Jari telunjuk Bang Fahad menunjuk-nunjuk di depan wajahku. Seumur-umur, aku belum pernah mendapatkan perlakuan seperti ini. Aku juga tidak mengerti kenapa laki-laki tua ini sampai membentak-bentak dan menyudutkanku. "Maksud abang apa, sih? Bisa 'kan bicara baik-baik. Gak perlu bentak-bentak!" Aku balik membentak. "Gak bisa. Saya gak bisa bicara baik-baik kalau sudah menyangkut pekerjaan. Kamu lihat berkas itu. Di situ kamu sudah menginput harga yang akhirnya diterima klien. Tapi harga yang kamu berikan salah dan selisihnya besar sehingga perusahaan menerima pembayaran yang tidak sesuai bahkan rugi!" "Saya percayakan pekerjaan itu pada kamu karena sebelumnya saya sudah memberikan file berisi apa saja yang harus kamu kerjakan. Tapi ternyata, kamu tidak mempelajari itu. Kamu malah sibuk dengan drama-drama yang kamu tonton. Pantas saja kamu menjadi perempuan bodoh yang bisa dengan mudah ditipu Rakana, kamu kebanyakan nonton drama unfaedah. Drama melow yang membuat hati gampang baper tap
"Papa gak setuju!""Mama juga!"Aku terperangah mendengar kekompakan Mama dan Papa yang menolak keinginanku untuk menggugat cerai Bang Fahad, padahal sebelumnya sudah aku jelaskan kejadian di kantor tadi dan aku sakit hati karenanya."Pernikahan kamu baru satu bulan dan kamu mau menggugat cerai? Kamu mau menjadi janda di usia 23 tahun? Setelah Fahad menjadi pengganti Rakana demi pesta bisa tetap berjalan, kamu malah ingin mengakhirinya? Yang benar saja, Chi? Setelah kami hampir malu karena pernikahan kamu akan batal. Sekarang, kamu ingin apalagi? Menyudahi pernikahan yang baru seumur jagung bahkan baru saja menetas di mana pesta yang kami laksanakan begitu mewah dan besar-besaran? Chi ... apa yang kamu pikirkan?" Mama berucap panjang lebar.Aku mendesah pelan. "Tapi, Ma ... Bang Fahad itu jahat. Dia udah bentak-bentak aku. Mama dan Papa saja gak pernah 'kan bentak-bentak dan marah-marah sama aku?""Chi, itu karena kamu salah. Pe
Mobil melaju sampai akhirnya berhenti di parkiran sebuah resto bintang lima. Bang Fahad sudah turun lebih dulu tapi aku tetap duduk di jok mobil. Aku merasa enggan untuk ke luar. Aku masih kesal pada laki-laki itu. Bertindak sesukanya dan lebih aneh bisa begitu mudahnya merebut hati Mama Papa."Chi, ayo!" Bang Fahad membukakan pintu di mana aku duduk. Namun aku menggeleng."Aku gak mau makan. Abang aja sendiri!" jawabku ketus dengan kedua tangan menyilang di depan tubuh."Kamu tuh memang sukanya dipaksa kali, ya. Sukanya digendong terus sama saya," ucapnya membuatku memutar bola mata jengah. "Ke luar, Chi. Apa mau saya gendong lagi kayak tadi di rumah Mama Papamu?""Aku gak mau ke luar. Aku gak mau makan. Abang aja sana sendiri!" sungutku tegas."Saya hitung sampai tiga. Kalau gak mau turun juga, saya gendong kamu, ya! Satu ...."Aku mengembus napas kasar. Nasib apa punya suami tukang maksa begini. S
"Aku mau tidur di kamar tamu lagi. Aku gak mau satu kamar sama Abang," jawabku akhirnya. Bang Fahad menatapku intens dengan sorot tajamnya. Seolah tidak yakin terhadap apa yang kukatakan. Aku pun mengangguk cepat sebagai bentuk jawaban atas tatapannya itu. "Saya 'kan sudah meminta kamu untuk mulai menjalani peran kita sebagai suami istri. Kenapa kamu malah ingin tidur terpisah lagi?" Satu alis Bang Fahad terangkat. "Ya gak papa. Aku gak mau aja satu kamar. Kalau Abang masih kunci kamar itu, aku gak mau maafin Abang. Aku juga gak mau pulang!" tegasku kemudian. "Aku mending pergi ke rumah kakakku." Terdengar Bang Fahad menghembus napasnya dan dari lirikan mataku, terlihat ia juga mengusap kasar wajahnya. "Ya sudah, kamu bisa tidur lagi di kamar tamu. Tapi ... kebiasaan yang sudah berjalan jangan diubah, ya?" Kali ini keningku yang mengernyit. "Kebiasaan yang mana?" tanyaku. "Kebiasaan kamu yang mulai melakukan peran sebagai istri. Setiap pagi, menyiapkan pakaian dan sarapan untuk s
"Maaf, Bang. Mungkin aku mengganggu, tapi aku memang mau lewat aja," jawab Rakana yang berdiri mungkin hanya setengah meter dari kami. Aku tak mau menatapnya. Membuatku memalingkan wajah yang menunduk sambil mengigit bibir. Bang Fahad memang tidak tahu tepat. Pagi-pagi begini dia sudah mencuri kembali ciuman dariku. Arghhh, sialan. "Lho, kamu baru berangkat? Jam berapa ini? Bisa telat nanti." "Iya, Bang. Tadi aku bangun terlambat. Semalaman Faula gak bisa tidur karena demam, jadi aku temenin dia dulu. Jam lima pagi dia baru bisa tidur, akhirnya aku telat bangun. Maaf kalau nanti aku telat di kantor ya, Bang?" Aku menghela napas pelan. Mendengar Raka menceritakan keadaan Faula, satu sudut hatiku merasa tercubit. Namun aku mencoba untuk biasa saja. Tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Terdengar Bang Fahad menyentak napas kasar. "Ya sudah, kamu ikut mobil Abang. Kita pergi barengan." "Huum. Makasih, Bang. Aku tunggu di luar kalau gitu. Mari ...." Rakana melangkah pergi menuju paga
"Jangan gila kamu, Raka. Mana mungkin kita balikan?!" Aku melotot seraya menarik tanganku sampai terlepas dari genggaman Rakana. "Kenapa gak mungkin? Kamu sudah mencintai Bang Fahad? Iya?!" Aku menggeleng tegas. "Enggak. Aku gak mencintainya sama sekali. Aku bahkan masih belajar untuk menerima pernikahan ini." "Terus, kenapa kita gak bisa balikan?" "Ya kamu pikir aja sendiri, apa pantas pengkhianat seperti kamu aku beri kesempatan dengan balikan, hah? Enak aja. Kamu yang sudah menghancurkan hubungan kita. Kamu yang sudah berselingkuh dan mempermalukan keluargaku di acara pesta pernikahan yang jauh-jauh aku rancang. Kamu udah gak punya otak, Raka?!" Aku benar-benar muak dibuatnya. Rakana menggelengkan kepalanya seraya menatapku dalam-dalam. "Tapi aku gak mencintai Faula, Chi. Aku gak mencintai dia. Aku hanya mencintai kamu dan cuma kamu yang masih bertahta di hati ini. Aku gak rela kamu jadi milik Bang Fahad. Tolong mengerti itu." Aku menarik napas panjang sepenuh dada dan mengemb
*************"Kenapa kamu? Keliatannya semringah banget?"Bang Fahad baru saja pulang. Aku menyambutnya seperti biasa dan saat ini tengah melepaskan sepasang sepatu dari kakinya, tapi ia melontarkan pertanyaan barusan."Biasa aja, kok," jawabku dan bergegas menaruh sepasang sepatunya. Kemudian langsung ke dapur dan menyiapkan segelas air putih yang kubawa pada Bang Fahad."Saya mau mandi dulu, habis itu baru makan malam," ucapnya yang lantas meneguk segelas air putihnya hingga tandas.Aku mengangguk paham. Setelah ia selesai minum, aku berdiri di belakangnya. Memijat pundak dan lehernya seperti biasa.Hingga berselang beberapa menit, Bang Fahad meminta disiapkan air hangat untuknya mandi. Tanpa banyak protes, aku bergegas segera ke kamar utama. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub karena ia meminta untuk berendam.“Air hangat sudah siap, Bang. Aku ke dapur dulu,” ucapku memberitahu setelah kembali
Aku membeku. Rakana berdiri di depan sana dengan menenteng kresek putih, wajahnya tampak tak terbaca. Ada campuran antara kaget, kesal, dan sesuatu yang lebih dalam di matanya. Aku tak bisa berkata apa-apa, terlalu terguncang dengan situasi yang terjadi. Bang Fahad perlahan berjalan mendekati adiknya, menghela napas dalam seolah enggan. Dengan tenang, ia berhadapan dengan Rakana yang masih berdiri di ambang pintu. “Maaf mengganggu, Bang,” Rakana akhirnya berbicara, meski suaranya terdengar dingin. “Aku cuma mau anter ini buat abang.” Ia menyerahkan kresek putih di tangannya pada sang kakak. Aku merasakan tatapan Rakana jatuh padaku, seperti pertanyaan tanpa kata yang menggantung di antara kami. "Kue cincin, makanan kesukaan Abang. Kebetulan tadi aku cari makan malam, gak sengaja lihat makanan ini. Aku ngide aja beliin buat Abang," jelas Rakana setelah kresek putih tadi berpindah tangan pada Bang Fahad. "Hmm, makasih. Ada lagi hal lain?" Bang Fahad bertanya dengan nada datar. Raka
Aku menggigit bibir, menahan kepanikan yang menggelegak dalam dada. Tanganku terus menekan sisi perut Bang Fahad, berusaha mengurangi pendarahan."Pa, cepat! Kita harus segera sampai!"Mobil melaju kencang membelah jalanan sepi dini hari. Mama menangis tertahan di sampingku, menggenggam tangan Bang Fahad yang kini dingin."Fahad, bertahanlah. Tolong bertahan!" isak Mama, seolah ketakutan akan kehilangan seseorang lagi setelah Mas Althaf pergi untuk selamanya.Aku menatap wajah Bang Fahad yang semakin pucat. Perasaan aneh berkecamuk dalam dadaku. Harusnya aku tidak peduli. Harusnya aku membiarkan dia mati karena kehabisan darah.Tapi saat ini, melihatnya dalam keadaan seperti ini, jujur saja aku merasa sesak. Aku kasihan padanya. Tidak tega. Apa kebencianku hanya setengah hati? Apa aku tidak benar-benar membencinya?Mobil akhirnya berhenti dengan rem mendadak di depan rumah sakit. Papa tampak buru-buru keluar untuk meminta bantuan. Dalam hitungan detik, beberapa petugas medis datang me
"Apa, Chi? Tinggal di luar negeri? Kenapa tiba-tiba kamu bicara begini?" tanya Mama dengan ekspresi terkejut."Iya, Chi. Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba sekali kamu ingin tinggal di luar negeri. Ada apa?" Papa menimpali dengan reaksi tak kalah terkejutnya.Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembusnya sekaligus. Kedua tangan terangkat meraup wajah, meremas kepala kemudian barulah menatap Mama dan Papa lagi."Mama dan Papa sudah tahu, kalau Bang Fahad ada di kota ini juga. Dia ... masih terus menemuiku, Ma, Pa. Dia masih terus saja muncul di hadapanku. Dia bersikap seolah-olah ingin menebus kesalahannya di masa lalu terhadap kita. Dan tentu saja aku marah terus-terusan bertemu dia. Mama dan Papa tahu, bagaimana aku membenci dia setengah mati. Makanya, aku ingin tinggal di luar negeri. Di tempat yang jauh dan gak akan pernah bertemu lagi dengan dia," jelasku akhirnya."Kita lebih dulu tinggal di kota ini, Chi. Kalaupun harus ada yang pergi, itu bukan kamu atau kita. Tapi, ya dia.
Pagi ini udara terasa lebih segar dari biasanya. Entah mungkin hanya perasaanku saja setelah semalam aku bisa sedikit melupakan kesedihan karena kematian Mas Althaf. Meski caranya tidak dibenarkan, tapi aku rasa itu tidak merugikan siapapun.Dengan pakaian olahraga dan earphone terpasang di telinga, aku siap keluar dari rumah untuk melakukan jogging pagi ini. Tapi belum sempat melewati pagar, Mama lebih dulu datang dan menahan kepergianku."Chi, sebentar," ucapnya dengan lembut.Aku melepas satu sisi earphone. "Ada apa, Ma?"Mama menatapku lama, seakan mempertimbangkan kata-kata yang ingin diucapkan. "Kamu pulang larut tadi malam?"Aku menghembus napas kasar. "Iya, Ma. Maaf, aku keasyikan keliling mall terus nonton di bioskopnya, enggak sadar udah larut."Mama menghela napas. "Iya, Papa juga bilang kamu pulang kemalaman karena nonton bioskop, tapi mama rasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan."
Aku melangkah cepat menuju mobil, telapak tanganku masih terasa panas setelah dua kali menampar wajah Bang Fahad. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari laki-laki itu, tak ingin mendengar suaranya, apalagi melihat wajahnya.Namun, baru saja meraih gagang pintu mobil, seseorang menarik pergelangan tanganku dari belakang. Seketika aku menoleh dan menemukan Bang Fahad yang melakukannya. Dia mencengkram pergelangan tanganku sambil menyudutkan pada badan mobil."Kamu berpikir saya merencanakan semua ini?" tanyanya dengan suara masih tenang, tapi sorot matanya menunjukkan tidak terima.Aku mendengkus, menepis tangannya dengan kasar. "Pergi dari sini! Pergi dari hadapanku!"Bang Fahad menghela napas panjang. "Chi, kamu enggak tahu betapa khawatirnya saya ketika melihat kamu tadi. Kenapa kamu berpikir kalau saya mengenal orang-orang itu?"Aku tertawa sinis. "Khawatir? Jangan pura-pura peduli, Bang! Jangan berlaku seolah-olah Abang adalah pahlawan yang sudah menyelamatkan aku malam ini. Aku tahu
Aku kembali meronta di dalam gendongan Bang Fahad, tapi dia tetap berjalan tegap hingga keluar dari area taman tanpa mengindahkan protesku. Napasku tersengal, dada terasa sesak karena emosi yang memuncak."Turunin aku, Bang! Aku bisa pulang sendiri!" seruku sambil mencari-cari pegangan berharap bisa bertumpu pada sesuatu dan menghentikan langkahnya.Bang Fahad hanya menghela napas, lalu sedikit mengeratkan lengannya agar aku tidak banyak bergerak. "Jangan banyak gerak, Chi. Nanti kaki kamu makin sakit.""Aku gak peduli! Aku lebih baik ngesot pulang daripada harus digendong Abang!" Aku menggertakkan gigi, tapi laki-laki itu tetap tak menggubrisku.Dia terus berjalan menyusuri trotoar jalanan kian menjauh dari taman. Sementara aku terus meronta meski tenagaku tak seberapa besar dan kalah telak dengan tenaga Bang Fahad."Turunin aku, Bang! Apa Abang udah gak bisa denger?!" teriakku kembali. Namun Bang Fahad tidak jug
Namun sepertinya Bang Fahad terus saja mengikuti, hingga ia berhasil menyamai langkahku lagi dan berlari tepat di lintasan di sebelahku. Akhirnya aku berhenti berlari lalu beralih menatapnya dengan pandangan penuh kebencian."Mau apalagi, sih? Gak ada tempat lain yang bisa Anda datangi selain taman ini?!" tegasku dengan memasang wajah muak yang semoga bisa ia pahami.Terdengar laki-laki itu berdehem seraya memutar tubuh hingga tak lagi berhadapan denganku. "Ini tempat umum. Siapa saja boleh ke sini, termasuk saya.""Memang, tapi aku muak bertemu Abang lagi, Abang lagi. Ngapain sih, ngikutin aku terus? Mau apa? Kita sudah selesai sejak tiga tahun yang lalu. Apalagi yang membuat Abang selalu muncul di hadapanku?" cecarku kemudian.Tampak laki-laki itu menggeleng dengan pandangan yang masih lurus ke depan, sebelum detik berikutnya berubah hingga menghadapku. "Saya mau memastikan kamu baik-baik saja, Chi."Aku mendecih kesal. "Abang buta? Abang gak lihat? Aku sekarang di hadapan Abang seh
"Aakhhh!" Aku memukul setir kemudi berulang, meluapkan kekesalan yang memenuhi hati. Entah bagaimana, Bang Fahad bisa datang dan mengacaukan niatku.Aku tahu apa yang akan kulakukan memang tidak dibenarkan, tapi sekali lagi aku tekankan, aku hanya sedang membutuhkan pelarian agar tidak tertekan atas kematian Mas Althaf. Mungkin saja, satu atau dua gelas minuman di klub malam tadi bisa menenangkan pikiranku. Tapi sialnya, Bang Fahad datang dan berlagak seperti orang suci."Memuakkan. Kenapa dia masih di kota ini? Dia juga tahu kematian Mas Althaf. Apa dia benar mengawasiku? Kalau iya, buat apa? Buat apalagi dia datang dalam kehidupanku? Aarghhh! Menyebalkan!" Aku merutuk sambil mengemudi, teringat pertemuan di klub malam tadi dengan Bang Fahad.Laki-laki yang kubenci setengah mati, sekarang justru hadir kembali dalam kehidupanku. Aku benar-benar muak.Setelah tiga tahun sebelumnya dia menghempasku seperti seonggok sampah, sekara
"Chi ... kamu mau minum? Sadar, Chiara. Itu gak baik. Minuman yang ada di sini itu beralkohol dan kamu pasti tahu kalau itu haram."Aku menatap laki-laki itu dengan pandangan muak. Amarah seketika memenuhi dada melihat sosoknya yang tiba-tiba muncul dan menghalangi apa yang hendak aku lakukan."Apa peduli kamu? Dan, ngapain kamu di sini?" tanyaku dengan rahang mengeras. Aku memang sudah memaafkan Bang Fahad atas kesalahannya, tapi bukan berarti aku bisa menerima kehadirannya kembali."Tentu saya peduli, Chi. Saya sangat peduli. Saya tahu kamu sedih atas kematian dokter Althaf, tapi tidak seperti ini caranya, Chi," ucapnya membuat telingaku rasanya panas.Kedua tanganku mengepal di sisi tubuh. "Pergi," pintaku dengan jari telunjuk mengarah ke pintu masuk.Bang Fahad tampak menggeleng. "Saya tahu kamu sedang bersedih, Chi. Saya tahu keadaan kamu sekarang tidak baik-baik saja, tapi tidak seperti ini kamu mencari pelarian. Kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi kesedihan, ada saya." Dia
POV CHIARA #Waktu tujuh hari berjalan dengan begitu lambat. Di mana setiap malamnya aku harus menghadapi kenyataan dengan adanya acara tahlilan di rumahku. Rumah yang selama satu tahun ini aku tempati bersama Mas Althaf.Tempat yang setiap sudutnya menguarkan aroma tubuh dari laki-laki itu, membuat dadaku sesak dan rasanya aku ingin menyusulnya saja.Aku tidak sanggup lebih lama menempati rumah itu seorang diri, karena setiap jengkalnya membangkitkan kenangan bersama Mas Althaf.Laki-laki yang menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang telah membawa pelangi serta semangat dalam hidupku yang semula gelap dan hancur usai kematian bayi yang sedang aku kandung karena kecelakaan.Setelah aku memutuskan untuk memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bang Fahad, setelah aku mengikhlaskan hubungan kami yang baru seumur jagung itu, aku masih baik-baik saja.Aku juga mampu menjaga kandunganku yang semula d