"Beli apalagi dong, Mas? Aku nggak tahu makanan dan barang kesukaan ibu kaya apa," ucap Vonny setelah keluar dari toko kue.
"Kamu bilang dong makanan dan barang favorit ibu itu apa. Biar aku bisa cari yang kira-kira pas buat ibu. Takutnya ibu nggak suka pilihanku, aku kan jadi nggak enak, Mas." Vonny terus saja berceloteh, sementara Baim hanya membalasnya sesekali. "Ambil saja yang sesuai hatimu, ibu akan tetap menerimanya dengan baik, Von. Jangan terlalu banyak dan jangan mahal-mahal," balas Baim kemudian. "Ngasih orang tua itu harus yang terbaik, Mas." "Iya, tapi-- "Sudah. Sudah. Aku mau beliin ibu gamis dulu di toko itu ya? Kalau kamu nggak mau ikut, boleh tunggu di mobil saja. Nggak lama kok, aku segera balik." Vonny menyerahkan dua kotak kue ke tangan Baim sebelum pamit ke toko busana yang ada di seberang jalan. Hari ini adalah hari pertama Baim mengajak Vonny ke rumah. Gadis itu terlalu heboh, ingin begini dan begitu. Padahal Baim hanya menuruti permintaan ibunya untuk memperkenalkan perempuan itu secara resmi, setelah minggu lalu tak sengaja bertemu di mall. "Kamu teman kantornya Baim?" tanya Soraya waktu itu. Baim yang berdiri di sampingnya hanya membisu. Sesekali menatap ibu dan Vonny bergantian. "Iya, Tante. Saya teman kantornya Mas Baim. Bukan teman kantor sih sebenarnya karena saya cuma magang di sana. Kebetulan pemilik kantor itu sahabat papa saya. Jadi, setelah lulus kuliah bulan lalu saya diminta untuk magang di sana sebelum balik ke Jogja." Vonny cukup semringah membalas pertanyaan Soraya. "Bagus itu, Von. Masih muda harus punya semangat tinggi dalam berkarir." Soraya menambahkan. "Iya, Tante. Kebetulan nanti di Jogja papa minta saya untuk membantu kakak mengelola perusahaan keluarga, jadi mau nggak mau ya harus belajar lebih banyak." Vonny kembali tersenyum. Vonny cukup pintar mengambil hati orang lain. Sengaja sedikit memamerkan kekayaannya agar mempermudah jalannya untuk mendapatkan hati Baim. Entah mengapa Vonny merasa cocok dan nyaman dengan lelaki di sampingnya. Lelaki yang bertanggungjawab, tak neko-neko dan punya semangat tinggi untuk berkarir. Vonny merasa Baim akan menjadi pasangan yang pas untuknya, tak peduli jika dia sudah menikah sekalipun. Setelah ditinggal pergi kekasihnya setahun lalu, Vonny belum bisa membuka hati dengan lelaki manapun. Namun, saya bersama Baim selama dua bulan belakangan rasa nyaman itu pun hadir menyelusup hatinya. Rasa yang selama ini belum pernah dia dapatkan dari siapapun. Oleh karena itulah Vonny berusaha mencuri hati Baim meski dia tahu laki-laki itu terlalu kaku dan tak mudah ditaklukkan. "Wah, kamu pasti dididik dari orang tua dan keluarga yang hebat, Von. Tante bangga loh kamu mau berteman dengan Baim yang berasal dari keluarga sederhana ini." Soraya mulai melancarkan aksinya. Dia ingin tahu bagaimana tanggapan Vonny tentang Baim. "Nggak masalah, Tante. Saya biasa berteman dengan siapapun kok." Vonny sedikit salah tingkah saat Soraya menatapnya lekat. "Baim cuma sebagai asisten manager di kantornya, sementara kamu dan keluargamu di Jogja bahkan punya perusahaan sendiri. Apa mereka nggak keberatan misalkan kamu bergaul dengan orang biasa seperti Baim?" Vonny tersenyum tipis. Belum sempat menjawab, Baim pun menyela. "Ibu kenapa sih mencecar Vonny seperti itu? Namanya berteman nggak masalah dong sama siapapun. Kami hanya teman kantor, Bu. Nggak ada hubungan lebih. Masa iya kerja bareng satu kantor nggak diizinkan berteman." Baim mendengkus kesal. Baim tak nyaman dengan beragam pertanyaan Soraya yang mulai aneh menurutnya. "Iya kan ibu nggak tahu kalau kalian hanya berteman. Ibu pikir kalian berdua menjalin hubungan lebih." Soraya tersenyum tipis pada Vonny yang mulai bersemu merah. "Nggak mungkinlah, Bu. Vonny pasti sudah punya kekasih atau mungkin tunangan." Baim berucap asal. Baim mulai malas jika ibunya membahas soal pasangan. Proses perceraiannya dengan Meira saja belum kelar, ibunya sudah mulai memintanya mendekati perempuan lain. "Aku belum punya pacar kok, Mas. Apalagi tunangan. Pacaran sekali itupun putus setahun lalu karena dia ketahuan selingkuh. Setelah itu belum punya kekasih lagi." Tanpa diminta, Vonny ikut menjelaskan statusnya. "Nasib kalian ternyata sama ya. Vonny diselingkuhi kekasihnya, sementara Baim diselingkuhi istrinya. Cocok dong. Kalian pasti bahagia dan bisa saling melengkapi satu sama lain jika punya hubungan khusus." Soraya semakin terang-terangan menjodohkan Baim dengan Vonny. Soraya benar-benar merasa Vonny adalah menantu idamannya. "Benarkah begitu, Tante? Kasihan sekali Mas Baim. Kok bisa ya istrinya selingkuh? Padahal di kantor, banyak karyawan yang suka sama Mas Baim loh, Tan." "Itulah, Von. Mantan istrinya kurang bersyukur. Dia bahkan selingkuh dengan teman baik Baim sendiri. Makanya Baim sampai sefrustasi ini." Vonny manggut-manggut. Dia semakin merasa jika Baim adalah jodoh yang dikirimkan Tuhan untuknya. Penjelasan Soraya membuat Vonny semakin ingin mendapatkan Baim seutuhnya. Tak ada halangan lagi baginya untuk mencuri hati Baim karena laki-laki itu sudah single dan tak ada yang punya. Baim menghela napas. Tak ingin mendengar ibunya terus memojokkan Meira, laki-laki itu pun pamit ke kamar. Dia beralasan ingin membersihkan badan yang terasa lengket dan nggak nyaman. "Baim itu memang sedikit kaku, tapi kalau sudah cinta bakalan rela banyak berkorban. Dia juga tipe setia. Dari dulu banyak yang suka, tapi dia tetap setia sama istrinya. Kasihan dia malah diselingkuhi." Soraya kembali menjelekkan Meira di depan Vonny untuk menarik simpatinya. "Iya, Tante. Saya juga merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Kalau saja Mas Baim mau dekat dengan saya, tentu saya akan bahagia sekali. Saya merasa nyaman dan cocok jika ngobrol dengannya, Tante." Sedikit malu-malu Vonny sengaja mengatakannya. Vonny ingin memperjelas sikap Soraya apakah setuju jika Baim memiliki hubungan khusus dengannya atau justru menolak. "Bagus itu, Von. Tante juga setuju kalau kalian berhubungan apalagi sampai menikah. Nanti Tante bantu supaya hati Baim yang beku itu mulai mencair. Yang penting kamu jangan lelah mendekatinya ya?" Soraya bernapas lega. Akhirnya rencana yang dia susun selama ini akan membuahkan hasil. Dia sudah sukses menyingkirkan Meira dan kini nyaris berhasil mendapatkan Vonny yang notabene anak orang kaya. ***Baim bergeming di tepi ranjang. Dia malas keluar karena ibunya masih terus menyudutkan Meira di depan Vonny. Baim tahu Meira tak sepolos yang dia kira, tapi dia merasa tak sepantasnya ibu selalu menyudutkannya. Baim masih saja tak rela jika ibu kembali mengungkit asal usulnya yang memang terbuang di panti asuhan. [Selamat tinggal, Mas. Berbahagialah dengan dunia barumu. Aku dan Aldo juga akan bahagia dengan lembaran baru kami. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita. Sepertinya justru kamulah yang mulai bermain mata] Baim cukup shock dengan pesan dan foto yang muncul di layar handphonenya. Meira. Kekhawatirannya benar-benar terjadi. Meira tahu kebersamaannya dengan Vonny di cafe tadi. "Aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita." Baim tersenyum miring saat mengulang kalimat itu. Kata-kata yang baginya terlalu bo doh dan tak pantas dipercaya. Dua kali Baim memergoki Meira diantar pulang oleh Arya dan dua kali pula dia memaafkan kesalahannya. Bera
Baim mulai gelisah. Berulang kali mencoba menghubungi Meira, tapi berulang kali pula nomornya tak aktif. Baim memang belum sepenuhnya bisa mengikhlaskan Meira. Rasa cinta itu masih ada di dalam hatinya. Begitu pula rasa khawatir yang kini mendadak begitu terasa. Baim ingat jika tiga hari lalu Meira sempat bilang uang bulanannya habis karena diminta ibu untuk melunasi cicilan gamisnya. Hanya tersisa lima ratus ribu saja sampai akhir bulan. Itu artinya Meira tak memiliki uang cukup untuk pegangan. "Pergi kemana kamu, Mei? Apa kamu benar-benar pergi jauh seperti yang kukatakan dalam pesan itu? Apa kamu sesakit itu sampai mematikan handphonemu?" Baim bermonolog. Rasa takut mulai menelusup dalam hatinya. Dia takut jika Meira kecewa dan frustasi hingga melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Ada secuil penyesalan dalam hatinya karena sudah meminta Meira pergi sejauh mungkin agar tak bisa ditemukannya lagi. "Seharusnya aku tak seegois itu. Bagaimana mungkin aku membiarkan Meira pergi tanp
Baim mengerjap. Dibaca kembali pesan dari bunda untuk kedua kalinya. Jika bunda menanyakan Meira, itu artinya dia tak ada di panti. Jika tak balik ke panti, lantas kemana Meira pergi? Baim kembali bingung dan mulai menduga-duga. Baim tahu pasti jika Meira tak memiliki siapa-siapa selain bunda dan keluarganya. Pikiran buruk pun mulai menyesaki benak. Mungkinkah Meira pergi bersama Arya? Apakah Arya berdusta soal keberangkatannya ke Belanda? Atau mereka memang sengaja merencanakan ini semua? Baim melemparkan vas bunga di meja rias ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Rasa cemburu dan emosi itu kembali menyala setelah mendapatkan pesan dari bunda. Baim mulai menerka-nerka siapa yang datang ke panti asuhan itu. "Nggak mungkin Arya. Iya, nggak mungkin! Aku harus yakin jika dia memang sudah ke Belanda tiga hari lalu. Tiketnya pun aku tahu. Lagipula dia bukan paruh baya. Usianya saja sama denganku baru menginjak kepala tiga. Kalau memang Arya y
Baim keluar kamar setelah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam berkerah dan celana jeans di bawah lutut. Wajahnya tampak lebih segar setelah membersihkan badan. Vonny tersenyum tipis saat menatap lelaki itu sekilas. Soraya pun sempat melirik ke arahnya. Wanita itu sangat berharap jika Vonny benar-benar menjadi menantunya. Calon menantu yang selama ini diidam-idamkannya. "Sorry, Von. Agak kelelahan tadi, makanya istirahat di kamar. Gimana ibu? Pasti teramat cerewet kan?" Baim tersenyum tipis sembari melirik ibunya. "Kamu ini, sama ibu sendiri selalu dijelek-jelekkan." Soraya tersenyum kecut, sementara Vonny melebarkan senyumnya."Nggak kok, Mas. Ibu sangat ramah dan aku bersyukur bisa mengenal beliau. Sosoknya mengingatkanku pada mami yang telah tiada." Vonny menghela napas panjang lalu kembali menatap wanita paruh baya di depannya. Soraya dan Baim pun saling pandang. Keduanya tak tahu jika Vonny sudah tak memiliki ibu. "Oh, mami kamu sudah tiada?" Baim bertanya singkat. Vonny pun
Mei, hati-hati di jalan. Sampai Jogja kasih kabar ya? Biar nanti dijemput Dina. Dia baik kok, keluarganya juga sangat ramah. Aku sering dipaksa menginap di rumahnya tiap kali ke Jogja. Dia adik tingkatku saat kuliah dulu. Kami sering bertemu di perpustakaan saat itu karena sama-sama suka membaca buku. Aku sudah kasih nomor baru kamu ke dia. Bahagia di kota gudeg ya, Mei. Bukan depan aku menyusul ke sana] Pesan dari Una kembali membuat kedua mata Meira berkaca. Detik ini, Meira tak tahu bus yang ditumpanginya melaju sampai mana. Namun, dia cukup lega bisa meninggalkan ibukota yang sarat dengan luka. Berharap di kota baru nanti dia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini dimimpikannya. Suasana bus remang-remang. Supir dan kondektur sepertinya masih mengobrol lirih di kursi depan, sementara Meira dan Aldo duduk di kursi ke tiga. Meira menatap anak lelakinya yang menggeliat pelan lalu kembali meringkuk di lengannya. Tak terasa mata bening itu pun kembali berkaca. Meira tak pernah me
"Tunggu! Apa kamu pendatang di kota ini?" Pertanyaan itu membuat langkah Meira dan Aldo terhenti. Ibu dan anak itu pun membalikkan badan bersamaan. Meira mengangguk, sementara Aldo sedikit ketakutan saat melihat laki-laki itu melangkah perlahan menghampiri mereka. Jagoan kecil itu berlindung di belakang tubuh bundanya. "Apakah kalian ingin piknik ke candi Prambanan?" tanyanya kemudian. Meira menggeleng pelan. "Kalau begitu, kalian mau kemana? Ada tempat tujuan? Kalau tidak, di belakang masjid ada satu kamar khusus musafir." Laki-laki yang tadi tampak garang itu mulai menurunkan volume suaranya. Meira mendongak. Tak sengaja bersirobok dengan laki-laki di hadapannya yang kini mengangguk pelan. "Maafkan saya kalau tadi sedikit menjengkelkan. Sebagai salah satu pengurus masjid, kami memang sedikit waspada dengan tamu di masjid ini. Dua hari lalu ada musafir yang tidur di emperan masjid. Namun, saat menjelang subuh tiba-tiba kami dikagetkan dengan hilangnya kotak amal. Setelah dicek d
Sepeninggal Doni, air mata Meira luruh seketika. Dia begitu terharu dipertemukan dengan orang baik sepertinya. Gegas dia seka kedua pipinya yang basah lalu mengusap pelan punggung Aldo yang masih menyeruput kuah mienya. "Lagi, Sayang? Punya bunda masih banyak nih." Meira menunjuk mie rebus miliknya. "Iya masih banyak karena bunda belum makan." Aldo nyengir sembari meletakkan sendoknya ke mangkuk lalu meneguk air putih yang sudah disiapkan Doni tadi. "Makan, Bunda. Bunda pasti lapar. Iya kan?" "Bunda kenyang. Kalau Aldo masih lapar, makan punya bunda nih." Meira kembali menawarkan, tapi Aldo menggeleng pelan. Jagoan kecil itu tahu jika bundanya saat ini sama laparnya dengan dia. Aldo yakin bunda hanya pura-pura kenyang agar dia mau makan mie rebus milik sang bunda. Meski belum terlalu kenyang, tapi Aldo pura-pura bilang sudah kekenyangan demi melihat bundanya makan. Jagoan kecil itu tak paham apa yang terjadi di antara bunda dan ayahnya. Namun, dia mengerti jika keduanya tak bisa
"Ya Allah, ternyata Mas Baim memperkenalkan perempuan itu pada ibu," lirih Meira dengan mata berkaca. "Tak mengapa jika dia memang mencintai perempuan lain, tapi aku berharap tak secepat ini. Di saat aku masih berusaha menata hati dan mencari tempat untuk berteduh, secepat itu dia memiliki tempat berlabuh. Aku benar-benar merasa tak berharga di matanya. Apakah Mas Baim sama sekali tak merasa bersalah sudah memperlakukanku dan Aldo seperti ini? Ya Allah teganya ...." Meira kembali menitikkan air mata. [Hei, Meira. Aku yakin saat ini kamu mewek lagi. Aku kirim foto-foto itu biar kamu makin semangat untuk move on. Jangan menoleh ke belakang lagi karena itu tak ada gunanya. Bukan malah pengin lihat kamu mewek begini. Aku kenal kamu sejak lama, Mei. Aku tahu kamu berbeda dengan perempuan lain. Kamu itu kuat. Kejar mimpi dan bahagiamu di sana ya! Aku yakin di balik semua ini, Allah sudah mempersiapkan sesuatu yang indah untukmu dan Aldo. Ganbatte, Meira Althafunnisa! Salam sayang dan kecu
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,
Dengan napas berat, Hanum membuka dan membaca pesan dari perempuan itu. Perempuan yang akhir-akhir ini selalu membuatnya tak tenang bahkan berusaha memisahkannya dengan Ken.[Apa kabar, Hanum? Aku harap kamu baik-baik saja setelah melihat foto-foto yang kukirimkan kala itu]Dengan tenang, Hanum melangkah ke ruang makan lalu menarik salah satu kursi dan mendudukinya. Sebenarnya hatinya bergemuruh kesal, marah dan muak, hanya saja dia tahu siapa perempuan itu. Hanum tak ingin tersulut emosi yang hanya akan membuat perempuan bernama Clarissa itu merasa senang dan menang. Hanum akan menghadapinya dengan cara lebih elegan. [Oh, foto murahan itu? Foto yang sengaja direkayasa hanya demi menjatuhkan suamiku? Sayangnya, aku nggak terlalu peduli dengan itu semua karena toh suamiku tak sadar dengan apa yang dialaminya. Bahkan dia teramat yakin jika kamu sengaja menjebaknya. Kasihan sekali kamu, Rissa. Demi mendapatkan cinta dan perhatian suamiku sampai menghalalkan segala cara. Terlihat picik d
"Kamu kenapa lagi, Rena?! Jangan bikin ibu malu!" sentak Mawar saat melihat anak perempuannya pulang dengan tubuh sempoyongan. "Sudahlah, Bu! Aku mau istirahat. Dari semalam nggak bisa tidur, makanya jadi lemas begini," balas Rena cepat. Wajahnya memucat. Dia benar-benar seperti tak bertenaga. "Heh! Kamu ...." Mawar menghentikan kalimatnya saat melihat beberapa tetangga mulai datang menguping. Seperti biasa, mereka akan bergosip begini begitu. "Kamu minum alkohol?" Mawar menarik lengan Rena ke ruang tamu. Bau alkohol begitu menyengat,.membuat Mawar menutup hidung. Aroma tubuh anak perempuannya itu benar-benar bikin mual. Entah tidur di mana Rena semalaman, sampai membuatnya seperti itu. "Apaan sih, Bu?! Sudahlah. Nggak usah ikut campur urusanku. Sekarang aku pulang kan? Jangan ribet. Aku malas berdebat." Rena menepis tangan ibunya lalu melangkah sempoyongan menuju kamar. Ken yang masih berdiri di depan pintu kamarnya pun hanya melihat sekilas. Tak berniat bertanya karena sudah