Sore pun tiba di mana mereka mempunyai tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh bapak, Ririn harus menyiapkan makan malam. Rini bagian mencari rumput buat makan kambing sedangkan Reno dan Rey memasukkan kambing ke kandang.
Tadi saat pulang dari sekolah, Ririn melihat ada terong ungu rencana akan di kukus nanti makanya di colek pakai sambal saja.
Keluarganya berjumlah enam orang sedangkan ayamnya bertelur cuma dua butir hari ini Ririn ingat pesan mamak nanti goreng saja telurnya buat adikmu, tapi gadis itu tidak tega kalau bapak dan mamak makannya hanya pakai sayur dan sambal.
Ririn memecahkan telur ayam yang hanya dua butir itu, kemudian segera menggorengnya buat lauk malam ini. Tidak lupa sambal korek pesanan bapak dan pucuk ubi rebus untuk pelengkapnya di tambah terong.
Waktu sekarang sudah jam 6 sore sebentar lagi magrib, saat Ririn keluar melihat kedua adiknya sedang menarik kambing untuk dimasukkan ke kandang.
Bapak pelihara kambing punya tetangga, katanya nanti kalau sudah beranak dibagi dua.
"Mbak ... bantuin!" rengeknya sambil menghentakkan kakinya, ia kesal karena sudah sore kambingnya tidak mau masuk kandang.
Ririn menghampiri keduanya sambil tersenyum melihat tingkah laku adik-adiknya, gadis itu segera mengambil alih pekerjaan Reno dan Rey.
"Sekarang mandi sana, biar mbak saja yang masukin!" perintahnya sambil menarik tali kambing dan membawanya ke kandang.
Adik perempuannya yang hari ini dapat tugas cari rumput untuk kambing baru pulang, bersamaan dengan bapak dan mamak.
Setelah kambingnya sudah masuk, Ririn segera membuat minum buat bapak dan mamak selagi mereka sedang mandi.
Tidak lupa ia hidangan sekalian makan malam, karena Ririn yakin kedua orang tuanya dan adik-adik pasti sudah lapar.
Kini mereka duduk lesehan beralaskan tikar pandan, dengan hidangan yang menurutnya enak. Karena untuk makan daging ayam biasanya tunggu hari besar, atau kalau enggak ada acara tetangga nanti dapat berkat(nasi kotak).
Gadis itu mengambilkan adiknya telur goreng dan sayur terong, saat sedang makan tiba-tiba semuanya menatap Ririn.
"Ada apa?" tanya Ririn.
"Mbak telurnya asin," kata Rey sambil minum air putih untuk menghilangkan rasa asin di mulutnya.
Bapak dan mamak tertawa melihat tingkah si bungsu, Ririn hanya tersenyum menanggapi ucapanya adiknya
"Maaf ya Dek, telur hanya ada dua jadi biar bisa jadi lauk dan semua bisa makan mbak banyakin garam," jawab Ririn
"Sudah makan saja, kita harusnya bersyukur malam ini masih dikasih kesehatan dan bisa makan dengan enak," ujar mamak sambil mencolek sambal korek pakai pucuk ubi.
Bapak hanya tersenyum, kemudian dia keluar untuk merokok di teras rumah. Kebiasaan siap makan merokok, tapi rokoknya bukan yang beli jadi.
Bapak racik sendiri pakai tembakau dan cengkeh, kalau di desa seperti itu. Gadis itu membuatkan kopi hitam untuk menemani Bapak duduk santai di malam hari.
"Pak besok Ririn ikut borongan tempat wak," katanya sambil duduk di tangga karena rumah kami panggung.
"Iya nanti bisa buat ongkos kamu ke kota," jawabnya sambil menyesap kopi hitam yang masih terlihat panas.
Mamak yang sudah siap mengikat kacang panjang ikut bergabung duduk teras, ia menatap jalan yang sepi dan gelap.
"Rin istirahat sana, besok katanya mau ikut borongan tempat, wak," kata mamak"Iya Mak," jawab Ririn sambil pergi meninggalkan keduanya menuju ke kamar.
Ririn membaringkan tubuhnya di tikar pandan untuk istirahat, semoga besok bisa bangun pagi dengan semangat dan badan yang sehat. Gadis itu menatap langit-langit kamarnya.
Ririn sampai sekarang masih memikirkan sekolahnya, kalau pergi ke kota ikut Bibi dan ditabung buat biaya sekolah Rini karena tahun ini dia masuk SMP. Gadis itu menatap alas tidurnya, ia ke pikiran untuk membelikan kasur untuk bapak dan adik-adiknya nanti.
Ririn ingat kalau besok ia harus bangun pagi untuk ikut borongan(kerja) ke sawah, ia kemudian bangun dan mengunci jendela kamarnya. Saat akan baring ia mendengar suara tokek yang saling bersahutan.
"Tokek diam berisik!" teriak Ririn sambil duduk di tepi dipan.
Tekek ....
Tekek ... suara itu terus bersahutan seakan si tokek sedang mengejeknya.
Diambilnya senter di dekat meja belajarnya, kemudian ia memanjat kursi sambil berpegangan lemari. Saat matanya menatap sekeliling di atas lemari untuk mencari keberadaan si tokek yang sudah mengganggunya tadi.
Ririn melihat kardus kecil ia sendiri lupa tempat apa sebelumnya, saat kakinya berjinjit karena kurang seimbang kursinya oleng dan Bruk ...
"Huwaaaa ... Mamak!" teriak Ririn menahan sakit.
Mamak yang baru saja mau masuk kamar mendengar anaknya teriak segera menghampirinya, "Astagfirullah Rin, tadi suara apa?" tanya Mamak sambil melihat sekeliling kamarnya yang masih rapi tidak ada jejak barang jatuh.
"Gara-gara tokek, Mak," jawab Ririn sambil mengusap punggungnya.
"Lah ... malah bawa-bawa tokek, Nduk," kata Mamak.
"Habis marahan sama tokek Mak, makanya Ririn jatuh dari kursi," ucap Ririn
"Kalau mau edan(gila), ya ... sendiri saja Nduk jangan ajak tokek," sahut Mamak sambil keluar kamar.
"Gara-gara kamu ini tokek, Mamaku bilang aku edan!" gerutu Ririn sambil mengomel.
Tekek ...
"Diam!" teriak Ririn
Tekek ...
"Terserah aku ngantuk," sahut Ririn. Tak beberapa lama gadis itu mulai memejamkan matanya karena sudah lelah, harapannya hanya satu besok bangun pagi dengan badan sehat.
***
Suara adzan subuh berkumandang, gadis itu masih terlelap karena masih begitu mengantuk gara-gara tokek yang begitu bising. Terdengar ketukan pintu dua kali, tapi bukan seperti ketikan kalau orang lain yang mendengarnya melainkan seperti gebrakan.
Ririn menggeliat, kemudian perlahan ia membuka matanya. Dia keluar dari kamar sambil menatap ruang tamu yang kosong, tapi di dapur suara merdu ala Mamak mulai terdengar.
Bapak yang melihat anak gadisnya yang baru bangun hanya menatapnya datar, tapi Rini yang melihat itu tersenyum.
"Mbak mandi sana setelah itu sholat!" seru Rini sambil berlalu meninggalkan sang Kakak.
"Aku masih ngantuk," rengek Ririn sambil bersandar di dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
"Astagfirullah, sudah jam berapa ini, Nduk. Mandi sana dan langsung sholat ya," kata Mamak sambil kembali ke dapur.
Dengan langkah gontai Ririn berjalan menuju kamar mandi, Mamaknya yang lihat itu hanya tersenyum.
"Gimana mamak membiarkan kamu merantau, Nduk!" katanya sambil mengusap dadanya yang terasa sesak.
"Mak," panggil Rini sambil mengambil teh yang sudah di buatnya tadi.
"Rin, kamu lihat mbak mu pasti tidur lagi" katanya sambil pergi ke kamarnya.
Rini segera menuju kamar mandi, ia mengetuk beberapa kali tidak ada suara sang Kakak. Dia sangat yakin kalau Ririn tidur lagi di kamar mandi.
Mamak datang menghampiri putri keduanya itu, karena merasa tidak ada pergerakan kemudian memanggil Bapak. Pria itu dengan sabar mengetik pintu hingga ada suara pintu terbuka.
"Aku masih ngantuk," ucap Ririn berdiri di tengah pintu dengan mata yang terpejam.
***
Di rumah juragan Halim kini sedang berkumpul sambil menonton televisi, walau tidak ada aliran listrik masuk di desanya, tetapi dia mempunyai genset untuk penerangan rumahnya, rencana ia ingin membeli yang lebih bagus jadi warga bisa juga menikmatinya.
"Aku setuju, Mas. Di sini banyak yang lulus SD, tapi lebih memilih membantu orang tuanya di sawah," ucap Hany
"Iya, apa Mama tahu kalau Ririn anak Pak Yanto juga tidak melanjutkan ke SMA, karena diminta untuk membantu keluarganya," kata Halim
"Setahu Papa anak itu lumayan kerjanya, bukankah Mama Mirna sedang mencari pengasuh buat Sasa," kata Hany
Hany hanya menarik napas dalam, sebenarnya dia kasihan dengan gadis itu, tapi entah mengapa Mak Wati selalu menjaga jarak dengannya. Ia menatap suaminya yang sedang mengecek apa saja pupuk yang habis dan benar-benar dibutuhkan warga desa.
Selama lima tahun ini kebutuhan warga untuk mendapatkan pupuk dari juragan Halim begitu mudah, kalau dulu mereka akan jauh keluar desa untuk mendapatkannya, yang membuat warga terbantu pupuknya boleh dibayar saat mereka panen nantinya.
"Mas besok jadikan berangkat, aku sudah kangen dengan Sasa pasti anak itu sudah besar," kata Hany
"Iya jadi, kita ikut pesawat siang saja, biar nanti Adam bisa menjemput waktu di Jakarta," ucap Halim
"Kapan anak itu menikah lagi? sudah hampir empat tahun masih asik menyendiri!" seru Hany
"Kamu itu, Ma! sama saja dengan Mama Mirna," ujar Halim
"Bukan apa-apa, Mas. Sasa itu pasti ingin memiliki seorang Bunda yang menyayanginya," jelas Hany
"Iya, tapi kalau Adam belum mau bagaimana, hem?" tanya Halim
"Makanya nanti pas di Jakarta kita bujuk dia," jawab Hany
Halim hanya mengangguk, dia tak ingin ribut dengan istri yang sudah menemaninya dalam suka maupun duka itu. Dia berharap pernikahan Nadia nanti berjalan lancar. Harapannya Bagas untuk mengambil jurusan pertanian, tapi anak itu mengambil bisnis katanya ingin punya usaha sendiri.
Sebagai orang tua Halim tak ingin memaksa kehendaknya kepada putra satu-satunya itu, sedangkan Nadia sekarang sudah menjadi dokter ahli bedah itu yang dicita-citakan sejak kecil.
Pria itu beranjak dari tempat duduknya dan menyusul istrinya untuk masuk kamar, dilihatnya wanita itu sedang membereskan pakaiannya untuk dibawa besok.
"Jangan banyak-banyak, Ma," kata Halim mengingatkan sang istri.
"Mama hanya bawa oleh-oleh saja," ujar Hany
Halim hanya tersenyum melihat wajah istrinya yang kesal kepadanya, tapi dari dulu ia paling suka saat melihat istrinya cemberut seperti itu.
"Ma, besok kalau ketemu Ririn coba tanya mau enggak dia menjadi pengasuh Sasa," ucap Halim.
"Iya, tapi jangan terlalu berharap. Mak Wati itu selalu menjaga jarak sama Mama," kata Hany
"Itu hanya perasaan Mama saja," ucap Halim
Hany hanya diam, dia tak ingin ribut dengan suaminya saat ini, tapi sebaiknya dia cerita juga besok saat bertemu ibu mertuanya apa boleh pengasuh Sasa dari kampung karena mengingat Adam saat pilih-pilih.
Dia ingat saat pengasuh Sasa membuat kesalahan Adam langsung memecatnya saat itu juga karena tidak terima wanita itu tiba-tiba memeluknya. Ia juga heran kenapa adik iparnya itu menjadi dingin semenjak bercerai dengan Fani.
Dari awal Hany tidak menyukai Fani karena pernah melihat wanita itu merayu suaminya, karena itu halim mengajaknya tinggal di desa, karena keduanya menyukai pedesaan seperti tempat tinggalnya saat ini.
"Astagfirullah!" teriak Hany
Bersambung ya, kira-kira ada apa dengan Hany?
Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam. Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri. "Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri. Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi. Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat t
Malam ini seperti biasa, aktivitas di rumah Ririn mulai menyiapkan makan malam. Saat sore tadi mamak bilang suruh rebus beton(biji nangka), biar bisa buat cemilan malam. Makan malam ini pakai lauk ikan goreng dari hasil pancingan sore tadi, tapi yang membuat selera makan lebih nikmat ada sambal terasi dan sayur bening kacang panjang. Setelah selesai makan Ririn ikut membantu Mamaknya menyimpan sisa nasi ke dapur, sekalian dia bikin minum buat bapak kopi hitam dengan gula satu sendok takar. Gadis itu menghidangkan beton di mangkuk, bapak hanya tersenyum sambil menikmati rokoknya saat melihat apa yang dibawa anaknya. "Mbak...kok dapat beton dari mana?" tanya Reno sambil mengupas kulit beton. "Mamak tadi yang mengambi
"Kamu mau menculik anak saya, hah!" Bentaknya. "Eh copot! siapa yang mau culik, Mas. Anak ini kehilangan Bundanya, makanya saya mau mengantarnya. Main tuduh culik saja!" kata Ririn kesal. "Dasar gadis aneh!" Umpatnya sambil pergi menggendong putrinya meninggalkan Ririn yang mulutnya masih komat-kamit mengumpatinya. "Untung ganteng, tapi sayang kaku seperti kanebo," gerutu Ririn Tanpa menunggu lama Ririn berbalik, tapi ia dikejutkan dengan munculnya ibu Hani istri juragan Halim. "Rin, sini ikut Ibu," ucap Hany sambil tersenyum menarik tangan gadis itu menuju ruangan dimana tempat keluarga besar juragan berkumpul. Deg, dada Ririn terasa sesak saat melih
Menjalani memang tak mudah memutuskan, itulah yang kini melintas di otak Ririn, sejak dia batal ke kota untuk mencari kerja, gadis itu memantapkan hatinya untuk membantu kedua orang tuanya di sawah. Sampai di rumah dia melihat Rini sedang mencuci piring bekas sarapan tadi, adiknya hanya tersenyum melihat sang Kakak yang baru pulang. "Mbak mandi sana, kok malah santai," kata Rini sambil menyusun piring yang sudah bersih. "Dek, nanti kalau mbak mau ke kota apa kamu enggak apa-apa?" tanya Ririn sambil menatap punggung Rini yang sedang sibuk menata gelas di rak. "Iya nggak papa, Mbak. Kata Bapak batal, tapi Juragan menyarankan bisa ke kota kerja sama mertuanya, apa Mbak mau?" tanya Rini. Ririn terdiam, walau dalam hati dia i
"Ririn pingsan, Pak!" seru mak Wati "Kenapa bisa, Mak?" tanya Pak Yanto sambil bertanya kepada istrinya. Tak lama Ririn membuka matanya, dilihatnya banyak tetangga dan juragan juga, gadis itu mencoba bangun walau kepalanya masih pusing, Mak Wati memberikan teh hangat untuk putrinya. "Kamu kok bisa pingsan di kandang kambing, Nduk?" tanya Mak Wati. "Tadi Ririn lihat sesuatu yang mengerikan, Mak," jawab Ririn lemah "Gendruwo lagi, Mbak?" tanya Rini. Ririn hanya mengangguk sambil bergidik ngeri ingat apa yang dilihatnya tadi, tak lama para warga pamit begitu juga dengan juragan sedangkan Adam menatap gadis yang juga menatapnya dengan datar. "Sekarang kamu istirahat, biar besok enggak telat," kata Mak Wati. "Iya Mak," jawab Ririn. Tak lama Ririn berjalan ke kamarnya untuk istirahat. ***** Mentari pagi mulai mengintip dari celah-celah langit, dedaunan yang masih basah terlihat segar terselimuti embun.
Mobil yang dikemudikan oleh mang Ujang, tanpa terasa sudah sampai di depan rumah berlantai dua. Ririn begitu takjub melihat halaman yang luas dan taman dipenuhi berbagai bunga yang terlihat terawat. Adam selama di mobil hanya diam, pria itu kembali lagi dingin sejak bertemu dengan mantan istrinya di Bandara tadi. Melihat majikanya cuek kepada wanita yang duduk di sebelahnya, mang Ujang mengajak Ririn turun, sedangkan gadis itu tidak menyadari kalau pria di sebelahnya tadi sudah tidak ada lagi di mobil. "Mang, ini rumah Ibu Mirna?" tanya Ririn sambil menatap pintu besar di depanya. "Iya Non," jawab mang Ujang. "Mang, jangan panggil, Non. Saya ke sini mau kerja." ujar Ririn sambil mengikuti mang Ujang yang berjalan lebih dulu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti, tanpa terasa Ririn sudah hampir tiga tahun bekerja di rumah Ibu Mirna. Gadis itu setiap bulan minta tolong ke majikanya untuk mengirimkan uang gajinya ke juragan Halim. Semenjak ia merantau belum pernah sekali pulang, karena menurutnya daripada uangnya buat ongkos pulang lebih baik dikirim ke orang tuanya! apa lagi sekarang Bapak sedang ingin membangun rumah, karena rumahnya yang dulu dindingnya sudah mulai rapuh. Rumah di kampung yang dulunya hanya berdinding anyaman bambu, kini Bapak menggantinya dengan papan. Gadis itu juga begitu senang saat juragan dan istrinya berkunjung ke Jakarta. Ibu Hany mengatakan kalau keluarganya di kampung baik-baik saja dan sekarang rumahnya sudah bagus. Ririn yang mendengar itu, ingin sekali dia pulang, rasa rindu dengan
Tak lama handphone Adam bergetar, pesan dari Mamanya menyuruhnya menjemput Sasa dan membawanya ke rumah sakit tak jauh dari tempatnya berada. Adam tanpa pamit ia langsung membayar makananya, pria itu baru ingat kalau sudah meninggalkan Ririn di sekolah tadi. "Astagfirullah, kok bisa aku tinggalin gadis aneh itu!" kata Adam dengan memukul kemudi dengan keras. Sampai di sekolah Adam melihat putrinya sudah menunggunya, Sasa yang melihat Ayahnya yang datang hanya sendiri merasa sedih. "Maaf. Ayah terlambat, sayang." Kata Adam sambil menggendong putrinya. "Ayah, Bunda mana?" tanya Sasa saat masuk ke mobil Ayahnya. "Bunda, mungkin sudah ada di rumah, Nak." Jawab Adam dengan lembut
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan