"Ririn pingsan, Pak!" seru mak Wati
"Kenapa bisa, Mak?" tanya Pak Yanto sambil bertanya kepada istrinya.
Tak lama Ririn membuka matanya, dilihatnya banyak tetangga dan juragan juga, gadis itu mencoba bangun walau kepalanya masih pusing, Mak Wati memberikan teh hangat untuk putrinya.
"Kamu kok bisa pingsan di kandang kambing, Nduk?" tanya Mak Wati.
"Tadi Ririn lihat sesuatu yang mengerikan, Mak," jawab Ririn lemah
"Gendruwo lagi, Mbak?" tanya Rini.
Ririn hanya mengangguk sambil bergidik ngeri ingat apa yang dilihatnya tadi, tak lama para warga pamit begitu juga dengan juragan sedangkan Adam menatap gadis yang juga menatapnya dengan datar.
"Sekarang kamu istirahat, biar besok enggak telat," kata Mak Wati.
"Iya Mak," jawab Ririn.
Tak lama Ririn berjalan ke kamarnya untuk istirahat.
*****
Mentari pagi mulai mengintip dari celah-celah langit, dedaunan yang masih basah terlihat segar terselimuti embun. waktu menunjukan pukul lima empat puluh menit. Ririn yang sudah bersiap untuk pergi ke kota dengan keluarga juragan Halim sudah bangun menjelang subuh.
Gadis itu keluar kamar, dilihat Bapak sedang duduk sambil merokok di ruang tamu. Lelaki paruh baya itu saat melihat anaknya keluar kamar tersenyum, terlihat kesedihan dari raut wajahnya saat akan melepaskan putri pertamanya untuk merantau.
"Sudah siap, Nduk?" tanya Bapak
"Sudah Pak," kata Ririn sambil mengambil sepatunya.
"Rin, ini ada uang tidak banyak, tapi bisa buat pegangan kamu selama sebulan," ujar Pak Yanto.
"Terimakasih Pak, nanti kalau sudah gajian Bapak ambil sama Juragan ya," kata Ririn sambil tersenyum.
Bapak hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar apa yang diucapkan anaknya, jika kemarin ia sangat senang Ririn akan bekerja di kota, tapi entah mengapa ada rasa bersalah di hatinya kepada putri sulungnya itu.
"Rin, nanti di sana jaga diri, jangan keluyuran dan patuh apa kata Bu Mirna," pesan Mak Wati kepada anaknya.
Mamak datang sambil membawa bungkusan, kemudian ia memberikan kepada anaknya. Wanita itu sudah tidak bisa menahan air matanya, saat melihat anak pertamanya yang akan meninggalkan keluarganya di desa.
"Mak, jangan nangis. Ririn nantikan pulang juga ke desa," hibur Ririn sambil memeluk wanita yang begitu disayanginya itu.
"Ingat pesan Mamak, dan jaga diri selama di sana," ucap mak Wati
"Iya Mak," siap Mak
Rini datang sambil berlinang air mata, ia begitu sedih saat Kakaknya akan pergi. Namun, gadis kecil itu yakin kalau Ririn akan pulang kembali ke desanya.
"Mbak keluarga juragan sudah siap," kata Rini.
Ririn segera pamit kepada kedua orang tuanya, tangis haru mengiringi kepergian gadis itu. Dari jalan Adam melihat itu hanya tersenyum.
Setelah itu Ririn pergi naik motor bersama Bagas, hanya dengan lima belas menit mereka sudah sampai dermaga. Ririn begitu takjub saat speedboat besar datang dengan keadaan kosong. Gadis itu hanya kagum, karena juragan sengaja menyewa satu speedboat untuk keluarganya.
Sasa yang duduk di pangkuan Ririn, walau sudah dilarang oleh Ayahnya. Perjalanan dari dermaga ke kota akan menempuh waktu tiga jam lebih untuk sampai pelabuhan Bekang.
Ririn begitu menikmati perjalananya, hingga tanpa terasa mereka sudah sampai di pelabuhan Bekang. Sesampainya di Bekang mereka langsung disambut anak buah Juragan yang ada di kota Palembang.
Tanpa menunggu lama mereka naik mobil menuju ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin 2. Selama di perjalanan Ririn sibuk mengobrol dengan Sasa. Tanpa gadis itu sadari Adam dan Mama Mirna memperhatikan bagaimana keduanya terlihat bahagia.
Mobil memasuki Bandara, Ririn yang tadinya wajahnya cerah sedetik kemudian terlihat pucat. Ini pengalaman pertamanya untuk naik pesawat. Banyak pikiran yang sebelumnya tidak terlintas olehnya.
Saat Ririn turun dari mobil, langsung di hampiri oleh Bagas. Pemuda itu tahu kalau gadis di sebelahnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Tenang, ada aku disini," ujar Bagas sambil menggenggam tangan Ririn yang ia rasakan dingin.
Mama Mirna yang melihat wajah Ririn pucat menjadi khawatir, Ia menghampiri gadis itu yang sedang mengobrol dengan Bagas cucunya.
"Rin, apa kamu sakit Nak?" tanya Ibu Mirna sambil memegang kening Ririn.
Ririn merasa gugup saat ditanya oleh Ibu Mirna, gadis itu takut akan batal kerja lagi. Bagas yang melihat kekhawatiran sahabatnya itu hanya tersenyum.
"Ririn hanya takut naik pesawat, Nek," Kata Bagas sambil mengedipkan matanya ke Ririn yang terlihat antara malu dan kesal kepadanya.
Adam yang mendengar itu hanya terkekeh, karena sedari tadi dia memperhatikan perubahan raut wajah Ririn.
Sesampai di Bandara Ririn hanya diam, sesekali menjawab pertanyaan gadis kecil yang sedang duduk di sampingnya. Dia melihat Adam sibuk dengan Bagas entah apa yang tengah dilakukan kedua pria itu.
"Rin, Ibu dan Bagas duluan ya," pamit ibu Mirna membuatnya hanya mengangguk.
"Unda, Sasa sama Nenek dulu. Da-da ...." Kata Sasa sambil melambaikan tangan ke arahnya
Adam dapat menangkap kebingungan Ririn hanya tersenyum, ia yakin kalau gadis di sampingnya itu tidak tahu kalau Bagas Ibunya akan ke Bandung.
"Mereka akan mengantar Bagas dulu ke Bandung, setelah itu baru ke Jakarta," ujar Adam.
"Bapak enggak ikut?" tanya Ririn dengan polos.
"Enggak Rin, saya besok harus sudah bekerja," jawab Adam.
Adam yang mendengar kalau penumpang tujuan Jakarta segera naik ke pesawat lewat Gate 1 segera berdiri, tapi ia kemudian melihat Ririn yang terlihat gelisah sambil meremas kedua jemari tanganya.
"Jangan takut," ucap Adam sambil menggenggam tangan Ririn yang sudah terasa dingin.
Gadis itu hanya tersenyum, kemudian dia berjalan beriringan dengan Adam tanpa melepaskan genggaman tangannya. Saat sampai dalam pesawat ada lelaki seumuran Bagas sudah duduk di deretkan kursinya, Adam dengan ramah permisi karena nomor kursinya terletak di dekat jendela.
"Rin masuk!" titah Adam.
Ririn masuk langsung duduk, Adam yang melihat gadis di sebelahnya hanya duduk saja tersenyum, Pria itu menarik napas dalam dia lupa kalau ini pertama kalinya wanita yang ada di sebelahnya naik pesawat.
Adam mendekat ke arah Ririn, kemudian ia memakaikan sabuk pengamannya, gadis itu terkejut karena jarak keduanya begitu dekat. Adam yang lihat perubahan dari mimik wajah wanita itu hanya terkekeh.
"Buang jauh-jauh otak kotor mu, gadis aneh!" hardik Adam sambil menyentil kening Ririn.
Ririn melotot saat mendengar apa yang dikatakan oleh pria yang menyebalkan di sampingnya, tapi marahnya seketika hilang dan berganti dengan kepanikan saat terdengar bunyi gemuruh di pesawat.
Ririn spontan mencekal tangan Adam dengan kuat, membuat yang empunya terkejut. Namun, saat pria itu tahu hanya senyum tipis yang mengembang di bibirnya.
"Udah lepaskan tangan saya," kata Adam sambil tersenyum.
"Maaf," ucap Ririn yang merasa malu.
Kini keduanya baru bisa menikmati perjalanan dengan tenang, Adam yang melihat Ririn sudah terlelap hanya tersenyum tipis. Setelah satu jam akhirnya pesawat sampai di Bandara Soekarno-Hatta.
Adam membangunkan wanita di sampingnya, Ririn yang terkejut sambil cemberut menatap Adam yang membangunkanya dengan cara menyentil keningnya lagi.
"Ayo turun, kita sudah sampai," ajak Adam sambil berdiri yang di ikuti Ririn.
Keduanya jalan beriringan, sesampai bagasi Adam mengajak Ririn untuk menunggu barangnya. Setelah lima belas menit keduanya keluar, pria itu tersenyum saat melihat sopir Ibunya sudah datang.
"Siang Den," sapa Mang Ujang sambil tersenyum menatap Adam.
"Mang Ujang sudah lama?" tanya Adam basa-basi kepada lelaki yang kini tersenyum menatapnya.
"Baru lima menit, Den," jawab Ujang
Adam memperkenalkan Ririn kepada mang Ujang, saat Adam akan masuk mobil terdengar suara yang tak asing memanggilnya.
"Mas Adam," sapa Fani sambil mengatur napasnya karena berlari mengejar mantan suaminya.
"Fani!" kata Adam terkejut, karena selama berpisah baru kali ini bertemu lagi.
"Mas apa kabar?" tanya Fani sambil menatap Ririn dari atas sampai bawah.
"Baik, maaf aku duluan," pamit Adam langsung menarik tangan Ririn supaya cepat masuk mobil.
"Jalan mang!" titah Adam.
"Tadi itu siapa, Pak?" tanya Ririn yang penasaran.
"Bundanya Sasa." Jawab Adam datar.
"Cantik seperti artis," kata Ririn sambil tersenyum.
"Dan juga Baik," sahut Adam.
Ririn langsung menatap wajah Pria yang ada di sampingnya, gadis itu hanya heran apa benar wanita yang meninggalkan anak dan suaminya masih tergolong wanita baik.
"Pak. Istri baik itu, tidak akan pernah meninggalkan suami dan anaknya untuk pria lain!" ujar Ririn.
Deg, Adam terkejut dengan apa yang dikatakan gadis aneh di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakannya. Kalau Fani istri yang baik tidak akan meninggalkan dirinya dan Sasa demi pria di masa lalunya.
Mobil yang dikemudikan oleh mang Ujang, tanpa terasa sudah sampai di depan rumah berlantai dua. Ririn begitu takjub melihat halaman yang luas dan taman dipenuhi berbagai bunga yang terlihat terawat. Adam selama di mobil hanya diam, pria itu kembali lagi dingin sejak bertemu dengan mantan istrinya di Bandara tadi. Melihat majikanya cuek kepada wanita yang duduk di sebelahnya, mang Ujang mengajak Ririn turun, sedangkan gadis itu tidak menyadari kalau pria di sebelahnya tadi sudah tidak ada lagi di mobil. "Mang, ini rumah Ibu Mirna?" tanya Ririn sambil menatap pintu besar di depanya. "Iya Non," jawab mang Ujang. "Mang, jangan panggil, Non. Saya ke sini mau kerja." ujar Ririn sambil mengikuti mang Ujang yang berjalan lebih dulu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti, tanpa terasa Ririn sudah hampir tiga tahun bekerja di rumah Ibu Mirna. Gadis itu setiap bulan minta tolong ke majikanya untuk mengirimkan uang gajinya ke juragan Halim. Semenjak ia merantau belum pernah sekali pulang, karena menurutnya daripada uangnya buat ongkos pulang lebih baik dikirim ke orang tuanya! apa lagi sekarang Bapak sedang ingin membangun rumah, karena rumahnya yang dulu dindingnya sudah mulai rapuh. Rumah di kampung yang dulunya hanya berdinding anyaman bambu, kini Bapak menggantinya dengan papan. Gadis itu juga begitu senang saat juragan dan istrinya berkunjung ke Jakarta. Ibu Hany mengatakan kalau keluarganya di kampung baik-baik saja dan sekarang rumahnya sudah bagus. Ririn yang mendengar itu, ingin sekali dia pulang, rasa rindu dengan
Tak lama handphone Adam bergetar, pesan dari Mamanya menyuruhnya menjemput Sasa dan membawanya ke rumah sakit tak jauh dari tempatnya berada. Adam tanpa pamit ia langsung membayar makananya, pria itu baru ingat kalau sudah meninggalkan Ririn di sekolah tadi. "Astagfirullah, kok bisa aku tinggalin gadis aneh itu!" kata Adam dengan memukul kemudi dengan keras. Sampai di sekolah Adam melihat putrinya sudah menunggunya, Sasa yang melihat Ayahnya yang datang hanya sendiri merasa sedih. "Maaf. Ayah terlambat, sayang." Kata Adam sambil menggendong putrinya. "Ayah, Bunda mana?" tanya Sasa saat masuk ke mobil Ayahnya. "Bunda, mungkin sudah ada di rumah, Nak." Jawab Adam dengan lembut
Pagi ini tak secerah biasanya, matahari tampak malu-malu menunjukkan sinarnya. Awan hitam menutupi keindahan dari pencerah bumi, pertanda akan segera turun hujan. Di kamar yang besar, Ririn sedang melihat ke arah jendela sambil termenung, entah apa yang dipikirkannya Setelah hampir dua minggu ia istirahat, dia tidak pernah lagi bertemu Adam. Pagi ini semua libur karena hari weekend. Ibu Mirna selalu mengajak cucunya untuk berjalan pagi ke taman. Tadi Ririn hendak ikut, tapi wanita paruh baya itu melarangnya karena luka di kaki dan tangannya belum kering betul. Ririn keluar dari kamar saat jam menunjukan pukul sebelas siang, rumah terlihat sepi. Dia berjalan menuju dapur, dilihatnya Bik Imah sedang membuat sesuatu. Gadis itu mendekati wanita paruh baya itu sambil mengejutkannya. "Dor," teriak Ririn mengejutkan Bik Imah. "Copot-copot, copot!" latah bik Imah sambil melempar spatula dari tangannya. "Ririn!" teriak Bik Ida yang terkena sasaran spat
Setelah satu minggu istirahat, Ririn sudah bisa berjalan normal. Bik Imah benar-benar merawatnya seperti yang diperintahkan oleh Adam. Pria itu tidak main-main semenjak kejadian seminggu yang lalu dia sering menanyakan keadaan kaki gadis aneh itu. Sasa yang melihat Bundanya sudah bisa berjalan lagi begitu senang, gadis kecil itu langsung memeluk Ririn yang berjalan menghampirinya. "Bunda sudah sembuh?" tanya Sasa dengan senyum yang menggemaskan. "Alhamdulillah sudah, sayang. Sasa enggak sekolah, Nak?" tanya Ririn merasa heran karena sudah jam sepuluh anak asuhnya masih ada di rumah. "Hari ini tanggal merah, Bunda,"Jawab Sasa sambil menarik tangan Ririn untuk duduk bersamanya di gazebo. "Oh, maaf Bunda lupa," ujar Ririn s
Adam saat menyadari apa yang dirasakan, tapi sedetik kemudian ia segera menepisnya, enggak mungkin dia memiliki perasaan lebih dengan gadis aneh itu. Adam berkumpul dengan yang lainnya di ruang keluarga, Ada Halim dan istrinya, sedangkan Bagas masih celingak- celinguk melihat ke arah tangga. "Om, Ririn mana? kenapa enggak turun-turun?" tanya Bagas sambil gelisah. Adam menatap ponakannya itu sambil menarik napas panjang, entah mengapa ada rasa tidak suka, saat ada yang menanyakan pengasuh anaknya itu. Jika ia tak mengingat masih ponakannya mungkin akan dimakinya. "Dia capek, jadi istirahat langsung," jawab Adam "Oh," kata Bagas singkat. Adam beranjak dari duduknya, ia m
Siang hari udara begitu terik, Ririn menarik napas saat Ibu Mirna menghubunginya untuk membantu di butik. Sasa yang masih terlelap membuatnya enggan untuk membangunkan gadis kecil itu. Jika nanti dia terbangun masih ada Pak Adam dan bi Imah yang menjaga anak asuhnya. Ririn yang sudah bersiap kini pamit dengan Bik Imah dan Ida, saat ia sedang berjalan mengendap-endap tiba-tiba merasa ada yang menarik kerah bajunya. Dia membalikan badan, seketika matanya membola melihat Adam menatapnya datar. "Mau kemana?" tanya Adam sambil melepaskan tangannya dari kerah baju Ririn. "Eh, itu anu, Pak," Kata Ririn gugup sambil menggaruk kepalanya. "Anu apa, hem?" tanya Adam semakin mengintimidasi gadis di depannya. "Itu,
Pagi ini Ririn sedang membantu Sasa untuk bersiap ke sekolah, anak asuhnya itu selalu ingin mandiri untuk menyiapkan segalanya, tapi setelah itu ia tidak lupa mengeceknya ulang khawatir ada yang tertinggal. Selesai bersiap keduanya berjalan ke arah meja makan, di mana sudah ada Ibu Mirna, Bagas dan Adam. Ririn hanya tersenyum kepada semuanya setelah itu ia pergi ke dapur untuk membantu Bik Imah mencuci peralatan kotor bekas masanya tadi. Bagas sesekali memicingkan matanya ke arah dapur, bukan ini yang dia inginkan. Pria itu rindu akan senyum dan tawa gadis yang selalu menolak perasaannya, baginya ini bukan akhir selama Ririn masih sendiri. Begitu juga dengan pria dingin itu, ia tidak suka saat melihat keponakannya sedang memperhatikan seseorang yang sedang sibuk di dapur yang tak lain Ririn, setelah selesai
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan