Pagi harinya di ruangan seorang dosen yang selalu menjadi perbincangan mahasiswa wanita, Adam yang sedang memeriksa tugas karena jam sepuluh nanti baru ada kelas, pria itu terlalu fokus hingga tak mendengar saat pintu ruangannya terbuka oleh seseorang yang hanya menatapnya heran. Devan melemparkan amplop coklat ke meja Adam membuat yang empunya terperanjat.
"Kebiasaan ketuk dulu napa!" kata Adam kesal.
Adam menyingkirkan amplop coklat itu ke lacinya, hal itu membuat Devan hanya mencibirnya.
"Kamu enggak mau lihat apa isinya, Dam?" tanya Devan sambil menatapnya intens.
"Untuk apa?" tanya Adam dingin.
"Siapa tahu mau minta rujuk lagi," balas Devan yang langsung kena lempar pena oleh Adam.
"Kamu pikir aku mau rujuk lagi sama dia!" seru Adam
Devan yang melihat wajah Adam biasa saja, mulai mengerti kalau benar-benar sudah melepaskan Fani walaupun belum bisa melupakan wanita itu.
Melihat Devan yang hanya diam saja membuat Adam mengangkat kepalanya menatap sahabatnya, pria itu menaikan alisnya satu merasa ada yang di rahasiakan.
"Kenapa diam?" tanya Adam.
"Tidak ada, bagaimana dengan Sasa?" tanya Devan sambil tersenyum mengingat dia sudah lama tidak melihat bayi itu.
"Dia baik, cuma dia agak rewel kalau malam," jawab Adam sambil tersenyum.
"Maksudnya?" tanya Devan
Adam terkekeh, saat mengingat setiap malam Sasa selalu bab saat dirinya sudah akan terlelap, tetapi pria itu akan membuatnya sebagai momen yang tak terlupakan.
"Aku harap kamu tidak trauma karena masalah ini, Dam!" tandas Devan
"Tidak akan, tapi kalau untuk sekarang sepertinya aku akan fokus untuk mengurus Sasa," jawabn Adam.
Devan hanya menganggukan kepalanya bagaimanapun dia tahu begitu besar cinta Adam ke Fani dan ia yakin kalau butuh waktu buat sahabatnya itu untuk melupakan mantan istrinya.
"Kamu kapan, Van?" tanya Adam.
"Belum ada yang cocok," jawab Devan santai.
"Dosen yang kemarin minta ikut mobilmu gimana?" tanya Adam sambil mengedipkan matanya.
"Cih, dasar giliran cewek kayak gituan kamu tanyakan!" kata Devan tidak suka.
Adam tertawa saat melihat Devan kesal kepadanya, tetapi kalau disuruh memilih lebih baik cari yang lain.
Keduanya masih asik mengobrol hingga tanpa terasa waktu sudah mau jam sepuluh, Adam segera mengambil buku dan laptopnya untuk menuju kelas, sedangkan Devan tidak jauh beda dia menuju ke ruangannya terlebih dahulu untuk mengambil buku.
***
Di Kantor Raka pria itu begitu senang saat Fani sudah bercerai dari Adam, itu artinya dia akan segera memperkenalkan Fani kepada kedua orang tuanya, tidak hanya itu pria itu menyuruh asistennya untuk menutupi informasi mengenai kekasihnya.
Raka tidak ingin keluarganya tahu kalau Fani sudah menjadi janda, dia yakin kedua orang tuanya akan marah dan tidak pernah merestui kalau tau dia yang merebut Fani dari Adam.
Keduanya berencana menikah di luar negeri supaya tidak terendus dari awak media, semua itu Raka lakukan demi kenyamanan sang calon istri. Dia juga tidak tega kalau sampai Adam tahu mantan istrinya langsung menikah saat sebulan bercerai darinya.
Tak lama pintu ruangan Raka terbuka, senyum mengembang di wajahnya saat melihat Fani yang begitu cantik dengan baju seksinya. Pria itu rasanya tidak terima saat ada pria lain yang menatap lapar tubuh kekasihnya.
"Yang, kalau ke kantor pakai baju yang tertutup ya, jujur aku tak mau tubuh indah mu dilihat mata keranjang karyawanku,"kata Raka sambil memeluk tubuh Fani.
Fani tersenyum manis ke arah Raka, dia begitu senang karena pria yang sedang mendekapnya kini begitu menyayangi dirinya.
"Aku janji enggak akan lagi," kata Fani sambil duduk di pangkuan Raka dengan kedua tangan dilingkarkan di leher pria yang akan membuatnya menjadi wanita yang sesungguhnya.
"Apa kamu sudah makan siang, Sayang?" tanya Fani dengan suara yang di buat selembut mungkin.
"Sebentar lagi ya, aku masih ada kerjakan harus selesai sebelum makan siang. kamu duduk di sofa dulu," ujar Raka dengan lembut.
Fani hanya mengangguk, dia berencana setelah makan Raka mau menemaninya untuk belanja. Wanita itu begitu bahagia walau dia mengorbankan perasan Adam dan dirinya sendiri, asal kebutuhannya dapat dipenuhi oleh Raka dia yakin suatu saat akan mencintai pria yang sedang fokus dengan dokumen di tangannya.
Setelah menunggu selama satu jam akhirnya Raka selesai, dia langsung mengajak kekasihnya untuk keluar dari ruangannya, Raka yang biasanya akan keluar dengan asistennya, tetapi saat bersama kekasihnya ia akan mengemudikan mobilnya sendiri.
Banyak mata yang menatap kagum melihat Fani dan bosnya berjalan beriringan, ada juga diantara mereka yang merasa iri karena tidak bisa menarik pengusaha muda itu untuk menjadi kekasihnya.
Fani yang mendengar bisik-bisik itu tersenyum tipis, dia merasa bangga mampu menjerat Raka padahal waktu itu dia sedang hamil, tapi Raka begitu memperhatikan dirinya saat dia menceritakan kalau suaminya tak pernah perhatian dengannya. Dari situ Raka mulai memberi perhatian lebih yang awalnya hanya bertanya sudah makan atau minum vitamin belum, semua itu dia lakukan karena merasa iba.
Karena seringnya berkomunikasi membuat Raka lama-lama tertarik, apa lagi saat Fani bilang kalau suaminya hanya menginginkan anak saja darinya. Setelah itu Adam akan menceraikannya. Tanpa Raka sadari dia termakan oleh cerita wanita yang begitu sedih saat mengatakan itu. Hingga Raka akan berjanji untuk menikahi Fani setelah dia melahirkan nanti. Tentunya setelah diceraikan oleh Adam suaminya.
Kini Raka dan Fani masuk ke restoran mewah yang biasa dikunjungi oleh para pengusaha, wanita itu tak henti-hentinya tersenyum, ada rasa bangga saat beberapa mata menatapnya sedang berjalan dengan sosok pengusaha muda yang beritanya sering muncul di majalah bisnis.
Tanpa Fani sadari ada mantan mertuanya yang sedang bertemu dengan rekan bisnisnya untuk membicarakan kerja sama untuk memajukan butiknya yang kini mulai merambah busana muslim.
"Jeng Mirna bukankah itu istri Adam?" tanya salah satu temennya
Mirna hanya tersenyum, tetapi hatinya begitu perih saat baru satu bulan wanita itu bercerai dari putranya sekarang sudah menggandeng pria lain, wanita itu juga tahu siapa pria yang datang bersama Fani karena ia mendapat tawaran untuk bekerja sama saat fashion show nanti.
"Iya jeng, tapi itu dulu sekarang sudah bercerai," jawab Mirna sambil tersenyum yang dipaksakan.
"Ya ampun jeng maaf ya, padahal Adam itu ganteng baik, tapi kok dapat istri yang seperti itu," kata salah satu rekan kerjanya.
Mirna yang tak ingin darah tingginya kambuh, segera permisi karena urusan lain, tapi saat dia sedang berjalan melewati tempat Fani dan Raka duduk, mantan menantunya itu sengaja menegurnya di depan kekasihnya.
"Mama," kata Fani sambil tersenyum seakan dia begitu sedih saat bertemu mantan mertuanya.
Mirna menghentikan langkahnya karena tangannya dicekal oleh Fani, Raka yang melihat wanita yang dikenalnya itu segera menyapanya.
"Ibu Mirna apa kabar?' tanya Raka membuat Fani terkejut karena Raka mengenal mantan mertuanya itu.
"Ahmadullah saya baik, Nak Raka. Apa kamu juga baik-baik saja?" tanya Mirna dengan tatapan mencemeh kepada pria yang sudah membuat rumah tangga anaknya berantakan dan hancur dengan perceraian.
"Saya juga baik, Bu. Semoga dengan kerja sama ini kita bisa menyambung silaturahmi nantinya," kata Raka tulus.
Miran hanya tersenyum tipis, matanya melirik tangannya yang belum dilepaskan oleh Fani. Raka juga mengikuti arah mata wanita yang begitu ia kagumi untuk merintis usahanya itu, semua itu ia dengar dari Maminya yang juga berteman dekat dengan Ibu Mirna tanpa sepengetahuan Fani.
Fani yang merasa diperhatikan oleh Raka dengan gugup melepaskan tangan mantan mertuanya itu, wanita itu menunduk membuat Mirna heran.
"Nak Raka saya duluan," pamit Mirna kepada Raka tanpa melihat ke arah Fani.
"Iya Bu, hati-hati," ucap Rakasambil tersenyum.
Selepas kepergian mantan mertuanya Fani menatap lekat pria yang duduk santai sambil menunggu pesanannya datang.
"Mas, apa sudah lama mengenalnya?" tanya Fani agak was-was.
"Sama siapa, yang?" tanya Raka sambil tersenyum.
"Sama wanita tadi," jawab Fani
"Oh, dia sahabat Mami dari SMA dulu," sahut Raka
"Gawat ini kalau sampai orang tua Raka tahu kalau aku mantan menantunya dari sahabatnya maminya," kata Fani bermonolog sendiri.
Tak lama pesanan keduanya datang, Raka makan begitu lahap, tapi tidak dengan wanita di depannya, Fani hanya mengaduk-aduk nasi di piringnya, dia tidak ingin rencananya gagal untuk menjadi Nyonya Raka yang tinggal selangkah lagi.
"Yang, kok enggak di makan? apa ada masalah, hem?" tanya Raka merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kekasihnya itu.
"Enggak ada, tiba-tiba aku enggak enak badan, Mas." jawab Fani sambil tersenyum tipis.
Raka menarik napas dalam, kenapa kamu baru bilang. Apa kita perlu ke rumah sakit atau aku panggilkan dokter saja?" tanya Raka panik saat melihat wanita yang dicintainya tidak enak badan.
Fani tersenyum tipis tanpa diketahui oleh Raka, tetapi untuk mengelabui pria bodoh di depannya dia harus pura-pura lemas.
"Yang antar aku ke apartemen saja," kata Fani dengan pelan.
"Apa kamu yakin tidak ingin kita ke rumah sakit?" tanya Raka yang masih terlihat khawatir.
"Tidak nanti aku bawa tidur saja sembuh, kok," jawab Fani
Raka tanpa menunggu lama langsung mengambil uang sepuluh lembar warna merah dan meninggalkan di meja, setelah itu ia menggendong tubuh Fani ala bridal style.
Semua pengunjung menatap kagum dengan sosok Raka saat melihat menggendong seorang wanita yang wajahnya disembunyikan di dada bidang pria itu.
Fani bukannya malu, tapi itu untuk kebaikannya supaya tak tercium oleh media, dia yakin banyak yang mencari berita tentang keluarga Nugroho saat ini
Sesampainya di mobil Raka membaringkan Fani di bangku penumpang depan kemudian ia membuat sandarannya agak dibuat untuk senyaman mungkin untuk wanitanya.
Setelah itu Raka berjalan memutari mobilnya dan duduk di belakang kemudi, perlahan dia melajukan mobilnya menuju ke apartemen Fani yang baru dia belikan. Pria itu tak pernah secemas ini sebelumnya kecuali kalau maminya sakit.
Setelah menempuh perjalan selama tiga puluh menit mobil yang dikemudikan oleh Raka sampai di lobby apartemen yang terlihat elit dan hanya orang tertentu yang sanggup memilikinya.
Raka kembali lagi menggendong kekasihnya ala bridal style, membuat wajah Fani merona saat itu, tapi pria itu tetap cuek walau banyak mata yang menatapnya.
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tanpa terasa sekarang Sasa sudah berumur tiga tahun, bocah kecil itu sedang berlari-lari di taman belakang rumah Neneknya. Adam yang baru pulang langsung mencari putri kecilnya di kamar hingga ia bertemu dengan Bik Imah. "Bik, Sasa mana?" tanya Adam sambil melihat sekeliling ruang keluarga. "Sedang di taman sama Ibu, Den." Jawab bik Imah sambil tersenyum. Adam dengan langkah cepat menuju taman belakang, melihat Ayahnya datang gadis kecil itu berlari ke arah Adam. "Hoe ... hoe.... Ayah sudah pulang!" teriak Sasa sambil berlari. Adam langsung berjongkok mensejajarkan dengan tubuh putrinya. Pria itu begitu games langsung mencium kedua pipi gembul Sasa.
Sore pun tiba di mana mereka mempunyai tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh bapak, Ririn harus menyiapkan makan malam. Rini bagian mencari rumput buat makan kambing sedangkan Reno dan Rey memasukkan kambing ke kandang. Tadi saat pulang dari sekolah, Ririn melihat ada terong ungu rencana akan di kukus nanti makanya di colek pakai sambal saja. Keluarganya berjumlah enam orang sedangkan ayamnya bertelur cuma dua butir hari ini Ririn ingat pesan mamak nanti goreng saja telurnya buat adikmu, tapi gadis itu tidak tega kalau bapak dan mamak makannya hanya pakai sayur dan sambal. Ririn memecahkan telur ayam yang hanya dua butir itu, kemudian segera menggorengnya buat lauk malam ini. Tidak lupa sambal korek pesanan bapak dan pucuk ubi rebus untuk pelengkapnya di tambah terong.
Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam. Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri. "Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri. Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi. Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat t
Malam ini seperti biasa, aktivitas di rumah Ririn mulai menyiapkan makan malam. Saat sore tadi mamak bilang suruh rebus beton(biji nangka), biar bisa buat cemilan malam. Makan malam ini pakai lauk ikan goreng dari hasil pancingan sore tadi, tapi yang membuat selera makan lebih nikmat ada sambal terasi dan sayur bening kacang panjang. Setelah selesai makan Ririn ikut membantu Mamaknya menyimpan sisa nasi ke dapur, sekalian dia bikin minum buat bapak kopi hitam dengan gula satu sendok takar. Gadis itu menghidangkan beton di mangkuk, bapak hanya tersenyum sambil menikmati rokoknya saat melihat apa yang dibawa anaknya. "Mbak...kok dapat beton dari mana?" tanya Reno sambil mengupas kulit beton. "Mamak tadi yang mengambi
"Kamu mau menculik anak saya, hah!" Bentaknya. "Eh copot! siapa yang mau culik, Mas. Anak ini kehilangan Bundanya, makanya saya mau mengantarnya. Main tuduh culik saja!" kata Ririn kesal. "Dasar gadis aneh!" Umpatnya sambil pergi menggendong putrinya meninggalkan Ririn yang mulutnya masih komat-kamit mengumpatinya. "Untung ganteng, tapi sayang kaku seperti kanebo," gerutu Ririn Tanpa menunggu lama Ririn berbalik, tapi ia dikejutkan dengan munculnya ibu Hani istri juragan Halim. "Rin, sini ikut Ibu," ucap Hany sambil tersenyum menarik tangan gadis itu menuju ruangan dimana tempat keluarga besar juragan berkumpul. Deg, dada Ririn terasa sesak saat melih
Menjalani memang tak mudah memutuskan, itulah yang kini melintas di otak Ririn, sejak dia batal ke kota untuk mencari kerja, gadis itu memantapkan hatinya untuk membantu kedua orang tuanya di sawah. Sampai di rumah dia melihat Rini sedang mencuci piring bekas sarapan tadi, adiknya hanya tersenyum melihat sang Kakak yang baru pulang. "Mbak mandi sana, kok malah santai," kata Rini sambil menyusun piring yang sudah bersih. "Dek, nanti kalau mbak mau ke kota apa kamu enggak apa-apa?" tanya Ririn sambil menatap punggung Rini yang sedang sibuk menata gelas di rak. "Iya nggak papa, Mbak. Kata Bapak batal, tapi Juragan menyarankan bisa ke kota kerja sama mertuanya, apa Mbak mau?" tanya Rini. Ririn terdiam, walau dalam hati dia i
"Ririn pingsan, Pak!" seru mak Wati "Kenapa bisa, Mak?" tanya Pak Yanto sambil bertanya kepada istrinya. Tak lama Ririn membuka matanya, dilihatnya banyak tetangga dan juragan juga, gadis itu mencoba bangun walau kepalanya masih pusing, Mak Wati memberikan teh hangat untuk putrinya. "Kamu kok bisa pingsan di kandang kambing, Nduk?" tanya Mak Wati. "Tadi Ririn lihat sesuatu yang mengerikan, Mak," jawab Ririn lemah "Gendruwo lagi, Mbak?" tanya Rini. Ririn hanya mengangguk sambil bergidik ngeri ingat apa yang dilihatnya tadi, tak lama para warga pamit begitu juga dengan juragan sedangkan Adam menatap gadis yang juga menatapnya dengan datar. "Sekarang kamu istirahat, biar besok enggak telat," kata Mak Wati. "Iya Mak," jawab Ririn. Tak lama Ririn berjalan ke kamarnya untuk istirahat. ***** Mentari pagi mulai mengintip dari celah-celah langit, dedaunan yang masih basah terlihat segar terselimuti embun.
Mobil yang dikemudikan oleh mang Ujang, tanpa terasa sudah sampai di depan rumah berlantai dua. Ririn begitu takjub melihat halaman yang luas dan taman dipenuhi berbagai bunga yang terlihat terawat. Adam selama di mobil hanya diam, pria itu kembali lagi dingin sejak bertemu dengan mantan istrinya di Bandara tadi. Melihat majikanya cuek kepada wanita yang duduk di sebelahnya, mang Ujang mengajak Ririn turun, sedangkan gadis itu tidak menyadari kalau pria di sebelahnya tadi sudah tidak ada lagi di mobil. "Mang, ini rumah Ibu Mirna?" tanya Ririn sambil menatap pintu besar di depanya. "Iya Non," jawab mang Ujang. "Mang, jangan panggil, Non. Saya ke sini mau kerja." ujar Ririn sambil mengikuti mang Ujang yang berjalan lebih dulu.
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan