POV Vira“Bagus ya pemandangannya. Pasti cocok untuk berbulan madu nanti,” bisik Adit yang memelukku dari belakang. Aku ikut acara yang diadakan oleh teman-temannya Adit. Mereka menyewa vila di Bali. Pemandangannya indah, dengan kolam renang yang seperti berada di lereng bukit dengan pemandangan hutan yang hijau.“Nanti malam mereka mau ngadain acara api ungun di tepi pantai sambil barbeque-an,” katanya lagi. Aku menjawab dengan gumaman.“Hidup di kampung itu senyaman ini. Udaranya sejuk dan masih segar. Cocok untuk hidup di masa tua nanti dengan anak-anak kita.” Dia kembali berceloteh. Aku tahu ke mana arah pembicaraannya itu. Merayuku agar mau pindah ke kampungnya.“Aku kira kamu ngajak aku pindah ke Bali,” sindirku sambil tertawa kecil. Dia pun ikut tertawa.“Aku punya sebuah mimpi di masa depan. Membuat sebuah klinik di desa, membawamu ke sana dan kita hidup dengan ibuku dan anak-anak kita.”“Tak bisakah kau tidak menyangkutpautkan ibumu dengan masa depan kita?” potongku cepat.
“Hamil? Hah, yang benar saja. Aku yakin jika kamu pasti melakukannya bukan hanya denganku saja. Please, Vira. Jangan menganggapku seperti orang bodoh. Aku tahu wanita-wanita seperti kamu ini. menjebakku untuk sebuah pernikahan. Shit! Jangan pernah bermimpi,” cecarnya membuatku hancur seketika.Lelaki sempurna yang kuharapkan menjadi suami di masa depan. Dia berasal dari keluarga kaya dengan sebuah yayasan yang bergerak menyantuni anak yatim dan anak terlantar. Membangun sekolah untuk anak-anak yang kurang mampu. Keluarganya banyak yang menjadi dokter, termasuk Jeff. Hanya saja dia adalah seorang dokter hewan.Aku tak pedulikan itu, yang jelas Jeff dan keluarganya memiliki usaha lain sebagai penghasil pundi-pundi uangnya. Usaha property juga tambang. Fix. Dia seorang lelaki sempurna untuk kujadikan suami.“Jeff, aku bersumpah kalau ini anakmu!” Aku berteriak di depan mukanya. Namun, dia hanya tersenyum malas.“Please don’t think that I’m stupid. Aku bahkan bisa menduganya, setelah aku
“Yasmin,” panggilnya ketika aku sedang membereskan pakainnya ke lemari. Aku menolehnya.“Sabtu besok aku ada acara di Garut. Teman-teman mau ngadain acara amal, sekalian berlibur,” katanya. “Apa kamu mau ikut atau di sini saja nemenin Ibu?”Hmm, sebetulnya dia lagi mengajak atau cuman basa-basi aja? Kalau aku sih, nagkapnya dia cuman berpamitan dan mengharap aku tidak ikut. Ok, baiklah. Akan aku ikuti ke mana keinginannya.“Aku di sini saja nemenin Ibu. Kasian,” jawabku mencoba memahami keinginannya.“Katakan saja, apa yang mau dibawa. Biar nanti aku siapkan.”Dr.Radit mengangguk dan menyebutkan barang apa saja yang mau dibawa.Hingga hari itu tiba dr.Radit pergi ke Garut tanpa kutemani. Bu Wati awalnya menegur dan memintaku untuk ikut. Akan tetapi, aku bilang jika aku sedang kurang enak badan jadi tak bisa ikut.Namun, sebuah kabar membuatku terluka. Mbak Lina, pacar dari temannya dr.Radit mengirimkan sebuah foto yang membuatku tercengang dan jantungku seakan berhenti berdetak.Di sa
Suara rem yang diinjak tiba-tiba dan aku jatuh terpelanting.Seorang lelaki turun dari mobil dan langsung mengecek kondisiku.“Hei, kamu tidak berhati-hati.” Dia berteriak. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeriksa kaki yang kupegangi. Kurasakan sakit. Sepertinya kakiku terkilir.Bersamaan dengan itu dr.Radit juga sampai di tempatku berada.“Yasmin, kamu tidak apa-apa?” tanyanya dan sama seperti laki-laki itu memeriksa keadaanku. Namun, aku menepis tangannya cepat.“Yasmin? Hell yea, it’s you!” pekik lelaki berkacamata hitam yang tadi menabrakku. Atau justru aku yang menabrak mobilnya, karena dia menjalankan mobilnya pelan saat memasuki area vila ini.Aku langsung menoleh padanya. Perasaan aku tidak mengenal suaranya.“Yes, those eyes,” ucapnya penuh kagum. “Akhirnya aku menemukanmu.”“Hey, adakah dokter yang bisa mengobatinya?” Dia berteriak seraya mengangkat tubuhku tanpa ragu. Sedangkan dr.Radit menatapnya heran.Aku masih bingung dengan lelaki yang membopongku ini? Siapa d
“Apa kamu tidak perlu ke rumah sakit?” sepertinya dia masih khawatir. Aku gegas menggeleng.“Tidak, kakiku sudah membaik.”“Ok, aku akan berikan kamarku buat kamu. Aku diberikan kamar paling bagus, semoga membuatmu lebih baik,” katanya.“Tidak usah Kak Jeff. Aku bukan tamu di sini. Mungkin aku akan pulang saja.” Aku memotong kalimatnya. Namun, Kak Jeff menggeleng kuat.“No, no. kamu harus istirahat malam ini. Aku bisa tidur di sini. Aku sudah terbiasa jika menginap di shelter. Kamu yang lebih membutuhkannya. Ayo, aku antar.” Dia mengulurkan tangannya.“Aku sangat merepotkan,” ucapku tak enak hati.“No, of course not. Aku berikan itu sebagai hadian pertemuan kita. Ayo,” ajaknya lagi. Aku mencoba bangkit dan KAk Jeff gegas membantuku. Dr.Radit juga gegas mendekat tapi aku tak menghiraukannya.Hatiku sudah terlanjur kebas dengan semua sikap dinginnya selama ini. bukan hanya dia, akupun bisa berlaku sama.“Biar aku saja,” kata dr.Radit.Kak Jeff melempar tatapan heran pada lelaki itu.“Ak
“Bisakah kamu ceritakan bagaimana kamu memutuskan untuk menikah?” tanya Jeff. Kini dia duduk di kursi samping ranjang di mana Yasmin berbaring. Wajahnya tampak begitu penasaran. Gerakan tangannya bahkan terbaca jika dia ingin menggenggam jemari sang wanita.“Ini cerita yang panjang dan lucu,” jawab Yasmin menerawang. “Sebelumnya aku menikah dengan lelaki yang buruk. Mas Agus namanya. Bahkan di hari pertama pernikahanku, aku diceraikannya hanya karena make up.”“What the hell?” pekik Jeff marah mendengar wanita pujannya disakiti. “Kalian bahkan belum?” Jeff membentuk tanda kutip dengan jarinya.Yasmin tertawa kecil sambil menggeleng. “Oh, thanks God,!” ucap Jeff.“Lalu dengan dr.Radit, bagaimana ceritanya kalian menikah dan lalu kamu bilang jika pernikahan kalian hanya pura-pura?” telisik Jeff lagi.“Dia yang menyelamatkan aku dari kejahatan Mas Agus. Dia menikah hanya untuk melindungiku. Dengan kata lain, kami menikah tanpa cinta.” Bola mata Yasmin bergerak dan menatap Jeff yang seda
“Aku tahu jika kamu masih mencintaiku, Adit. Jujur saja,” tebak Vira dengan kekehan mengejek.“Jangan terlalu percaya diri, Vir. Aku bahkan sudah melupakanmu. Aku hanya ingin tahu, bayi siapa yang kemarin kamu kandung?” tanyanya sinis.Bayi itu sudah tidak ada di perut Vira sekarang, karena dia sudah menggugurkannya seminggu ya lalu.Vira tertawa nyaring dan diam-diam difoto oleh Lina dari jarak yang cukup jauh. Foto yang seolah menunjukan jika kedua orang itu sedang mengobrol dengan akrab. Lalu dia mengirimkannya pada Yasmin.“Apa pedulimu?” tanya Vira angkuh.“Kau hampir menjebakku dengan bayi itu, Vir. Kau berpura-pura ingin menikah denganku, padahal kamu sedang hamil saat itu. Tega sekali kamu. kenapa kamu ingin aku yang tanggungjawab? Ke mana ayahnya?” cecar Radit.Vira tersenyum miris tanpa menjawab.“Jangan bilang kalau kamu terjebak cinta semalam dan membuatmu hamil,” lanjut Radit.Vira tersenyum malas kemudian duduk di kursi rotan tak jauh darinya.“Aku kalut setelah benar-b
“Kamu mau ikut jalan-jalan ke gunung?” tanya Radit di pagi hari. Yasmin masih saja malas-malasan di kasur karena sedang tidak salat.“Ngapain?” tanya Yasmin malas.“Ya jalan, biar sehat,” balas Radit yang sudah siap dengan celana PDL dan jaket tebal. Sebuah ransel dengan peralatan camping teronggok di sudut kamar. Mereka akhirnya tidur di kamar Radit, sedangkan kamar sebelumnya Yasmin serahkan kembali pada Jeff.“Aku nggak bawa peralatan camping,” sahut Yasmin ketika melihat peralatan yang dibawa sang suami.“Nggak apa-apa. Kita nggak akan camping, kok. Hanya jalan aja.” Radit kembali jelaskan.Yasmin menggeliat lalu turun dari ranjang. “Ya sudah, aku mandi dulu,” katanya.Di luar sudah ramai orang-orang berkumpul. Jeff juga sudah siap dengan stelan yang membuatnya semakin gagah. Kacamata hitamnya bertengger di atas kepala, sementara dia asik mengotak-atik ponselnya.Radit bergegas menggenggam tangan Yasmin ketika melihat Jeff mengalihkan pandangannya dari ponsel ke Yasmin.“Hai, goo
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas