"Astagfirullah!"
Mimpi apa ini Ya Allah? Di saat aku sedang berdamai dengan hatiku untuk memaafkan kak Alvin dan menerimanya. Bayangan itu muncul lagi membangunkan kenangan buruk yang perlahan ingin aku kubur.
Segera kuambil wudhu, lalu aku sholat tahajud juga istikharah.
Kuputar tasbih di tanganku, entah sudah ke berapa kali. Meng asmakan namaNYA membuat jiwa ini merasa lebih tenang.
Sekilas aku melihat punggung kak Alvin yang tertutup kemeja warna biru. Apakah masih ada tato bergambar sepasang sayap disana?
"Zahra, apa kamu mau beli sesuatu dulu?" tanya kak Alvin di tengah perjalanan."Tidak, Kak. Makasih," jawabku singkat."Bunda?" tanya nya lagi."Kami langsung pulang saja, Vin!" jawab Bunda.Kami pun sampai di rumah sederhana yang sejak 5 tahun lalu menjadi tempatku melukis masa depan, berkanvas iman, aku menggambar dengan warna-warni takdir yang Allah beri, berharap kelak menjadi lukisan indah meski awalnya berwarna hitam kelam.Bunda langsung kududukan di sofa, bersama kak Alvin dan Bii Sari menemani, sementara itu aku berjalan menuju dapur untuk membuat minuman."Silahkan di minum!" ucap Bunda, ketika aku mulai menyuguhkan dua cangkir kopi untuk kak Alvin dan Bi Sari."Bun, Insya Allah besok aku akan kesini bersama Ustadz Iman?""Ustadz Iman itu siapa, Vin?" tanya bunda."Ustadz Iman adalah guru mengajiku yang meminta Ustadz Danu mencari jodoh untukku berta'aruf," jelas kak Alvin.Aku hanya menundukan pandangan. Ustadz Danu memang pernah bercerita tentang murid sahabatnya, Ustadz Iman, yang berhijrah setelah mengalami kecelakaan.Aku tidak tahu tujuan Ustadz Danu bercerita seperti itu padaku adalah untuk menjodohkanku dengannya. Kak Alvin.
"Aku mau membicarakan pernikahanku dengan Zahra, Bun. Itu pun kalau Zahra bersedia kami menikah diwaktu dekat"Aku yang sedikit terkejut mengangkat kepalaku hingga pandangan kami bertemu.Mata syahdu itu, terlihat begitu tulus. Apa benar itu mata yang sama, dengan yang menatap seluruh lekuk tubuhku penuh nafsu, dulu.Bunda memegang tanganku, seakan tahu tentang apa yang aku pikirkan saat ini."Zahra sudah memutuskan untuk meneruskan berta'aruf. Semakin cepat kalian menjadi halal, akan semakin cepat pula kalian saling memperbaiki diri masing-masing dengan berusaha menjadi pasangan yang baik. Namun, untuk saat ini kondisi Bunda masih belum sepenuhnya sehat, jadi sebaiknya Alvin besok lusa saja kesininya."Kak Alvin menyetujuinya. Dengan Alasan tidak mau mengganggu Bunda, Dia pun pamit. Namun sebelum pergi Bi Sari memberi Bunda sebuah bingkisan."Ini untuk Nak Zahra!" ucapnya."Terimakasih!"Setelah kak Alvin dan Bi Sari pergi, aku menuntun Bunda ke kamarnya. Di dalam, Bunda memintaku membuka bingkisan tadi."Apa isinya?" tanya Bunda."Gamis, Bun!" jawabku sambil memperlihatkan sebuah gamis berwarna kuning kunyit lengkap dengan kerudungnya."Itu apa?" tunjuk Bunda pada Amplop merah muda yang terselip dilipatan gamis.Aku membukanya, sepucuk surat atas nama Alvin yang di tujukan untukku.[Assalamu'laikum, Zahra! Dulu aku telah menoreh luka dihatimu, sehingga matamu mungkin terus terbayang akan kasarnya sikapku, pikiranmu mungkin tak luput akan kekejian perbuatanku, dan Nuranimu mungkin sulit menerima kasih sayang seseorang akibat trauma.][Maafkan aku, Zahra! Maaf. Izinkan aku perlahan mengobati luka yang aku buat. Aku yakin ini sulit untukmu, menerima berta'aruf dengan orang yang ingin kamu lupakan.]
[Untuk itu Aku sangat berterima kasih telah memberiku kesempatan. Terima kasih, Zahra. Wassalamu'alaikum]
Kulipat kembali surat itu lalu memasukannya ke dalam amplop."Anak bunda sudah dewasa, ya! Sudah benar-benar hijrah di jalan Allah. Hebat!" Dielusnya pipi ini dengan lembut, sentuhan Bunda memang selalu bikin hati ini nyaman.Aku melanjutkan memasak di dapur, membereskan rumah dan mulai merapikan jahitan Bunda yang sudah selesai, takut keburu diambil pemiliknya.Hari ini begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan rumah, melainkan aku harus mulai menyatukan kepingan hati yang pecah, aku berusaha melawan perih ini, agar bisa terus melangkah dan melanjutkan hidup di jalan Allah.Salat isya sudah kami tunaikan, Aku dan Bunda langsung tidur, tidak menonton tivi seperti biasa kami lakukan seusai sholat.Hanya Rembulan yang masih terjaga, menemani bintang yang sulit terpejam. Semilir angin masuk kecelah jendela, sampai mentari pagi munculpun kesejukan masih terasa dimusim dingin ini."Zahra, kamu tidak mengajar?" tanya Bunda melihat aku menyajikan nasi goreng di meja makan."Aku ijin, Bun! Mau nemenin Bunda di rumah" sahutku menuangkan secangkir teh hangat buat Bunda."Bunda sudah sehat, kalau kamu mau pergi kesekolah gak pa-pa, kok!""Aku tetap tidak mau pergi ke sekolah, takut terjadi sesuatu lagi pada Bunda." Sejak kejadian itu, aku memang sedikit berlebihan, mudah takut dan cepat cemas.Selesai sarapan Bunda langsung menuju mesin jahitnya, sedangkan aku lanjut memasak untuk makan siang."Assalamu'alaikum!" terdengar dari balik pintu ada yang mengucapkan salam, aku pun berhenti mengupas bawang lalu berjalan ke arah pintu."Farel?"Aku terkejut dengan siapa yang berada di depanku, segera ku tundukan pandangan yang sempat melihat wajah pemuda itu.
Farel.
Dia adalah mantan pacarku, lebih tepatnya pacar yang aku tinggalkan semenjak pemerkosaan itu."Siapa?" Bunda menghampiriku.Farel langsung menjabat tangan Bunda seperti biasa dia lakukan setiap mengajaku kencan."Apa kabar, Bun?""Baik, Rel. Mari masuk!"Kami bertiga pun duduk di ruang tamu, Farel mungkin heran karena Bunda tidak juga meninggalkan kami berdua."Maaf ya, Rel. Zahra sudah hijrah, dia tidak mau kalau hanya berdua dalam satu ruangan dengan yang bukan mahromnya. Kalau kalian mau ngobrol, anggap saja Bunda nyamuk," canda Bunda memberi pengertian pada Farel.Farel dan Bunda tertawa. Sedangkan aku hanya tersenyum.Perasaan apa ini, seperti mendapat percikan api, menyalakan lilin yang sudah lama padam. Aku mulai bisa melihat lagi setelah sebelumnya hanya kegelapan dipelupuk mata."Apa kabar, Zahra?" tanya Farel. Aku tahu saat ini pasti dia ingin memegang tanganku dan memelukku.Waktu kelas dua SMA, dia yang dua minggu pergi keluar kota karena ada urusan keluarga. Nekat pulang sendirian hanya karena tidak bisa menahan rindu, jam 10 malam Farel menemuiku dan langsung memelukku mencurahkan rasa rindunya."Alhamdulillah, baik!" jawabku masih menahan pandangan, agar mata ini tidak berzina dengan melihat wajah pemuda yang pernah aku cintai.Bahkan sampai sekarang pun mungkin perasaan itu masih ada. Namun, rasa cintaku kepada Allah jauh lebih besar dibanding rasa cintaku kepada ciptaanya, termasuk Farel.
"Rel, tahu darimana kami pindah kesini?" tanya bunda."Kak Indah kemarin melihat Zahra di rumah sakit tempat dia bekerja, awalnya kak Indah tidak yakin karena penampilan Zahra yang berbeda, tetapi setelah melihat data pasien dan tertulis nama Bunda, kak Indah langsung memberi tahuku dan memberi alamat rumah ini." Farel menghadapkan tubuhnya ke arahku."Aku sudah tahu musibah yang menimpamu, aku bersedia menikahimu, Zahra! Apapun yang terjadi, aku masih tetap mencintaimu," ucap Farel penuh keyakinan.Kamu tidak tahu Farel, pagi itu aku yang setengah telanjang di semak-semak menjadi tontonan warga yang melihat.Sekuat tenaga aku mencoba bangkit, namun tidak bisa. Tubuh ini seakan tak bertulang. Hingga seorang warga bersama ayahku datang dan membawaku pulang ke rumah.
"Kenapa kamu pindah rumah tanpa memberi tahuku? Padahal saat itu juga aku sudah siap kalau harus menikahimu.""Aku yang tidak siap, Rel. Aku takut tatapanmu sama seperti warga yang lain. Jijik."Kuseka airmata yang mulai menetes kepermukaan."Pulanglah, Rel," lirihku."Zahra?" Farel tidak mengerti dengan apa yang aku ucapakan"Aku tidak siap melihat wajahmu yang pasti ikut terluka dengan apa yang menimpaku. Aku sangat mencintaimu, kamu cinta pertama dalam hidupku."Zahra sedang menjalani proses ta'aruf, Rel. Sebentar lagi dia akan menikah," jelas Bunda."Tapi, Bun. Bukankah bunda juga tahu kalau kami saling mencintai?""Pulanglah, Rel!" Aku benar-benar tidak sanggup lagi. Aku berlari meninggalkan mereka menuju kamar.Aku terduduk lemas dimeja rias, kusembunyikan wajah yang terisak ini disela tanganku.Airmata terus mengalir hingga jatuh kebawah meja. Perlahan aku angkat kepala ini dan menatap pantulan wajahku dicermin.
"Apa yang kamu pikirkan saat ini, Zahra? Kamu pasti mengira Allah tidak adil padamu, kan? Lihat dirimu! Berusaha menjadi hamba yang lebih baik, kamu tutup Auratmu, namun Allah malah bertubi menghujanimu dengan ujian. Apa kamu sanggup?"Aku langsung menyeka airmata ini.Aku segera mengambil wudhu untuk salat Dhuha dan istikharah, lalu aku lanjut membaca Al-Qur'an untuk lebih menenangkan hatiku. Suara Adzan dzuhur pun berkumandang, aku ambil wudhu lagi lalu salat dan lanjut membaca Al-Qur'an lagi. Tanpa henti terus mencari secercah salju untuk menyejukan hati ini yang terasa gersang. "Sudah dulu ngajinya, kamu makan dulu," lirih Bunda, aku bahkan tidak menyadari kalau sejak tadi Bunda ada di sampingku. Kututup kitab suci di depanku, lalu ku peluk Bunda dengan begitu erat, enggan sekali rasanya aku melepaskan pelukan ini."Bunda bisa merasakan apa yang sekarang sedang berkecamuk dihati, Zahra. Apa Zahra masih mencintai Farel?"Masih dalam pelukan aku mengangguk. "Tapi tidak lebih besar cinta Zahra kepada Allah, kan?"Aku terus mengangguk hingga tangispun pecah."Kamu pasti tahu, kan? Kisah Khadijah binti Khuwalid, Saudah binti Zam'an, Zainab binti Khuzaimah. Mereka adalah wanita pilihan yang dipercaya Allah untuk menerima ujian begitu berat," ucap
Sudah sebelas hari setelah penentuan pernikahanku. Bunda mulai melarangku untuk sering keluar rumah. Aku pun di minta berhenti mengajar setelah kuceritakan perihal Farel pada Beliau. "Nanti sore Alvin mengundang kita makan malam dirumahnya!""Hanya bertiga?" tanyaku sambil terus memasukan semua baju ke dalam koper untuk nanti pindah ke rumah kak Alvin. "Katanya, akan ada ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka."Kututup koper yang sudah penuh, lalu duduk di samping Bunda. "kenapa Bunda tidak mau ikut tinggal bersamaku, Kak Alvin kan sudah menawarkan," ucapku memandangi wajah paruh baya yang selama ini sabar membimbingku dalam berhijrah. "Bunda ingin menikmati masa tua, dengan selalu mendekatkan diri pada sang Khaliq. Ntar kalau tinggal bersama kamu, Bunda repot ngajarin kamu masak," canda Bunda, mencubit hidungku. Aku terkekeh, mengeluarkan kristal bening dari mataku. "Boleh aku sering main ke sini?""Kalau Alvin mengizinkan, kapanpun pintu rumah ini selalu terbuka."K
Sepanjang perjalanan, benak ini selalu teringat perkataan Farel. Apa benar selama ini ia mencariku? Apa keputusan Ayah dan Bunda mengajakku pindah secara tidak langsung menjauhkanku dari Farel? Namun, kalau saat itu kami tidak pindah, mungkin kak Alvin akan datang sesuai ucapannya yang juga mencariku untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Laju mobil kak Alvin melambat, aku melihat dari balik pintu banyak pengendara lalu lalang ke tengah jalan raya. "Sepertinya habis terjadi kecelakaan," ucap kak Alvin. "Hati-hati, Vin. Banyak orang melintas" "Iya, Bun."Dengan sangat pelan kak Alvin terus melajukan mobilnya. Setelah agak menjauh dari tempat kejadian, Ia pun berkendara dengan kecepatan normal lagi. Selang beberapa menit, kami pun sampai di rumah kak Alvin. Rumah yang begitu besar, berlantai dua, dengan gaya eropa, seperti istana di negri dongeng. Kak Alvin mengajak aku dan Bunda masuk. Di ruang tamu, sudah ada pak Ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka"Assalamu'al
Pagi ini cuaca benar-benar mewakili hatiku. Tidak ada hangatnya sinar mentari, tertutup oleh awan mendung. Mampukah aku menghalau awan hitam itu? Sementara sang mentari saja ikhlas akan takdirnya."Zahra, apa yang sedang kamu pikirkan?" Bunda menghampiriku yang sedang duduk di teras rumah."Tidak ada, Bun," jawabku singkat. Mata Bunda menerawang jauh ke depan. "Rasulullah pernah bersabda. Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridhoi akan agama dan akhlaknya, maka nikahkan lah dengannya, jika kamu tidak menerima lamarannya niscaya terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang luas."Pandangannya tidak beralih. "Alvin adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupmu. Namun, saat dia datang memintamu berjalan bersama untuk mencari ridho Allah, Bunda tidak kuasa menolaknya. Berada di posisimu mungkin sangat berat, karena Bunda yakin, kamu masih mencintai Farel."Di hadapkannya tubuh Bunda ke arahku. "Besok, kamu akan menikah. Apa kamu bisa menjaga kehormatan Bunda dengan menjadi istr
Kami pun langsung melangkah menuju mobil. Kak Alvin menyalakan mobilnya, mengantar aku dan Bunda menjenguk Farel di rumah sakit. "Vin, besok kalian akan menikah. Bunda tidak ingin Zahra terus menyimpan masalalunya sehingga menjadi duri dalam rumah tangga kalian." Bunda memegang tanganku, matanya dilirikan ke arah kak Alvin yang sedang menyetir.Aku pun mengerti maksud Bunda. "Kak, mantan kekasihku mengalami kecelakaan, tadi kakaknya memintaku untuk menemuinya, sekarang kita akan menjenguk."Siiit! Mendadak kak Alvin menghentikan mobilnya. Terlihat kalau ia sangat terkejut dengan perkataanku. "Ma-af," Ia kembali menjalankan mesin mobilnya. "Apa Alvin keberatan dengan permintaan, Bunda? Mengantar Zahra ke rumah sakit?" tanya Bunda. "Tidak, Bun. Bukankah menjenguk orang sakit adalah sunah, apa lagi dia adalah orang yang kita kenal."Bukan hanya kenal, Kak. Dia juga orang yang aku sayan
hari pernikahanpun tiba, sesuai permintaanku tidak ada kemeriahan, hanya beberapa keluarga yang datang" Saya terima nikah dan kawinnya Zahra Nur Aulia binti Khosim dengan maskawin tersebut. Tunai! "" Sah? ""Sah !""Alhamdulillah "Kak Alvin menyematkan cincin di jari manisku, dan untuk pertama kalinya aku memberanikan diri mencium punggung tangannya.Setelah malam itu, tanganku kembali tersentuh olehnya . Dulu disertai rasa takut, sedangkan sekarang dengan menyebut nama Allah terasa nyaman. Dia suamiku.Akan nikah selesai semua tamu berangsur pulang, termaksud Bunda. Hiasan pengantin yang memang tidak terlalu banyak, tidak memakan waktu lama untuk merapikan kembali.Walau tidak ada resepsi atau pesta yang mewah , namun hari ini begitu melelahkan. Aku letih.*****" Kita sholat sunah dulu," Ajak kak Alvin.Kami pun menunaikan sholat 2 rakaat. Setelah selesai sholat kak Alvin membuka baju kokoh
Cahaya mentari pagi sudah mulai masuk melalui cela cela jendela yang sengaja aku buka. Hari ini aku dan kak Alvin berencana berziarah ke makam mamah, papah, dan ayah.Aku membantu kak Alvin mengenakan pakaiannya, nampak jelas kalau dia masih merasa sakit di bagian punggungnya.Sesekali pandangan kami bertemu, menimbulkan rasa canggung dan membuat tanganku gugup kalau harus memasukkan kancing satu persatu kemejanya.Setelah selesai bersiap kami langsung berangkat ke pusara Mamah dan papah terlebih dahulu. Masih dalam kebisuan, di dalam mobil kami seperti orang asing bukan layaknya pasangan suami istri."Zahra,apa hobi kamu?" tanya kak Alvin mengajakku mengobrol." Menulis,kak," jawab ku singkat." Makanan favorit?"" Nasi"Seperti ada yang aneh dengan jawabanku, kak Alvin malah terkekeh. Aku langsung menatapnya."Ma'af" ia menghentikan tawanya. suasana kembali hening. Hingga mobil berhenti di lahan parkir tempat p
" Tadi Aku mampir ke rumah bunda" kak Alvin melepaskan genggaman tangannya." Kata Bunda, Farel tidak bisa di selamatkan"DegDetakan jantungku melemah, tulang tulang di tubuhku seakan copot dari persendian, mata ini tidak bisa menahan untuk terpejam. Semua gelap."Zahra! Bangun Zahrah!"Aroma minyak kayu putih menyengat di hidungku, perlahan ku buka mata ini. Terdengar suara kak Alvin memanggilku." Kak Alvin" lirihku mendudukan tubuh ini yang awalnya terbaring di atas ranjang." Kamu, gak apa apa?" tanya kak Alvin, raut wajahnya begitu panik."Aku baik baik saja,Kak . Maaf" tangisku pun pecah. Ia langsung memelukku yang menundukkan kepala." Maafkan aku, Kak. Ampuni aku!"Sungguh hati ini tidak bisa menahan duka yang sedang menyelimuti. Meski kucoba tegar, namun tidak bisa di pungkiri, perasaanku terhadap Farel masih ada. Ya Allah hina sekali diri ini." Istirahatlah Zahrah""
Kesibukan kak Alvin membuat jarak di antara kami. Dengan susah payah aku menepis jarak ini agar bisa melupakan masa lalu dan membuka lembaran baru dengan kak Alvin. Namun, sudah hampir dua bulan kak Alvin selalu di sibukkan dengan pekerjaannya.Ponselnya selalu berdering hampir setiap saat.Berangkat pagi dan pulang malam, malah kadang sampai dini hari. Mungkin karena dia belum dapat asisten pribadi yang baru. Semua pekerjaan dia yang pegang.Malam ini kak Alvin terlihat sangat letih. ia membuka kemejanya dan langsung merebahkan dirinya di atas ranjang." Udah sholat?"tanyaku, menghampiri."Sudah" jawabnya singkat. Ia memaksakan tubuhnya yang letih untuk menuju ke kamar mandi." Aku mandi dulu yah" ucap kak Alvin meninggalkanku.Sementara kak Alvin mandi, aku memunguti kemejanya yang berserakan. Namun, hidungku seakan mencium bau parfum wanita. Aku pun memastikan sekali lagi dengan mendekatkan hidungku di kemeja kak Alvin.Memang b
"Sayang bangun" bisik kak Alvin terdengar di telingaku.Aku mengedipkan mata beberapa kali, rasanya enggan terbuka. Tubuhku masih terasa lemas akibat pertarungan semalam. Bukan pertarungan mencari siapa yang menang atau yang kalah, melainkan awal dari pembuahan cinta kami."Hari ini kita akan datang ke pemakaman Beni" lirihnya, masi berada di atas wajahku. Hembusan nafasnya tercium menyegarkan dengan aroma mint." Bagaimana aku akan bangun, kalau kakak terus berada di atas ku" ucapku tersipu." Maaf!" kak Alvin salah tingkah dan langsung menggeser tubuhnya. Ia pun berdiri kemudian duduk di sofa mengambil Al-Qur'an kecil.Menunggu untuk sholat subuh berjamaah. Sementara itu, aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Waktu subuh sudah mau habis, sepertinya matahari tidak sabar menunjukkan Kilauan cahayanya.Sholat subuh selesai, sarapan pun sudah di habiskan. Kami bergegas menuju tempat Beni di kebumikan.
Aku menguatkan hati dan tubuh ini, mengajak Lina mengantarku menuju rumah sakit yang di beritakan di tv, aku ingin memastikan kalau berita itu salah.Berulang kali aku menghubungi ponsel kak Alvin, namun selalu berada di luar jangkauan. Di balik kegelisahan ini, tak henti aku memainkan jemariku memutar tasbih menyebut asmaNYA.Sampai Ba'da Dzuhur mobil belum juga sampai di rumah sakit, akupun memutuskan sholat di masjid pinggir jalan raya." Aku akan lebih belajar menjadi istri yang baik ya Allah. Ku mohon beri aku kesempatan!" Doaku, ku khususkan untuk kak Alvin.Selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan.Satu jam kami berkendara akhirnya sampai di rumah sakit.Aku berlarian menuju kamar mayat yang di tunjuk salah satu perawat, ketika aku bertanya tentang korban kecelakaan dengan menggunakan mobil kak Alvin.Setibanya di depan ruangan itu, terlihat ada beberapa polisi, dan kak Alvin? apa dia benar kak Alvin? Ku langkahkan
" Tadi Aku mampir ke rumah bunda" kak Alvin melepaskan genggaman tangannya." Kata Bunda, Farel tidak bisa di selamatkan"DegDetakan jantungku melemah, tulang tulang di tubuhku seakan copot dari persendian, mata ini tidak bisa menahan untuk terpejam. Semua gelap."Zahra! Bangun Zahrah!"Aroma minyak kayu putih menyengat di hidungku, perlahan ku buka mata ini. Terdengar suara kak Alvin memanggilku." Kak Alvin" lirihku mendudukan tubuh ini yang awalnya terbaring di atas ranjang." Kamu, gak apa apa?" tanya kak Alvin, raut wajahnya begitu panik."Aku baik baik saja,Kak . Maaf" tangisku pun pecah. Ia langsung memelukku yang menundukkan kepala." Maafkan aku, Kak. Ampuni aku!"Sungguh hati ini tidak bisa menahan duka yang sedang menyelimuti. Meski kucoba tegar, namun tidak bisa di pungkiri, perasaanku terhadap Farel masih ada. Ya Allah hina sekali diri ini." Istirahatlah Zahrah""
Cahaya mentari pagi sudah mulai masuk melalui cela cela jendela yang sengaja aku buka. Hari ini aku dan kak Alvin berencana berziarah ke makam mamah, papah, dan ayah.Aku membantu kak Alvin mengenakan pakaiannya, nampak jelas kalau dia masih merasa sakit di bagian punggungnya.Sesekali pandangan kami bertemu, menimbulkan rasa canggung dan membuat tanganku gugup kalau harus memasukkan kancing satu persatu kemejanya.Setelah selesai bersiap kami langsung berangkat ke pusara Mamah dan papah terlebih dahulu. Masih dalam kebisuan, di dalam mobil kami seperti orang asing bukan layaknya pasangan suami istri."Zahra,apa hobi kamu?" tanya kak Alvin mengajakku mengobrol." Menulis,kak," jawab ku singkat." Makanan favorit?"" Nasi"Seperti ada yang aneh dengan jawabanku, kak Alvin malah terkekeh. Aku langsung menatapnya."Ma'af" ia menghentikan tawanya. suasana kembali hening. Hingga mobil berhenti di lahan parkir tempat p
hari pernikahanpun tiba, sesuai permintaanku tidak ada kemeriahan, hanya beberapa keluarga yang datang" Saya terima nikah dan kawinnya Zahra Nur Aulia binti Khosim dengan maskawin tersebut. Tunai! "" Sah? ""Sah !""Alhamdulillah "Kak Alvin menyematkan cincin di jari manisku, dan untuk pertama kalinya aku memberanikan diri mencium punggung tangannya.Setelah malam itu, tanganku kembali tersentuh olehnya . Dulu disertai rasa takut, sedangkan sekarang dengan menyebut nama Allah terasa nyaman. Dia suamiku.Akan nikah selesai semua tamu berangsur pulang, termaksud Bunda. Hiasan pengantin yang memang tidak terlalu banyak, tidak memakan waktu lama untuk merapikan kembali.Walau tidak ada resepsi atau pesta yang mewah , namun hari ini begitu melelahkan. Aku letih.*****" Kita sholat sunah dulu," Ajak kak Alvin.Kami pun menunaikan sholat 2 rakaat. Setelah selesai sholat kak Alvin membuka baju kokoh
Kami pun langsung melangkah menuju mobil. Kak Alvin menyalakan mobilnya, mengantar aku dan Bunda menjenguk Farel di rumah sakit. "Vin, besok kalian akan menikah. Bunda tidak ingin Zahra terus menyimpan masalalunya sehingga menjadi duri dalam rumah tangga kalian." Bunda memegang tanganku, matanya dilirikan ke arah kak Alvin yang sedang menyetir.Aku pun mengerti maksud Bunda. "Kak, mantan kekasihku mengalami kecelakaan, tadi kakaknya memintaku untuk menemuinya, sekarang kita akan menjenguk."Siiit! Mendadak kak Alvin menghentikan mobilnya. Terlihat kalau ia sangat terkejut dengan perkataanku. "Ma-af," Ia kembali menjalankan mesin mobilnya. "Apa Alvin keberatan dengan permintaan, Bunda? Mengantar Zahra ke rumah sakit?" tanya Bunda. "Tidak, Bun. Bukankah menjenguk orang sakit adalah sunah, apa lagi dia adalah orang yang kita kenal."Bukan hanya kenal, Kak. Dia juga orang yang aku sayan
Pagi ini cuaca benar-benar mewakili hatiku. Tidak ada hangatnya sinar mentari, tertutup oleh awan mendung. Mampukah aku menghalau awan hitam itu? Sementara sang mentari saja ikhlas akan takdirnya."Zahra, apa yang sedang kamu pikirkan?" Bunda menghampiriku yang sedang duduk di teras rumah."Tidak ada, Bun," jawabku singkat. Mata Bunda menerawang jauh ke depan. "Rasulullah pernah bersabda. Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridhoi akan agama dan akhlaknya, maka nikahkan lah dengannya, jika kamu tidak menerima lamarannya niscaya terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang luas."Pandangannya tidak beralih. "Alvin adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupmu. Namun, saat dia datang memintamu berjalan bersama untuk mencari ridho Allah, Bunda tidak kuasa menolaknya. Berada di posisimu mungkin sangat berat, karena Bunda yakin, kamu masih mencintai Farel."Di hadapkannya tubuh Bunda ke arahku. "Besok, kamu akan menikah. Apa kamu bisa menjaga kehormatan Bunda dengan menjadi istr
Sepanjang perjalanan, benak ini selalu teringat perkataan Farel. Apa benar selama ini ia mencariku? Apa keputusan Ayah dan Bunda mengajakku pindah secara tidak langsung menjauhkanku dari Farel? Namun, kalau saat itu kami tidak pindah, mungkin kak Alvin akan datang sesuai ucapannya yang juga mencariku untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Laju mobil kak Alvin melambat, aku melihat dari balik pintu banyak pengendara lalu lalang ke tengah jalan raya. "Sepertinya habis terjadi kecelakaan," ucap kak Alvin. "Hati-hati, Vin. Banyak orang melintas" "Iya, Bun."Dengan sangat pelan kak Alvin terus melajukan mobilnya. Setelah agak menjauh dari tempat kejadian, Ia pun berkendara dengan kecepatan normal lagi. Selang beberapa menit, kami pun sampai di rumah kak Alvin. Rumah yang begitu besar, berlantai dua, dengan gaya eropa, seperti istana di negri dongeng. Kak Alvin mengajak aku dan Bunda masuk. Di ruang tamu, sudah ada pak Ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka"Assalamu'al