Selama dirawat selama tiga hari kondisi Sasa sudah semakin baik, bayi berumur satu bulan lebih itu terlihat lebih menggemaskan sekarang, ruam merah di tubuhnya juga sudah mulai memudar. Adam begitu antusias saat tahu kalau siang ini putrinya di perbolehkan pulang.
Devan juga sudah mengurus surat perceraian Adam ke pengadilan agama, Ayah beranak satu ini mulai lagi fokus untuk mengajar lagi.
Nadia yang kini masih di ruang rawat Sasa, tak hentinya tersenyum menatap sepupunya itu. Tak lama Devan dan Adam datang untuk menjemputnya. Pria itu mengambil alih menggendong putrinya dari dekapan ponakannya.
"Apa semua sudah siap, Nad?" tanya Adam tak henti-hentinya mencium pipi gembul Sasa.
"Sudah Om," jawabnya sambil mengambil tas kecil tempat keperluan Sasa.
Ketiganya berjalan melewati lorong rumah sakit, Devan hanya menggelengkan kepala melihat Adam yang berjalan cool sambil menggendong putrinya, Sedangkan Nadia mengikuti dari belakang Adam.
Kini ketiganya sudah ada di mobil, Devan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah menempuh perjalanan selama empat puluh menit akhirnya mobil memasuki rumah orang tua Adam.
Mama Miran menyambut cucunya di teras rumahnya, wajahnya terlihat begitu bahagia. Wanita paruh baya itu tersenyum saat melihat Adam keluar dari mobil sambil menggendong putrinya. Air matanya menetes, tetapi secepat mungkin di usapnya karena tak ingin anaknya sampai melihat.
Ibu mana yang mampu melihat kegagalan rumah tangga anaknya, walau dia begitu tidak menyukai Fani, tapi karena Adam begitu mencintai wanita itu akhirnya dia hanya bisa merestui keduanya untuk naik ke jenjang yang lebih serius. Menikah di usia muda membuat keduanya masih mementingkan keegoisannya masing-masing.
"Sayang, Nenek kangen," ucapnya mengambil Sasa dari gendongan putranya.
"Pasti Sasa juga rindu sama Neneknya yang cantik ini," goda Adam sambil mengajak Mamanya masuk.
Nadia dan Devan ikut tersenyum, walau Adam terlihat dingin dengan orang lain. Namun, setidaknya dia begitu hangat dengan keluarganya. Mereka duduk di ruang keluarga Bik Imah yang sudah menyiapkan kamar untuk Sasa di samping kamar Adam sebelumnya.
"Ibu, sebaiknya Nak Sasa di tidurkan di kamarnya," kata Imah sambil tersenyum melihat wajah Sasa yang semakin mirip dengan Adam.
"Iya Imah, sebentar lagi" jawabnya rasanya tidak ingin melepaskan cucunya dari gendongannya.
"Jangan lama-lama di gendong, Bu. Nanti bau tangan," kata Imah.
Adam mengerutkan keningnya saat putrinya di bilang bau tangan, Imah yang melihat anak majikannya bingung hanya tersenyum. Mungkin enggak semua orang tahu istilah bau tangan untuk anak bayi.
"Bau tangan bagaimana, Bik?" tanya Devan yang ikut penasaran.
"Itu loh, kalau bayi sering digendong pas mau kita letakan pasti nangis," ujar Imah
"Percuma jelasin Bik, mereka tidak akan mengerti," sahut Nadia beranjak dari duduknya untuk menyiapkan makan siang yang di ikuti oleh bik Imah.
"Sudah jangan dipikirkan, Mama tidurkan Sasa dulu. Devan kamu ikut makan siang ya, Nak," tawarnya sambil berjalan menuju lantai dua di mana kamar untuk Sasa.
Devan hanya tersenyum, kemudian ia menatap Adam," Minggu depan sidang pertama mu, apa kamu akan datang?" tanya Devan.
"Apa Fani sudah tanda tangan?" tanya Adam balik.
"Kayaknya sudah, pasti dia juga sudah menerima surat panggilan sidang," ucap Devan
"Aku tidak akan datang, biar diurus langsung oleh Vano," ucap Adam
"Baiklah, nanti aku sampaikan kepadanya. Apa kamu akan terima tawaran kemari untuk menjadi dosen tetap?" tanya Devan.
"Belum tahu, menurutmu bagaimana?' tanya Adam.
"Cih, selalu bertanya balik!" umpat Devan.
Adam hanya diam, ia juga perlu persetujuan dari Mamanya, jika dia nanti menerima itu siapa yang akan menjaga Sasa. Namun, kalau harus membayar baby sister apa cukup gajinya nanti sedangkan sekarang susu soya untuk anaknya yang sembilan ratus gram saja hanya empat hari.
"Nanti aku bicarakan dulu dengan Mama, apa harus cari baby sister atau bagaimana!" katanya tegas.
"Baiklah, kalau bisa jangan lama-lama, biar kita bisa satu kampus lagi," kata Devan sambil tersenyum.
Adam hanya tersenyum tipis, tak lama Nadia datang untuk mengajak kedua pria itu untuk makan siang, kini keduanya menuju meja makan dimana sudah ada Mama Mirna. Mereka makan dalam hening hanya suara sendok yang terdengar, dari kecil Adam diajarkan oleh Mamanya saat makan tidak boleh sambil berbicara.
Devan yang mendapat pesan dari Mamanya langsung pamit pulang, sebenarnya ia tidak enak siap makan pulang. Namun, ini keadaan urgent. Setelah pamit kepada Adam dan Tante Mirna mobil yang di kemudian Devan mulai meninggalkan kediaman Adam.
Adam dan Mamanya kini sedang duduk di ruang keluarga, tak lama Nadia juga ikut bergabung.
"Ma, Adam dapat tawaran di kampus tempat Devan mengajar," ucapnya.
"Ambil saja, Om. dari pada di kampus sebelumnya," sahut Nadia.
"Iya rencananya mau Om ambil, tapi bagaimana dengan Sasa kalau saya tinggal mengajar?" tanya Adam
"Kamu jangan khawatir, Nak. Nanti mama di bantu Nadia dan Bik Imah yang jagain," jawab Mama Mirna yang mengerti kondisi keuangan Anaknya sekarang.
"Terimakasih, Mam," ucapnya sambil memeluk wanita paruh baya itu dengan lembut.
"Sama-sama sayang, kalau ada apa-apa bilang ke Mama," ucapnya sambil mengusap bahu Adam.
"Nadia juga mau dipeluk," katanya sambil cemberut.
Adam dan Mama Mirna terkekeh mendengarnya, kini ketiganya berpelukan. Bagi Adam keluarganya sekarang yang utama, kegagalan dalam berumah tangga akan dijadikan pembelajaran ke depannya.
"Om jangan khawatir, Sasa juga akan baik-baik saja, kita harus sama-sama bangkit. Jadikan semua hanya sebagai pembelajaran dalam hidup kita untuk ke depannya," jelasnya sambil memeluk Adam untuk memberikan semangat.
Mereka asyik mengobrol, Adam kemudian pamit untuk melihat putrinya, sedangkan kedua wanita beda usia itu melanjutkan obrolannya lagi.
***
Di sebuah kafe terlihat wanita sedang duduk sambil menunggu seseorang, wanita itu tak lain adalah Fani, yang sedang berjanji akan makan siang dengan Raka. Tak lama seseorang yang di tunggunya datang sambil membawakan bunga lily kesukaan wanita yang sebentar lagi akan menjadi miliknya seutuhnya.
"Maaf aku terlambat," katanya merasa bersalah karena sudah membuat Fani menunggu lama.
"Enggak apa-apa Mas, aku tahu kamu sibuk," ujarnya.
