Apa? aku tersentak kaget. Jadi, ternyata Mbak Lilis beneran hamil?“Kami bawa ke sini, agar bisa dicek juga sama Dokter Radit. Apa kamu bisa tolong bilang sama dia?” pinta Mbak Santi. Aku terpaku sejenak. Namun, sedetik kemudian kembali sadar.“Baiklah, tunggu sebentar. Tapi saya harap, jika memang Mbak Lilis terbukti hamil, Mbak Lilis harus mengatakan siapa ayah sebenarnya dari bayi itu,” ujarku sebelum akhirnya berbalik menuju ke dalam.Kembali terdengar riuh ibu-ibu yang mencibir Lilis karena dia sudah berbohong juga karena telah hamil sebelum nikah.Aku mencari Mas Adit ke dalam rumah. Dia ternyata sedang sarapan dengan santainya. Sandwich telur, keju dan sayuran kesukaannya.“Mas, Mbak Lilis hamil,” kataku mendekatinya.“Ya terus kenapa? Biarin saja. Kita buktikan saja di pengadilan,” katanya lalu meneguk susu.“Bukan begitu. Mbak Lilis sudah mengakui kalau dia melakukan itu karena didesak oleh Mas Agus dan Mbak Santi. Dia bilang dia tidak hamil—““Membingungkan. Katanya hamil,
POV Maemunah“Hei, Bu Kardun, tunggu!” Aku berteriak sambil mengejar besanku itu. Bu Kardun seperti yang ketakutan karena terus saja berlari.Agus dan Santi juga ikut mengejar di belakang. Ibu-ibu yang ada di depan warung Bu Ipah, celingukan melihat pada kami.Bu Kardun hampir sampai di rumahnya. Dia semakin mempercepat langkahnya. Aku tak ingin sampai ketinggalan, lalu aku percepat langkah kaki. Wuussh … seperti Ultraman.“Eiit, tunggu dulu Bu Kardun.” AKu menarik tangannya yang hampir saja membanting pintu.“Apa-apaan, sih, Bu Mae ini? Kok maksa mau masuk ke rumah orang?” Bu Kardun berusaha menutup pintu rumahnya.“Tunggu dulu, kita perlu bicara.” Aku semakin mendorong pintu itu kuat-kuat hingga Bu Kardun terjengkang ke belakang. Hahaha. Puas. Itu balasan untuk penipu.“Kenapa Bu Kardun malah lari saat saya bilang mau bicara?” Aku menyeringai. “Apa karena Bu Kardun sudah menyadari kelicikan Bu Kardun pada saya dan Agus?” tuduhku.“Licik? Siapa yang licik? “ katanya sambil mundur den
Beberapa hari berlalu. Aku ketakutan. Takut jika Pak Kardun benar-benar melaporkanku ke polisi. Aku hanya berdiam diri di kamar. Setiap hari aku suruh Agus yang belanja ke warung untuk beli sayuran juga beras. Uang yang semakin minim, sisa pinjaman dari bank yang banyaknya sudah kubuang-buang untuk pesta pernikahan yang hanya berumur satu hari.Kenapa si Agus ini nasibnya buruk sekali? Umur perkawinannya selalu pendek. Cuma satu hari. Padahal pestanya ngabisin duit banyak. Pengen mewek rasanya. Mana ke bank haru tetap dibayar. Gaji Mas Undang tinggal sisa beberapa ratus ribu karena dipotong langsung oleh bank.“Bu, ada surat,” kata Mas Undang mengetuk-ngetuk pintu kamar.Surat? Dari mana? Jam segini pula. Oh, mungkin karena jauh, jadi kurirnya baru sampai jam segini.“Dari mana, Pak?” tanyaku dari atas tempat tidur.“Dari … polisi. Ini surat panggilan kayaknya,” kata Mas Undang lagi.Mampus! Ini pasti si Kardun yang udah melapor. Harus gimana ini? aku nggak mau kalau sampe dipenjara.
POV Maemunah“Ayo buruan bangun!” Mas Undang menarik tanganku lagi. Dia awalnya narik tangan Pak Didi, tapi aku ikut keangkat karena kami saling menempel.Ini kenapa, sih, bisa jadi gini? Punya Pak Didi beneran kayak kesedot gitu. Nempel di dalem gak bisa lepas. Parah. daripada begini, aku mendingan dipenjara aja, deh. Nggak terlalu malu-maluin. Kalau begini, malah jadi tontonan orang sekampung.“Nggak bisa lepas, Pak Undang. Kami nempel,” kata Pak Didi sambil meringis kesakitan. Akupun juga sama, sakit banget. Perih.“Kalau begitu kita angkut saja mereka pakai keranda mayat,” kata Mas Undang. Waduhh, edan. Apalagi orang-orang pada berteriak setuju dan terdengar orang yang lari setelah Mas Undang menyuruhnya mengambil keranda di mesjid.“Apa-apaan ini? kami ini masih hidup, bukan mayat,” ucap Pak Didi saat orang-orang mulai mengangkat tubuh kami. Kain yang menyelimuti kami hampir saja merosot kalau saja aku tidak menahannya.“Pak Didi, tahan kainnya jangan sampai lepas. Malu saya.” AK
“Ada yang lacur, Pak Dokter!” jawab salah satu warga yang mengarak.“Ada yang lacur? Lalu, kenapa bapak-bapak bawa mereka pake keranda segala? Mau dibawa ke mana?” tanya si Adit lagi. Keranda berhenti. Ah, semoga saja si Adit terus menahan mereka.“Mau dibawa ke kuburan, Pak Dokter. Biar tubuuh mereka ikutan mati kayak hati dan otaknya.” Kali ini Mas Undang yang menjawab dengan berteriak.Lalu terdengar langkah kaki mendekat dan kain hijau yang menutupiku juga Pak Didi disibak seseorang. Sebuah cahaya senter menyorot ke wajahku dan Pak Didi bergantian. Itu sepertinya si Adit yang menatap kami dengan kaget.“Astagfirullahaladzim,” ucapnya.“Mereka dempet, Pak Dokter. Hukuman yang pantas buat tukang lacur!” seru orang-orang.“Bapak-bapak mau menaruh mereka di kuburan? Itu sangat tidak berperikemanusiaan. Mereka dibawa ke sana tanpa pakaian dan dalam keadaan menyatu seperti ini. bagaimana kalau ada binatang melata atau binatang liar lainnya yang membahayakan?”“Biarkan saja, Pak Dokter.
“Ini semua gara-gara kamu, Yasmin!” teriak mantan mertuaku itu. Aku tersentak kaget.“Semua kesialanku berawal dari kamu! Agus dipenjara, kehilangan pekerjaannya, lalu harus kawin sama si Lilis. Semua menjadi mengarah pada kesialan yang kualami. Kamulah penyebab semua itu!” teriaknya membuat aku menjauh karena ketakutan.“Bu Mae mau diobati atau tidak?” bentak Mas Adit marah. “Kalau Bu Mae ingin seperti itu sampai nanti, ya sudah saya suruh saja Pak Undang untuk bawa Bu Mae ke kuburan. Biar di sana kalian ditemani demit dan ular,” ujar Mas Adit terdengar mengancam. Aku ingin tertawa melihat raut wajahnya yang terlihat serius.“Kamu ini tidak tau diri, Mae! Kalau seandainya Dokter Radit tidak menahanku, aku sudah membawamu ke kuburan dan membiarkan kalian mati kedinginan di sana. semogaa dipatok ular sekalian!” teriak Pak Undang, mantan bapak mertuaku. Saking marahnya, dia bahkan memannggil istrinya itu hanya dengan nama.“Kamu ini, bukannya berterima kasih sama Dokter Radit, malah mak
POV MaemunahAku pulang terpaksa pinjem bajunya si Yasmin. Males sebenernya, tapi mau gimana lagi, daripada mesti telanjang dan jadi tontonan orang-orang lagi.Untung saja si Adit bisa nolong kami sampai bisa lepas. Ternyata semua itu karena aku ketakutan katanya. Aku sudah suudzon kalau-kalau sudah diguna-guna sama Mas Undang. Ternyata tidak.“Pak Didi, sih, pake ngajakin saya begituan segala, jadinya begini, deh. Dobel jadinya tuntutan yang saya dapet.” Aku menggerutu sambil melangkah.“Ya, mana saya tahu kalau bakal begini. Kalau tau mah, saya nggak bakalan ngajakin Bu Mae. Lagian, gimana Pak Undang bisa sampe tahu kita lagi begituan ya?” tayanya. Oh iya, baru inget. Gimana Mas Undang bisa tahu kalau aku lagi indehoy sama Pak Didi? Dia juga tadi sempet bilang kalau bukan hanya sekali tahu soal ini. Jadi … ah, sebenarnya itu salahnya sendiri, kenapa ngasih aku duit sedikit. Gajinya, kan, abis dipake buat bayar cicilan ke bank. Mestinya Mas Undang sadar diri dan nyari usaha sampingan
Beruntung banget seorang Mae bisa ketemu sama Pak Didi yang baik. Udah mah sering ngasih duit, sekarang mau ngasih kontrakan juga. Baguslah. Nanti akan aku bbuktikan pada mereka, kalau Mae bisa sukses di kota.Saat adzan subuh, aku bergegas mandi dan berganti pakaian. Pak Didi juga sudah siap. Dia ngajak aku untuk pergi pagi-pagi agar belum banyak orang yang bangun. Biasanya di kampung ini orang-orang mulai keluar sekitar jam 6 pagi. Ada yang pergi ke sawah, ke kebun dan juga membersihkan halaman.Dengan motor NMax-nya, Pak Didi mengantar aku ke kota. Ternyata dia punya banyak kontrakan di sana. ada sekitar 15 petak, yang kebanyakan dihuni oleh para wanita muda. Mereka cantik-cantik dan pintar dandan. Lipstiknya merah merona. Baju-baju mereka juga seksi-seksi.“Yang baru, nih, pak Didi. Semok. Laris, nih, pasti,” ujar salah seorang dari mereka yang sedang berkumpul di depan kontrakan. Aku melirik pada Pak Didi. Dia hanya mesem-mesem. Apa ini maksudnya?“Kalian mesti baik-baik sama Bu
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas