*************
"Kenapa kamu? Keliatannya semringah banget?"Bang Fahad baru saja pulang. Aku menyambutnya seperti biasa dan saat ini tengah melepaskan sepasang sepatu dari kakinya, tapi ia melontarkan pertanyaan barusan."Biasa aja, kok," jawabku dan bergegas menaruh sepasang sepatunya. Kemudian langsung ke dapur dan menyiapkan segelas air putih yang kubawa pada Bang Fahad."Saya mau mandi dulu, habis itu baru makan malam," ucapnya yang lantas meneguk segelas air putihnya hingga tandas.Aku mengangguk paham. Setelah ia selesai minum, aku berdiri di belakangnya. Memijat pundak dan lehernya seperti biasa.Hingga berselang beberapa menit, Bang Fahad meminta disiapkan air hangat untuknya mandi. Tanpa banyak protes, aku bergegas segera ke kamar utama. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub karena ia meminta untuk berendam.“Air hangat sudah siap, Bang. Aku ke dapur dulu,” ucapku memberitahu setelah kembaliAku membeku. Rakana berdiri di depan sana dengan menenteng kresek putih, wajahnya tampak tak terbaca. Ada campuran antara kaget, kesal, dan sesuatu yang lebih dalam di matanya. Aku tak bisa berkata apa-apa, terlalu terguncang dengan situasi yang terjadi. Bang Fahad perlahan berjalan mendekati adiknya, menghela napas dalam seolah enggan. Dengan tenang, ia berhadapan dengan Rakana yang masih berdiri di ambang pintu. “Maaf mengganggu, Bang,” Rakana akhirnya berbicara, meski suaranya terdengar dingin. “Aku cuma mau anter ini buat abang.” Ia menyerahkan kresek putih di tangannya pada sang kakak. Aku merasakan tatapan Rakana jatuh padaku, seperti pertanyaan tanpa kata yang menggantung di antara kami. "Kue cincin, makanan kesukaan Abang. Kebetulan tadi aku cari makan malam, gak sengaja lihat makanan ini. Aku ngide aja beliin buat Abang," jelas Rakana setelah kresek putih tadi berpindah tangan pada Bang Fahad. "Hmm, makasih. Ada lagi hal lain?" Bang Fahad bertanya dengan nada datar. Raka
Tidak bisa tidur, aku marathon menonton drama China dan Drakor meski melalui ponsel. Sekitar pukul sebelas malam, aku baru membenahi selimut dan hendak tidur. Namun tiba-tiba pintu kamar diketuk dan aku mencoba untuk membukanya. "Raka? Ngapain kamu?" tanyaku dengan kening mengernyit. "Bukannya kamu sudah diperingatkan gak boleh masuk rumah?" Rakana tersenyum. "Aku kangen kamu, Chi. Sakit banget lihat kamu sama Abang kayak tadi." Aku mendecak sebal. "Gak jelas banget kamu. Terserah akulah mau ngapain aja sama Bang Fahad. Aku juga gak pernah urusin kamu sama Faula mau ngapain 'kan?!" Rakana tersenyum miring. "Lihat itu, Chi," dagu Rakana terangkat mengarah pada tubuhku. Seolah tidak peduli dengan ucapanku. "Leher kamu bahkan dada kamu terbuka dengan bercak kemerahan. Aku melihat semuanya apa yang terjadi antara kamu dan Abang," jelasnya sambil menatapku lekat. "Kalau kamu bisa melihatnya. Hatiku saat ini berdarah-darah, Chi." Kedua tangan Rakana bersedekap dengan bahu menyandar pad
Aku benar-benar tidak bisa tidur jadinya. Padahal sudah jam satu dini hari tapi aku tidak bisa tidur. Akhirnya aku keluar kamar dan memilih duduk mengisi meja makan. Menikmati cake strawberry yang ada di dalam kulkas sebelumnya. Hingga beberapa saat berselang, terdengar derap langkah mendekat ke meja makan ini, membuatku menoleh dan sosok Bang Fahad yang datang. "Kamu ngapain di sini, Chi?" tanyanya, suaranya pelan namun terdengar begitu berat di telingaku. Aku sedikit terkejut. "E ... aku gak bisa tidur," jawabku sambil menghabiskan cake dalam mika plastik. Aku melirik pada Bang Fahad yang seolah memperhatikanku tanpa bicara. Aku bisa merasakan tatapan tajamnya yang menelisik, seakan mencoba mencari sesuatu di wajahku. Setelah beberapa saat, dia mendesah pelan dan melangkah makin mendekat. Berdiri di samping kursi tempatku duduk, tangannya terulur, menangkup pipiku dengan lembut. "Kamu mimpi buruk? Wajah kamu kelihatan agak … bingung," ucapnya sambil menatapku dalam-dalam. Aku me
Jam satu siang, aku baru selesai mandi dan berganti pakaian. Karena aku tidak ke mana-mana, rasanya malas untuk mandi andai tidak dipaksakan. Keluar dari kamar, aku langsung menuju dapur. Menyiapkan makanan serta minuman dingin yang kudapat dari delivery order. Aku akan menikmatinya sambil menonton televisi. Suasana rumah begitu sunyi, hanya terdengar suara denting sendok dari dapur saat ini. Aku mencicipi sedikit jus strawberry yang kupesan, rasanya yang masam dan dingin menjadi campuran rasa segar di mulut dan tenggorokan. Membuatku rileks sejenak, meski pikiranku masih berputar pada apa yang terjadi tadi pagi. Entah keberanian darimana aku sampai mencium Bang Fahad seperti tadi. Sebelum ke ruangan televisi, aku merapikan meja dapur lebih dulu. Membuatnya kembali bersih seperti semula. "Astaga!" Aku memekik. Saat berbalik, Rakana sudah berdiri di depanku yang tidak kutahu kedatangannya. Dia mengagetkanku. Hampir membuat gelas serta piring di tanganku jatuh. "Kamu ngapain, sih? K
Astaga. Rasanya oksigen dalam paru-paru ini menipis mendengar Bang Fahad memujiku begitu. Bagaimana bisa ia mengatakannya saat aku justru berpenampilan seperti ini? Sedang ketika aku percaya diri akan penampilanku sehari-hari, dia malah memojokkanku dengan mengatakan aku ini kurus dan tidak membuatnya bernafsu. Sepertinya, mata laki-laki itu kemasukan debu. Atau kecolok jarinya sendiri? Ah, entahlah. Gak penting juga buat dipikirin. "Ah, biasa aja kali, Bang," sahutku berusaha tetap cuek, meski kata-katanya justru terngiang.Bang Fahad tertawa kecil, menunduk sedikit hingga wajahnya sejajar denganku. "Kamu keliatan berbeda, Chi. Lebih … anggun."Kali ini aku tak bisa menyembunyikan senyumku. "Makasih, Bang," bisikku, tak yakin apakah dia mendengarnya atau tidak.Aku hendak kembali ke fitting room, berganti pakaian lagi dengan pakaian awal. Namun Bang Fahad menahan tanganku."Kamu pakai aja gamisnya. Price tag-nya
Makanan akhirnya tiba. Aromanya membuat perutku yang sejak tadi hanya berisik keroncongan semakin lapar. Sepiring sup hangat tersaji, sementara Bang Fahad memesan ayam panggang yang terlihat lezat. Dalam setiap suapan, ada percakapan kecil dan tawa yang kadang muncul karena candaan ringan dari laki-laki di sebelahku itu.Suasana yang awalnya terasa canggung, perlahan mencair. Aku pun tidak mengerti kenapa bisa seperti ini, lebih heran lagi, Bang Fahad terlihat lebih bebas dan ekspresif. Tidak seperti kulkas sepuluh pintu yang selama ini aku duga. Kalau seperti ini terus, sosok Rakana dalam otakku bisa tergerus. Bahkan, saat ini aku berhasil tidak mengingatnya.Seperti ini, rasanya tenang, nyaman, dan sedikit mengherankan bahwa aku juga menikmati suasana yang tercipta, tidak merasa canggung lagi.Seandainya sikap Bang Fahad sangat manis sejak pertama dia menikahiku, mungkin aku pun akan dengan mudah membuka hati. Selesai makan,
Aku keluar dari kamar Bang Fahad dengan perasaan tak karuan. Jika awalnya aku marah dan kesal karena dia selalu menciumku tanpa aba-aba dan persetujuan, entah kenapa pagi ini aku tidak bisa memahami perasaanku sendiri. Aku menggelengkan kepala seraya terus berjalan menuju kamarku dan akhirnya masuk. Aku tidak mungkin mencintai laki-laki itu dengan mudah hanya karena sentuhan-sentuhannya. Tidak mungkin. Aku bukanlah orang yang mudah menaruh hati pada seseorang. Tiba di kamar, aku langsung mandi dan berganti pakaian. Namun saat membuka lemari, stok kaos sehari-hari milikku tidak ada. Akhirnya masih dengan mengenakan bath robe, aku bergegas menuju ruang laundry di area belakang. Beberapa kaos dan blouseku memang masih menggantung di tiang jemuran. Aku pun mengambilnya satu demi satu hingga hingga selesai. "Chia!" Pundakku ditarik hingga tubuh ini berbalik. Rakana menatapku dengan tajam. "Ke mana aja kamu kemarin malam"? tanyanya dengan raut wajah seperti menahan marah. "Kemarin aku
Aku tidak memberikan jawaban. Hanya mampu menunduk hingga keheningan yang terjadi di antara kami. Sampai wajahku terangkat karena suara perut Bang Fahad memecahnya. “Ternyata saya sudah lapar,” ucapnya sambil tertawa diikuti gelengan kepala. Dia mengangkatku turun dan meminta melanjutkan satu menu masakan lagi, memberikan instruksi berikutnya sementara dirinya memindahkan makanan yang sudah piring ke meja makan. Aku masih berkutat dengan cobek dan ulekan setelah bahan sambalnya lebih dulu digoreng. Bang Fahad melarang memakai Chopper untuk meringankan pekerjaan ini, hingga tanganku rasa kebas dan juga kotor karena baru kali ini harus berjibaku dengan ulekan. “Akhhh!” Mataku terkena cipratan entah tomat atau cabe dalam cobeknya. “Kenapa, Chi?” Bang Fahad menahan tanganku yang hampir saja mengucek mata. “Perih, Bang,” jawabku dengan sebelah mata memejam. “Ya ampun. Jangan dikucek. Sini, saya bantu kamu cuci tangan dulu.” Dia menuntunku dan membantuku mencuci kedua tangan sampai
"Om Ruslan ...?" ucapku berbisik setelah tahu siapa yang memukul wajahku. Punggung tangan bergerak mengusap sudut bibir bawah yang berdarah. Pukulan tadi memang sangat keras, karena itulah sudut bibirku sampai berdarah."Mau apa kamu ke mari? Mau apa lagi?!" Om Ruslan menghardik. Dia berdiri menjulang di depanku. Wajah dengan rahang mengeras itu menunjukkan bahwa ia tengah diliputi kemarahan. "Setelah tiga tahun berlalu, untuk apalagi kamu menampakkan diri pada Chiara, hah? Belum cukup kamu menyakiti dia sebelumnya? Sekarang Chiara sudah bahagia dan melupakan masa lalu yang buruk bersama kamu. Mau apalagi kamu mengganggu putri saya?!"Aku lantas berusaha bangkit, hingga akhirnya mampu berdiri sekaligus berhadapan dengannya. "Om, saya tidak bermaksud mengganggu Chia. Saya ... ke mari karena memang ingin berbicara pada kalian——""Halah! Sudahlah Fahad, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, kami sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal dengan kamu dan kel
Minuman pesananku baru saja datang, padahal aku berniat untuk berniat. Terpaksa aku menyeruputnya meski sedikit. Karena sudah dibayar, aku pun segera bangkit. Meninggalkan meja dan buru-buru keluar dari resto itu. Masuk ke dalam mobilku lalu duduk di balik setir kemudi. Melepas masker penutup wajah serta topi.Kepala refleks bersandar pada kursi. Obrolan sepasang suami istri tadi terbayang lagi. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sana dan terus menguping semuanya. Makin lama hatiku makin nyeri mendengarnya. Bagaimana mereka tampaknya begitu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain."Chiara sudah bahagia. Apa aku pulang saja tanpa pernah menemuinya? Karena untuk apalagi aku bertemu? Chiara sudah memiliki kehidupan lain," gumamku dengan tangan mencengkram setir kemudi.Aku sendiri gamang, entah harus bagaimana. Pesan terakhir Mama adalah memintaku untuk meminta maaf pada Chiara dan keluarganya. Tapi aku tidak yakin, Chiara mau bertemu denganku, apalagi keluarganya. Aku sadar k
Aku terduduk lesu dengan kedua kaki menekuk, wajahku tenggelam di antara lengan yang bertumpu. Tak kuasa aku menahan tangis, hingga tergugu sendirian di samping pusara anakku sendiri.Apa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang? Apa yang sudah Chiara dan kandungannya lalui? Bagaimana bisa aku mengabaikan mereka hingga kenyataan saat ini benar-benar menamparku.Darah dagingku sudah tiada tanpa aku ketahui. Apa dia sakit? Atau kecelakaan? Atau hal apa yang sudah membuatnya kembali begitu cepat kepada Sang Pencipta?Aku mengangkat wajah yang basah dan mengusapnya meski belum puas menangis. Tanganku kembali terulur pada nisan dari marmer hitam itu dan mengusapnya."Assalamualaikum, Nak ...," ucapku lirih. Aku bahkan baru sadar, kalau aku belum mengucapkan salam sejak mendatangi makam ini."Ini ... papa kamu, Nak. Maaf, papa bahkan baru bisa datang sekarang. Papa pikir kamu sudah tumbuh menggemaskan, tapi ternyata ...." Bibirku rasanya kelu untuk melanjutkan.Aku berusaha untuk meredam t
Aku sudah kembali terbaring di atas ranjang rawat. Menatap langit-langit ruang rawat bercat putih terang. Satu kenyataan sudah kudapat, bahwa Chiara sudah menikah lagi. Dia sudah benar-benar melupakanku, bahkan mungkin sudah tidak mengharapkanku di hidupnya lagi. Aku pun sadar, aku sudah sangat melukainya. Kuhembus napas berat. Mencoba untuk beristirahat agar tidak terlalu mengingat Chiara lagi, terutama wajah teduhnya yang begitu manis dengan kerudungnya tadi. Membuatku gelisah dan tidak tahu malu berharap bisa melihatnya lagi. Satu jam aku sendirian di ruang rawat, berbeda dengan pasien-pasien di balik tirai sebelah yang ditembak sanak keluarganya. Hingga dokter bersama perawat datang dan mengecek kondisiku. Dokter yang berbeda, mulai memeriksa luka di bahu dan pelipisku. Hingga memberi instruksi pada perawat yang sama dengan sebelumnya untuk mengganti perban di kepalaku. "Bapak tidak mengabari saudar
Malam telah larut saat aku tiba di Malang. Kota ini begitu sunyi, hanya ada cahaya lampu jalan yang temaram menemani perjalananku menuju sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela jendela mobil, membuatku kian merasa sendirian di tengah malam yang gelap. Bahkan rinai hujan seolah menyambut kedatanganku.Aku memilih menginap di sebuah losmen sederhana. Tidak ada yang mewah, hanya tempat untukku merebahkan tubuh setelah perjalanan panjang dari kota. Setelah check-in, aku langsung menuju kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur yang terasa keras. Meski lelah, mataku tak juga terpejam. Bayangan Mama, wajah Chia, dan segala kenangan pahit terus menghantui pikiranku.Kuhembus napas kasar. Hati ini rasanya makin kacau, entah ke mana aku harus memulai pencarian nantinya. Bahkan aku tidak memiliki informasi lebih detail tentang keluarga Chiara di daerah ini.Dalam keadaan terlentang, aku meraih ponsel di meja nakas. Memandang layarnya dengan peras
Setibanya di rumah sakit, hari sudah malam. Aku langsung menuju ruang ICU di mana Mama mendapatkan perawatan intensif. Ruangan yang seharusnya steril itu, justru tampak ramai karena ada Papa, dokter dan suster di dalamnya. Aku pun masuk dan mendekat ke samping ranjang.Mama terlihat sudah membuka matanya, tapi napasnya justru tersengal dan tertahan-tahan. Aku meraih tangan Mama yang terasa begitu dingin. Aku menciumnya hingga tanpa terasa air mata menetes begitu saja, melihat keadaan Mama apalagi wajahnya yang sangat pucat."Ma ... mama harus kuat. Mama pasti sembuh dan sehat lagi," bisikku tepat di telinganya. Sementara Papa dengan matanya yang basah, terus mengusap kepala Mama."Had ... kamu harus cari keluarga Om Ruslan. Minta maaf pada mereka. Sampaikan juga permintaan maaf mama karena anak-anak mama sudah menyakiti mereka terutama Chia. Mama ... titip Rakana. Jangan biarkan dia makin tersesat. Didik dia ... agar menjadi lebih baik, Had." Suara Mama parau dan terbata-bata.Aku men
"Hari itu, aku yang menyuntikkan obat tidur saat Chia gak sadarkan diri di dalam mobilku. Aku ... memang menidurinya saat dia dalam kondisi tidak sadarkan diri. Aku terobsesi sama Chia karena aku gak rela dia mencintai Abang. Aku gak rela Chia menjadi milik Abang dan gak ada yang boleh memiliki Chia kalau aku gak bisa memilikinya. Aku yang dengan sadar merekam perbuatanku pada Chia saat dia tertidur agar Abang marah dan menceraikannya. Setelah kalian berpisah, aku bisa memilikinya kembali.""Tapi aku salah, bagaimanapun aku memohon dan mengemis, dia tetap tidak mau menerimaku lagi. Dia gak mau memberiku kesempatan. Dia dan keluarganya pergi tapi aku gagal mengikuti mereka hari itu. Aku cari-cari info tapi gak ada jejak yang bisa aku temukan. Aku kehilangan Chia, benar-benar kehilangan dia. Sampai aku mencoba mulai menerima kehadiran Faula yang sudah melahirkan. Aku mencoba berdamai dengan hubunganku bersama Faula. Hidup sebagai mana harusnya dengan Faula karena Chia gak bisa lagi aku
"Mama kenapa, Pa? Mama sakit apa?" Aku langsung memburu Papa begitu tiba di rumah sakit. Menyusul duduk di kursi tunggu sebrang ruangan ICU.Papa tampak mengusap wajahnya frustasi. Kemudian menengadahkan kepala menempel pada dinding di belakangnya. "Mama sehat-sehat aja sebenarnya, Had. Tapi ....""Tapi apa? Pa, jangan buat aku makin khawatir," pintaku cemas.Papa meraup wajah dengan kedua telapak tangannya, lalu menatapku dengan netra berembun. "Had ... apa kamu tahu Rakana di mana selama ini?"Keningku sontak mengernyit karena selama tiga tahun lamanya, baru kali ini Papa menanyakan Rakana kembali. Aku pun menggeleng. "Aku gak tahu, Pa. Aku juga gak peduli lagi dia di mana. Mungkin, dia sudah menikah dan hidup bersama Chia setelah membohongiku tiga tahun yang lalu," jawabku kemudian.Papa menoleh dan menatapku dengan tatapan tak biasa. "Bagaimana bisa kamu menduga kalau mereka menikah?"Aku mengangkat bahu malas. "Mereka masih saling saling mencintai, Pa. Sangat mungkin kalau mereka
**************TIGA TAHUN KEMUDIAN ....Drrrt Drrrt Drrrt.Aku membuka mata saat ponsel bergetar, menyala karena alarm yang disetel sebelumnya. Setelah bangun, aku segera mematikannya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cepat aku membuka resleting dari tenda yang menjadi tempatku tidur.Lapangan luas membentang. Bau tanah kering menyeruak. Beberapa tenda lain terpasang dengan jarak cukup jauh dari tempatku, menjadi pemandangan pagi ini.Satu tahun ke belakang, aku senang mendaki gunung. Apalagi saat berhasil summit di puncaknya. Rasanya hanya ada aku dan alam, menyatu dan menenangkan.Aku enggan beranjak dari dalam tenda. Aku duduk dengan kedua kaki menekuk sambil memeluk lutut. Memandangi hamparan tanah yang begitu luas di alun-alun Suryakencana saat ini.Saat sendiri seperti sekarang, aku selalu diingatkan akan sosok Chiara. Perempuan manis yang berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, tapi juga mampu menjatuhkanku tanpa ampun bersama luka yang tak berperi.Dia berselingkuh d