Yasmin duduk berseberangan dengan Amanda. Kedua wanita itu tampak canggung pada satu sama lain.“Maaf, kalau kedatangan saya mengganggu Mbak,” ucap Yasmin memecah kesunyian di antara mereka.Amanda menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Jika Anda memiliki hati seorang wanita, sudah pasti mengerti dengan apa yang kurasakan,” ujar Amanda dengan suara yang berat.Yasmin mendongak dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku minta maaf atas nama Yuni. Jika saja aku bisa mengubah rencana mereka, tentu akan kulakukan. Aku dan Mas Radit sudah berusaha menghentikan niat mereka, tetapi … sepertinya niat Dokter Fery untuk bisa menikahi Yuni sudah bulat. Kami pun tidak bisa berbuat apa-apa.” Suara Yasmin terdengar parau. Matanya sudah basah dan Amanda bisa melihat ketulusan itu.“Iya. Mas Fery memang pantas melakukan itu. Adik Mbak sangat cantik. Jauh berbanding terbalik jika dibandingkan dengan saya,” ujar Amanda dengan suara tercekat.Yasmin menggeleng pelan. “Mungkin Dokter Fery tidak bi
“Mas, sudah pulang? Maaf, tadi aku ke luar dulu,” ucap Amanda dengan wajah tersipu malu. Dia merasa kikuk karena ditatap dengan cara seperti itu oleh suaminya.Amanda yang masih merasa kikuk sontak mengangkat wajahnya saat mendengar tawa yang tertahan. Dia menatap sang suami dengan mata yang memicing heran. Merasa bingung, kenapa lelaki itu tertawa sambil menutupi mulutnya.“Ada apa, Mas?” tanya Amanda heran. Dan bukannya menjawab, Fery malah semakin terbahak.“Kamu …aah, tidak apa-apa,” katanya sambil menggeleng dan mengibaskan tangannya., tetapi masih dengan mimik muka yang menertawakan.“Kamu habis dari mana memangnya?” tanya Fery yang terlihat dengan mimik wajah mengejek.“Aku … habis perawatan dari salon,” jawabnya malu-malu. Lalu, Fery kembali terlihat menahan tawa.“Kamu pakai bedak setebal sepuluh senti pun nggak akan membuat wajahmu jadi lebih baik. Justru itu membuatmu semakin terlihat lebih buruk. Sini, lihatlah!” Fery mendekat lalu menarik tangan sang istri menuju cermin h
Yuni melangkah sambil menubruk bahu sang kakak yang masih terpaku tak percaya dengan ucapan adiknya. Yasmin melongo dengan mulut yang terbuka. rasanya sulit untuk percaya jika ada wanita setega itu meski baru ucapan. Terlebih wanita itu bergelar adik.Yasmin mengerjap karena keributan dari ruang keluarga. Narto dan Narsih sudah siap dengan pakaian terbaik mereka. Wajah-wajah itu terlihat begitu bahagia. Namun, berbeda dengan Bu Wati. Wanita tua itu tampak kurang bersemangat, meski dirinya sudah berdandan dengan sederhana.“Kamu belum bersiap, Yasmin? Sebentar lagi, kan, kita akan berangkat ke rumah calon suami Yuni. Itu mobilnya udah siap,” kata Narsih menatap kesal pada Yasmin yang masih memakai baju tidur. Para perias masih menunggu untuk mendandani anggota keluarga. Baru Narsih saja yang didandani dengan begitu bagus. Bajunya juga senada dengan sang suami, Narto.Bu Wati yang sedari tadi dipaksa untuk dirias, tetap tak mau. Dia lebih memilih berpenampilan sederhana saja. Wanita i
“Kenapa? Kamu nggak bisa ceraikan dia? Kamu cinta ya sama dia?” Yuni langsung menuduh karena Fery tak kunjung menjawab dan hanya melongo.“Bukan begitu. Pernikahan kami itu atas keinginan orangtuaku. Mereka sangat menyayangi Amanda.”“Kalau begitu, pergi sana sama si Amanda itu.” Yuni mendelik marah.“Lho, kok malah begitu? Kamu, kan, udah tau kalau aku punya istri yang lain sejak awal. Aku bersumpah tidak pernah mencintainya, makanya kita menikah, bukan? Untuk membuat Amanda pergi dari hidupku. Bukankah begitu rencana kita sejak awal?” cecar Fery yang mulai tersulut emosinya.Yuni tersentak kaget, karena tak menyangka jika Fery akan balik marah padanya. Dia pikir Fery akan menurut dan bilang kalau dia akan segera menceraikan Amanda.“I-iya. Baiklah,” sahut Yuni pada akhirnya. “Tapi … kalau misalnya ada kesempatan baik, Mas harus segera menceraikan si Amanda itu.”“Iya, Sayang. Aku akan usahakan untuk segera mendepak dia dari hidup kita agar kita makin bahagia,” bisik Fery yang kemud
“Kenapa? Nggak sadar, ya?” katanya kembali tertawa kecil.Amanda langsung tersipu malu. Dia benar-benar malu kepergok seperti itu oleh orang yang baru dijumpainya. Namun, lelaki yang tampak begitu ramah lalu berdecak.“Rugi sekali kalau kamu mikirin orang yang bikin kamu sakit. Harusnya, kamu jadi lebih kuat dan balikin semua sakit hati kamu itu. Jangan sampai bersisa,” ucapnya tegas.Amanda menoleh pada lelaki itu dengan tatapan berbinar. Seakan mendapat sebuah asupan semangat yang begitu besar. Entahlah, padahal dia pernah mendapat saran itu dari beberapa orang, tetapi rasanya kali ini dia mendapat asupan semangat yang berbeda.“Apa dia pacar kamu?” lelaki itu kembali bertanya. Amanda hanya diam terpaku. Haruskah dia percaya pada orang yang baru pertama kali dia bertemu?Namun, entah kenapa Amanda seolah telah mengenal orang ini sejak lama.“Bu-bukan pacar. Dia … suamiku,” jawab Amanda gugup.“Ooh, kalian mau bercerai?” telisik lelaki itu lagi.Amanda menggeleng. “Be-lum. Kami belu
“Mas, nggak apa-apa, kan, kalau orangtuaku ikut pindah ke sini?” Yuni kembali mengulangi permintaannya yang sempat dia utarakan kemarin-kemarin.Fery terlihat berpikir sejenak. Sebetulnya dia tak ingin ada orang lain di rumahnya. Namun, rasanya tak enak juga menolak keinginan istri barunya itu.“Kok, kayak yang mikir gitu, sih? Nggak ikhlas ya kalau orangtuaku tinggal di sini?” sentak Yuni terdengar marah. Matanya mendelik kesal.“Bu-bukan begitu. Kita, kan pengantin baru. Aku maunya kita nikmati waktu berdua dulu untuk sementara. Kita puas-puasin mesra-mesraan. Lagian kita nggak sempet pacaran, kan? Nah, sekarang waktunya kita buat pacaran tanpa gangguan. Lagian, orangtua kamu, kan, nggak terlantar juga. mereka ada di rumahnya Radit. Nggak jauh juga dari kita,” ungkap Fery.Yuni kembali mendelik. “Ternyata kamu itu tipe laki-laki yang nggak sayang sama orang tua, ya, Mas.”“Bukan, begitu, Yun ….”“Ah, udah, ah. Kamu memang nggak sebaik Mas Adit. Dia itu selalu ngabulin permintaan is
Dua bulan berlalu. Kehidupan pernikahan Fery dan Yuni tidak bisa dibilang lancar, namun juga tidak bisa dibilang buruk. Fery banyak mengalah pada Yuni yang usianya jauh di bawahnya. Fery paham betul jika Yuni memang masih perlu bimbingan darinya. Berbeda dengan saat dia bersama Amanda, selalu wanita itu yang mengalah padanya.“Maass!” teriak Yuni dari kamar mandi. Fery yang hendak pergi ke rumah sakit pun berbalik menuju kamar mandi.“Iya, kenapa, Yun?” ucapnya sambil mengelus dada. Istri barunya ini benar-benar menguji kesabaran.“Tolong ambilkan pembalut, aku barusan dapet,” teriak Yuni terdengar merengek seperti seorang anak pada ayahnya. Fery menggeleng pelan. Seumur-umur dia belum pernah menyentuh yang namanya pembalut sebelum menikah dengan Yuni. Hanya ketika bersama dengan istri barunya itu dia bahkan harus mengurusi pembalut segala.“Iya, sebentar,” sahut Fery yang lalu menuju lemari yang berisikan barang-barang milik istrinya. Dia tahu di mana menyimpan benda itu, karena semi
Sesampainya di rumah sakit, Fery menyuruh seorang office boy untuk membelikannya makanan di kantin. Padahal biasanya saat dengan Amanda dulu, dia selalu sarapan di rumah dan sampai di rumah sakit langsung mengecek pasien ke ruangan. Namun sekarang, hidupnya terasa semakin kacau, terlebih setelah kehadiran kedua mertuanya di rumah.“Sarapan di sini lagi, Bro!” Radit yang melihat kebiasaan baru sahabatnya itu meledek.“Diem, deh, elu. Mentang-mentang punya bini perhatian, malah ngeledek,” sahut Fery yang mulai menyuap sarapannya.“Lah, bukannya Amanda dulu ngerawat elu dengan baik? Meski kalian nggak saling tergur sapa, tapi dia selalu menuhin semua kebutuhan elu, kan?” ujar Radit mengingatkan.Fery pun tersenyum miris mendengarnya. Memang benar apa yang dikatakan Radit, tetapi bila mengikuti kata hati … aah, rasanya sekarang dia tidak menemukan rasa mendingnya. Keduanya tetap terasa menjadi beban. Jika dengan Amanda dia merasa beban karena tak pernah ada rasa cinta meskipun wanita itu
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas