“Eh, Bu Badru, enak aja kalau ngomong. Kamu salah lihat, kali, atau lupa. Kapan aku ambil baju dari kamu?” ibunya Mas Agus langsung marah saat ditegur oleh ibu-ibu yang disebut Bu Badru. Namun, Bu Badru tak mau kalah. Dia semakin berani menarik baju yang sedang dikenakan oleh mantan ibu mertuaku.“Salah lihat? Lupa? Apanya yang lupa? Bu Mae, kan, baru tadi siang datang ke rumah saya buat ngambil baju. Nggak mau pake DP. Mana langsung dipake segala. Nggak malu apa? Bilangnya aja banyak duit, buat uang DP aja kagak sanggup.” Bu Badru mendongak dengan wajah menantang.Aku dan dr.Radit salling melempar pandang. Aneh rasanya di hajatan orang mereka malah bertengkar. Dan kini mereka malah saling menarik jilbab masing-masing. Bu Mae mendorong kuat tubuh Bu Badru yang gempal hingga mau terjengkang. Namun, Bu Badru mempertahankan keseimbangannya dengan memegang pada baju Bu Mae. Kain brokat itu rupanya tidak kuat menahan beban tubuh Bu Badru yang besar hingga ….Sreettt.Baju yang sedang mer
“Emmh, sebenernya, sih, saya nggak berani. Tapi … buat Bu Mae saya tawar 2 juta setengah. Gimana?” tawarnya lagi.Waah, lumayan ini bisa naik 500 ribu. “Ok, lah. DP-in dulu sini, 500 ribu. Nanti saya bawa burungnya ke sini.” Aku berbisik lagi.“Ok.” Pak Didi merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet yang tebal. Wuiihh, terlihat deretan duit merah berjejal di sana. Keren juga Pak Didi, nggak kayak suamiku yang ngasih duit jarang-jarang.Aku bergegas pulang setelah mendapat lima lembar berwarna merah dari Pak Didi. Saat tiba di rumah, ternyata burung itu sedang siap-siap dimasukan ke dalam rumah oleh suamiku.“Jam segini masih saja ngurusin burung. Si Minul aja dimandiin, yang punyanya masih dekil,” sindirku. Suamiku langsung menoleh.“Kenapa bajumu sobek begitu, Bu?” tanyanya heran.“Digigit anjing gila,” jawabku ketus. “Udah sana, mandi. Kagak usah ngurusin aku.” Aku mengusirnya.“Iya, bentar, masukin dulu si Minul,” katanya.“Halah, ntar aja. Aku pengen lihat secantik apa si Min
POV Maemunah“Bu, Bu.” Terdengar suara Mas Undang sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Emangnya aku kenapa tadi?Aku mengerjapkan mata sambil mengingat-ingat kejadian sebelum pingsan.Si Minul. Astaga. Aku berasa pengen kembali pingsan tapi tidak bisa. Pokoknya aku harus ambil lagi itu burung, bagaimanapun caranya. Enak saja si Pak Didi beli burung itu dengan setengah harga. Pantesan dia ijo saat aku bilang si Minul mau dijual.“Ibu kenapa pingsan segala?” tanya Mas Undang. Harus jawab apa coba?“Aku … aku kaget waktu kamu bilang soal harganya si Minul, sementara dia sudah hilang,” jawabku setengah berbohong.Mas Undang mengambilkanku segelas air dan aku langsung menghabiskannya. Haus juga tadi abis makan Lemonilo belum minum, langsung pingsan.Pokoknya aku harus menyusun rencana agar si Minul balik lagi ke tanganku. Apapun caranya. Malam ini, aku mau ambil lagi itu si Minul. Soal uangnya, nanti saja aku balikin kalau si Minul udah beneran laku 5 juta. Atau … aku bikin aja drama seol
“Bu, usahakan biar aku secepatnya keluar dari sini. Nggak enak banget hidup di penjara,” katanya terdengar marah.“Ya, mau keluarin kamu pake apa? Ibu udah gak punya duit. Perhiasan juga habis.”“Jual apa, kek. Bapak, kan, masih ada tanah di belakang rumah. Jual aja itu,” katanya dengan enteng.“Kenapa kamu nggak jual mobil atau rumah kamu aja, Gus?”“Rumah yang mana? Selama ini, kan, aku cuman ngontrak. Mobil juga masih cicilan. Gimana mau dijual?” ungkapnya kesal.“Pokoknya, aku minta Ibu sama Bapak keluarkan aku secepatnya dari sini!” Agus berteriak sebelum sambungan telepon akhirnya ditutup.Gus … Gus, ada-ada aja hidupmu itu, Gus. Bukannya bikin bangga orangtua, ini malah bikin malu.**POV Yasmin.Aku melirik pada dr.Radit setelah wanita itu pergi. Apa benar yang dia katakan jika dr.Radit meninggalkannya dalam keadaan hamil? Sulit rasanya untuk percaya, mengingat dia begitu baik padaku selama ini.Ataukah karena ada satu hal yang membuat mereka tidak bisa menikah? Lalu, haruska
POV Vira“Bagus ya pemandangannya. Pasti cocok untuk berbulan madu nanti,” bisik Adit yang memelukku dari belakang. Aku ikut acara yang diadakan oleh teman-temannya Adit. Mereka menyewa vila di Bali. Pemandangannya indah, dengan kolam renang yang seperti berada di lereng bukit dengan pemandangan hutan yang hijau.“Nanti malam mereka mau ngadain acara api ungun di tepi pantai sambil barbeque-an,” katanya lagi. Aku menjawab dengan gumaman.“Hidup di kampung itu senyaman ini. Udaranya sejuk dan masih segar. Cocok untuk hidup di masa tua nanti dengan anak-anak kita.” Dia kembali berceloteh. Aku tahu ke mana arah pembicaraannya itu. Merayuku agar mau pindah ke kampungnya.“Aku kira kamu ngajak aku pindah ke Bali,” sindirku sambil tertawa kecil. Dia pun ikut tertawa.“Aku punya sebuah mimpi di masa depan. Membuat sebuah klinik di desa, membawamu ke sana dan kita hidup dengan ibuku dan anak-anak kita.”“Tak bisakah kau tidak menyangkutpautkan ibumu dengan masa depan kita?” potongku cepat.
“Hamil? Hah, yang benar saja. Aku yakin jika kamu pasti melakukannya bukan hanya denganku saja. Please, Vira. Jangan menganggapku seperti orang bodoh. Aku tahu wanita-wanita seperti kamu ini. menjebakku untuk sebuah pernikahan. Shit! Jangan pernah bermimpi,” cecarnya membuatku hancur seketika.Lelaki sempurna yang kuharapkan menjadi suami di masa depan. Dia berasal dari keluarga kaya dengan sebuah yayasan yang bergerak menyantuni anak yatim dan anak terlantar. Membangun sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu. Keluarganya banyak yang menjadi dokter, termasuk Jeff. Hanya saja dia adalah seorang dokter hewan.Aku tak pedulikan itu, yang jelas Jeff dan keluarganya memiliki usaha lain sebagai penghasil pundi-pundi uangnya. Usaha property juga tambang. Fix. Dia seorang lelaki sempurna untuk kujadikan suami.“Jeff, aku bersumpah kalau ini anakmu!” Aku berteriak di depan mukanya. Namun, dia hanya tersenyum malas.“Please don’t think that I’m stupid. Aku bahkan bisa menduganya, setelah aku
“Yasmin,” panggilnya ketika aku sedang membereskan pakainnya ke lemari. Aku menolehnya.“Sabtu besok aku ada acara di Garut. Teman-teman mau ngadain acara amal, sekalian berlibur,” katanya. “Apa kamu mau ikut atau di sini saja nemenin Ibu?”Hmm, sebetulnya dia lagi mengajak atau cuman basa-basi aja? Kalau aku sih, nagkapnya dia cuman berpamitan dan mengharap aku tidak ikut. Ok, baiklah. Akan aku ikuti ke mana keinginannya.“Aku di sini saja nemenin Ibu. Kasian,” jawabku mencoba memahami keinginannya.“Katakan saja, apa yang mau dibawa. Biar nanti aku siapkan.”Dr.Radit mengangguk dan menyebutkan barang apa saja yang mau dibawa.Hingga hari itu tiba dr.Radit pergi ke Garut tanpa kutemani. Bu Wati awalnya menegur dan memintaku untuk ikut. Akan tetapi, aku bilang jika aku sedang kurang enak badan jadi tak bisa ikut.Namun, sebuah kabar membuatku terluka. Mbak Lina, pacar dari temannya dr.Radit mengirimkan sebuah foto yang membuatku tercengang dan jantungku seakan berhenti berdetak.Di sa
Suara rem yang diinjak tiba-tiba dan aku jatuh terpelanting.Seorang lelaki turun dari mobil dan langsung mengecek kondisiku.“Hei, kamu tidak berhati-hati.” Dia berteriak. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeriksa kaki yang kupegangi. Kurasakan sakit. Sepertinya kakiku terkilir.Bersamaan dengan itu dr.Radit juga sampai di tempatku berada.“Yasmin, kamu tidak apa-apa?” tanyanya dan sama seperti laki-laki itu memeriksa keadaanku. Namun, aku menepis tangannya cepat.“Yasmin? Hell yea, it’s you!” pekik lelaki berkacamata hitam yang tadi menabrakku. Atau justru aku yang menabrak mobilnya, karena dia menjalankan mobilnya pelan saat memasuki area vila ini.Aku langsung menoleh padanya. Perasaan aku tidak mengenal suaranya.“Yes, those eyes,” ucapnya penuh kagum. “Akhirnya aku menemukanmu.”“Hey, adakah dokter yang bisa mengobatinya?” Dia berteriak seraya mengangkat tubuhku tanpa ragu. Sedangkan dr.Radit menatapnya heran.Aku masih bingung dengan lelaki yang membopongku ini? Siapa d
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas