Baim mengerjap. Dibaca kembali pesan dari bunda untuk kedua kalinya. Jika bunda menanyakan Meira, itu artinya dia tak ada di panti. Jika tak balik ke panti, lantas kemana Meira pergi? Baim kembali bingung dan mulai menduga-duga. Baim tahu pasti jika Meira tak memiliki siapa-siapa selain bunda dan keluarganya. Pikiran buruk pun mulai menyesaki benak. Mungkinkah Meira pergi bersama Arya? Apakah Arya berdusta soal keberangkatannya ke Belanda? Atau mereka memang sengaja merencanakan ini semua? Baim melemparkan vas bunga di meja rias ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Rasa cemburu dan emosi itu kembali menyala setelah mendapatkan pesan dari bunda. Baim mulai menerka-nerka siapa yang datang ke panti asuhan itu. "Nggak mungkin Arya. Iya, nggak mungkin! Aku harus yakin jika dia memang sudah ke Belanda tiga hari lalu. Tiketnya pun aku tahu. Lagipula dia bukan paruh baya. Usianya saja sama denganku baru menginjak kepala tiga. Kalau memang Arya y
Baim keluar kamar setelah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam berkerah dan celana jeans di bawah lutut. Wajahnya tampak lebih segar setelah membersihkan badan. Vonny tersenyum tipis saat menatap lelaki itu sekilas. Soraya pun sempat melirik ke arahnya. Wanita itu sangat berharap jika Vonny benar-benar menjadi menantunya. Calon menantu yang selama ini diidam-idamkannya. "Sorry, Von. Agak kelelahan tadi, makanya istirahat di kamar. Gimana ibu? Pasti teramat cerewet kan?" Baim tersenyum tipis sembari melirik ibunya. "Kamu ini, sama ibu sendiri selalu dijelek-jelekkan." Soraya tersenyum kecut, sementara Vonny melebarkan senyumnya."Nggak kok, Mas. Ibu sangat ramah dan aku bersyukur bisa mengenal beliau. Sosoknya mengingatkanku pada mami yang telah tiada." Vonny menghela napas panjang lalu kembali menatap wanita paruh baya di depannya. Soraya dan Baim pun saling pandang. Keduanya tak tahu jika Vonny sudah tak memiliki ibu. "Oh, mami kamu sudah tiada?" Baim bertanya singkat. Vonny pun
Mei, hati-hati di jalan. Sampai Jogja kasih kabar ya? Biar nanti dijemput Dina. Dia baik kok, keluarganya juga sangat ramah. Aku sering dipaksa menginap di rumahnya tiap kali ke Jogja. Dia adik tingkatku saat kuliah dulu. Kami sering bertemu di perpustakaan saat itu karena sama-sama suka membaca buku. Aku sudah kasih nomor baru kamu ke dia. Bahagia di kota gudeg ya, Mei. Bukan depan aku menyusul ke sana] Pesan dari Una kembali membuat kedua mata Meira berkaca. Detik ini, Meira tak tahu bus yang ditumpanginya melaju sampai mana. Namun, dia cukup lega bisa meninggalkan ibukota yang sarat dengan luka. Berharap di kota baru nanti dia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini dimimpikannya. Suasana bus remang-remang. Supir dan kondektur sepertinya masih mengobrol lirih di kursi depan, sementara Meira dan Aldo duduk di kursi ke tiga. Meira menatap anak lelakinya yang menggeliat pelan lalu kembali meringkuk di lengannya. Tak terasa mata bening itu pun kembali berkaca. Meira tak pernah me
"Tunggu! Apa kamu pendatang di kota ini?" Pertanyaan itu membuat langkah Meira dan Aldo terhenti. Ibu dan anak itu pun membalikkan badan bersamaan. Meira mengangguk, sementara Aldo sedikit ketakutan saat melihat laki-laki itu melangkah perlahan menghampiri mereka. Jagoan kecil itu berlindung di belakang tubuh bundanya. "Apakah kalian ingin piknik ke candi Prambanan?" tanyanya kemudian. Meira menggeleng pelan. "Kalau begitu, kalian mau kemana? Ada tempat tujuan? Kalau tidak, di belakang masjid ada satu kamar khusus musafir." Laki-laki yang tadi tampak garang itu mulai menurunkan volume suaranya. Meira mendongak. Tak sengaja bersirobok dengan laki-laki di hadapannya yang kini mengangguk pelan. "Maafkan saya kalau tadi sedikit menjengkelkan. Sebagai salah satu pengurus masjid, kami memang sedikit waspada dengan tamu di masjid ini. Dua hari lalu ada musafir yang tidur di emperan masjid. Namun, saat menjelang subuh tiba-tiba kami dikagetkan dengan hilangnya kotak amal. Setelah dicek d
Sepeninggal Doni, air mata Meira luruh seketika. Dia begitu terharu dipertemukan dengan orang baik sepertinya. Gegas dia seka kedua pipinya yang basah lalu mengusap pelan punggung Aldo yang masih menyeruput kuah mienya. "Lagi, Sayang? Punya bunda masih banyak nih." Meira menunjuk mie rebus miliknya. "Iya masih banyak karena bunda belum makan." Aldo nyengir sembari meletakkan sendoknya ke mangkuk lalu meneguk air putih yang sudah disiapkan Doni tadi. "Makan, Bunda. Bunda pasti lapar. Iya kan?" "Bunda kenyang. Kalau Aldo masih lapar, makan punya bunda nih." Meira kembali menawarkan, tapi Aldo menggeleng pelan. Jagoan kecil itu tahu jika bundanya saat ini sama laparnya dengan dia. Aldo yakin bunda hanya pura-pura kenyang agar dia mau makan mie rebus milik sang bunda. Meski belum terlalu kenyang, tapi Aldo pura-pura bilang sudah kekenyangan demi melihat bundanya makan. Jagoan kecil itu tak paham apa yang terjadi di antara bunda dan ayahnya. Namun, dia mengerti jika keduanya tak bisa
"Ya Allah, ternyata Mas Baim memperkenalkan perempuan itu pada ibu," lirih Meira dengan mata berkaca. "Tak mengapa jika dia memang mencintai perempuan lain, tapi aku berharap tak secepat ini. Di saat aku masih berusaha menata hati dan mencari tempat untuk berteduh, secepat itu dia memiliki tempat berlabuh. Aku benar-benar merasa tak berharga di matanya. Apakah Mas Baim sama sekali tak merasa bersalah sudah memperlakukanku dan Aldo seperti ini? Ya Allah teganya ...." Meira kembali menitikkan air mata. [Hei, Meira. Aku yakin saat ini kamu mewek lagi. Aku kirim foto-foto itu biar kamu makin semangat untuk move on. Jangan menoleh ke belakang lagi karena itu tak ada gunanya. Bukan malah pengin lihat kamu mewek begini. Aku kenal kamu sejak lama, Mei. Aku tahu kamu berbeda dengan perempuan lain. Kamu itu kuat. Kejar mimpi dan bahagiamu di sana ya! Aku yakin di balik semua ini, Allah sudah mempersiapkan sesuatu yang indah untukmu dan Aldo. Ganbatte, Meira Althafunnisa! Salam sayang dan kecu
Tak butuh waktu terlalu lama dari masjid besar di tepi jalan raya tadi, Meira dan Aldo sudah sampai di rumah Dina. Rumah khas pedesaan berbentuk Limas dengan beragam tanaman di halaman. Meira tersenyum tipis menatap rumah yang sebagain besar berbahan kayu itu. "Ini rumah kami, Mbak. Sederhana dan penuh kenangan, makanya ibu nggak mau mengubahnya menjadi rumah kekinian." Dina nyengir saat memarkirkan motornya di samping taman. "Malah enak, Din. Damai, nyaman dan tenang khas pedesaan." Lagi-lagi Dina tersenyum tipis lalu mengajak Meira dan Aldo masuk. Ibu tiba-tiba muncul di ambang pintu. Dengan ramahnya wanita lebih dari setengah abad itu memeluk Meira dan Aldo lalu mempersilakan mereka masuk ke ruang keluarga. "Buatkan teh hangat, Din. Ada susu kotak di kulkas, Aldo pasti mau ya?" Lasmi tersenyum tipis pada Aldo yang masih bergelayut manja di lengan bundanya. Tak membalas pertanyaan Lasmi, jagoan kecil itu mendongak ke arah bundanya lebih dulu. Setelah yakin jika sang bunda mengiz
Hening. Meira berusaha meredam debar dan getar di tangannya. Dia tak ingin Aldo tahu jika saat ini ayahnya menelepon. Meira benar-benar tak ingin menengok ke belakang lagi. Dia memutuskan untuk tak menghubungi Una sementara waktu. Jika perlu, Meira akan membeli nomor baru lagi agar suaminya tak bisa menemukannya. "Meira, kenapa?" Meira sedikit terjingkat saat Lasmi memegang pundaknya. "Eh, ibu. Ini telepon dari Una. Cuma tanya sudah sampai di sini apa belum." Meira tersenyum tipis berusaha menekan kegugupannya. "Oh begitu. Ya sudah ayo sarapan dulu. Kamu pasti sudah lapar kan?" Senyum wanita itu membuat hati Meira begitu tenang. Dia merasa mendapatkan pengganti bunda dalam hidupnya, tapi saat teringat Baim, mendadak ketakutannya muncul kembali. Meira takut jika Una diancam mantan suaminya itu lalu memberikan alamat Dina padanya. Meira tak ingin melibatkan Dina dan ibunya terlampau jauh. Mereka tak ingin terus merepotkan, karena itu pula sepertinya dia lebih memilih untuk mengontra
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin
"Me-- melamar gimana, Mas? Meski kemarin saya batal menikah dengan Mas Aziz, tapi saya sudah menikah dengan orang lain. Saya sudah sah menjadi istri orang, Mas. Mana bisa main lamar aja," balas Hanum di tengah kepanikannya. Laki-laki bernama Galih, anak Juragan Gino itu tersenyum miring. Dia mendadak menarik tangan Hanum ke belakang pasar yang agak sepi karena tak ingin dilihat banyak orang. Bagas dan Ridho pun buru-buru mengikuti mereka. "Kamu menikah dengan lelaki yang nggak jelas, Num. Kenapa nggak sama aku aja? Bibit, bobot dan bebetnya jelas. Anak orang terpandang di kampung kita. Apapun yang kamu minta bakal aku turuti asalkan kamu mau menjadi istriku," ujar Galih begitu bersemangat. Hanum menarik tangannya yang dicengkeram Galih, namun laki-laki itu justru menarik tubuh Hanum hingga mengikis jarak di antara mereka. "Heh! Kamu! Lepas!" sentak Ridho sembari menunjuk Galih yang menoleh seketika. Tawa meremehkan terdengar dari bibirnya. Bukannya melepas cengkeramannya pada Hanu
"Maksud Mbak Hanum apa?" Ridho sedikit gugup lalu melirik Bagas yang masih mendelik. "Iya maksud saya, apa sebenarnya Mas Ken itu bos yang menyamar? Kalau memang kuli biasa, lantas status Mas Bagas dan Mas Ridho ini apa? Kenapa sepertinya sangat patuh pada Mas Ken? Disuruh ini itu, ke sini ke sana pun mau. Saya yakin kalau kalian nggak sekadar teman Mas Ken kan?" ujar Hanum kembali menjelaskan. Bagas bergeming, sementara Ridho tersenyum tipis. "Kami memang nggak sebatas teman, Mbak," balas Ridho yang dibarengi lirikan tajam Bagas. Asisten Ken itu takut jika Ridho benar-benar keceplosan. Pasalnya, Ken selalu bilang jika sekarang bukan waktunya untuk jujur. Dia akan cerita semuanya nanti saat Hanum diajak ke Jogja untuk bertemu keluarganya. Lagipula, Ken masih ingin membuat mertua dan iparnya itu sadar kalau kesombongan mereka hanyalah hal sia-sia. Ken berharap mereka juga sadar agar tak selalu merendahkan orang lain hanya karena penampilan ataupun pekerjaan, karena bisa jadi yang