Adam mondar mandir di depan pintu rawat putrinya, terlihat dari wajahnya lelaki itu begitu Khawatir. Devan semakin pusing melihat sahabatnya yang tak mau duduk.
Tak lama dokter keluar sambil tersenyum menatap Adam, sambil berucap. "Mari ikut ke ruangan saya."
Adam langsung berjalan mengikuti dokter yang sudah merawat anaknya itu, saat sampai di ruangan dokter ia dipersilahkan untuk duduk.
"Bagaimana Dok?" tanya Adam yang sudah tidak sabar mendengarkan penjelasan dokter mengenai putrinya.
Dokter wanita itu hanya bisa menarik napas panjang, ia juga terkejut saat mendengar kalau ibunya sang bayi tidak mau memberikan asinya kepada anaknya. Apa lagi sekarang balita mungil itu sedang alergi protein sapi. Semua itu ia dengan sendiri dari rekannya Nadia.
"Kejangnya karena demamnya yang terlalu tinggi, tolong kompres terus pakai air hangat, Pak."Jelasnya.
"Apa kejangnya itu bahaya, Dok?" Tanya Adam.
"Kejang karena demam kompleks sering dihubungkan dengan meningkatnya risiko ke epilepsi. Tetapi, ini tidak terbukti, Pak. Faktanya, sebagian besar kejang demam pada anak tidak memiliki keterkaitan dengan peningkatan risiko kematian di masa kanak-kanak ataupun dewasa."
"Sebagian besar kasus kejang karena demam tidak memiliki dampak jangka panjang. Saya harap jangan sampai saat putrinya kejang nanti Bapak panik.Kejang saat demam tidak akan menyebabkan kerusakan otak, kesulitan belajar, ataupun gangguan mental. Selain itu, kejang demam juga tidak menjadi indikasi penyakit epilepsi pada anak, yaitu kecenderungan kejang berulang akibat sinyal elektrik abnormal dalam otak." Jelas dokter Maya sambil tersenyum
"Bagaimana biar kejangnya tak berulang, Dok?" tanya Adam lagi.
"Pak, Sebagian besar penyebab dari kejang tidak diketahui secara pasti, oleh karena itu sangat sulit untuk menentukan apakah seseorang bisa sembuh atau tidak. Namun, yang terpenting adalah menjaga agar seseorang tidak mengalami kekambuhan kejang kembali, agar dapat menjalani kehidupan sosialnya seperti biasa dan dapat melakukan fungsinya kembali."
"Selama demam sebaik kompres menggunakan air hangat walaupun sudah di beri obat untuk menurunkan demamnya," pesan dokter Maya
"Baik dokter, terimakasih banyak." Kata Adam sambil beranjak untuk pamit keluar dari ruangan.
Adam kembali lagi menuju ke ruang rawat putrinya, di sana sudah ada Devan dan mama Mirna sedang berdiri di samping branker Sasa.
"Apa kata dokter, Nak?" wanita paruh baya itu bertanya pada putranya yang baru saja masuk.
"Setengah jam sekali kita cek suhu badannya, Ma. Selama masih panas kita bantu kompres dengan air hangat," ujarnya sambil menatap sendu putri cantiknya yang tengah terlelap.
"Iya," kata Mama Mirna
"Dam, sebaiknya kamu disini saja. Biar aku pulang mengambil baju gantimu," ujarnya sambil menatap iba pada sahabatnya itu.
"Tante sebaiknya bersiap, jangan sampai ikut sakit juga," ucap Devan.
"Kamu mau bawa Mama pulang naik motor sport!" kata Adam menatap sahabatnya kesal.
Devan langsung menepuk jidatnya, pria itu lupa kalau mobilnya ia tinggal di arena balap. Wanita paruh baya itu hanya terkekeh melihat Devan yang malu sembari menatap Adam yang masih menatap tajam sahabatnya.
"Nenek pulang sama Nadia saja," sahutnya sambil berjalan mendekati Adam dan putrinya.
"Kata Dokter Maya tadi kejang lagi!" kata Nadia sambil mengusap pipi lembut sepupunya itu.
"Iya. Namun, kalau bisa jangan sampai berulang kejangnya," ucap Adam.
Nadia mengusap air matanya, ia begitu iba dengan Sasa yang masih kecil sudah di tinggalan Ibu kandungnya demi kebahagiaan dengan pria lain. Entah mengapa dia begitu geram dengan Fani.
Rangga yang baru masuk ruangan peri kecil itu menatap yang lainnya dengan penuh tanda tanya, apa ;lagi melihat calon istrinya beberapa kali mengusap air matanya.
"Sudahlah jangan menangis lagi, anggap saja ini pelajaran untukku biar lebih bisa memperhatikan Sasa," kata Adam sambil mencium kening Sasa.
Putrinya seakan tahu, setelah dicium Ayahnya bayi itu tersenyum dalam lelapnya. Hal itu membuat Adam mengembangkan senyum di bibirnya. Sasa tersenyum beberapa kali seakan mengatakan semua akan baik-baik saja tanpa Ibunya.
"Om, Nadia antar Nenek pulang dulu. Habis magrib Nad akan ke sini lagi," katanya sambil beranjak dari duduknya.
"Iya hati-hati," jawabnya tanpa melihat keponakannya karena masih fokus menatap wajah imut di depannya.
Ranga dan Nadia segera pamit kepada Adam dan Devan, begitu juga dengan Ibu Mirna karena sudah terlihat begitu lelah. Sebenarnya Nenek Sasa itu enggan untuk pulang meninggalkan cucunya, tetapi kondisi tubuhnya kurang fit pasca kejadian tadi.
Devan kembali lagi duduk di sofa, sedangkan Adam menarik kursi untuk duduk di samping branker putrinya. Pria itu terlihat begitu terpuruk saat ini, rasanya sia-sia pengorbanannya selama ini untuk Fani mantan istrinya.
Adam merasa ia tidak ada harga diri, ditatapnya Devan yang sedang asik main game di ponselnya, kemudian ia menghampiri sahabatnya itu. Pria itu ingin meminta tolong Devan mengurus perceraiannya dengan Fani.
"Ada apa?" tanya Devan malas saat Adam menghampirinya.
"Tolong hubungi Devano untuk mengurus surat perceraianku," ucap Adam
"Kamu kayak enggak tahu Vano saja, dia sedang berlibur," jawab Devan
Adam hanya mendesah, tetapi ia tahu pasti sepupu dari Devan itu bisa membantunya untuk membuat Sasa menjadi hak asuhnya. Devan yang melihat sahabatnya melamun merasa tidak tega.
"Besok aku hubungi dia, secepatnya akan diurus gugatan mu," balas Devan sambil beranjak berdiri.
"Mau kemana?" tanya Adam
"Beli kopi, kamu mau," tawar Devan
"Boleh," jawab Adam Singkat
Setelah Devan keluar ruangan Adam kembali lagi duduk di samping ranjang putrinya.
****
Sementara itu di apartemen, pasca kejadian tadi Fani sedang mengobati bibir Raka yang sobek karena bogem mentah dari Adam, pria itu menahan sambil meringis karena merasa bibirnya pedih saat kekasihnya itu menyentuh lukanya.
"Apa kamu menyesal sudah di talak Adam?" tanya Raka sambil memegang tangan Fani.
Wanita itu hanya tersenyum, entah mengapa saat Adam mengatakan talak hatinya begitu sakit. Di tatapnya lelaki yang sedang menatapnya lekat.
"Ini sudah takdir, berarti jodohku dengannya hanya sampai di sini," jawabnya sambil mengemasi kota p3k yang diambilnya tadi.
"Maafkan aku sudah membuat rumah tanggamu berantakan," ujarnya sambil menatap sendu wajah wanita di depannya.
Fani tertegun saat Raka meminta maaf kepadanya, bukankah selama ini dia yang mengejar dirinya dan selalu memanjakannya dengan kartu kredit. Namun, wanita itu berusaha menepis prasangka negatifnya.
"Sekarang kita tinggal tunggu surat cerai dari Mas Adam," kata Fani sambil menyandarkan tubuhnya di dada bidang Raka, sedangkan pria itu mengusap dengan lembut kepala kekasihnya.
"Aku akan mengurusnya bulan depan, pakai pengacara keluargaku saja nanti," ujarnya sambil mengecup pucuk kepala Fani.
"Apa tidak merepotkan, Mas?" tanyanya padahal dalam hati ia begitu senang.
"Ini semua demi kebahagiaan kita, sayang. Kamu sudah mengorbankan keluarga kecil mu untuk bahagia bersamaku, kini waktunya aku berkorban untuk mu," jelasnya sambil mengeratkan pelukannya.
"Kamu memang pria terhebat, aku enggak salah pilih," pujinya sambil mengedipkan mata ke arah Raka.
"Maafkan aku Mas Raka, sebenarnya aku masih mencintai Adam, tetapi karena kamu lebih dari segalanya terpaksa aku memilih mu," batin Fani sambil tersenyum merasa sudah bisa menjerat atm berjalannya.
Jangan lupa subscribe dan dukung dengan cara komen dan tekan bintang lima ya. Insyaallah up setiap hari. Aa zigant.
Selama dirawat selama tiga hari kondisi Sasa sudah semakin baik, bayi berumur satu bulan lebih itu terlihat lebih menggemaskan sekarang, ruam merah di tubuhnya juga sudah mulai memudar. Adam begitu antusias saat tahu kalau siang ini putrinya di perbolehkan pulang. Devan juga sudah mengurus surat perceraian Adam ke pengadilan agama, Ayah beranak satu ini mulai lagi fokus untuk mengajar lagi. Nadia yang kini masih di ruang rawat Sasa, tak hentinya tersenyum menatap sepupunya itu. Tak lama Devan dan Adam datang untuk menjemputnya. Pria itu mengambil alih menggendong putrinya dari dekapan ponakannya. "Apa semua sudah siap, Nad?" tanya Adam tak henti-hentinya mencium pipi gembul Sasa. "Sudah Om," jawabnya sambil mengambil tas kecil tempat keperluan Sasa. Ketiganya berjalan melewati lorong rumah sakit, Devan hanya menggelengkan kepala melihat Adam yang berjalan cool sambil menggendong putrinya, Sedangkan Nadia mengikuti dari belakang Adam. K
Pagi ini Adam sudah bersiap untuk menuju ke salah satu kampus yang ada di ibu kota, dia akhirnya menerima tawaran Devan. Adam merasa ini mungkin ini rezeki untuk putrinya. Tanpa ragu pria berbadan tegap itu melangkahkan kakinya menyelusuri lorong untuk mencari ruang Devan. Sedangkan pria yang dicarinya sedang berdiri santai di tengah pintu ruangannya sambil berucap, "Anda telat lima belas menit." Adam tak menjawab, ia langsung masuk ke ruangan sahabatnya itu. Devan hanya menatap jengah rekannya yang main masuk saja sebelum di suruhnya. "Ruangan mu di sebelahku, tapi ingat jangan minta pindah ke lantai dua. Itu ruangan khusus dosen wanita," jelas Devan "Apa hanya untuk wanita?" tanya Adam sambil memperhatikan ruangan Devan yang tetap rapi seperti biasa. "Aku tahu kamu seorang yang tak suka diganggu, makanya saat dekan menyuruh menyiapkan ruangan di lantai dua langsung aku cegah," kata Devan "Terimakasih sayang, jadi makin cinta," goda A
Malam harinya Adam dan keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga, walau hanya bertiga saja mereka terlihat bahagia, terkadang Mang Ujang dan istrinya juga ikut bergabung. Adam sibuk dengan laptopnya. Pria itu tidak terasa sudah hampir dua minggu mengajar di kampus barunya, tidak jarang dia menemukan kado dari para mahasiswanya. Namun, duda anak satu itu selalu mengabaikannya. Tak lama Nadia menghampirinya, gadis itu dengan manja bergelayut manja di lengan kekar Adam, hal itu membuat Neneknya hanya bisa menggeleng, terkadang Rangga saja mencibir ulah calon istrinya itu. "Ada apa?" tanya Adam yang hafal betul dengan tingkah Nadia pasti ada maunya. Gadis itu tersenyum girang saat Omnya begitu hafal keinginannya, Nadia membetulkan posisi duduknya. "Om, tadi Nadia me
Pagi harinya di ruangan seorang dosen yang selalu menjadi perbincangan mahasiswa wanita, Adam yang sedang memeriksa tugas karena jam sepuluh nanti baru ada kelas, pria itu terlalu fokus hingga tak mendengar saat pintu ruangannya terbuka oleh seseorang yang hanya menatapnya heran. Devan melemparkan amplop coklat ke meja Adam membuat yang empunya terperanjat. "Kebiasaan ketuk dulu napa!" kata Adam kesal. Adam menyingkirkan amplop coklat itu ke lacinya, hal itu membuat Devan hanya mencibirnya. "Kamu enggak mau lihat apa isinya, Dam?" tanya Devan sambil menatapnya intens. "Untuk apa?" tanya Adam dingin. "Siapa tahu mau minta rujuk lagi," balas Devan yang langsung kena lempar pena oleh Adam.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tanpa terasa sekarang Sasa sudah berumur tiga tahun, bocah kecil itu sedang berlari-lari di taman belakang rumah Neneknya. Adam yang baru pulang langsung mencari putri kecilnya di kamar hingga ia bertemu dengan Bik Imah. "Bik, Sasa mana?" tanya Adam sambil melihat sekeliling ruang keluarga. "Sedang di taman sama Ibu, Den." Jawab bik Imah sambil tersenyum. Adam dengan langkah cepat menuju taman belakang, melihat Ayahnya datang gadis kecil itu berlari ke arah Adam. "Hoe ... hoe.... Ayah sudah pulang!" teriak Sasa sambil berlari. Adam langsung berjongkok mensejajarkan dengan tubuh putrinya. Pria itu begitu games langsung mencium kedua pipi gembul Sasa.
Sore pun tiba di mana mereka mempunyai tugas masing-masing yang sudah dibagi oleh bapak, Ririn harus menyiapkan makan malam. Rini bagian mencari rumput buat makan kambing sedangkan Reno dan Rey memasukkan kambing ke kandang. Tadi saat pulang dari sekolah, Ririn melihat ada terong ungu rencana akan di kukus nanti makanya di colek pakai sambal saja. Keluarganya berjumlah enam orang sedangkan ayamnya bertelur cuma dua butir hari ini Ririn ingat pesan mamak nanti goreng saja telurnya buat adikmu, tapi gadis itu tidak tega kalau bapak dan mamak makannya hanya pakai sayur dan sambal. Ririn memecahkan telur ayam yang hanya dua butir itu, kemudian segera menggorengnya buat lauk malam ini. Tidak lupa sambal korek pesanan bapak dan pucuk ubi rebus untuk pelengkapnya di tambah terong.
Hany terkejut saat melihat jam sudah pukul sebelas lewat, ia takut besok pagi kesiangan, karena jam enam pagi harus sudah ke dermaga menunggu speedboat. Dilihatnya suaminya sudah tertidur nyenyak, Hany segera ikut naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Halim. Namun, matanya enggan terpejam. Halim yang merasa terganggu dengan ulah istrinya yang tidak mau diam, akhirnya membalikan badan menghadap sang istri. "Kalau enggak bisa tidur kasih tahu," ucap Halim sambil memeluk sang istri. Hany hanya tersipu malu, dia tidak akan bisa tidur kalau tidak berada di pelukan suaminya, hal itu yang membuatnya selalu mengikuti kemana Halim pergi. Tak lama keduanya kembali terlelap, hingga alarm membangunkan Hany. Wanita itu melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul empat t
Malam ini seperti biasa, aktivitas di rumah Ririn mulai menyiapkan makan malam. Saat sore tadi mamak bilang suruh rebus beton(biji nangka), biar bisa buat cemilan malam. Makan malam ini pakai lauk ikan goreng dari hasil pancingan sore tadi, tapi yang membuat selera makan lebih nikmat ada sambal terasi dan sayur bening kacang panjang. Setelah selesai makan Ririn ikut membantu Mamaknya menyimpan sisa nasi ke dapur, sekalian dia bikin minum buat bapak kopi hitam dengan gula satu sendok takar. Gadis itu menghidangkan beton di mangkuk, bapak hanya tersenyum sambil menikmati rokoknya saat melihat apa yang dibawa anaknya. "Mbak...kok dapat beton dari mana?" tanya Reno sambil mengupas kulit beton. "Mamak tadi yang mengambi
Ririn memejamkan matanya, perasaannya entah kenapa merasa tidak enak, ada sesuatu yang akan terjadi. Namun ia bingung itu apa. Gadis itu menatap ke arah jendela, apa Adam akan mencarinya atau membiarkan dirinya pergi. Ririn memukul dadanya yang terasa sesak saat bayangan di mana Adam membentak dan memarahinya. Diambilnya lagi ponselnya, ia menghidupkan lagi dan ada pesan lagi masuk dari Adam yang menanyakan apa sudah sampai Palembang. Ririn membalas pesan pria itu ia mengatakan kalau tertinggal pesawat. Adam langsung minta share lokasi di mana Ririn sekarang berada. Namun, Ririn hanya menarik napas panjang. Gadis itu meletakkan ponselnya di atas kasur dan membaringkan tubuhnya karena merasa begitu lelah. Adam yang berada di rumah mengusap wajahnya dengan kasar karena
Mobil yang dikemudikan oleh Devan sampai di depan rumah Adam, keduanya turun dengan Sasa yang berada digendongkan Ayahnya."Assalamualaikum," kata keduanya serempak."Waalaikumsalam," jawab Mama Mirna sambil tersenyum menatap wajah putranya."Sayang kamu sama nenek sebentar, Ayah akan melihat Bunda," ucap Adam bergegas menuju ke arah tangga. Namun, langkahnya terhenti karena ucapan Mamanya."Ririn sudah pulang kampung," katanya lirih sambil mengusap kepala cucunya."Apa maksud, Mama?" tanya Adam berjalan menghampiri wanita yang begitu ia sayangi itu."Ririn sudah pulang, Dam. Dia katanya Rindu kedua orang tuanya," kata Mirna dengan wajah sendu.Adam langsung terduduk lemas dilantai, apa secepatnya itu wanita yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya di saat akan membuka lembaran baru bersama.Devan membisikkan sesuatu kepada Mama Mirna membuat wanita itu terkejut, perlahan dibukanya baju sekolah Sasa."Astagfirullah, s
Pagi Ini Ririn izin kepada Ibu Mirna untuk menunggu Sasa sampai keluar sekolah, hal itu membuat Bagas dan Adam merasa heran."Kamu nanti lama menunggu di sana, Rin!" kata Adam sambil menatap kekasihnya itu."Tidak apa-apa, Pak," jawab Ririn sambil tersenyum.Setelah Sasa selesai sarapan, Ririn mengajak anaknya berangkat yang diantar oleh Adam. Melihat gadis di sampingnya terlihat gelisah."Bunda kenapa?" tanya Adam membuat Ririn terkejut."Pak kok panggil bunda sih!" kata Ririn dengan wajah bersemu merah.Adam terkekeh melihat wajah Ririn yang merona, karena dipanggil Bunda oleh Adam. Sasa hanya diam gadis kecil itu ingat kalau hari ini dia harus mengajak Ayahnya untuk ke rumah Mama Fani, jika sampai tidak ancaman mamanya itu membuatnya takut.Ririn memeluk erat tubuh Sasa, ia merasakan perubahan dari anak asuhnya itu. Ingin rasanya dia melindunginya, tapi karena statusnya hanya sebagai pengasuh tidak bisa seenaknya sendiri.Se
Deg Adam dan Ririn terkejut mendengar apa yang dikatakan Sasa, gadis itu perlahan mendekati anak asuhnya itu. Kini keduanya sudah berada dekat mobil Adam. "Sasa, kapan Mama Fani marahnya?" tanya Ririn sambil mengusap kepala Sasa. "Tadi, waktu di kamar, katanya kalau Sasa tidak mau menurut Mama akan marah, Bunda," kata Sasa dengan polos. "Kenapa Sasa enggak mau menurut sama Mama Fani, Nak?" tanya Adam ikut berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan balita umur enam tahun itu. "Sasa harus bilang, kalau Ayah dan Mama bersatu lagi," jawab Sasa. Adam mengepalkan kedua tangannya, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Ririn yang menyadari itu langsung berdiri dan berbisik, "Kalau mau marah jangan depan saya dan Sasa,
"Sasa sama Mama yuk, Nak" ajak Fani. "Enggak mau, mau sama Bunda saja," kata Sasa sambil menangis. Fani terlihat sedih saat anak yang ia lahirkan tidak mau diajaknya saat melihat putrinya terluka, Ririn yang melihat itu merasa tidak enak hati. "Sasa sama Mama dulu ya, Nak," bujuk Ririn. "Mau sama Bunda saja," jawab Sasa sambil memeluk leher Ririn. "Maaf Bu," kata Ririn. Fani hanya diam, kini Ririn membawa Sasa masuk ke rumah di ikuti oleh Fani dari belakang. Adam yang melihat itu menghampiri putrinya yang kini sedang di ruang keluarga. "Kenapa Anak Ayah ini," kata Adam sambil duduk di samping Ririn. "Ayah tadi Sasa jatuh, tapi Bunda cepat tangkap tubuh Sasa," ujar Sasa "Wah, Bunda hebat. Bilang apa coba sama Bunda!" Adam sambil mengambil alih Sasa dari pangkuan Ririn. "Terimakasih Bunda," ucap Sasa sambil mengusap air matanya. "Iya sama-sama," jawab Ririn yang sudah merasa tidak
Adam terkejut saat melihat Fani mantan istrinya sedang mengobrol dengan Mamanya, kedua tangannya mengepal saat wanita itu bersujud di depan Ibu Mirna. "Ma." Adam menatap Mama Mirna "Adam," kata keduanya bersamaan. Ibu Mirna yang melihat raut dingin di wajah putranya hanya bisa tersenyum getir, sedangkan Fani kini berdiri menatap mantan suaminya yang masih begitu dingin kepadanya. "Dam, biarkan Fani bertemu Sasa, Nak. Bagaimanapun dia wanita yang sudah melahirkannya." Ibu Mirna mencoba memberikan pengertian kepada putranya. "Ma!" seru Adam yang tidak setuju. "Dam, mama juga perempuan seperti dia, Nak!" Mama Mirna menatap putranya dan berganti menatap Fani Adam hanya diam, ia menatap mantan istrinya yang sudah menangis di depannya. Dulu dia tidak akan membiarkan wanita yang dicintainya sampai meneteskan air mata, tetapi semua itu tak dirasakan lagi. Adam menganggukan kepalanya, ia menyetujui permintaan mamanya saat ini. N
Adam menatap sekeliling untuk mencari meja kosong, tapi ia harus menelan kekecewaan saat seseorang sudah mengambil salah satu meja yang akan ia datangi. Ririn yang melihat itu hanya terkekeh, tapi sedetik kemudian ia terkejut saat tangannya digenggam seseorang. "Cari tempat lain saja," ucapnya datar sambil menggenggam tangan Ririn untuk keluar kafe. "Pak, disana saja," ajaknya sambil menunjuk salah satu cafe di seberang jalan. "Di sana parkiran penuh," jawab Adam "Jalan kaki saja kalau gitu, anggap saja olahraga sore," kekeh Ririn Adam hanya mendengus kesal, tapi tak urung ia berjalan tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ririn yang menyadari itu hanya mengulum senyum, hal itu membuat Adam menghentikan langkahnya.
Bagas masih tidak percaya dengan apa yang kini ia lihat, Ririn benar-benar akan pergi dengan Devan. Dadanya terasa sesak, banyak yang ingin ia tanyakan kepada wanita yang sudah lama bertahta di hatinya itu. "Rin," panggil Bagas dengan tatapan yang susah diartikan saat mata keduanya saling pandang. Devan melihat itu benar-benar ingin tertawa, tapi sebisa mungkin ia tahan. Sedangkan Bagas masih menatap gadis yang hanya tampil sederhana jika akan bertemu dengan Oma Resa, Dia merasa curiga seharusnya gadis itu mengenakan gaun bukan celana jeans seperti sekarang. "Apa kamu yakin mau pergi?" tanya Bagas menatap sendu mata gadis yang menatapnya sambil tersenyum. "Iya Mas." jawab Ririn singkat. Bagas menatap Devan dengan tajam,
Hari ini semua berkumpul di rumah, karena bertepatan dengan hari weekend. Ibu Mirna begitu heran setelah selesai sarapan kedua pria di rumahnya itu asik saja di kamarnya, Ririn yang melihat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Rin, bagaimana Ibu bisa dapat menantu kalau saat libur Adam dan Bagas hanya di rumah saja?" tanya Ibu Mirna sambil fokus melihat Sasa yang sedang menonton film kartun kesukaannya. "Belum saja mungkin, Bu," jawab Ririn sambil tersenyum. "Sampai kapan, Nak. Lihat Sasa tahun ini saja sudah mau masuk SD itu artinya sudah hampir tujuh tahun Adam menduda," ujar wanita paruh baya itu "Mungkin belum bisa melupakan Ibu Fani," kata Ririn sambil tersenyum, tapi ada rasa tidak rela jika Adam kembali lagi dengan