POV Maemunah“Hei, Bu Kardun, tunggu!” Aku berteriak sambil mengejar besanku itu. Bu Kardun seperti yang ketakutan karena terus saja berlari.Agus dan Santi juga ikut mengejar di belakang. Ibu-ibu yang ada di depan warung Bu Ipah, celingukan melihat pada kami.Bu Kardun hampir sampai di rumahnya. Dia semakin mempercepat langkahnya. Aku tak ingin sampai ketinggalan, lalu aku percepat langkah kaki. Wuussh … seperti Ultraman.“Eiit, tunggu dulu Bu Kardun.” AKu menarik tangannya yang hampir saja membanting pintu.“Apa-apaan, sih, Bu Mae ini? Kok maksa mau masuk ke rumah orang?” Bu Kardun berusaha menutup pintu rumahnya.“Tunggu dulu, kita perlu bicara.” Aku semakin mendorong pintu itu kuat-kuat hingga Bu Kardun terjengkang ke belakang. Hahaha. Puas. Itu balasan untuk penipu.“Kenapa Bu Kardun malah lari saat saya bilang mau bicara?” Aku menyeringai. “Apa karena Bu Kardun sudah menyadari kelicikan Bu Kardun pada saya dan Agus?” tuduhku.“Licik? Siapa yang licik? “ katanya sambil mundur den
Beberapa hari berlalu. Aku ketakutan. Takut jika Pak Kardun benar-benar melaporkanku ke polisi. Aku hanya berdiam diri di kamar. Setiap hari aku suruh Agus yang belanja ke warung untuk beli sayuran juga beras. Uang yang semakin minim, sisa pinjaman dari bank yang banyaknya sudah kubuang-buang untuk pesta pernikahan yang hanya berumur satu hari.Kenapa si Agus ini nasibnya buruk sekali? Umur perkawinannya selalu pendek. Cuma satu hari. Padahal pestanya ngabisin duit banyak. Pengen mewek rasanya. Mana ke bank haru tetap dibayar. Gaji Mas Undang tinggal sisa beberapa ratus ribu karena dipotong langsung oleh bank.“Bu, ada surat,” kata Mas Undang mengetuk-ngetuk pintu kamar.Surat? Dari mana? Jam segini pula. Oh, mungkin karena jauh, jadi kurirnya baru sampai jam segini.“Dari mana, Pak?” tanyaku dari atas tempat tidur.“Dari … polisi. Ini surat panggilan kayaknya,” kata Mas Undang lagi.Mampus! Ini pasti si Kardun yang udah melapor. Harus gimana ini? aku nggak mau kalau sampe dipenjara.
POV Maemunah“Ayo buruan bangun!” Mas Undang menarik tanganku lagi. Dia awalnya narik tangan Pak Didi, tapi aku ikut keangkat karena kami saling menempel.Ini kenapa, sih, bisa jadi gini? Punya Pak Didi beneran kayak kesedot gitu. Nempel di dalem gak bisa lepas. Parah. daripada begini, aku mendingan dipenjara aja, deh. Nggak terlalu malu-maluin. Kalau begini, malah jadi tontonan orang sekampung.“Nggak bisa lepas, Pak Undang. Kami nempel,” kata Pak Didi sambil meringis kesakitan. Akupun juga sama, sakit banget. Perih.“Kalau begitu kita angkut saja mereka pakai keranda mayat,” kata Mas Undang. Waduhh, edan. Apalagi orang-orang pada berteriak setuju dan terdengar orang yang lari setelah Mas Undang menyuruhnya mengambil keranda di mesjid.“Apa-apaan ini? kami ini masih hidup, bukan mayat,” ucap Pak Didi saat orang-orang mulai mengangkat tubuh kami. Kain yang menyelimuti kami hampir saja merosot kalau saja aku tidak menahannya.“Pak Didi, tahan kainnya jangan sampai lepas. Malu saya.” AK
“Ada yang lacur, Pak Dokter!” jawab salah satu warga yang mengarak.“Ada yang lacur? Lalu, kenapa bapak-bapak bawa mereka pake keranda segala? Mau dibawa ke mana?” tanya si Adit lagi. Keranda berhenti. Ah, semoga saja si Adit terus menahan mereka.“Mau dibawa ke kuburan, Pak Dokter. Biar tubuuh mereka ikutan mati kayak hati dan otaknya.” Kali ini Mas Undang yang menjawab dengan berteriak.Lalu terdengar langkah kaki mendekat dan kain hijau yang menutupiku juga Pak Didi disibak seseorang. Sebuah cahaya senter menyorot ke wajahku dan Pak Didi bergantian. Itu sepertinya si Adit yang menatap kami dengan kaget.“Astagfirullahaladzim,” ucapnya.“Mereka dempet, Pak Dokter. Hukuman yang pantas buat tukang lacur!” seru orang-orang.“Bapak-bapak mau menaruh mereka di kuburan? Itu sangat tidak berperikemanusiaan. Mereka dibawa ke sana tanpa pakaian dan dalam keadaan menyatu seperti ini. bagaimana kalau ada binatang melata atau binatang liar lainnya yang membahayakan?”“Biarkan saja, Pak Dokter.
“Ini semua gara-gara kamu, Yasmin!” teriak mantan mertuaku itu. Aku tersentak kaget.“Semua kesialanku berawal dari kamu! Agus dipenjara, kehilangan pekerjaannya, lalu harus kawin sama si Lilis. Semua menjadi mengarah pada kesialan yang kualami. Kamulah penyebab semua itu!” teriaknya membuat aku menjauh karena ketakutan.“Bu Mae mau diobati atau tidak?” bentak Mas Adit marah. “Kalau Bu Mae ingin seperti itu sampai nanti, ya sudah saya suruh saja Pak Undang untuk bawa Bu Mae ke kuburan. Biar di sana kalian ditemani demit dan ular,” ujar Mas Adit terdengar mengancam. Aku ingin tertawa melihat raut wajahnya yang terlihat serius.“Kamu ini tidak tau diri, Mae! Kalau seandainya Dokter Radit tidak menahanku, aku sudah membawamu ke kuburan dan membiarkan kalian mati kedinginan di sana. semogaa dipatok ular sekalian!” teriak Pak Undang, mantan bapak mertuaku. Saking marahnya, dia bahkan memannggil istrinya itu hanya dengan nama.“Kamu ini, bukannya berterima kasih sama Dokter Radit, malah mak
POV MaemunahAku pulang terpaksa pinjem bajunya si Yasmin. Males sebenernya, tapi mau gimana lagi, daripada mesti telanjang dan jadi tontonan orang-orang lagi.Untung saja si Adit bisa nolong kami sampai bisa lepas. Ternyata semua itu karena aku ketakutan katanya. Aku sudah suudzon kalau-kalau sudah diguna-guna sama Mas Undang. Ternyata tidak.“Pak Didi, sih, pake ngajakin saya begituan segala, jadinya begini, deh. Dobel jadinya tuntutan yang saya dapet.” Aku menggerutu sambil melangkah.“Ya, mana saya tahu kalau bakal begini. Kalau tau mah, saya nggak bakalan ngajakin Bu Mae. Lagian, gimana Pak Undang bisa sampe tahu kita lagi begituan ya?” tayanya. Oh iya, baru inget. Gimana Mas Undang bisa tahu kalau aku lagi indehoy sama Pak Didi? Dia juga tadi sempet bilang kalau bukan hanya sekali tahu soal ini. Jadi … ah, sebenarnya itu salahnya sendiri, kenapa ngasih aku duit sedikit. Gajinya, kan, abis dipake buat bayar cicilan ke bank. Mestinya Mas Undang sadar diri dan nyari usaha sampingan
Beruntung banget seorang Mae bisa ketemu sama Pak Didi yang baik. Udah mah sering ngasih duit, sekarang mau ngasih kontrakan juga. Baguslah. Nanti akan aku bbuktikan pada mereka, kalau Mae bisa sukses di kota.Saat adzan subuh, aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Pak Didi juga sudah siap. Dia ngajak aku untuk pergi pagi-pagi agar belum banyak orang yang bangun. Biasanya di kampung ini orang-orang mulai keluar sekitar jam 6 pagi. Ada yang pergi ke sawah, ke kebun dan juga membersihkan halaman.Dengan motor NMax-nya, Pak Didi mengantar aku ke kota. Ternyata dia punya banyak kontrakan di sana. ada sekitar 15 petak, yang kebanyakan dihuni oleh para wanita muda. Mereka cantik-cantik dan pintar dandan. Lipstiknya merah merona. Baju-baju mereka juga seksi-seksi.“Yang baru, nih, pak Didi. Semok. Laris, nih, pasti,” ujar salah seorang dari mereka yang sedang berkumpul di depan kontrakan. Aku melirik pada Pak Didi. Dia hanya mesem-mesem. Apa ini maksudnya?“Kalian mesti baik-baik sama Bu
POV YasminAku kaget dengan kabar tentang Bu Mae yang katanya dimanfaatkan oleh Pak Didi. Warga kampung Suniagara merasa geram dengan lelaki paruh baya itu. Mereka mengusir Pak Didi dan membakar rumahnya. Ternyata ada beberapa perempuan warga kampung ini yang dulu diajak kerja sama Pak Didi. Orangtua mereka baru tahu jika anak perempuannya dipekerjakan sebagai budak nafsu oleh lelaki itu.Manusia bisa lebih kejam dari binatang jika sudah berurusan dengan uang dan nafsu duniawi.Setelah Bu Mae masuk penjara karena membunuh lelaki yang hendak membeli layanannya, aku lihat Mas Agus sudah jauh berubah. Dia sering kulihat pergi ke mesjid. Aku dan Mas Adit sering bertemu dengannya di sana. Dia mengangguk sopan saat berpapasan denganku. Mungkin semua kejadian ini telah membuka mata hatinya yang selama ini kelam.“Maaf, jika dulu aku dan Ibu pernah memfitnahmu. Maaf, karena aku pernah berbuat jahat padamu. Aku tulus mengatakan ini,” katanya mendekati, ketika aku sedang menunggu Mas Adit yang