Nadia menatap Adam dengan mata yang sudah sembab karena menangis sedari tadi, dia langsung berhambur di pelukan Omnya. Adam membalas pelukan ponakannya dan berharap putrinya baik-baik saja. Sedangkan Rangga hanya bisa menghela napas panjang, tak lama dokter keluar dari ruang UGD sambil tersenyum menatap Rangga rekan sejawatnya.
"Bagaimana?" tanya Rangga langsung.
"Demamnya terlalu tinggi, dan dia alergi protein sapi makanya keluar ruam merah di tubuhnya," ujar Maya sambil menepuk bahu Rangga.
Adam diam terpaku, ia menatap lekat Rangga. Devan yang melihat sahabatnya hanya diam mematung mengajaknya untuk duduk sedangkan Nadia mengikuti dokter untuk mengurus kepindahan ruang rawat Sasa si bayi mungil.
Setelah Sasa di pindahkan ke ruang rawat semuanya masuk ke ruangan, hati Adam begitu pedih saat melihat tangan mungil bayi berumur satu bulan itu harus dipasang jarum Infus.
"Om, coba hubungi Tante Fani. Sasa butuh asinya sekarang," jelas Nadia yang sedang duduk di samping branker di mana tubuh kecil itu sedang berbaring.
Adam menatap Devan dan Rangga kedua pria itu mengangguk menyetujui usul dari Nadia, saat Adam menghubungi Fani nomornya sudah tidak aktif. Pria itu bergegas pergi dengan langkah panjang.
"Dasar gila!" umpat Devan saat melihat Adam pergi begitu saja.
Devan dengan berlari mengejar Adam, ia tak akan membiarkan sahabatnya itu untuk mengendarai motor sendiri.
"Dam, biar aku yang bawa motornya. kamu bilang saja minta antar kemana!" seru Devan.
"Apartemen Fani," kata Adam
Tanpa menunggu lama Devan melajukan motor sport warna hitam itu membelah jalanan ibukota. Setelah tiga puluh menit keduanya sampai di lobby apartemen tempat Adam dan Fani tinggal dulu.
"Apa kamu yakin, dia ada di dalam," kata Devan Saat Adam akan memasukan password apartemennya.
Devan tak ingin jika Adam langsung masuk akan melihat pemandangan yang akan membuatnya terpuruk nantinya. Namun, Adam tetap membukanya. Keduanya masuk sambil memperhatikan sekeliling, tetapi tiba-tiba keduanya saling tatap saat mendengar suara desahan dari kamar.
Adam mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengetat dengan wajah yang sudah memerah. Dia langsung mendobrak pintu kamar dengan kekuatan penuh hingga membuat dua orang yang sedang memadu kasih di dalam terperanjat.
Fani langsung menutup tubuhnya dengan selimut, sedangkan Raka hanya diam tanpa ada rasa bersalah. Devan yang melihat sahabatnya sudah di batas kesabaran langsung mengajaknya pergi, tetapi Adam tiba-tiba memberikan bogeman ke wajah pria yang sedang memakai kaosnya.
"Fani Santika! detik ini aku talak kamu dan sekarang kamu bebas!" seru Adam lantang membuat Fani menegang sedangkan Raka hanya tersenyum sinis sambil mengusap bibirnya yang berdarah.
Adam seakan lupa dengan tujuannya datang ke apartemen, pria itu tidak menyangka kalau wanita yang masih sah menjadi istrinya berbuat hal menjijikkan seperti tadi.
Devan menatap Adam yang terlihat berantakan, dia sudah mengira ada Raka karena melihat mobil yang tak asing terparkir tak jauh dari motor Adam tadi.
"Temani aku mencari susu kedelai buat Sasa," ajak Adam.
"Air tahu mana ada jam segini, Dam!" sahut Devan kesal.
"Cih, siapa cari air tahu," guman Adam
"Serah deh!" balasnya Devan kesal
Devan kembali mengendarai motornya menuju apotek terbesar di ibukota, Adam tanpa ragu segera turun, ia konsultasi terlebih dahulu dengan apoteker yang menghampirinya. Setelah ia mendapatkan apa yang dicarinya Adam segera menghampiri Devan.
"Sudah dapat air tahunya?" tanya Devan yang melihat Adam membawa kantong besar.
Adam tak menjawab, tetapi matanya menatap jengah sahabatnya itu. Setidaknya susu yang dibelinya cukup buat Sasa, sampai menjelang gajian nanti. Pria itu sekarang akan fokus kepada Sasa, karena rasa sakit atas apa yang ditorehkan oleh mantan istrinya begitu dalam.
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit Kedua pria itu sampai di rumah sakit. Berjalan beriringan keduanya selalu menjadi perhatian pengunjung dan para perawat wanita.
Adam perlahan membuka ruang rawat anaknya, ia begitu terkejut saat melihat Mamanya sedang menjaga Sasa.
"Mama, kenapa bisa ada di sini?" tanya Adam sambil memeluk wanita yang dari siang tadi tak dijumpainya.
"Mama mau jaga Sasa, Sayang. Hari ini Nadia harus ada operasi dadakan," ujar Mirna sambil tersenyum menatap putranya.
Wanita paruh baya itu melihat ada luka yang menganga dari tatapan putranya, walau Adam tersenyum hangat padanya, tetapi dia tahu apa yang kini dirasakan oleh Ayah satu anak itu.
"Apa kalian sudah makan?" tanya Mirna sambil menatap Adam dan Devan bergantian.
"Belum Tante, takutnya saya lagi makan Adam menggila!" gerutu Devan sembari menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di pojok ruang rawat bayi mungil itu.
Adam hanya melengos saja saat Devan mengatakan dirinya gila, ia akhirnya keluar untuk membeli makanan. Setelah Adam pergi Mirna beranjak dari duduknya, dia menghampiri Devan yang terlihat begitu lelah.
"Van, apa Adam tadi mencari Fani?" tanya Mirna sambil duduk di depan pria yang kini membetulkan posisi duduknya.
Devan menatap wanita yang sudah di anggap seperti ibunya sendiri itu hanya menganggukan kepalanya, ia juga menceritakan kalau Adam sudah menalak istrinya, karena sudah melihat perselingkuhan Fani.
Mirna hanya menarik napas panjang sembari mendesah, sedetik kemudian air matanya mengalir begitu saja membasahi wajah keriputnya. Anaknya harus menjadi duda dan membesarkan putrinya sendiri, Fani begitu tega kepada putri kandungnya sendiri.
Sebagai seorang wanita Mirna begitu membenci kalau ada seorang Ibu yang menelantarkan putri kandungnya sendiri, tetapi ini kenyataan di depan matanya saat Fani dengan senang hati meninggalkan Sasa.
Sasa cucunya yang malang harus dirawat ke rumah sakit karena alergi protein sapi, Devan yang melihat wanita paruh baya itu sedang bersandar sambil menangis dalam diam merasa iba, di saat umurnya seharusnya hanya bermain dengan cucu-cucunya. Namun, harus membantu Adam untuk membesarkan Sasa.
Bayi itu pastinya membutuhkan sosok seorang ibu, Devan beranjak dari duduknya untuk melihat malaikat kecil Adam yang sedang tertidur nyenyak. Tak lama pintu terbuka yang memperlihatkan sosok tegap berjalan menuju ke sofa di mana mamanya terlelap.
"Dam, lihat dia mirip sekali dengan mu, aku yakin dia anakmu," ujar Devan.
Adam mengerutkan dahinya, bahkan dia tidak pernah berpikir kalau Sasa anak dari pengusaha kaya itu, tetapi karena rasa penasarannya pria itu ikut memperhatikan wajah putrinya yang kini terlelap.
"Apa kamu mau tes DNA?" tanya Devan yang langsung kena centil keningnya oleh Adam.
"Aku yakin dia anakku, banyak kesamaan coba kamu lihat telinganya," ucap Adam sambil melangkah ke arah sofa karena sedari tadi cacingnya sudah demo.
Seketika tawa Devan langsung meledek membuat Sasa menangis histeris karena terkejut. Mirna yang mendengar cucunya menangis segera menghampirinya.
"cup ... cup ... cup," Kata Mirna sambil menepuk punggung cucunya pelan.
"Kamu itu jelas sedang di ruang rawat bayi, ketawa enggak bisa pelan!" umpat Adam kesal saat melihat putrinya menangis sampai wajahnya memerah.
"Sudah-sudah, jangan ribut sana pada makan dulu, biar mama buatkan susu!" seru Mirna yang mendengar anaknya ribut
Devan dan Adam akhirnya duduk bersebelahan, tanpa menunggu lama keduanya makan dengan lahap, Mirna yang melihat itu merasa lega. Namun, sedetik kemudian tiba-tiba tubuh kecil itu kejang untuk kedua kalinya. Hingga ketiganya panik, tetapi dengan gesitnya Devan langsung meminta pertolongan.
Adam lemas saat melihat mata putrinya hanya terlihat putihnya saja, kini ketiganya disuruh keluar ruangan oleh suster, Devan akhirnya harus menenangkan Ibu dan anak yang terlihat begitu khawatir menunggu dokter memeriksa Sasa.
"Cucuku malang nasibmu, Nak!" serunya sambil menangis didekapan Devan.
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Adam mondar mandir di depan pintu rawat putrinya, terlihat dari wajahnya lelaki itu begitu Khawatir. Devan semakin pusing melihat sahabatnya yang tak mau duduk. Tak lama dokter keluar sambil tersenyum menatap Adam, sambil berucap. "Mari ikut ke ruangan saya." Adam langsung berjalan mengikuti dokter yang sudah merawat anaknya itu, saat sampai di ruangan dokter ia dipersilahkan untuk duduk. "Bagaimana Dok?" tanya Adam yang sudah tidak sabar mendengarkan penjelasan dokter mengenai putrinya. Dokter wanita itu hanya bisa menarik napas panjang, ia juga terkejut saat mendengar kalau ibunya sang bayi tidak mau memberikan asinya kepada anaknya. Apa lagi sekarang balita mungil itu sedang alergi protein sapi. Semua itu ia dengan sendiri dari rekannya Nadia.
Selama dirawat selama tiga hari kondisi Sasa sudah semakin baik, bayi berumur satu bulan lebih itu terlihat lebih menggemaskan sekarang, ruam merah di tubuhnya juga sudah mulai memudar. Adam begitu antusias saat tahu kalau siang ini putrinya di perbolehkan pulang. Devan juga sudah mengurus surat perceraian Adam ke pengadilan agama, Ayah beranak satu ini mulai lagi fokus untuk mengajar lagi. Nadia yang kini masih di ruang rawat Sasa, tak hentinya tersenyum menatap sepupunya itu. Tak lama Devan dan Adam datang untuk menjemputnya. Pria itu mengambil alih menggendong putrinya dari dekapan ponakannya. "Apa semua sudah siap, Nad?" tanya Adam tak henti-hentinya mencium pipi gembul Sasa. "Sudah Om," jawabnya sambil mengambil tas kecil tempat keperluan Sasa. Ketiganya berjalan melewati lorong rumah sakit, Devan hanya menggelengkan kepala melihat Adam yang berjalan cool sambil menggendong putrinya, Sedangkan Nadia mengikuti dari belakang Adam. K
Pagi ini Adam sudah bersiap untuk menuju ke salah satu kampus yang ada di ibu kota, dia akhirnya menerima tawaran Devan. Adam merasa ini mungkin ini rezeki untuk putrinya. Tanpa ragu pria berbadan tegap itu melangkahkan kakinya menyelusuri lorong untuk mencari ruang Devan. Sedangkan pria yang dicarinya sedang berdiri santai di tengah pintu ruangannya sambil berucap, "Anda telat lima belas menit." Adam tak menjawab, ia langsung masuk ke ruangan sahabatnya itu. Devan hanya menatap jengah rekannya yang main masuk saja sebelum di suruhnya. "Ruangan mu di sebelahku, tapi ingat jangan minta pindah ke lantai dua. Itu ruangan khusus dosen wanita," jelas Devan "Apa hanya untuk wanita?" tanya Adam sambil memperhatikan ruangan Devan yang tetap rapi seperti biasa. "Aku tahu kamu seorang yang tak suka diganggu, makanya saat dekan menyuruh menyiapkan ruangan di lantai dua langsung aku cegah," kata Devan "Terimakasih sayang, jadi makin cinta," goda A
Malam harinya Adam dan keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga, walau hanya bertiga saja mereka terlihat bahagia, terkadang Mang Ujang dan istrinya juga ikut bergabung. Adam sibuk dengan laptopnya. Pria itu tidak terasa sudah hampir dua minggu mengajar di kampus barunya, tidak jarang dia menemukan kado dari para mahasiswanya. Namun, duda anak satu itu selalu mengabaikannya. Tak lama Nadia menghampirinya, gadis itu dengan manja bergelayut manja di lengan kekar Adam, hal itu membuat Neneknya hanya bisa menggeleng, terkadang Rangga saja mencibir ulah calon istrinya itu. "Ada apa?" tanya Adam yang hafal betul dengan tingkah Nadia pasti ada maunya. Gadis itu tersenyum girang saat Omnya begitu hafal keinginannya, Nadia membetulkan posisi duduknya. "Om, tadi Nadia me
Pagi harinya di ruangan seorang dosen yang selalu menjadi perbincangan mahasiswa wanita, Adam yang sedang memeriksa tugas karena jam sepuluh nanti baru ada kelas, pria itu terlalu fokus hingga tak mendengar saat pintu ruangannya terbuka oleh seseorang yang hanya menatapnya heran. Devan melemparkan amplop coklat ke meja Adam membuat yang empunya terperanjat. "Kebiasaan ketuk dulu napa!" kata Adam kesal. Adam menyingkirkan amplop coklat itu ke lacinya, hal itu membuat Devan hanya mencibirnya. "Kamu enggak mau lihat apa isinya, Dam?" tanya Devan sambil menatapnya intens. "Untuk apa?" tanya Adam dingin. "Siapa tahu mau minta rujuk lagi," balas Devan yang langsung kena lempar pena oleh Adam.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tanpa terasa sekarang Sasa sudah berumur tiga tahun, bocah kecil itu sedang berlari-lari di taman belakang rumah Neneknya. Adam yang baru pulang langsung mencari putri kecilnya di kamar hingga ia bertemu dengan Bik Imah. "Bik, Sasa mana?" tanya Adam sambil melihat sekeliling ruang keluarga. "Sedang di taman sama Ibu, Den." Jawab bik Imah sambil tersenyum. Adam dengan langkah cepat menuju taman belakang, melihat Ayahnya datang gadis kecil itu berlari ke arah Adam. "Hoe ... hoe.... Ayah sudah pulang!" teriak Sasa sambil berlari. Adam langsung berjongkok mensejajarkan dengan tubuh putrinya. Pria itu begitu games langsung mencium kedua pipi gembul Sasa.
Sore pun tiba di mana mereka mempunyai tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh bapak, Ririn harus menyiapkan makan malam. Rini bagian mencari rumput buat makan kambing sedangkan Reno dan Rey memasukkan kambing ke kandang. Tadi saat pulang dari sekolah, Ririn melihat ada terong ungu rencana akan di kukus nanti makanya di colek pakai sambal saja. Keluarganya berjumlah enam orang sedangkan ayamnya bertelur cuma dua butir hari ini Ririn ingat pesan mamak nanti goreng saja telurnya buat adikmu, tapi gadis itu tidak tega kalau bapak dan mamak makannya hanya pakai sayur dan sambal. Ririn memecahkan telur ayam yang hanya dua butir itu, kemudian segera menggorengnya buat lauk malam ini. Tidak lupa sambal korek pesanan bapak dan pucuk ubi rebus untuk pelengkapnya di tambah terong.
Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam. Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri. "Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri. Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi. Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat t
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan