Heru langsung duduk disofa setelah pulang bekerja. Jas dan dasinya terlempar ke lantai sementara dua kancing kemeja teratasnya dibiarkan terbuka lebar. Heru memejamkan mata saking lelahnya. Seorang wanita yang mengenakan daster merah selutut mendatangi Heru. Tanpa berkata apapun ia langsung memungut jas dan dasi di lantai lalu memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor. Setelah itu wanita bersurai hitam panjang tersebut pergi ke dapur lalu kembali membawa secangkir teh hangat. Ia meletakkan cangkir itu di meja lalu menoleh ke Heru dan menghela nafas. Lelaki itu merentangkan kedua tangannya pada masing-masing sisi sofa sementara kakinya naik ke atas meja di depannya karena memang meja itu pendek. Entah Heru tertidur atau hanya memejamkan matanya karena saking kecapekan. Wanita itu menyentuh lengan Heru pelan."Teh nya diminum dulu habis itu mandi, udah aku siapin air hangatnya," ucap wanita itu. Heru mengangguk pelan tanpa membuka matanya. Ia tahu siapa yang berada disampingnya,
Pagi-pagi sekali Anton mendapat panggilan telepon dari Wildan, salah satu manager diperusahaannya. Dengan nada kesal Wildan meminta Anton untuk segera datang ke kantor karena ada beberapa masalah yang harus ia tangani. Dan pagi itu juga sekitar pukul setengah 6 pagi, Anton sudah berangkat menuju kantor. Ia tidak tahu masalah sebesar apa sampai Wildan memintanya untuk segera datang ke kantor. Jalanan masih lengang pagi itu, jadi Anton sampai ke kantor dengan cepat. Begitu turun dari mobil Anton langsung disambut dengan Wildan yang berdiri di pintu utama tengah berkacak pinggang. "Kau lupa dengan kegiatan hari ini?" tanya Wildan. "Apa?" balas Anton. Wildan menghela nafas kasar, ia sudah menduga itu. Ia mengikuti Anton yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam. "Kau tak ingat yang kukatakan kemarin?" tanya Wildan. Anton menjawab dengan mengendikkan bahunya. "Dasar pikun," lirih Wildan.Entah Anton mendengar atau tidak perkataan Wildan, tapi raut wajahnya terlihat datar seperti
"Kamu mau menjadi sekertarisnya Anton?"Grita terdiam, ia sangat terkejut. Namun dalam hati Grita juga merasa senang karena ia tak perlu lagi memikirkan cara untuk menjadi sekertaris Anton karena malah ada menawarkan langsung kepadanya. Ini kesempatan emas dan Grita tak akan membuangnya. Tapi Grita penasaran kenapa dari sekian banyak pekerja yang ada malah ia yang diminta untuk menjadi sekertaris Anton. "Tapi kenapa saya, Pak?" tanya Grita penasaran. "Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, kamu orang yang disiplin dan pekerja keras."Grita tidak menjawab. "Saya tidak akan memaksa, tapi saya harap kamu memberikan jawaban saat ini juga karna saya tidak bisa menunggu," ucap Wildan. Grita sudah menentukan jawabannya. "Baik, saya mau."Wildan tersenyum simpul lalu mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu lalu mengirimnya pada seseorang. Grita tentu saja tidak akan menolak tawaran emas ini. Ini adalah yang Grita inginkan, semuanya terasa mudah.Langkah awalnya sudah dimulai, saatny
Sudah menjadi kebiasaan rutin setiap sore, Kara akan merawat bunga-bunga yang ditanamnya di halaman depan rumah. Mulai dari membersihkan rumput liar yang tumbuh dan menyiram bunga. Itu semua Kara lakukan sendiri.Seperti saat ini Kara tengah mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di pekarangan bunga miliknya. Dengan mengenakan kaos lengan pendek berwarna cokelat dan celana jeans panjang yang dipadukan dengan topi yang sengaja dipakai terbalik membuat Kara nampak lucu. Rambut panjangnya di kepang dua dengan bantuan Bi Ina karena Kara tidak bisa melakukannya sendiri. Sementara dari jauh ada Kaisar yang selalu mengawasi setiap pergerakan Kara. Ia duduk di depan pos satpam tapi pandangan matanya tetap tertuju pada Kara. Sebagai seorang bodyguard profesional, tugasnya adalah untuk melindungi Kara dengan segala cara. Meskipun begitu, dia tidak pernah menunjukkan ekspresi yang terlalu ketat atau ketegangan yang berlebihan. Dia hanya diam, tetapi tetap waspada.Setiap kali Kara bermain, Kai
Dodi duduk di meja kerjanya dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Setelah berbulan-bulan merencanakan dan menyusun strategi, misinya akhirnya berhasil. Grita, seorang sekretaris yang baru saja bergabung dengan perusahaan saingannya, ternyata berhasil disusupkan olehnya sebagai mata-mata yang akan memberinya keuntungan besar dalam persaingan bisnis mereka.Dia telah merancang setiap langkah dengan cermat, memastikan bahwa Grita akan dapat mengakses informasi penting dan mengirimkannya kepadanya tanpa menimbulkan kecurigaan.Dodi semakin yakin bahwa keputusannya untuk merekrut Grita sebagai mata-mata telah menjadi langkah yang tepat. Grita akan memberinya keunggulan yang lebih besar dalam mengambil keputusan strategis untuk perusahaannya.Meskipun menyadari bahwa tindakannya mungkin tidak etis, Dodi merasa bahwa dalam dunia bisnis yang kompetitif, segala cara diperbolehkan untuk mencapai tujuan. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menggunakan informasi yang diberikan oleh
Anton duduk di meja kerjanya yang teratur, tatapan matanya serius saat dia melihat Grita yang baru saja bergabung sebagai sekretarisnya. Grita, meskipun sedikit gugup, mencoba menampilkan senyuman percaya diri saat dia duduk di hadapannya."Selamat pagi, Pak Anton. Saya siap untuk memulai pekerjaan saya sebagai sekretaris Anda," kata Grita dengan suara mantap, mencoba mengatasi ketegangan di perutnya.Anton menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapannya masih tajam. "Baiklah, Grita. Saya harap Anda bisa menyesuaikan diri dengan cepat dengan cara kerja saya. Saya cukup memerlukan tingkat presisi dan efisiensi yang tinggi dalam semua yang kita lakukan di sini."Grita mengangguk, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Anton. "Saya akan melakukan yang terbaik, Pak. Saya telah mempersiapkan diri dengan baik untuk peran ini dan siap untuk belajar dan berkembang di bawah bimbingan Anda."Anton mengangguk singkat. "Bagus. Sekarang, mari kita mulai dengan membahas jadwal saya untuk minggu ini
"Kalau misalnya Kara minta ijin sama papah buat jalan-jalan keluar boleh ga ya?"Kaisar menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Engga. Emang mau kemana?" tanya Kaisar. Kara mengayun-ayunkan kedua kakinya lalu menggeleng pelan. Kaisar tidak bertanya lagi. Halaman belakang saat sore hari terlihat lebih indah. Cahaya matahari yang mulai meredup, menyebarkan warna-warna hangat ke sekeliling, menciptakan siluet-siluet indah dari bunga-bunga yang berjejer rapi dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Udara yang sejuk dan segar membelai wajah yang melangkah di atas rumput hijau yang lembut. Di tengah-tengah halaman, sebuah pepohonan tua menjulang tinggi dengan dedaunan yang rimbun, memberikan naungan yang menyegarkan bagi siapa pun yang duduk di bawahnya.Bunga-bunga berwarna-warni menjuntai dari pepohonan dan merambat di sepanjang pagar, menciptakan tampilan yang memesona dan menawan hati setiap pengamatnya. Aroma harum bunga-bunga tersebut menyatu dengan udara senja, menciptakan su
Kara duduk tenang di balkon kamarnya, menikmati pesona indah sore hari yang mulai menjelang. Di langit, awan-awan berwarna jingga dan merah muda terhampar dengan gemerlap matahari yang hampir tenggelam di balik cakrawala. Cahaya senja memancar lembut, memberi warna baru pada sekelilingnya. Dia merasakan embusan angin sejuk yang menyentuh wajahnya, membawa aroma segar dari taman-taman di sekitar.Dengan pemandangan yang memukau itu, Kara merasa seperti tersapu oleh ketenangan dan keindahan alam. Dia menghela nafas dalam-dalam, merasakan energi positif memenuhi dirinya. Di sudut hatinya, ada rasa syukur yang tumbuh, merenung tentang keajaiban kehidupan dan anugerah yang diberikan alam.Dari balkon kamarnya, Kara dapat melihat pemandangan kota yang ramai di kejauhan. Lampu-lampu mulai menyala satu per satu, menciptakan panorama gemerlap yang menawan. Namun, di tempatnya yang teduh, jauh dari keramaian itu, dia merasa seperti menemukan tempat perlindungan yang sempurna. Suara gemuruh lalu
Langkah Sean terdengar tergesa ketika memasuki markas yang tersembunyi di balik bangunan tua bekas pabrik. Lantai beton yang berdebu memantulkan gema sepatunya yang berat. Udara di dalam terasa lembap dan dingin, seolah menyimpan bau masa lalu yang membusuk perlahan. Lampu-lampu neon di langit-langit menggantung rendah dan bergetar pelan, beberapa bahkan berkedip seperti nyaris padam, menambah kesan suram pada tempat itu. Langit malam di luar begitu kelam, tapi kegelapan di dalam pikirannya jauh lebih pekat. Ia baru saja lolos dari situasi genting, tapi bukan tanpa harga. Dua rekan mereka tertangkap, dan satu di antaranya berpotensi jadi lubang kebocoran fatal.Pintu baja yang berat terbuka dengan suara berderit, seperti keluhan besi tua yang dipaksa bekerja lagi. Di dalam ruangan utama markas, beberapa anak buah Dodi tampak duduk bersantai di sofa usang dan kursi kayu reyot, sebagian tidur-tiduran tanpa melepas sepatu. Layar-layar monitor pengawas menampilkan rekaman dari beberapa ka
Anton melangkah keluar dari ruangan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Langkahnya cepat, penuh ketegangan yang jelas terpancar dari setiap gerakan tubuhnya. Suara pintu yang tertutup di belakangnya menggema pelan di lorong yang sepi. Di belakangnya, Raven mengikuti, menjaga jarak dua langkah, tak bersuara seperti bayangan.Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, Anton menoleh sebentar ke arah Kaisar dan Vano."Tetap di sini. Interogasi dia. Jangan sampai dia mati sebelum kita tahu segalanya,” ucap Anton, suaranya datar tapi tak terbantahkan. “Dan jangan sentuh mayat yang satu lagi. Biar Daniel yang urus.”Kaisar dan Vano mengangguk serempak, tak banyak bicara. Begitu Anton dan Raven menghilang di balik lorong, suasana dalam ruangan mendadak terasa semakin berat. Lampu gantung yang redup menggoyang pelan, seperti menyaksikan adegan yang tak ingin diingat.Vano berjalan mendekati mayat pria yang tergeletak dengan luka tembak di dada. Ia berjongkok sejenak, memperhatikan luka itu
Langkah kaki bergema di lorong sempit menuju ruang bawah tanah yang tak pernah digunakan kecuali untuk urusan paling rahasia. Dua pria bermasker hitam itu diseret kasar oleh Kaisar dan Vano, napas mereka tersengal, wajah lebam, namun tetap menyiratkan keteguhan aneh.Anton berjalan di depan dengan mata tajam. Di belakangnya, Leo dan Daniel mengikuti dengan membawa sebuah koper. Raven dan Rei menutup barisan, memastikan tak ada jejak atau celah terbuka dalam pergerakan mereka.Lampu-lampu gantung redup menyala satu per satu ketika mereka memasuki ruang bawah tanah. Ruangan itu dingin, lembap, dengan lantai semen kasar dan dinding baja yang membuat gema terkunci di dalam. Di tengahnya, dua kursi kayu telah disiapkan. Di belakang kursi, tali menggantung.“Dudukkan mereka,” perintah Anton dingin.Kaisar dan Vano menjatuhkan para penyusup itu ke kursi, lalu mengikat tubuh mereka dengan cepat. Tali diperiksa dua kali. Mereka tidak boleh bergerak barang satu inci pun.Salah satu pria masih m
Langit malam pekat tanpa bintang. Awan gelap menggantung berat, menekan kota dengan hawa dingin yang menusuk. Di sebuah sudut jalan yang remang, sebuah mobil hitam berhenti beberapa meter dari gerbang rumah mewah milik Anton. Mesin menyala pelan, lampu dimatikan. Di dalamnya, duduk seorang pria dengan wajah tenang namun sorot mata tajam, Sean.Ia melihat jam tangannya. Sudah waktunya.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia menoleh ke kursi belakang. Dua pria bertubuh kekar duduk tegap, mengenakan jaket gelap. Anak buah Dodi, pria yang selama ini menjadi perpanjangan tangan Sean untuk urusan lapangan.“Letakkan kotaknya. Jangan banyak gerak,” ucap Sean singkat.Keduanya mengangguk. Mereka keluar dari mobil, masing-masing membawa sebuah kotak hitam seukuran microwave, tanpa tulisan apa pun. Isinya masih misteri, bahkan bagi mereka yang mengantarkannya. Itu bukan pertama kalinya bagi Sean untuk mengantar kotak semacam itu ke rumah Anton. Setiap kali, tanpa penjelasan. Hanya perintah. Tap
Di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi layar monitor dan lampu neon redup, Sean menatap layar dengan sorot mata tegang. Ia baru saja menerima kabar dari salah satu informannya. Dengan cepat, ia menghubungi Dodi.“Dia mulai bergerak,” suara Sean terdengar rendah tapi penuh ketegangan.“Siapa?” tanya Dodi di seberang, meski ia sudah tahu jawabannya.“Anton. Dia mulai melacak asal kiriman kotak hitam itu. Tentu dia akan bersama dengan timnya.”Dodi terdiam sejenak, lalu tertawa pelan. “Bukankah itu bagus? itu yang kita tunggu-tunggu. Kau akan melihat bagaimana gilanya Anton nanti.”“Lalu bagaimana dengan kotak selanjutnya?” ucap Sean sambil menatap sebuah kotak hitam yang tergeletak dihadapannya.“Tetap kirimkan, tapi jangan kau yang mengirimnya. Suruh salah satu dari mereka untuk melakukannya," perintah Dodi.'Mereka' yang dimaksud adalah anak buah Dodi. Mereka berjumlah sekitar 50 orang ada di dalam satu bangunan yang sama dengan Sean saat itu. Mereka beralih ke bangunan kedua un
Pada malam yang gelap dan sunyi, di sudut kompleks perumahan elite tempat Anton tinggal, cahaya temaram dari pos satpam menjadi satu-satunya penerang yang menembus pekatnya malam. Di dalam pos kecil itu, suasana terasa tegang namun penuh semangat. Anton, sang pria dengan wibawa seorang pemimpin, duduk bersandar di kursi plastik yang mulai lapuk. Di hadapannya, tiga pria yang selama ini menjadi perisai sekaligus rekan kepercayaannya: Kaisar, Vano, dan Pak Adi.Kaisar, bertubuh tegap dengan tatapan tajam seperti elang, bersandar di dinding sambil melipat tangan. Ia bukan orang yang banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu berbobot. Di sebelahnya, Vano, si lebih muda dan bersemangat, duduk di tepi meja pos, menggoyang-goyangkan kakinya, ekspresi wajahnya menunjukkan antusiasme yang nyaris tidak terkendali. Lalu ada Pak Adi yang usianya paling tua di antara mereka, tapi justru memiliki insting yang sangat tajam karena pengalaman puluhan tahun menjaga keamanan tempa
Di rumah Anton, malam mulai turun. Lampu-lampu menyala, tapi suasananya tetap suram. Kara mengurung diri di kamarnya, menolak makan malam dan bahkan tak menjawab panggilan ayahnya. Anton sendiri hanya duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah tumpukan berkas yang tak sempat disentuh. Pikirannya melayang ke Grita, ke cara perempuan itu pergi—marah, terluka, dan kecewa. Dan ia tak bisa menyalahkannya.Pintu ruang kerja diketuk pelan."Masuk," ucap Anton pelan.Pak Adi membuka pintu dan melangkah masuk dengan ragu. "Maaf, Tuan. Saya cuma mau memastikan semuanya aman."Anton mengangguk tanpa menoleh. "Terima kasih."Pak Adi berdiri beberapa detik, lalu berkata pelan, "Kalau butuh sesuatu... kami siap."Anton akhirnya menoleh, menatap satpam setianya itu. "Terima kasih, Pak Adi. Untuk semuanya."Pak Adi membalas dengan anggukan kecil lalu pergi, membiarkan Anton kembali tenggelam dalam pikirannya. Tapi tidak lama setelah itu, ponsel Anton bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak d
Setelah Grita pergi dengan emosi yang menggebu-gebu, Kara langsung masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun. Melewati Kaisar, Vano, dan Pak Adi dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Anton masih termangu selama beberapa saat ditempatnya setelah Grita dan Kara pergi, dua perempuan yang berharga baginya. Ia menghela nafas kasar, mengusap wajahnya lalu masuk ke dalam rumah. 3 penjaga rumah itu langsung mengalihkan pandangannya kearah lain tidak menatap ke Anton. Langkah pria itu terasa berat, sesekali ia juga terlihat menyugar rambutnya. Setelah Anton masuk ke dalam rumah, 3 penjaga itu langsung mendekat. "Apa kotaknya lebih baik jangan kita beritahu dulu?" tanya Vano.Pak Adi menyetujui, suasana hati Anton sedang tidak baik, akan lebih baik jika ia menenangkan dirinya dulu."Setuju, kita simpan saja dulu.""Kita perketat keamanan, firasatku akan ada kejadian yang lebih besar lagi terjadi," ujar Kaisar.Vano dan Pak Adi serentak menoleh pada Kaisar, menatap pria itu dengan waja
Semuanya terdiam, kecuali Grita dan Anton. Ucapannya mampu membuat orang-orang disekitarnya terdiam karena terkejut. Kara marah, Kaisar kecewa, yang lain syok. Kara bisa saja langsung menampar wajah wanita dihadapannya itu andaikan Vano tidak menahannya. Ia benar-benar marah, muak, dan jengkel. Kaisar juga pasti merasakan hal yang sama dengannya, tapi Kaisar lebih kecewa dan sakit hati karena dikhianati dan diselingkuhi secara terang-terangan seperti ini."Jawab jangan diam aja," desak Grita pada Anton yang tak mengatakan apapun.Kara menoleh menatap ayahnya yang terlihat susah mengambil keputusan. "Jawab, kamu pilih aku atau anakmu?" desak Grita.Kara mengernyit heran dengan pertanyaan yang tidak masuk akal itu. Bisa-bisanya dia mengucapkan hal seperti itu."Gila lo?" sinis Kara.Grita menatap sinis, "Gue nggak ngomong sama lo."Kara hendak maju tapi langsung ditahan oleh Anton. Pria itu sudah mengambil keputusan. Ia menghela nafas lalu menatap Grita tanpa ekspresi."Pergi, hubunga