Bagian 140 Sihir Pemikat Hati Azimah, gadis pendendam adik Reihan, tak pernah senang melihat kebahagiaan Naima dan Sultan yang baru saja dikaruniai seorang putra. Bagaimana dengan nasib kakaknya yang terkubur kedinginan? Sedangkan mereka berdekap hangat selalu setiap malam. Gadis yang merasa kehilangan kasih sayang kakaknya tersebut begitu mudah dibisiki oleh iblis. Hingga pada suatu malam ia memutuskan untuk melakukan sesuatu pada sepasang suami istri itu. Azimah mendatangi ahli nujum, letaknya sangat jauh berjam-jam lamanya dari dari tempat tinggal gadis tersebut. Namun, tak mengapa asal orang yang ia benci tercerai berai bahkan saling membenci sampai mati. “Pisahkan mereka!” Tak ada salam terucap di rumah dukun itu. Ya, lelaki yang gigi depannya telah hancur tersebut tinggal menyendiri di antara rumah kumuh lainnya. Sengaja ia di sana agar petugas kesulitan mengenalinya. Bukankah orang miskin enggan didekati. Padahal emasnya sangatlah banyak. Tentu saja hasil menjual jasa dari o
Bagian 141 Salah Paham Maira mengganti baju berwarna biru tuanya dengan abaya dan jibab biasa di dalam kamar mandi masjid. Semua perlengkapan masih ia bawa ke dalam tas. Pistol laras pendek yang selalu ada di dalam saku, tali, borgol dan benda-benda penting lainnya. Berjalan cepat gadis bermata biru itu agar bisa menyamakan langkah mengikuti Azimah. Gerak-gerik adik Reihan terlihat mencurigakan. Maira jadi bersembunyi setiap sebentar agar tak ketahuan. Perjalanan Azimah sangat jauh berjam-jam lamanya menggunakan kereta cepat. Maira mengirim pesan pada orang di rumahnya, ia sedang ada lembur dan terlambat pulang. Empat jam kemudian baru Azimah turun di pemberhentian terakhir. Wilayah di mana perbatasan negeri Syam yang banyak sekali orang miskinnya. Belum sempat tersentuh bantuan karena sebagian tentara juga dikirim perang ke Balrus yang belum juga ada penyelesaikan sampai sekarang. Penampilan Maira dengan abaya licin itu terlihat berbeda. Sedangkan Azimah menggunakan gamis lusuh a
Bagian 142 Terpaksa Mencuri Humaira mengikuti jalan persidangan Azimah selama dua hari lamanya. Sudah jelas ia dijatuhi hukuman mati karena melakukan kesyirikan dan berusaha menghancurkan rumah tangga orang lain. Namun, gadis itu tidak terlihat menyesal sedikit pun. Bahkan berani menantang Maira untuk membongkar aib orang lain yang masih mendatangi dukun. Pasti ada alasan yang jelas mengapa ahli nujum tua itu sampai memiliki banyak emas. Lalu hukuman mati dijatuhkan, oleh Hakim Harun. Adik gubernur Asad itu selalu adil dalam memutuskan perkara orang lain, tetapi tidak untuk dirinya sendiri serta keluarganya. Azimah dieksekusi mati setelah seminggu divonis oleh salah satu algojo dengan hukuman penggal. Memejam mata Maira melihat darah yang mengucur deras, tetapi memang demikanlah hukum yang harus ditegakkan agar ada efek jera bagi yang lain. Sudah diterapkan saja masih ada yang melanggar apalagi tidak diterapkan. Selesai melihat eksekusi mati Azimah, Maira tak lekas kembali ke kanto
Bagian 143 Mencari Keadilan “Suami Ibu ke mana?” tanya Maira, ia lupa dengan penjelasan Fahmi barusan. Gadis bermata biru itu duduk di pasir yang hanya beralaskan kardus saja. Ibu dan anak tersebut tak menjawab pertanyaan Maira, mereka makan begitu lahap, seolah-olah sudah lama tak bertemu dengan makanan. Bagaimana perasaan gadis itu? Tentu terluka, teringat ia lagi dengan keadaan di rumahnya yang penuh makanan. Bahkan Fahmi harus mencuri untuk hanya urusan mengganjal perut. “Suamiku baru dua hari lalu meninggal,” jawab Naina—ibu Fahmi. Raut wajah itu menjelaskan asal kelahirannya. Hidung mancung dan kulit gelap. Naina berasal dari India sedangkan suaminya tidak. Fahmi lebih condong mengikuti wajah ibunya. “Karena?” Penasaran Maira belum terpenuhi. “Sakit.” Naina lekas menyusui anak keduanya yang perempuan, bernama Rahmah. “Alhamdulillah air susuku keluar juga. Terima kasih ya, Nak, dua kali kau menolongku.” “Dua kali?” Gadis bermata biru itu mengulangnya. Maira lupa pertemuan p
Bagian 144Sekufu Maira berjalan dengan Fahmi ke satu tempat yang cukup ramai. Tak malu polisi wanita itu meski pemuda yang berjalan di belakangnya terlihat lusuh dan tak ada eloknya dipandang sama sekali. Gadis bermata biru itu mendadak lapar usai mendatangi rumah ular berbisa. Jika dituruti nafsu sudah jelas ia akan terima tawaran makan dari Nyonya Heba tadi. “Fahmi, kau pernah makan kebab dan burger?” tanya Maira berhenti di sebuah gang yang wangi makanannya sangat menggugah selera. “Dulu pernah diberikan oleh orang, setelah itu aku lupa rasanya,” jawab pemuda itu sambil menunduk, seolah-olah pesona Maira terlalu menyilaukan di matanya. “Kalau begitu, kau pergi ke pedagang sana, belikan dua buah kebab dan burger, ya, full irisan daging dan bawang. Aku tunggu di sini.” Maira memberikan beberapa lembar uang pada pemuda yang bertubuh kurus persis seperti ayahnya itu. Lekas saja Fahmi pergi, sebenarnya ia ingin meminta untuk ibunya juga, tetapi pemuda itu malu. Sudah diberi saja
Bagian 145 Jalan Tengah Fahmi beserta ibu dan adiknya berjalan kaki menuju pasar untuk mencari mesin jahit. Namun, ketika belum sampai di tujuan, ada sebuah mobil berhenti di depan mereka. Pintu mobil itu bergeser ke arah samping. Seorang laki-laki dengan badan besar muncul dan menarik paksa Naina yang membawa bayi beserta putranya. Kemudian mobil berjalan cepat menuju satu tempat yang begitu sunyi dan senyap. Jauh dari keramaian dan tidak ada satu orang pun yang bisa dimintakan tolong. “Kau yakin peritahnya hanya untuk membuang mereka saja? Tidak perlu dibunuh?” tanya lelaki yang melempar ketiganya di padang pasir pada supir. “Yakin, kalau dibunuh malah jadi masalah besar nanti. Yang penting mereka sudah pergi. Cepat, tinggalkan tempat ini.” Mobil itu kemudian pergi. Tinggalah mereka bertiga di sana tanpa arah dan tujuan. “Ya Allah, ini di mana, dan siapa mereka tadi?” Naina menenangkan Rahmah yang terus saja menangis. Cukup lama mereka di dalam mobil dan tak ingat pula ke mana
Bagian 146 Menerima Nasab “Apa? Gubernur Asad ingin melamarku?” tanya Maira pada ayahnya. Mereka baru selesai makan malam bersama dan sudah waktunya menjelaskan hasil perbincangan di telepon tadi sore. “Iya, kau tak salah dengar, Nak. Mereka memiliki seorang putra, dan mereka rasa cocok untuk menjadi suamimu,” ujar Ali dengan jantung berdebar luar biasa. Di ruang tamu hanya tinggal ia dan Maira saja, detik-detik kejujuran yang menyakitkan hati. Kejahatan belasan tahun silam yang meninggalkan jejak berupa seorang gadis bermata biru. “Tapi, rasanya aneh sekali. Mengapa tak mencari wanita lain seperti guru, dokter, atau anak ulama dan mungkin saja anak gubernur lainnya. Bukankah dengan yang demikian jauh lebih sekufu.” Maira berpikir ada yang aneh. Rasanya tidak masuk akal jika keluarga Asad ingin meminangnya. Sedangkan ia pernah membuat keributan kecil di dalam istana sang gubernur. Tatapan Nyonya Heba saja sudah jelas tak menyukainya. “Tak selamanya sekufu selalu menjadi ukuran d
Bagian 147 Putra Gubernur “Benarkah Maira tak marah pada kita?” tanya Gu pada Ali yang menjelaskan hasil pembicaraan tadi pagi pada dirinya. Sepasang suami istri itu sedang menyiapkan kudapan untuk acara sore nanti. Sudah biasa mereka berdua mengerjakan pekerjaan rumah bersama-sama. “Benar. Ekspresinya pun biasa-biasa saja. Dia terlihat menarik napas lega,” ucap Ali. “Yang benar? Jangan-jangan di belakang kita dia menangis lagi.” Gu tahu sebab wanita di depan orang yang dicintai berkata baik-baik saja, padahal hatinya sudah hancur luar biasa. “Itu aku tidak tahu. Yang paling penting dia sudah memaafkan kita. Bahkan tak ingin tahu apa pun masa lalu kita. Aku sedikit lega.” “Ya, alhamdulillah kalau begitu. Hanya tinggal lamaran saja nanti sore. Semoga pihak keluarga laki-laki menerima, dan kalau tidak menerima mereka bisa menjaga aib kita. Tak terbayangkan kalau mereka mengumbarnya ke sana kemari.” Gu memotong-motong ayam untuk diberi tepung. Ali hanya diam tak mau menanggapi lagi