Cuti masih lama selesai. Maira juga sudah berangsur-angsur membaik, bahkan sudah diantar kembali ke rumah kakek dan neneknya. Terhitung dua bulan lagi Gu dan Ali baru kembali bekerja. Bingung, tak ada yang bisa diperbuat, siang itu keduanya memutuskan membeli cat baru. Mengganti suasana rumah dengan warna yang lebih segar dan terang. Kamar maira didesain lebih ramah anak-anak dengan warna-warna cerah. Sedangkan Gu dan Ali yang kini sudah satu kamar bersama memutuskan menukar cat putih dengan cat biru, dengan corak daun maple yang berguguran. Tidak ada jasa tukang cat yang mereka gunakan, selama dua hari lamanya suasanya rumah itu akhirnya bertukar juga. Sesekali keduanya bersenda gurau dan tak jarang baju mereka kotor karena terkena tumpahan cat. Tak ada lagi dendam, malu, gengsi dan bayang-bayang masa lalu. Semua sudah keduanya ikhlaskan. Yang sudah terjadi tak akan mungkin bisa diperbaiki lagi. Hanya perlu menatap masa depan lebih baik lagi. Cat sudah selesai dan barang-barang jug
Gu terbangun dengan napas berlomba-lomba. Ia barusan memimpikan hal kelam lima tahun lalu. Wanita itu mengucek matanya, lalu melihat jam di dinding. Jam empat sore, pantas saja ternyata ia melewati wakthu Ashar sampai 30 menit lamanya. Tak ada Ali di rumah itu. Judul saja suaminya cuti, tapi sesekali masih dipanggil jika menyangkut hal yang teramat sangat penting. “Kenapa aku mimpi hal itu lagi, ya? Kan, sudah lama aku ikhlaskan kejadian di masa lalu,” gumam Gu perlahan. Ia ambil wudhu lalu tunaikan kewajiban. Setelahnya wanita itu angkat dua tangannya tinggi. Mendoakan agar kedua orang tua juda saudara-saudara muslimnya yang tewas saat pembantaian itu mendapatkan tempat terbaik, dan satu hal yang baru pertama kali ini ia ucapkan juga. “Ya Allah, andai adikku masih hidup, tolong tunjukkan jalan. Jika mampu akan kuselamatkan dia. Aamiin.” Wanita itu mengusap wajah dengan dua tangannya. Sejak Ali mengaku bahwa ia Adhilzan dari seminggu lalu, beberapa kali ia memimpikan tentang adik la
Ali sudah mencari informasi terkait keberadaan Nursultan Berik, adik iparnya. Tak ayal kamar itu berubah menjadi ruang investigasi. Ada foto, gambar terowongan, camp serta gambar penjaga di sana. Mantan sahabat Ali dulu menjadi kepala penjara—Hendrik. Mungkin saja jika Ali tak diberikan hidayah maka ia yang akan memegang posisi penting itu. “Ini adikku sekarang?” tanya Gu ketika melihat foto anak lelaki berusia 10 tahun. Rambut lurus dan mata hitam, wajah mirip dengan wanita berambut keriting itu. “Iya, data yang kudapat begitu. Namanya dulu Nursultan, tapi sudah diganti menjadi Andrey Boris,” jawab Ali sambil menghubungkan benang merah dari satu foto ke foto lain. “Dia benar-benar lupa denganku?” Gu memegang foto wajah adiknya. Sudah lama sekali tak berjumpa. Ia senang kalau Sultan masih hidup. “Biasanya seperti itu. Akan lebih bahaya kalau adikmu di usia sekarang, misalnya sudah baligh. Pihak militer Balrus tak akan membiarkannya di dalam asrama saja. Tentu akan diadakan uji cob
“Panas,” ujar Gu dari tadi. Keringat tak henti-hentinya menetes dari seluruh tubuhnya, padahal di atas sana sedang musim dingin. Ali sudah biasa melewati tempat-tempat menyeramkan seperti itu. Namun, tidak bagi istrinya. Tiba-tiba saja Gu muntah karena tak tahan dengan aroma di dalam tanah. “Beginilah kalau susah dikasih tahu. Disuruh di rumah saja tak mau dengar.” Ali menepuk punggung Gu agar semua beban di dalam perutnya keluar. “Padahal aku sudah minum vitamin supaya kuat menghadapi perjalanan jauh.” Wanita bermata biru itu masih berjongkok, pandangan matanya serasa berkunang-kunang. “Ya, jangan disamakan perjalanan orang biasa dengan tentara.” Ali mengeluarkan tabung oksigen, ia berikan agar istrinya merasa lebih segar. Terdiam sesaat dua orang itu, tanah di atas sana bergetar kuat. Ali melindungi kepala Gu dengan kedua tangannya. Takut sewaktu-waktu ada gempa lagi. Namun, beberapa saat kemudian keadaan mulai tenang. Perjalanan sudah mereka lewati lebih dari setengahnya, untuk
Ali juga berganti baju dengan meniru kebiasaan orang-orang di sana. Terpaksa ia mencukur janggut yang telah ia pelihara selama bertahun-tahun. Mereka kini berada dalam sebuah kamar mandi berdua saja. Gu memperhatikan suaminya yang sedang merapikan sisa-sisa cambang yang masih ada. Persis terlihat seperti ketika mereka pertama kali berjumpa. “Aneh, ya. Di kepala tak ada rambut, tapi bisa tumbuh cambang segitu lebatnya,” ujar Gu sambil melipat baju militer putih. Ia masukkan dalam tas siapa tahu berguna satu hari nanti. “Mana aku tahu. Diciptakan sudah begini dari awal. Kau pun aneh juga, kukira pendiam, kalem dan mudah diatur. Ternyata cerewet, susah dikasih tahu, dan tak bisa diam,” jawab Ali tak mau kalah. “Apa dengan Fir dulu begitu juga?” tanya lelaki itu lagi. Sebab dari pembawaan Gu dulu ia kira wanita itu seperti ratu atau tuan putri yang menjaga cara bicara dan tata krama, nyatanya lepas begitu saja. “Tak akan kuberi tahu. Nanti aku bertanya tentang Sintia kau tak mau menjaw
Ali menggunakan rambut palsu. Gu hanya tertawa melihatnya. Ia jadi terlihat berbeda, ditambah rambut itu berwarna pirang. Suaminya jadi terlihat seperti orang lain. Gu nyaris tak mengenali suaminya jika tak pernah menghabiskan waktu sepanjang hari bersama lelaki bermata abu-abu itu. “Kunci pintu rapat-rapat, jangan dibuka kalau bukan aku yang datang. Kota ini sedikit tak ramah dengan pendatang. Ganjal saja dengan kursi. Aku pergi sendirian, kau tak boleh tahu karena ini sangat berbahaya. Paham sampai di sini?” Ali benar-benar memastikan kalau istrinya harus mematuhi apa katanya. “Iya, kali ini aku paham. Lagi pula aku sedang malas keluar. Pinggangku serasa mau patah,” jawab Gu. Usai diyakinkan oleh Gu, Ali pergi berjalan kaki menemui dua orang pengkhianat yang akan membantunya masuk ke dalam camp konsentrasi. Ia tahu dari dulu sepak terjang mereka. Sayangnya belum sempat diadili Ali sudah harus keluar dari Balrus, dan kini dua orang itu justru berguna baginya. Sesekali ayah Maira me
Gu terbangun karena bara api yang ia hidupkan telah hampir mati. Lekas ia tambahkan kayu agar tak menggigil kedinginan. Ia mengenakan baju tebal dari ujung rambut sampai kaki. Sudah terhitung dua minggu ia ditinggalkan oleh suaminya. Stok makanan masih sangat melimpah. Wanita itu tak terlalu berselera makan, ia hanya rajin minum teh atau cokelat panas saja. Gu juga tak bisa tidur di dalam kamar, sebab tak ada cerobong api di sana. Kadang ia tak tahan dengan pusing di kepalanya, lalu ia benar-benar hanya berbaring saja sambil menonton televisi, satu-satunya media yang bisa menghiburnya. Ponselnya sendiri sudah lama dimatikan, kata suaminya agar tak ada yang melacak. Ali juga tak membawa handphone ke dalam camp. Sebab dari sana identitasnya nanti bisa ditemui. Terkadang ketika wanita bermata biru itu mulai bosan, ia hidupkan alat komunikasi tersebut lalu berbalas pesan dan tertawa sendiri. Diam dalam kesendirian membuatnya nyaris gila. “Haah, lama sekali waktu berjalan,” gumamnya samb
“Bangunkan dia!” perintah Hendrik pada salah satu tentara. Bawahannya langsung menyiram wajah Naima dengan seember air yang sangat dingin. Gadis berusia tiga belas tahun itu langsung bangun dengan napas yang tak bisa dikendalikan. Musim salju dari semalam sangat tidak bersahabat. Lima orang gadis muda yang ditawan, empat diantaranya meninggal karena hipotermia, tak diberi makan dan selimut yang layak. Tersisalah hanya Naima yang hidup, ia juga yang paling dewasa dan dari segi fisik paling siap dipersembahkan bersama salah satu tentara terbaik di dalam camp. “Bawa dia, berikan pada tentara wanita. Ajari berdandan, jadi genit dan bersikap seperti pelacur. Tradisi harus diteruskan, yang terbaik harus mendapatkan yang paling cantik.” Hendrik menarik tangan Naima. Ia dorong dan gadis itu ditangkap oleh bawahannya. Kemudian sambil menangis Naima dibawa ke camp di mana dua orang tentara wanita telah siap menunggunya. Gadis cilik dengan rambut kemerahan tersebut akan dipersembahkan hari itu
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast