Pagi ini Adam sudah bersiap untuk menuju ke salah satu kampus yang ada di ibu kota, dia akhirnya menerima tawaran Devan. Adam merasa ini mungkin ini rezeki untuk putrinya. Tanpa ragu pria berbadan tegap itu melangkahkan kakinya menyelusuri lorong untuk mencari ruang Devan.
Sedangkan pria yang dicarinya sedang berdiri santai di tengah pintu ruangannya sambil berucap, "Anda telat lima belas menit."
Adam tak menjawab, ia langsung masuk ke ruangan sahabatnya itu. Devan hanya menatap jengah rekannya yang main masuk saja sebelum di suruhnya.
"Ruangan mu di sebelahku, tapi ingat jangan minta pindah ke lantai dua. Itu ruangan khusus dosen wanita," jelas Devan
"Apa hanya untuk wanita?" tanya Adam sambil memperhatikan ruangan Devan yang tetap rapi seperti biasa.
"Aku tahu kamu seorang yang tak suka diganggu, makanya saat dekan menyuruh menyiapkan ruangan di lantai dua langsung aku cegah," kata Devan
"Terimakasih sayang, jadi makin cinta," goda Adam sambil mengedipkan matanya ke arah Devan.
"Idih najis! Dam, jangan bilang gara-gara kamu pisah sama Fani jadi belok," kata Devan dengan wajah seriusnya.
"Sialan! enak aja aku masih normal, Bro!" kata Adam kesal sembari melempar berkas di kearah sahabatnya itu.
"Alhamdulillah," jawab Devan merasa lega.
Adam menatap acuh ke arah sahabatnya itu, seenaknya saja mengatakan dirinya belok. Devan hanya terkekeh saat melihat wajah pria di depannya begitu kesal. Namun, sedetik kemudian ia mengajaknya untuk memperkenalkan diri kepada dosen lainnya.
"Apa harus berkenalan, Van?" tanya Adam merasa enggan.
"Iya, babang. Kamu pikir ini kampus punya nenek moyang mu!" jawab Devan ketus.
"Ah, ini yang paling menyebalkan!"gerutu Adam.
"Ayo, hanya sebentar saja," ajaknya sambil beranjak dari tempat duduknya.
Keduanya berjalan beriringan melewati lorong dan naik tangga ke lantai dua, Adam hanya bisa menarik napas panjang saat memasuki ruangan di mana sudah ramai dosen berkumpul, karena sekalian ada rapat bulanan.
Devan tanpa basa basi memperkenalkan Adam kepada rekan sejawatnya, semua menyambut dosen baru itu dengan antusias, terlebih dosen wanita yang masih lajang seakan menatap lapar pria yang berdiri di samping Devan.
Setelah perkenalan Adam segera undur diri, sedangkan Devan terpaksa tinggal untuk mengikuti rapat bulanan yang rutin dilaksanakan oleh Dekan dan sekaligus pemilik dari kampus.
***
Di kediaman Adam.
Suara tangis bayi terdengar begitu pilu, Sasa bayi kecil itu entah kenapa menangis semenjak Adam pergi, hingga membuat neneknya begitu panik sampai berkeringat. Adam yang baru sampai mengendarai motornya segera masuk dan naik ke lantai dua dimana suara putrinya menangis.
"Ada apa, Ma?" tanya Adam melihat anaknya yang menangis sampai wajahnya memerah.
"Mama juga enggak tahu, Dam. udah dikasih susu juga enggak mau," ujar Mama Mirna sambil memberikan bayi mungil itu ke putranya.
Adam menerima tubuh mungil itu dan mulai mendiamkan putri cantiknya, Mama Mirna tertegun saat cucunya langsung diam dipelukan Ayahnya. Hal itu membuatnya yakin suatu saat dia akan membutuhkan seorang ibu. Namun, tak mungkin sekarang ia membicarakan hal itu, ini mungkin akan terlalu cepat buat putranya.
Adam yang merasa diperhatikan menatap wanita yang terlihat lelah sudah menjaga putrinya, Ia merasa sedih karena belum bisa membahagiakan wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Mama sebaiknya istirahat, Sasa sudah tidur mungkin dia lelah karena menangis," ucap Adam sambil membaringkan tubuh mungil Sasa dengan perlahan.
"Baiklah, Mama ke kamar dulu. Kamu istirahat saja di kamar ini," katanya sebelum pergi.
Adam hanya menganggukkan kepalanya, kemudian pria itu keluar dengan menutup pintu pelan-pelan takut anaknya terbangun. Dia menuruni tangga dan segera menghampiri Bik Imah yang sedang mengobrol dengan Mang ujang.
"Bik, tolong nanti pakaianku pindahkan ke kamar Sasa!" pinta Adam
"Baik Den, eh Aden mau pindah kamar?" tanyanya yang langsung diberi kode oleh suaminya.
Adam hanya mengangguk sambil tersenyum dan ikut bergabung duduk di samping Mang Ujang, dia sudah dekat dengan sepasang suami istri itu. lelaki yang tak jauh umurnya dari mamanya itu menatap wajah pria di depannya dengan tatapan sendu.
"Apa rencana Nak Adam selanjutnya?' tanya Mang Ujang
"Selesaikan masalah perceraian dulu, Mang. Setelah itu mungkin akan fokus mengajar di kampus baru nanti," ujarnya sambil mengambil kacang rebus yang masih hangat.
"Apa Den Halim tau?" tanya mang Ujang lagi.
"Kemarin Mas Halim sedang ke kota, dia telpon menanyakan kabar, tapi aku bilang baik-baik saja," jawab Adam
"Den Adam memang baik-baik saja, tapi di hati mana yang tahu," kata mang Ujang sambil terkekeh.
"Emang Aa tahu bagaimana rasanya," sahut Bik Imah yang baru datang sambil membawa dua cangkir teh hijau..
"Tahu atuh Neng, rasanya itu seperti tertusuk pisau tapi tak berdarah," ucapnya sambil menampakan mimik sedih di wajahnya..
Adam hanya tersenyum yang melihat Mang Ujang sedih, sedangkan Bik Imah langsung melempar kulit kacang ke suaminya.
"Jangan lebay Aa," ucap bik Imah kesal
Mang Ujang hanya tertawa karena istrinya kesal, tapi tiba-tiba dia ingat sesuatu. Adam yang melihat pria itu menaikan kedua alisnya seakan bertanya kenapa?
"Den, apa benar Non Fani punya kekasih baru, yang lebih kaya dari Aden?" tanyanya membuat Adam menatap Mang Ujang dengan terkejut.
"Aa ...!" teriak Bik Imah yang langsung menutup mulut suaminya.
"Ampun, Den. Jangan didengar ya." Katanya sambil menarik tangan suaminya untuk menjauh dari Adam.
Adam hanya tersenyum getir, kalau selingkuhan mantan istrinya lebih dari segalanya. Sedangkan dia hanya kembali merintis menjadi dosen di kampus baru.
"Fani, dulu kamu janji untuk menerimaku apa adanya, bukan karena ada apanya, tapi semua berubah saat dia hadir dan memberikan lebih dari yang kuberikan kepada mu." Katanya Lirih.
"Semua tidak harus diukur dengan materi, Om," Sahut Rangga yang baru saja datang.
"Baru sampai," kata Adam sambil tersenyum tipis menatap colon suami dari keponakannya itu.
"Iya ratu drama bisa marah kalau enggak dijemput," ujar Rangga sambil terseyum
Adam dan Rangga langsung tertawa membayangkan Nadia yang suka marah seharian kalau terlambat jemput dan ingkar.
"Jadi kapan rencana kalian untuk ke jenjang selanjutnya?" tanya Adam.
"Tunggu Fani lulus, dia tak ingin terganggu kuliahnya," jawab Rangga
"Menjadi dokter bedah memang cita-citanya sejak dulu, Ga. Aku harap kamu akan mendukungnya!" pesan Adam.
"Selama itu baik, enggak masalah, Om," ucap Rangga
"Apa Om Adam pernah datang ke desa tempat Papa Halim tinggal?" tanya Rangga
"Sudah sekali, di sana air sumurnya warnanya seperti teh, tapi lebih baik mandi pakai air sumur dari pada pakai air hujan," jelasnya sambil tersenyum mengingat saat pertama kali ia berkunjung ke tempat Kakaknya.
"Jadi mandinya sambil main hujan-hujanan gitu, Om?" tanya Rangga yang kurang paham.
"Ya enggaklah, di sana untuk masak dan minum pakai air tadah hujan," jelas Adam
"Huff, apa nanti Rangga juga mandi air tadah hujan," kata Rangga lirih, tapi masih di dengar oleh Adam.
"Di sungai Musi juga bisa pakai air asin," godanya sambil beranjak meninggalkan Rangga yang membeo.
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Malam harinya Adam dan keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga, walau hanya bertiga saja mereka terlihat bahagia, terkadang Mang Ujang dan istrinya juga ikut bergabung. Adam sibuk dengan laptopnya. Pria itu tidak terasa sudah hampir dua minggu mengajar di kampus barunya, tidak jarang dia menemukan kado dari para mahasiswanya. Namun, duda anak satu itu selalu mengabaikannya. Tak lama Nadia menghampirinya, gadis itu dengan manja bergelayut manja di lengan kekar Adam, hal itu membuat Neneknya hanya bisa menggeleng, terkadang Rangga saja mencibir ulah calon istrinya itu. "Ada apa?" tanya Adam yang hafal betul dengan tingkah Nadia pasti ada maunya. Gadis itu tersenyum girang saat Omnya begitu hafal keinginannya, Nadia membetulkan posisi duduknya. "Om, tadi Nadia me
Pagi harinya di ruangan seorang dosen yang selalu menjadi perbincangan mahasiswa wanita, Adam yang sedang memeriksa tugas karena jam sepuluh nanti baru ada kelas, pria itu terlalu fokus hingga tak mendengar saat pintu ruangannya terbuka oleh seseorang yang hanya menatapnya heran. Devan melemparkan amplop coklat ke meja Adam membuat yang empunya terperanjat. "Kebiasaan ketuk dulu napa!" kata Adam kesal. Adam menyingkirkan amplop coklat itu ke lacinya, hal itu membuat Devan hanya mencibirnya. "Kamu enggak mau lihat apa isinya, Dam?" tanya Devan sambil menatapnya intens. "Untuk apa?" tanya Adam dingin. "Siapa tahu mau minta rujuk lagi," balas Devan yang langsung kena lempar pena oleh Adam.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tanpa terasa sekarang Sasa sudah berumur tiga tahun, bocah kecil itu sedang berlari-lari di taman belakang rumah Neneknya. Adam yang baru pulang langsung mencari putri kecilnya di kamar hingga ia bertemu dengan Bik Imah. "Bik, Sasa mana?" tanya Adam sambil melihat sekeliling ruang keluarga. "Sedang di taman sama Ibu, Den." Jawab bik Imah sambil tersenyum. Adam dengan langkah cepat menuju taman belakang, melihat Ayahnya datang gadis kecil itu berlari ke arah Adam. "Hoe ... hoe.... Ayah sudah pulang!" teriak Sasa sambil berlari. Adam langsung berjongkok mensejajarkan dengan tubuh putrinya. Pria itu begitu games langsung mencium kedua pipi gembul Sasa.
Sore pun tiba di mana mereka mempunyai tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh bapak, Ririn harus menyiapkan makan malam. Rini bagian mencari rumput buat makan kambing sedangkan Reno dan Rey memasukkan kambing ke kandang. Tadi saat pulang dari sekolah, Ririn melihat ada terong ungu rencana akan di kukus nanti makanya di colek pakai sambal saja. Keluarganya berjumlah enam orang sedangkan ayamnya bertelur cuma dua butir hari ini Ririn ingat pesan mamak nanti goreng saja telurnya buat adikmu, tapi gadis itu tidak tega kalau bapak dan mamak makannya hanya pakai sayur dan sambal. Ririn memecahkan telur ayam yang hanya dua butir itu, kemudian segera menggorengnya buat lauk malam ini. Tidak lupa sambal korek pesanan bapak dan pucuk ubi rebus untuk pelengkapnya di tambah terong.
Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam. Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri. "Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri. Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi. Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat t
Malam ini seperti biasa, aktivitas di rumah Ririn mulai menyiapkan makan malam. Saat sore tadi mamak bilang suruh rebus beton(biji nangka), biar bisa buat cemilan malam. Makan malam ini pakai lauk ikan goreng dari hasil pancingan sore tadi, tapi yang membuat selera makan lebih nikmat ada sambal terasi dan sayur bening kacang panjang. Setelah selesai makan Ririn ikut membantu Mamaknya menyimpan sisa nasi ke dapur, sekalian dia bikin minum buat bapak kopi hitam dengan gula satu sendok takar. Gadis itu menghidangkan beton di mangkuk, bapak hanya tersenyum sambil menikmati rokoknya saat melihat apa yang dibawa anaknya. "Mbak...kok dapat beton dari mana?" tanya Reno sambil mengupas kulit beton. "Mamak tadi yang mengambi
"Kamu mau menculik anak saya, hah!" Bentaknya. "Eh copot! siapa yang mau culik, Mas. Anak ini kehilangan Bundanya, makanya saya mau mengantarnya. Main tuduh culik saja!" kata Ririn kesal. "Dasar gadis aneh!" Umpatnya sambil pergi menggendong putrinya meninggalkan Ririn yang mulutnya masih komat-kamit mengumpatinya. "Untung ganteng, tapi sayang kaku seperti kanebo," gerutu Ririn Tanpa menunggu lama Ririn berbalik, tapi ia dikejutkan dengan munculnya ibu Hani istri juragan Halim. "Rin, sini ikut Ibu," ucap Hany sambil tersenyum menarik tangan gadis itu menuju ruangan dimana tempat keluarga besar juragan berkumpul. Deg, dada Ririn terasa sesak saat melih
Menjalani memang tak mudah memutuskan, itulah yang kini melintas di otak Ririn, sejak dia batal ke kota untuk mencari kerja, gadis itu memantapkan hatinya untuk membantu kedua orang tuanya di sawah. Sampai di rumah dia melihat Rini sedang mencuci piring bekas sarapan tadi, adiknya hanya tersenyum melihat sang Kakak yang baru pulang. "Mbak mandi sana, kok malah santai," kata Rini sambil menyusun piring yang sudah bersih. "Dek, nanti kalau mbak mau ke kota apa kamu enggak apa-apa?" tanya Ririn sambil menatap punggung Rini yang sedang sibuk menata gelas di rak. "Iya nggak papa, Mbak. Kata Bapak batal, tapi Juragan menyarankan bisa ke kota kerja sama mertuanya, apa Mbak mau?" tanya Rini. Ririn terdiam, walau dalam hati dia i
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan