Malam harinya Adam dan keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga, walau hanya bertiga saja mereka terlihat bahagia, terkadang Mang Ujang dan istrinya juga ikut bergabung. Adam sibuk dengan laptopnya. Pria itu tidak terasa sudah hampir dua minggu mengajar di kampus barunya, tidak jarang dia menemukan kado dari para mahasiswanya. Namun, duda anak satu itu selalu mengabaikannya.
Tak lama Nadia menghampirinya, gadis itu dengan manja bergelayut manja di lengan kekar Adam, hal itu membuat Neneknya hanya bisa menggeleng, terkadang Rangga saja mencibir ulah calon istrinya itu.
"Ada apa?" tanya Adam yang hafal betul dengan tingkah Nadia pasti ada maunya.
Gadis itu tersenyum girang saat Omnya begitu hafal keinginannya, Nadia membetulkan posisi duduknya.
"Om, tadi Nadia melihat pasar malam dekat SMP. Lihat yuk," bujuk Fani
"Cih, kayak anak kecil saja!" ejek Adam
"Ayo dong, Om. Rangga enggak mau dia bilang mau kumpul sama teman-temannya," ujarnya sambil cemberut.
"Nadia, ya jelas Rangga tidak mau! apa kamu lupa siapa dia, hem?" tanya Adam sambil menoyor kening ponakannya itu.
Gadis itu kesal dan beranjak dari duduknya sambil menghentakkan kakinya kesal, ia memicingkan matanya tajam ke Adam, sedangkan Adam hanya acuh saja. Akhirnya Nadia naik ke lantai dua untuk bermain dengan Sasa, tapi sayang bayi mungil itu tengah tidur nyenyak.
"Jangan di ganggu enggak baik," kata Nenek Mirna yang baru masuk kamar cucunya.
Nadia hanya tersenyum kaku, entah kenapa hari ini dirinya begitu ingin pergi melihat pasar malam, kalau pergi sendiri pasti Adam tak akan mengizinkan dirinya keluar malam.
Akhirnya gadis itu masuk dalam kamar dan membuka laptop untuk mencari drama favoritnya, saat dia sedang mengotak-atik laptopnya Adam menghampirinya sambil tersenyum melihat wajah cemberut keponakannya itu.
"Nad, ikut Om yuk! beli nasi goreng di simpang kampus," bujuk Adam
"Enggak mau!" katanya sambil mencibirkan bibirnya.
"Nanti setelah makan kita lihat pasar malam,"kata Adam
Mendengar kata pasar malam, gadis itu langsung turun dari ranjang mengambil jaket dan berlari menuruni tangga untuk mengejar Adam. Neneknya yang melihat itu hanya bisa mengusap dadanya, karena hampir saja ditabrak tubuh Nadia yang tiba-tiba muncul.
"Nenek, Nadia pergi," pamit Nadia ke Nenek Mirna
"Enggak sopan," kata Adam sambil memiting kepala ponakannya itu.
"Om lepas bau ketiaknya," katanya sambil mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan Adam.
Melihat Ponakannya sudah lelah barulah Adam melepaskannya, gadis itu hanya mengumpat tidak jelas saat terlepas pitingan pria yang sering dipanggilnya Om itu. Kini keduanya berjalan menuju motor sport Adam, dia segera memberikan helm kepada Nadia.
"Om pakaiin!" seru Nadia manja
"Cih, dasar manja!" cibir Adam, tapi ia memakaikan juga di kepala Nadia yang di akhiri dengan sentilan di kening keponakannya.
Adam melajukan motornya dengan kecepatan sedang, udara yang sejuk, membuat pria itu tersenyum, ia teringat akan mantan istrinya biasa saat seperti ini Fani yang mengajaknya keliling.
Adam menghentikan motornya di simpang dimana ada penjual nasi goréng di pinggir jalan yang terlihat begitu ramai, Nadia seakan tak percaya saat Omnya mengajaknya makan di pinggir jalan.
"Ayo," ajaknya sambil berjalan mendahului Nadia.
Gadis itu terpaksa mengikuti dan duduk di depan Adam, ia memperhatikan sekitarnya begitu ramai pengunjung ada yang berpasangan ada juga yang membawa keluarganya.
"Om sering makan di sini?" tanyanya sambil terus menatap sekelilingnya
"Iya, kadang sama Devan dan Rangga juga," tutur Adam sambil menulis pesanan untuk Nadia dan dirinya.
"What? jadi Mas Rangga juga suka ke sini, kenapa dia enggak pernah bilang?" tanya Nadia dengan ekspresi terkejutnya.
Adam memutar bola matanya jengah melihat keponakannya itu, harusnya dia tahu kenapa Rangga tak pernah mengajaknya? Saat sedang menunggu pesanannya datang dua orang yang membuat Nadia membulatkan matanya.
"Yang, kenapa ke sini, katanya mau ngumpul?" tanya Nadia sambil mengerucutkan bibirnya.
Rangga pun ikut terkejut karena dia baru menyadari ada tunangannya, pria itu hanya menggaruk tengkuknya sambil tersenyum tipis kemudian menatap Adam yang hanya mengedikkan bahunya.
"Tumben ikut, Nad ?" tanya Devan yang duduk disamping Adam.
"Dia merengek minta lihat pasar malam sedari tadi," sahut Adam.
Rangga hanya mengacak rambut Nadia dengan lembut, pria itu begitu gemes. Diusapnya punggung tangan Nadia dengan senyum yang membuat gadis itu merona, Devan melihat itu langsung melempar kulit kacang ke arah sepasang yang sedang romantis di depannya.
Pluk ....
Kulit kacang tepat mengenai kening Rangga membuat pria itu menatap tajam ke arah sang pelaku, saat akan membalas tiba-tiba pelayan datang mengantarkan pesanan Adam dan Nadia.
"Kamu enggak pesanin kita juga, Dam?" tanya Devan sambil menatap kesal sahabatnya itu.
"Kamu sudah besar pesan saja sendiri," jawab Adam santai.
"Cih, menyebalkan," umpat Devan segera memanggil pelayan.
Devan menatap jengah Nadia saat sedang menyuapi nasi gorengnya ke Rangga, hal itu membuat dokter anak itu terkekeh menatap Devan dan Adam.
"Makanya Om, cari pacar sono, eh bukan pacar. Namun, istri kalau pacar udah ketuaan," ledek Nadia.
"Cih, dasar bucin," ucap Devan kesal.
"Jadi maksudnya berkumpul dengan Om Adam dan Devan, yang?" tanya Nadia sambil mengunyah nasi gorengnya.
Rangga hanya tersenyum lembut kepada gadis di sebelahnya, sambil membersihkan bibir Nadia yang ada nasinya.
"Iya, kami sudah lama enggak kumpul," jawab Rangga
"Kenapa harus di sini?" tanya Nadia sambil menaikan alisnya.
"Sekalian Adam mengenang masa lalunya, awal bertemu dengan Fani." Goda Devan sambil menertawai pria di sampingnya.
Adam hanya diam, pria itu acuh dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu, baginya masa lalu buka untuk di kenang, tapi akan dia jadikan pelajaran untuk masa yang akan datang.
"Oh, iya Dam, kayanya seminggu lagi kamu sah menjadi duren," kata Devan santai.
"Duren! maksudnya apa, Om?" tanya Nadia.
"Ampun! kamu itu masalah pelajaran nomor satu, tetapi masalah kayak gini jadi bodoh!" cibir Devan
"Om!" kata Rangga yang tak terima dengan apa yang di katakan adik dari Ibunya itu.
Devan hanya diam, sambil memakan nasi gorengnya yang baru datang, Rangga juga sebenarnya mengakui calon istrinya pintar hanya dalam pendidikan buktinya nilainya selalu tertinggi terus.
"Duren itu duda keren, yang," ujar Rangga
Nadia langsung menatap wajah Adam intens, sedangkan pria itu sedang asik memainkan game onlinenya tanpa menanggapi obrolan ponakan dengan sahabatnya.
"Ganteng sih, tapi sayang Tante Fani tak menyadarinya! aku pastikan dia akan menyesali dengan apa yang dilakukan sama Om Adamku yang tampan," ucapnya berapi-api membuat Rangga dan Devan menatap tajam wanita yang cerewet itu.
Nadia yang di tatap oleh dua pria itu langsung diam dengan perlahan dia menatap Adam yang tidak peduli dengan sekitarnya. Merasa di perhatikan pria itu mengangkat kepalanya menatap Devan dan Rangga bergantian.
"Apa?" tanya Adam
"Enggak ada, lupakan!" kata Devan sambil menyeruput kopi hitamnya.
Nadia merasa lega saat tahu Adam tidak mendengar apa yang dikatakannya tadi, dia juga tidak ingin Omnya bersedih dengan apa yang dilakukan wanita rubah itu.
"Dam, apa Fani ada menghubungi mu?" tanya Devan walau agak ragu menanyakan hal itu pada sahabatnya.
Ketiganya menatap Adam, sembari menunggu jawabannya. Adam menarik napas dalam, kemudian ia menggelengkan kepalanya.
Devan hanya tersenyum sinis, sepertinya wanita rubah itu benar-benar ingin pisah dengan Adam. Rangga menatap kedua pria dewasa di depannya, pria itu merasa curiga dengan apa yang dikatakan Devan pada Adam.
"Ada apa Om?" tanya Rangga
"Hasil keputusan, hak asuh Sasa ke Adam, tapi jika Fani keberatan dipersilahkan naik banding," ujar Devan
"Karena minggu ini dia enggak ada menghubungi, berarti masalah selesai," jelas Devan lagi
Adam hanya diam, ia mencoba mencerna apa yang dikatakan Sahabatnya itu."Mungkin lebih cepat lebih baik."
Nadia menatap wajah Adam dengan sendu, kebahagiaan rumah tangganya hanya sebentar saja, begitu mudahnya wanita itu berpaling begitu saja dari pria setampan Adam.
"Udah malam, cabut yuk," ajaknya sambil beranjak dari tempat duduknya yang diikuti yang lainnya.
"Yang, kamu pulang saja sama Om Adam ya!" perintahnya kepada Nadia.
"Tapi yang, aku masih kangen," katanya dengan manja bergelayut di lengan Rangga.
"Nadia, ini sudah malam! kalau Rangga antar kamu dulu dia akan kemalaman sampi rumah."Kata Adam tegas.
Nadia dengan wajah cemberutnya akhirnya berjalan menghampiri Adam, sedangkan Devan dan Rangga masuk ke mobil. Gadis itu menatap mobil Rangga yang mulai menghilang dari pandangannya.
"Besok juga masih bisa ketemu," cibir Adam sembari mengendarai motornya.
Setelah menempuh perjalanan hanya tiga puluh menit, Adam sampai di kediamannya, pria itu memarkirkan motornya. Nadia lebih dulu masuk. Mang Ujang membukakan pintu sambil tersenyum kepada Nadia dan juga Adam.
"Kok belum tidur, Mang?' tanya Adam sambil berjalan beriringan menuju ruang keluarga.
"Baru siap nonton bola, Den."Jawabnya sambil tersenyum.
"Mang, aku ke kamar ya," pamit Adam berjalan menaiki tangga tanpa menunggu jawaban dari sopir Mamanya itu.
Sesampainya Adam di kamar Sasa, ia tersenyum saat melihat putrinya tersenyum saat masih terlelap.
"Apa kamu tahu Ayah baru pulang, dan menyambut dengan senyum manis mu itu, Nak," ucapnya sambil tersenyum.
Adam segera membuka lemari mengambil baju dan handuk, pria itu membersihkan diri terlebih dahulu sebelum mencium anaknya. Setelah lima belas menit ia keluar dari kamar mandi bertepatan dengan putrinya yang gelisah.
Ayah satu anak itu segera mengecek pampers Sasa, senyum mengembang di bibirnya saat aroma asam tercium di hidungnya.
"Anak pintar, kamu sengaja tunggu Ayah baru bab ya," kata Adam.
Tanpa jijik dia membersihkan kotoran sang putri menggunakan tisu basah, setelah selesai ia memakaikan minyak telon di perut Sasa.
"Ayah berharap kamu akan menjadi wanita yang soleh, sayang. Kamu sekarang prioritas Ayah," ucapnya lirih sambil mencium pipi gembul Sasa.
Adam yang merasa lelah, akhirnya membaringkan tubuhnya setelah sebelumnya menidurkan putrinya di boks bayi. Matanya menatap langit-langit kamar anaknya, selama ini dia tidak pernah membayangkan akan berpisah dengan Fani, jangankan berpisah keduanya ribut pun hampir jarang.
Rasa cinta yang begitu besar kepada mantan istrinya membuatnya tak pernah curiga sama sekali, bahkan dia tidak tahu kapan istrinya itu mengenal pengusaha kaya itu?
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Pagi harinya di ruangan seorang dosen yang selalu menjadi perbincangan mahasiswa wanita, Adam yang sedang memeriksa tugas karena jam sepuluh nanti baru ada kelas, pria itu terlalu fokus hingga tak mendengar saat pintu ruangannya terbuka oleh seseorang yang hanya menatapnya heran. Devan melemparkan amplop coklat ke meja Adam membuat yang empunya terperanjat. "Kebiasaan ketuk dulu napa!" kata Adam kesal. Adam menyingkirkan amplop coklat itu ke lacinya, hal itu membuat Devan hanya mencibirnya. "Kamu enggak mau lihat apa isinya, Dam?" tanya Devan sambil menatapnya intens. "Untuk apa?" tanya Adam dingin. "Siapa tahu mau minta rujuk lagi," balas Devan yang langsung kena lempar pena oleh Adam.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tanpa terasa sekarang Sasa sudah berumur tiga tahun, bocah kecil itu sedang berlari-lari di taman belakang rumah Neneknya. Adam yang baru pulang langsung mencari putri kecilnya di kamar hingga ia bertemu dengan Bik Imah. "Bik, Sasa mana?" tanya Adam sambil melihat sekeliling ruang keluarga. "Sedang di taman sama Ibu, Den." Jawab bik Imah sambil tersenyum. Adam dengan langkah cepat menuju taman belakang, melihat Ayahnya datang gadis kecil itu berlari ke arah Adam. "Hoe ... hoe.... Ayah sudah pulang!" teriak Sasa sambil berlari. Adam langsung berjongkok mensejajarkan dengan tubuh putrinya. Pria itu begitu games langsung mencium kedua pipi gembul Sasa.
Sore pun tiba di mana mereka mempunyai tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh bapak, Ririn harus menyiapkan makan malam. Rini bagian mencari rumput buat makan kambing sedangkan Reno dan Rey memasukkan kambing ke kandang. Tadi saat pulang dari sekolah, Ririn melihat ada terong ungu rencana akan di kukus nanti makanya di colek pakai sambal saja. Keluarganya berjumlah enam orang sedangkan ayamnya bertelur cuma dua butir hari ini Ririn ingat pesan mamak nanti goreng saja telurnya buat adikmu, tapi gadis itu tidak tega kalau bapak dan mamak makannya hanya pakai sayur dan sambal. Ririn memecahkan telur ayam yang hanya dua butir itu, kemudian segera menggorengnya buat lauk malam ini. Tidak lupa sambal korek pesanan bapak dan pucuk ubi rebus untuk pelengkapnya di tambah terong.
Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam. Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri. "Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri. Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi. Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat t
Malam ini seperti biasa, aktivitas di rumah Ririn mulai menyiapkan makan malam. Saat sore tadi mamak bilang suruh rebus beton(biji nangka), biar bisa buat cemilan malam. Makan malam ini pakai lauk ikan goreng dari hasil pancingan sore tadi, tapi yang membuat selera makan lebih nikmat ada sambal terasi dan sayur bening kacang panjang. Setelah selesai makan Ririn ikut membantu Mamaknya menyimpan sisa nasi ke dapur, sekalian dia bikin minum buat bapak kopi hitam dengan gula satu sendok takar. Gadis itu menghidangkan beton di mangkuk, bapak hanya tersenyum sambil menikmati rokoknya saat melihat apa yang dibawa anaknya. "Mbak...kok dapat beton dari mana?" tanya Reno sambil mengupas kulit beton. "Mamak tadi yang mengambi
"Kamu mau menculik anak saya, hah!" Bentaknya. "Eh copot! siapa yang mau culik, Mas. Anak ini kehilangan Bundanya, makanya saya mau mengantarnya. Main tuduh culik saja!" kata Ririn kesal. "Dasar gadis aneh!" Umpatnya sambil pergi menggendong putrinya meninggalkan Ririn yang mulutnya masih komat-kamit mengumpatinya. "Untung ganteng, tapi sayang kaku seperti kanebo," gerutu Ririn Tanpa menunggu lama Ririn berbalik, tapi ia dikejutkan dengan munculnya ibu Hani istri juragan Halim. "Rin, sini ikut Ibu," ucap Hany sambil tersenyum menarik tangan gadis itu menuju ruangan dimana tempat keluarga besar juragan berkumpul. Deg, dada Ririn terasa sesak saat melih
Menjalani memang tak mudah memutuskan, itulah yang kini melintas di otak Ririn, sejak dia batal ke kota untuk mencari kerja, gadis itu memantapkan hatinya untuk membantu kedua orang tuanya di sawah. Sampai di rumah dia melihat Rini sedang mencuci piring bekas sarapan tadi, adiknya hanya tersenyum melihat sang Kakak yang baru pulang. "Mbak mandi sana, kok malah santai," kata Rini sambil menyusun piring yang sudah bersih. "Dek, nanti kalau mbak mau ke kota apa kamu enggak apa-apa?" tanya Ririn sambil menatap punggung Rini yang sedang sibuk menata gelas di rak. "Iya nggak papa, Mbak. Kata Bapak batal, tapi Juragan menyarankan bisa ke kota kerja sama mertuanya, apa Mbak mau?" tanya Rini. Ririn terdiam, walau dalam hati dia i
"Ririn pingsan, Pak!" seru mak Wati "Kenapa bisa, Mak?" tanya Pak Yanto sambil bertanya kepada istrinya. Tak lama Ririn membuka matanya, dilihatnya banyak tetangga dan juragan juga, gadis itu mencoba bangun walau kepalanya masih pusing, Mak Wati memberikan teh hangat untuk putrinya. "Kamu kok bisa pingsan di kandang kambing, Nduk?" tanya Mak Wati. "Tadi Ririn lihat sesuatu yang mengerikan, Mak," jawab Ririn lemah "Gendruwo lagi, Mbak?" tanya Rini. Ririn hanya mengangguk sambil bergidik ngeri ingat apa yang dilihatnya tadi, tak lama para warga pamit begitu juga dengan juragan sedangkan Adam menatap gadis yang juga menatapnya dengan datar. "Sekarang kamu istirahat, biar besok enggak telat," kata Mak Wati. "Iya Mak," jawab Ririn. Tak lama Ririn berjalan ke kamarnya untuk istirahat. ***** Mentari pagi mulai mengintip dari celah-celah langit, dedaunan yang masih basah terlihat segar terselimuti embun.
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan