakan misi ini dengan cermat dan tanpa cela."Awalnya kupikir rencana ini akan berhasil," katanya, mencoba meyakinkan lawannya di sisi lain garis.Dia melihat ke sekelilingnya memastikan kondisi. Dia menyadari bahwa reaksi Anton terhadap ancaman itu sangatlah berbeda dengan yang dia harapkan. Meskipun dia berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan rasa takutnya kepada keluarga dan semua orang, Anton terlihat sangat tenang dan biasa saja di depan orang lain."Kenapa? Ada masalah?"Seseorang diujung telepon bertan
Siang ini setelah jam makan siang berakhir, Grita dan Anton sedang dalam perjalanan menuju luar kota untuk bertemu dengan klien penting. Perjalanan ini sangat penting bagi perusahaan karena klien yang akan mereka temui berpotensi membawa kontrak besar yang bisa meningkatkan pendapatan perusahaan secara signifikan.Di dalam mobil yang nyaman itu, Grita duduk di kursi penumpang depan sambil sesekali memeriksa jadwal dan dokumen di tablet-nya. Anton yang menyetir mobil terlihat tenang namun fokus. Ia memang lebih suka pergi kemana saja tanpa supir, bahkan perjalanan jauh seperti ini. Grita juga awalnya heran kenapa seseorang yang sangat sibuk seperti Anton ini tidak memiliki supir pribadi, tapi Grita juga tidak bertanya karena itu bukan urusannya. "Jadi, Grita, bagaimana jadwal kita hari ini?" tanya Anton sambil tetap memandang jalan. Suara Anton terdengar mantap, mencerminkan keyakinannya dalam mengatur timnya.Grita membuka kalender di tablet-nya dan mulai menjelaskan, "Pertemuan deng
Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Grita, setelah melalui rangkaian rapat yang melelahkan dan kerja tanpa henti sejak pagi, Grita merasakan kelelahan yang luar biasa. Tubuhnya terasa berat dan pikirannya mulai kehilangan fokus. Dia duduk di kursi ruangan rapat, berharap bisa mengumpulkan tenaga untuk pulang ke apartemennya.Sementara Anton pergi keluar entah kemana, ia menawarkan Grita untuk pulang bersama dan tentu saja Grita terima. Namun saat ini pria itu pamit pergi entah kemana dan tak kunjung kembali. Sembari menunggu Anton, Grita menelungkupkan wajahnya dimeja dan memejamkan matanya. Tanpa sadar Grita tertidur selama hampir 20 menit. Anton datang sembari membawa dua cup kopi panas. Ia mendekati Grita dengan perlahan. Melihat Grita yang tertidur karena kelelahan, Anton meletakkan cup kopi itu diatas meja. Diperhatikannya wajah damai Grita saat tidur, entah apa yang Anton rasakan tapi ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Grita. Mata Grita terbuka perlahan dan
Entah apa yang merasuki Anton hari ini hingga ia berbaik hati mengijinkan Kara untuk pergi ke kota. Kara langsung bersorak kegirangan seperti anak kecil saat itu juga. Walaupun begitu Anton tidak sepenuhnya membiarkan Kara ke kota begitu saja, ia harus ditemani salah satu bodyguardnya. Batas waktunya juga hanya sampai pukul 6 sore, dan saat itu juga Kara harus sudah sampai dirumah. Satu jam lebih Kara menghabiskan waktunya didalam kamar untuk memilih pakaian yang akan digunakannya. Ia terdiam beberapa saat didepan lemari pakaian melihat rentetan baju-baju miliknya. Hanya ada dress disana, dan sepertinya tidak ada pakaian lain. Kara baru sadar jika selama ini yang ia pakai hanya dress berbagai model serta piyama. Kenapa tidak ada baju yang lain? Kara menyambar sebuah dress tanpa lengan berwarna cream dengan motif bunga-bunga. Dress itu panjangnya sampai mata kaki. Kara memilih dress itu karena ia sangat menyukainya, itu adalah dress favoritnya. Setelah berganti pakaian, Kara duduk s
Langit malam gelap tanpa diterangi bulan atau bintang. Awan hitam menggantung rendah, menutup seluruh penjuru langit. Suasana sepi dan udara menusuk. Angin malam menderu pelan, menyentuh kulit. Dodi berdiri diam di tengah bayangan pohon besar yang menjulang di luar pagar rumah Anton. Cabang-cabangnya bergerak ringan tertiup angin.Di sekeliling Dodi, dua puluh sembilan anak buahnya tersebar dengan posisi siaga, tersembunyi di balik semak, kendaraan, dan sudut-sudut gelap yang tak terjangkau cahaya jalan. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah sebagian tertutup masker, senjata dalam genggaman. Hanya sorot mata mereka yang terlihat dingin, fokus, siap. Masing-masing sudah tahu tugasnya, sudah hafal betul sinyal yang akan Dodi berikan.Tim mereka terbagi tiga: sepuluh orang menjaga keadaan sekitar rumah, berjaga agar tak ada yang masuk atau keluar. Delapan orang lainnya menyelinap masuk lewat sisi timur, menargetkan satu sasaran penting yakni Kara. Dan dua belas sisanya termasuk Sean dan
"Aku tidak takut pada ancaman itu, apapun yang terjadi aku tak akan menyerahkan berkas yang dia mau."Leo menatapnya, "Kau yakin pelakunya 'dia'?"Anton mengangguk yakin, "Yakin, 100 persen yakin."Daniel menghela nafas kasar, "Dia tidak mudah menyerah ya?""Dia tak akan menyerah sebelum mendapat yang dia mau, bahkan dengan mengorbankan orang lain," ucap Anton.Leo menatapnya dengan tatapan tak bisa diartikan. Dia tahu apa yang menimpa sahabatnya itu, yang merenggut nyawa istri dan anaknya. Kejadian itu, salah satu kejadian yang membuat Daniel dan Leo cukup trauma. "Dia bilang dalam 48 jam, dia akan melakukan dengan caranya sendiri. Maksudnya dia akan menyerang kita?" tanya Daniel.Leo mengangguk, "Yap, kau pasti sudah tahu.""Lalu sekarang apa?" tanya Raven.Anton dan Leo saling pandang, seolah keduanya berbicara lewat mata. Tak ada satu pun dari mereka yang benar-benar asing terhadap ancaman. Tapi kali ini terasa berbeda, lebih pribadi, lebih mematikan.“Kita harus bersiap,” kata A
"Aku tidak menemukan mereka, sepertinya mereka disembunyikan di suatu tempat," ucap Sean sambil melepas jaketnya.Suasana ruangan itu seperti biasa: remang, penuh asap rokok, dan beberapa berkas yang berserakan di meja besar di tengah ruangan. Dodi duduk di sana, tangannya memegang cangkir kopi yang isinya sudah setengah dingin. Beberapa anak buah mereka duduk di sekeliling, beberapa sibuk sendiri, dan yang lainnya hanya mendengarkan.Sepulang dari rumah Kara, Sean langsung menuju markas. Menceritakan tentang apa yang terjadi di rumah itu."Bahkan sesuatu yang mencurigakan sedikit pun kau tidak menjumpainya?" tanya Dodi, matanya tak lepas dari wajah Sean.Sean menggeleng, lalu menatap lantai. Ia berpikir sejenak, mengingat kembali saat ia di rumah itu."Aku pergi ke ruang bawah tanah, namun pintunya terkunci. Kupikir mereka pasti disekap di sana. Tapi setelah itu, Kaisar menemukanku.""Lalu?" desak Dodi."Dia mencurigaiku, lalu mengusirku. Namun sebelum pergi, aku mendengar sesuatu da
Daniel kembali ke mobilnya dan duduk di balik kemudi. Disampingnya Raven duduk dengan tenang dengan pandangan fokus ke depan. Mesin menyala, Daniel menginjak pedal lalu mobilnya meluncur keluar dari kawasan rumah Anton. Lokasi pembuangan telah disepakati sebelumnya: sebuah tempat pembakaran ilegal di ujung kawasan industri tua, jauh dari pemukiman, tempat orang-orang seperti mereka menghilangkan jejak.Di dalam mobil, mayat itu tergeletak kaku di dalam bungkus plastik, terikat rapi seperti paket yang hendak dikirim jauh, bedanya, paket ini tak akan pernah diterima siapa pun.Selama perjalanan, Daniel tidak menyalakan radio ataupun sekedar berbincang dengan Raven. Ia hanya berkonsentrasi pada jalanan, namun pikirannya melayang jauh. Berapa banyak orang yang harus mati seperti ini? Berapa banyak rahasia yang harus dikubur bersama tubuh-tubuh yang dibakar hingga tak bersisa?Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Bangunan itu tampak seperti pabrik tua, catnya mengelupa
Daniel kembali datang ke kediaman Anton pada malam harinya. Langit di luar gelap pekat, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing yang memecah keheningan. Malam ini, ia ditugaskan Anton untuk mengurus mayat yang ada di ruang bawah tanah. Selain itu, Anton ingin mendiskusikan langkah selanjutnya dalam menghadapi teror yang semakin menggila, yang mengintai mereka diam-diam.Daniel datang sendirian. Tidak bersama Rei. Gadis itu tak bisa datang karena pekerjaannya menumpuk.Begitu masuk ke area rumah, Daniel langsung menuju ruang tengah. Di sana, ia menemukan Leo sedang duduk santai di sofa dengan secangkir kopi panas yang masih mengepulkan asap."Dimana yang lain?" tanya Daniel tanpa basa-basi."Entah," jawab Leo singkat tanpa memalingkan wajah dari layar TV yang menyala.Daniel mengerutkan dahi, lalu menjatuhkan diri di sofa di sebelah Leo. Ia bersandar, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa sambil mengembuskan napas panjang. Leo meliriknya sekilas, lalu bertanya,"Mana Rei?"
Malam hari yang dingin, Grita merapatkan jaket yang dipakainya. Walaupun ia memakai jaket yang cukup tebal, dinginnya udara tetap saja menusuk kulitnya, seolah-olah menembus lapisan jaket yang membungkus tubuhnya. Nafasnya mengepul kecil setiap kali ia menghembuskan udara, menandakan betapa dinginnya malam itu. Langit di atasnya gelap, tanpa bintang, hanya temaram lampu jalan yang sesekali menyala redup.Taxi yang Grita tumpangi berhenti di pinggir jalan karena tidak bisa mengakses jalan menuju alamat yang Grita tuju. Tempatnya lagi-lagi di pinggiran kota, dan jalan yang harus Grita tempuh adalah gang-gang kecil yang sempit dan gelap. Jalan-jalan setapak itu hanya cukup dilewati oleh satu orang dewasa, dan di beberapa titik bahkan terlihat genangan air kotor yang memantulkan cahaya dari ponselnya.Untungnya dia sudah tidak kaget dengan keadaan seperti ini. Pekerjaan dan situasi-situasi tidak biasa yang sering dia alami membuatnya terbiasa menghadapi tempat dan kondisi yang tidak nyama
Kara dan Sean mengobrol cukup lama di halaman belakang. Topik mereka ringan, hanya tentang materi pelajaran dan beberapa hal lain yang terdengar seperti basa-basi, tapi suasananya tidak benar-benar canggung. Kaisar tetap bertahan di dapur, berdiri bersandar pada meja sambil memandangi mereka lewat jendela. Matanya tak lepas dari pergerakan Sean. Namun setelah hampir setengah jam berlalu tanpa keanehan apa pun, Kaisar mulai ragu dengan perasaannya sendiri. Mungkin dia hanya terlalu overthinking. Kaisar menghela napas, berniat meninggalkan dapur dan kembali ke ruang tamu. Tapi baru saja ia memutar tubuh, suara Sean terdengar dari belakang."Aku ke toilet sebentar ya," ujar Sean lalu melangkah cepat menjauh.Kaisar yang sempat menoleh sekilas, langsung menyipitkan mata. Insting Kaisar kembali aktif. Ia segera menyusul diam-diam, tak membiarkan jarak terlalu jauh. Tapi alih-alih berbelok ke kanan menuju toilet yang berada di sebelah dapur, Sean justru terus berjalan lurus ke arah lorong
Rentetan pesan dari Grita baru saja Dodi baca, ia sudah membukanya tapi tak membacanya sampai akhir. Isi pesannya semua sama, menanyakan apa yang harus gadis itu lakukan karena Anton telah memecatnya. Dodi tentu terkejut, di luar dugaannya Anton malah memecat Grita di saat gadis itu bahkan belum mendapatkan informasi apapun tentang pria itu."Sepertinya aku memang harus melakukan rencana itu," ucap Dodi pada dirinya sendiri.Ia sudah ada rencana, karena ia yakin bahwa Anton tidak akan menyerahkan berkas yang dia mau begitu saja, jadi rencana lain harus terlaksana. Sean sudah melakukan bagian tugasnya dengan datang ke rumah Anton dan mencari tahu apa yang terjadi dengan dua anak buah mereka yang tertangkap. Tapi sekarang, dengan Grita kehilangan posisinya, semua jadi semakin rumit."Aku harus menemui Grita," gumamnya lagi, lalu mengetik pesan.***Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar Grita melalui tirai tipis yang tak sepenuhnya tertutup. Ponsel di meja kecil di sebelah ranjan
Kaisar dan Vano keluar dari ruang bawah tanah setelah semalaman menginterogasi seorang pria dan seorang mayat. Pria yang masih hidup itu tertidur atau mungkin pingsan, jadi Kaisar dan Vano keluar dan meninggalkannya. Lagipula, berada di ruangan yang sama dengan mayat selama berjam-jam memberikan sensasi aneh yang tidak nyaman. Terutama karena ini adalah kali pertama bagi Kaisar dan Vano merasakannya.Vano menghembuskan napas berat dan langsung berjalan menuju pintu depan, melangkah keluar tanpa sepatah kata. Sementara Kaisar memilih berbalik arah, melangkah ke dapur untuk mengambil minuman. Tenggorokannya terasa kering, seperti gurun setelah semalam yang mencekam.Dapur rumah itu memiliki pintu kayu besar yang langsung menghadap ke halaman belakang. Pintu itu terbuka sedikit, membuat cahaya matahari pagi masuk, mengusir udara dingin dan aroma logam yang masih terasa di hidung Kaisar. Tanpa berniat menguping atau mengintip, pandangannya jatuh pada dua sosok yang duduk di bawah pohon di