"Terimakasih, kamu yang paling mengerti aku, yang," pujinya sambil duduk di depan Fani.
Pelayan datang memberikan buku menu untuk keduanya, "Silahkan Nona, Tuan," ucapnya sambil memberikan buku menu.
"Mas makan apa?" tanya Fani saat Raka hanya menatapnya saja.
"Samakan saja," jawab Raka
"Mbak, saya pesan ini dan ini, minumnya jus jeruk saja dua dan air mineral dua ya," ujar Fani
"Baik Nona, di tunggu sebentar," jawab pelayan itu sambil pergi meninggalkan keduanya.
"Mas, minggu depan persidangan pertama kami," ucapnya sambil menunduk.
Deg, Raka terkejut, karena dia akan mengurus perceraian Fani bulan depan, tapi ternyata Adam lebih cepat dari perkiraannya, hingga ia tak perlu repot-repot lagi.
"Tenang saja, secepatnya akan selesai," kata Raka sambil tersenyum menatap mata indah Fani.
"Tapi aku butuh pengacara, Mas," ucap Fani
"Aku akan mengurusnya," kata Raka
"Makasih sayang," ucapnya sambil tersenyum semanis mungkin untuk Raka.
"Selangkah lagi aku akan menjadi Nyonya Raka Nugroho, Fani kamu memang cerdas," batinnya.
Tanpa Raka ketahui wanita itu merencanakan sesuatu.
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Pagi ini Adam sudah bersiap untuk menuju ke salah satu kampus yang ada di ibu kota, dia akhirnya menerima tawaran Devan. Adam merasa ini mungkin ini rezeki untuk putrinya. Tanpa ragu pria berbadan tegap itu melangkahkan kakinya menyelusuri lorong untuk mencari ruang Devan. Sedangkan pria yang dicarinya sedang berdiri santai di tengah pintu ruangannya sambil berucap, "Anda telat lima belas menit." Adam tak menjawab, ia langsung masuk ke ruangan sahabatnya itu. Devan hanya menatap jengah rekannya yang main masuk saja sebelum di suruhnya. "Ruangan mu di sebelahku, tapi ingat jangan minta pindah ke lantai dua. Itu ruangan khusus dosen wanita," jelas Devan "Apa hanya untuk wanita?" tanya Adam sambil memperhatikan ruangan Devan yang tetap rapi seperti biasa. "Aku tahu kamu seorang yang tak suka diganggu, makanya saat dekan menyuruh menyiapkan ruangan di lantai dua langsung aku cegah," kata Devan "Terimakasih sayang, jadi makin cinta," goda A
Malam harinya Adam dan keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga, walau hanya bertiga saja mereka terlihat bahagia, terkadang Mang Ujang dan istrinya juga ikut bergabung. Adam sibuk dengan laptopnya. Pria itu tidak terasa sudah hampir dua minggu mengajar di kampus barunya, tidak jarang dia menemukan kado dari para mahasiswanya. Namun, duda anak satu itu selalu mengabaikannya. Tak lama Nadia menghampirinya, gadis itu dengan manja bergelayut manja di lengan kekar Adam, hal itu membuat Neneknya hanya bisa menggeleng, terkadang Rangga saja mencibir ulah calon istrinya itu. "Ada apa?" tanya Adam yang hafal betul dengan tingkah Nadia pasti ada maunya. Gadis itu tersenyum girang saat Omnya begitu hafal keinginannya, Nadia membetulkan posisi duduknya. "Om, tadi Nadia me
Pagi harinya di ruangan seorang dosen yang selalu menjadi perbincangan mahasiswa wanita, Adam yang sedang memeriksa tugas karena jam sepuluh nanti baru ada kelas, pria itu terlalu fokus hingga tak mendengar saat pintu ruangannya terbuka oleh seseorang yang hanya menatapnya heran. Devan melemparkan amplop coklat ke meja Adam membuat yang empunya terperanjat. "Kebiasaan ketuk dulu napa!" kata Adam kesal. Adam menyingkirkan amplop coklat itu ke lacinya, hal itu membuat Devan hanya mencibirnya. "Kamu enggak mau lihat apa isinya, Dam?" tanya Devan sambil menatapnya intens. "Untuk apa?" tanya Adam dingin. "Siapa tahu mau minta rujuk lagi," balas Devan yang langsung kena lempar pena oleh Adam.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tanpa terasa sekarang Sasa sudah berumur tiga tahun, bocah kecil itu sedang berlari-lari di taman belakang rumah Neneknya. Adam yang baru pulang langsung mencari putri kecilnya di kamar hingga ia bertemu dengan Bik Imah. "Bik, Sasa mana?" tanya Adam sambil melihat sekeliling ruang keluarga. "Sedang di taman sama Ibu, Den." Jawab bik Imah sambil tersenyum. Adam dengan langkah cepat menuju taman belakang, melihat Ayahnya datang gadis kecil itu berlari ke arah Adam. "Hoe ... hoe.... Ayah sudah pulang!" teriak Sasa sambil berlari. Adam langsung berjongkok mensejajarkan dengan tubuh putrinya. Pria itu begitu games langsung mencium kedua pipi gembul Sasa.
Sore pun tiba di mana mereka mempunyai tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh bapak, Ririn harus menyiapkan makan malam. Rini bagian mencari rumput buat makan kambing sedangkan Reno dan Rey memasukkan kambing ke kandang. Tadi saat pulang dari sekolah, Ririn melihat ada terong ungu rencana akan di kukus nanti makanya di colek pakai sambal saja. Keluarganya berjumlah enam orang sedangkan ayamnya bertelur cuma dua butir hari ini Ririn ingat pesan mamak nanti goreng saja telurnya buat adikmu, tapi gadis itu tidak tega kalau bapak dan mamak makannya hanya pakai sayur dan sambal. Ririn memecahkan telur ayam yang hanya dua butir itu, kemudian segera menggorengnya buat lauk malam ini. Tidak lupa sambal korek pesanan bapak dan pucuk ubi rebus untuk pelengkapnya di tambah terong.
Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam. Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri. "Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri. Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi. Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat t
Malam ini seperti biasa, aktivitas di rumah Ririn mulai menyiapkan makan malam. Saat sore tadi mamak bilang suruh rebus beton(biji nangka), biar bisa buat cemilan malam. Makan malam ini pakai lauk ikan goreng dari hasil pancingan sore tadi, tapi yang membuat selera makan lebih nikmat ada sambal terasi dan sayur bening kacang panjang. Setelah selesai makan Ririn ikut membantu Mamaknya menyimpan sisa nasi ke dapur, sekalian dia bikin minum buat bapak kopi hitam dengan gula satu sendok takar. Gadis itu menghidangkan beton di mangkuk, bapak hanya tersenyum sambil menikmati rokoknya saat melihat apa yang dibawa anaknya. "Mbak...kok dapat beton dari mana?" tanya Reno sambil mengupas kulit beton. "Mamak tadi yang mengambi
"Kamu mau menculik anak saya, hah!" Bentaknya. "Eh copot! siapa yang mau culik, Mas. Anak ini kehilangan Bundanya, makanya saya mau mengantarnya. Main tuduh culik saja!" kata Ririn kesal. "Dasar gadis aneh!" Umpatnya sambil pergi menggendong putrinya meninggalkan Ririn yang mulutnya masih komat-kamit mengumpatinya. "Untung ganteng, tapi sayang kaku seperti kanebo," gerutu Ririn Tanpa menunggu lama Ririn berbalik, tapi ia dikejutkan dengan munculnya ibu Hani istri juragan Halim. "Rin, sini ikut Ibu," ucap Hany sambil tersenyum menarik tangan gadis itu menuju ruangan dimana tempat keluarga besar juragan berkumpul. Deg, dada Ririn terasa sesak saat melih
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan