Ali menggunakan rambut palsu. Gu hanya tertawa melihatnya. Ia jadi terlihat berbeda, ditambah rambut itu berwarna pirang. Suaminya jadi terlihat seperti orang lain. Gu nyaris tak mengenali suaminya jika tak pernah menghabiskan waktu sepanjang hari bersama lelaki bermata abu-abu itu. “Kunci pintu rapat-rapat, jangan dibuka kalau bukan aku yang datang. Kota ini sedikit tak ramah dengan pendatang. Ganjal saja dengan kursi. Aku pergi sendirian, kau tak boleh tahu karena ini sangat berbahaya. Paham sampai di sini?” Ali benar-benar memastikan kalau istrinya harus mematuhi apa katanya. “Iya, kali ini aku paham. Lagi pula aku sedang malas keluar. Pinggangku serasa mau patah,” jawab Gu. Usai diyakinkan oleh Gu, Ali pergi berjalan kaki menemui dua orang pengkhianat yang akan membantunya masuk ke dalam camp konsentrasi. Ia tahu dari dulu sepak terjang mereka. Sayangnya belum sempat diadili Ali sudah harus keluar dari Balrus, dan kini dua orang itu justru berguna baginya. Sesekali ayah Maira me
Gu terbangun karena bara api yang ia hidupkan telah hampir mati. Lekas ia tambahkan kayu agar tak menggigil kedinginan. Ia mengenakan baju tebal dari ujung rambut sampai kaki. Sudah terhitung dua minggu ia ditinggalkan oleh suaminya. Stok makanan masih sangat melimpah. Wanita itu tak terlalu berselera makan, ia hanya rajin minum teh atau cokelat panas saja. Gu juga tak bisa tidur di dalam kamar, sebab tak ada cerobong api di sana. Kadang ia tak tahan dengan pusing di kepalanya, lalu ia benar-benar hanya berbaring saja sambil menonton televisi, satu-satunya media yang bisa menghiburnya. Ponselnya sendiri sudah lama dimatikan, kata suaminya agar tak ada yang melacak. Ali juga tak membawa handphone ke dalam camp. Sebab dari sana identitasnya nanti bisa ditemui. Terkadang ketika wanita bermata biru itu mulai bosan, ia hidupkan alat komunikasi tersebut lalu berbalas pesan dan tertawa sendiri. Diam dalam kesendirian membuatnya nyaris gila. “Haah, lama sekali waktu berjalan,” gumamnya samb
“Bangunkan dia!” perintah Hendrik pada salah satu tentara. Bawahannya langsung menyiram wajah Naima dengan seember air yang sangat dingin. Gadis berusia tiga belas tahun itu langsung bangun dengan napas yang tak bisa dikendalikan. Musim salju dari semalam sangat tidak bersahabat. Lima orang gadis muda yang ditawan, empat diantaranya meninggal karena hipotermia, tak diberi makan dan selimut yang layak. Tersisalah hanya Naima yang hidup, ia juga yang paling dewasa dan dari segi fisik paling siap dipersembahkan bersama salah satu tentara terbaik di dalam camp. “Bawa dia, berikan pada tentara wanita. Ajari berdandan, jadi genit dan bersikap seperti pelacur. Tradisi harus diteruskan, yang terbaik harus mendapatkan yang paling cantik.” Hendrik menarik tangan Naima. Ia dorong dan gadis itu ditangkap oleh bawahannya. Kemudian sambil menangis Naima dibawa ke camp di mana dua orang tentara wanita telah siap menunggunya. Gadis cilik dengan rambut kemerahan tersebut akan dipersembahkan hari itu
Naima didandani tak ubahnya pelacur. Lipstik merah, pipi merona, bulu mata lentik dan tak luput baju yang hanya menutupi tubuh bagian atas. Ditambah rok yang sangat mini sekian senti di atas lutut. Kedinginan? Tentu saja, hari itu salju turun tak menentu, sebentar lebat sebentar mereda.“Jadilah kau santapan beruang lapar.” Seorang tentara wanita melempar Naima ke dalam kamar khusus. Mengerikan sekali, ada gambar-gambar terbuka, ada borgol, ada cambuk, yang bahkan gadis itu tak mengerti apa gunanya. Ia hanya menangis sesenggukan. Gadis berambut kemerahan itu mengambil selimut lalu menutupi tubuhnya yang sangat terasa dingin. Namun, bukan itu yang ia takutkan. Melainkan, ketika pintu terbuka dan masuklah seorang anak laki-laki yang raut wajahnya seperti kebingungan. Matanya ditutup kain hitam dan jalannya sedikit terhuyung.“Selamat bersenang-senang, kawan. Nanti gantian denganku, ya.” Tentara yang tubuhnya tinggi itu menepuk bahu Sultan. Lalu penutup matanya dibuka. Adik Gu telah dibe
Gu mengaduk segelas cokelat panas dalam gelas. Sudah sebulan lebih ia menanti dengan penuh ketidak pastian. Bahkan ia telah menghitung banyaknya butiran salju yang turun. Demi mengisi rasa bosan, terkadang wanita yang sedang hamil anak kedua itu membuat orang-orangan salju di halaman belakang. Tepat di atas makam lelaki yang ia bunuh. Mayat itu membeku seperti daging di dalam frezer. “Lama sekali ayahmu pulang, Nak. Apa terjadi sesuatu dengannya di dalam sana.” Gu menyesap cokelat yang sudah mulai dingin. Saat minuman itu sampai di mulutnya, langsung ia semburkan ketika pintu belakang terbuka tiba-tiba. Sosok yang ia rindukan muncul tiba-tiba. “Assalammualaikum, maaf, membuatmu terkejut. Kau dari tadi dipanggil tidak menyahut juga.” Ali muncul dengan menggandeng tangan Sultan juga Naima. Gu langsung menghamburkan diri dalam pelukan lelaki itu. Namun, secepatnya Ali tepis lagi, mereka tak punya banyak waktu untuk berduaan. Harus segera sampai di perbatasan dan masuk dalam terowongan
Empat orang itu masuk ke dalam rumah yang telah ditinggalkan selama hampir dua bulan lamanya. Rumah Gu berdebu, lekas saja ia meminta bantuan orang lain untuk membersihkan dan memasak. Ia sudah tak punya daya dan kekuatan lagi untuk melakukan apa pun. Ali dan Gu masuk dalam kamar sebentar saja. Berniat menukar baju, lalu mengurus Sultan juga Naima yang sangat tidak mungkin akan tinggal satu rumah bersama. Namun, suara pecahan piring terdengar hingga membuat keduanya terpaksa berlarian. “Apa yang kau lakukan, Sultan?” Gu menarik tangan adiknya, ia memecahkan piring lalu mendekatkan pecahan itu ke leher Naima. Di dalam camp, Sultan diajarkan agar tak pernah berbuat baik terhadap perempuan muslim walau itu anak kecil. Tadi Naima bersin dan mengucapkan alhamdulillah. Satu kata yang jelas sekali bahwa gadis berambut merah itu muslimah yang berbahaya. “Aku ingin membunuhnya. Darah umah muslim itu murah di tanganku.” Tangan Sultan diputar hingga berada di tubuh bagian belakangnya. Ali mela
Naima diajak ke pusat perbelanjaan baju muslimah oleh Gu. Berhubung di dalam toko itu isinya hanya perempuan semua, Ali memutuskan untuk menunggu di luar. Ia tertidur sebentar, merebahkan kepalanya di sandaran mobil. Letih? Tentu saja, jangan ditanya lagi. Tak ingat lelaki bermata abu-abu itu kapan ia tidur tenang sejak dua bulan lalu. Namun, baru sebentar ia terbangun lagi. Bayangan Naima dan Sultan dalam satu selimut berdua itu benar-benar menggangu pikirannya. “Dia tak ingat apa yang terjadi pada dirinya,” ucap Gu saat Ali mempertanyakan jawaban Naima. Ditambah pula Sultan yang merasa gelap setelah pengaruh obat itu. Keduanya anak kecil yang sama-sama jadi korban. Hanya saja yang Ali takutkan kalau misalnya Naima hamil, bagaimana pula anak itu akan menghadapi dunia? Sedangkan …. “Sakit kepalaku dibuatnya,” gumam Ali sendirian. Ini bahkan lebih rumit daripada masalahnya dulu. Saat Gu tertimpa masalah demikian, wanita bermata biru itu sudah memasuki usia cukup untuk menikah dan aka
Musim salju akhirnya berganti juga. Naima merasa bisa bernapas dengan lega. Sekolah pun kembali dibuka. Begitu juga dengan Ali dan Gu, mereka kembali pada urusan pekerjaan masing-masing. Maira diantar ke rumah kakek neneknya, dan Naima tak mungkin rasanya dibiarkan termenung seorang diri di rumah. Gadis itu harus diberi semangat agar terus menatap indahnya masa depan walau masa lalu sangatlah terpuruk. “Aku antar saja dia ke tempat belajar, yang usianya sepantaran. Kasihan kalau dia mengenang kejadian itu terus,” ujar Ali ketika telah mengantar istrinya sampai di rumah sakit. Wanita bermata biru itu hanya mengangguk saja. Apa pun demi kembalinya Naima jadi lebih ceria tidak masalah. Lagi pula keduanya sudah berkomitmen untuk menjadi wali bagi gadis berambut kemerahan itu. Ali dan Naima sampai di satu majelis yang isinya hanya perempuan saja, termasuk pula ustadzah, tukang bersih-bersih kecuali penjaga pagar. Ali mengantar gadis itu ke ruang guru. Ia daftarkan dan serahkan Naima agar