Kesibukan kak Alvin membuat jarak di antara kami. Dengan susah payah aku menepis jarak ini agar bisa melupakan masa lalu dan membuka lembaran baru dengan kak Alvin. Namun, sudah hampir dua bulan kak Alvin selalu di sibukkan dengan pekerjaannya.
Ponselnya selalu berdering hampir setiap saat.Berangkat pagi dan pulang malam, malah kadang sampai dini hari. Mungkin karena dia belum dapat asisten pribadi yang baru. Semua pekerjaan dia yang pegang.Malam ini kak Alvin terlihat sangat letih. ia membuka kemejanya dan langsung merebahkan dirinya di atas ranjang." Udah sholat?"tanyaku, menghampiri."Sudah" jawabnya singkat. Ia memaksakan tubuhnya yang letih untuk menuju ke kamar mandi." Aku mandi dulu yah" ucap kak Alvin meninggalkanku.Sementara kak Alvin mandi, aku memunguti kemejanya yang berserakan. Namun, hidungku seakan mencium bau parfum wanita. Aku pun memastikan sekali lagi dengan mendekatkan hidungku di kemeja kak Alvin.Memang b"Jangaaan! Aku mohon lepasin, toloooong!" Aku terus berteriak, berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku dan menolongku dari dekapan pria yang tidak bisa aku lihat wajahnya karena gelapnya malam itu. Tubuhku seperti dihantam ribuan belati, sakit. Aku yang dalam perjalanan pulang sehabis menghadiri pesta perpisahan bersama teman-teman SMA ku dihadang oleh seorang pemuda yang tengah mabuk di jalanan. Suasana malam yang sepi dan jalanan yang gelap membuat aku tidak bisa mempertahankan kesucianku. Tidak ada orang yang menolongku. "Nak, kamu sudah siap?" tanya Bunda, membuyarkan lamunanku tentang malam itu. Hari ini tepat 5 tahun setelah kejadian menyakitkan itu. Aku yang ternodai malam itu tergeletak pingsan hingga akhirnya ditemukan warga dan langsung membawaku pulang, setelah salah satu dari mereka memberi tahu Ayahku. Tidak ada yang tahu siapa laki-laki itu. Sampai saat ini, semua masih menjadi misteri."Insya Allah, Bun!" jawabku meyakinkan Bunda juga hati ini.Setelah k
Bunda terus mengusap bahuku, sehingga perasaanku mulai sedikit tenang. Setelah itu, Pak Ustdaz Danu kembali berbicara."Alvin meminta Bapak untuk mempertemukan kalian lagi, apa Zahra mau?" tanya Ustdaz Danu. Aku hanya menunduk, apakah siap aku melihat wajah itu lagi? Sementara cengkeraman tangan kekarnya, kini mulai terasa lagi setelah tahu kalau wajah yang kemarin aku temui adalah wajah pemerkosa itu. "Besok, Bapak akan ke sini bersama Alvin, boleh?" tanya Ustadz Danu lagi. Malam itu tanpa izin kak Alvin merenggut kesucianku, sekarang dia ingin menemuiku sebagai calon suami. Apakah ini salah satu ujian jalan hijrahku, ya Rabb?Aku menatap Bunda yang sekarang ada di sampingku. Beliau tidak berkata apa-apa hanya tersenyum setengah mengangguk. "Iya, Pak Ustadz. Boleh." Hanya itu yang bisa aku jawab. Ucapan hamdallah terucap dari mulut Ustadz Danu. Setelah obrolan singkat, Ustadz Danu pun pulang.Aku juga ingin tahu apa yang akan Kak Alvin jelaskan besok. Kenapa dia menutup mulutku
"Zahra, bangun, Nak!" Suara Bunda membangunkanku yang terlelap di atas sajadah. "Bentar lagi subuh, kamu mandi! Kita solat berjamaah!" lanjut Bunda mengusap lembut kepalaku. Kami pun sholat, seperti biasanya semenjak dua tahun lalu Ayah meninggal dunia, Bunda yang menjadi imam. Kami memang hanya tinggal berdua karena aku anak semata wayang. "Bun, apa Bunda menginginkan aku menikah dengan Kak Alvin?" lirihku setelah usai berdoa dan sungkem. "Bunda hanya ingin kamu bahagia," jawab bunda menatap mataku yang setengah menunduk. "Apa bunda bahagia?" tanya aku lagi. "Bunda sudah bahagia memiliki kamu, Zahra. Apalagi setelah kamu memutuskan berhijrah. Bunda merasa Bidadari syurga ada di samping, bunda. Ada bekal kelak untuk bunda, saat Allah datang menjemput.""Bun..." Kupeluk tubuh Bunda dengan begitu erat. Hangat dan menenangkan. Tidak, ketika tangan kekar kak Alvin memelukku saat aku berusaha mendorong tubuhnya yang dengan lahap memangsaku. Menciumi setiap jengkal raga yang rapuh in
Aku melihat Bi Sari masuk dengan menenteng 2 kantong plastik berisi makanan, minuman dan buah-buahan segar. "Biar aku yang nyiapin, Bi!" ucapku sembari melipat mukenah."Gak apa-apa, Nak. Biar bibi saja!" Tangan Bi Sari mulai menyiapkan bubur untuk Bunda makan. "Zahra, Kamu temui Alvin saja diluar" suruh Bunda. Aku hanya mengangguk patuh, kaki ini kulangkahkan ke arah pintu. Meski terasa berat, karena yang akan aku temui di balik pintu adalah seseorang yang menggores luka begitu dalam dan meninggalkan bekas hingga sulit untuk diobati. Kulihat kak Alvin duduk di tengah kursi panjang di samping pintu. Melihat kedatanganku, dia seakan mengerti kenapa aku hanya berdiri. Ia menggeser tubuhnya hingga menjauh di ujung kursi, dirasa sudah ada jarak, aku pun duduk di ujung satunya lagi. Seandainya dulu kak Alvin mengerti seperti ini, aku memukul-mukul punggungnya manakala kepala kak Alvin mulai menyelusuri bagian depan tubuhku. Harapan gadis berusia 18 tahun yang bercita-cita menjadi d
"Astagfirullah!"Mimpi apa ini Ya Allah? Di saat aku sedang berdamai dengan hatiku untuk memaafkan kak Alvin dan menerimanya. Bayangan itu muncul lagi membangunkan kenangan buruk yang perlahan ingin aku kubur.Segera kuambil wudhu, lalu aku sholat tahajud juga istikharah.Kuputar tasbih di tanganku, entah sudah ke berapa kali. Meng asmakan namaNYA membuat jiwa ini merasa lebih tenang.***"Assalamu'alaikum!" Terdengar suara Bi Sari memasuki ruangan. Ternyata kak Alvin datang berniat untuk menjemput kami. "Wa'alaikum salam!" jawab aku dan Bunda.Bi Sari dengan telaten membantu Bunda yang masih lemas menuruni ranjang. "Sini biar aku yang bawa," pinta kak Alvin meraih tas besar yang sedang aku tenteng. Walau masih tidak nyaman, aku mencoba terbiasa bertemu wajah ini, wajah yang tidak aku sangka ternyata milik orang yang telah menghujam hati, hingga menjadi kepingan kecil yang sulit disatukan lagi. Kak Alvin pun mengantar kami pulang, aku duduk dijok belakang bersama Bunda. Sekilas a
Aku segera mengambil wudhu untuk salat Dhuha dan istikharah, lalu aku lanjut membaca Al-Qur'an untuk lebih menenangkan hatiku. Suara Adzan dzuhur pun berkumandang, aku ambil wudhu lagi lalu salat dan lanjut membaca Al-Qur'an lagi. Tanpa henti terus mencari secercah salju untuk menyejukan hati ini yang terasa gersang. "Sudah dulu ngajinya, kamu makan dulu," lirih Bunda, aku bahkan tidak menyadari kalau sejak tadi Bunda ada di sampingku. Kututup kitab suci di depanku, lalu ku peluk Bunda dengan begitu erat, enggan sekali rasanya aku melepaskan pelukan ini."Bunda bisa merasakan apa yang sekarang sedang berkecamuk dihati, Zahra. Apa Zahra masih mencintai Farel?"Masih dalam pelukan aku mengangguk. "Tapi tidak lebih besar cinta Zahra kepada Allah, kan?"Aku terus mengangguk hingga tangispun pecah."Kamu pasti tahu, kan? Kisah Khadijah binti Khuwalid, Saudah binti Zam'an, Zainab binti Khuzaimah. Mereka adalah wanita pilihan yang dipercaya Allah untuk menerima ujian begitu berat," ucap
Sudah sebelas hari setelah penentuan pernikahanku. Bunda mulai melarangku untuk sering keluar rumah. Aku pun di minta berhenti mengajar setelah kuceritakan perihal Farel pada Beliau. "Nanti sore Alvin mengundang kita makan malam dirumahnya!""Hanya bertiga?" tanyaku sambil terus memasukan semua baju ke dalam koper untuk nanti pindah ke rumah kak Alvin. "Katanya, akan ada ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka."Kututup koper yang sudah penuh, lalu duduk di samping Bunda. "kenapa Bunda tidak mau ikut tinggal bersamaku, Kak Alvin kan sudah menawarkan," ucapku memandangi wajah paruh baya yang selama ini sabar membimbingku dalam berhijrah. "Bunda ingin menikmati masa tua, dengan selalu mendekatkan diri pada sang Khaliq. Ntar kalau tinggal bersama kamu, Bunda repot ngajarin kamu masak," canda Bunda, mencubit hidungku. Aku terkekeh, mengeluarkan kristal bening dari mataku. "Boleh aku sering main ke sini?""Kalau Alvin mengizinkan, kapanpun pintu rumah ini selalu terbuka."K
Sepanjang perjalanan, benak ini selalu teringat perkataan Farel. Apa benar selama ini ia mencariku? Apa keputusan Ayah dan Bunda mengajakku pindah secara tidak langsung menjauhkanku dari Farel? Namun, kalau saat itu kami tidak pindah, mungkin kak Alvin akan datang sesuai ucapannya yang juga mencariku untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Laju mobil kak Alvin melambat, aku melihat dari balik pintu banyak pengendara lalu lalang ke tengah jalan raya. "Sepertinya habis terjadi kecelakaan," ucap kak Alvin. "Hati-hati, Vin. Banyak orang melintas" "Iya, Bun."Dengan sangat pelan kak Alvin terus melajukan mobilnya. Setelah agak menjauh dari tempat kejadian, Ia pun berkendara dengan kecepatan normal lagi. Selang beberapa menit, kami pun sampai di rumah kak Alvin. Rumah yang begitu besar, berlantai dua, dengan gaya eropa, seperti istana di negri dongeng. Kak Alvin mengajak aku dan Bunda masuk. Di ruang tamu, sudah ada pak Ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka"Assalamu'al
Kesibukan kak Alvin membuat jarak di antara kami. Dengan susah payah aku menepis jarak ini agar bisa melupakan masa lalu dan membuka lembaran baru dengan kak Alvin. Namun, sudah hampir dua bulan kak Alvin selalu di sibukkan dengan pekerjaannya.Ponselnya selalu berdering hampir setiap saat.Berangkat pagi dan pulang malam, malah kadang sampai dini hari. Mungkin karena dia belum dapat asisten pribadi yang baru. Semua pekerjaan dia yang pegang.Malam ini kak Alvin terlihat sangat letih. ia membuka kemejanya dan langsung merebahkan dirinya di atas ranjang." Udah sholat?"tanyaku, menghampiri."Sudah" jawabnya singkat. Ia memaksakan tubuhnya yang letih untuk menuju ke kamar mandi." Aku mandi dulu yah" ucap kak Alvin meninggalkanku.Sementara kak Alvin mandi, aku memunguti kemejanya yang berserakan. Namun, hidungku seakan mencium bau parfum wanita. Aku pun memastikan sekali lagi dengan mendekatkan hidungku di kemeja kak Alvin.Memang b
"Sayang bangun" bisik kak Alvin terdengar di telingaku.Aku mengedipkan mata beberapa kali, rasanya enggan terbuka. Tubuhku masih terasa lemas akibat pertarungan semalam. Bukan pertarungan mencari siapa yang menang atau yang kalah, melainkan awal dari pembuahan cinta kami."Hari ini kita akan datang ke pemakaman Beni" lirihnya, masi berada di atas wajahku. Hembusan nafasnya tercium menyegarkan dengan aroma mint." Bagaimana aku akan bangun, kalau kakak terus berada di atas ku" ucapku tersipu." Maaf!" kak Alvin salah tingkah dan langsung menggeser tubuhnya. Ia pun berdiri kemudian duduk di sofa mengambil Al-Qur'an kecil.Menunggu untuk sholat subuh berjamaah. Sementara itu, aku berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Waktu subuh sudah mau habis, sepertinya matahari tidak sabar menunjukkan Kilauan cahayanya.Sholat subuh selesai, sarapan pun sudah di habiskan. Kami bergegas menuju tempat Beni di kebumikan.
Aku menguatkan hati dan tubuh ini, mengajak Lina mengantarku menuju rumah sakit yang di beritakan di tv, aku ingin memastikan kalau berita itu salah.Berulang kali aku menghubungi ponsel kak Alvin, namun selalu berada di luar jangkauan. Di balik kegelisahan ini, tak henti aku memainkan jemariku memutar tasbih menyebut asmaNYA.Sampai Ba'da Dzuhur mobil belum juga sampai di rumah sakit, akupun memutuskan sholat di masjid pinggir jalan raya." Aku akan lebih belajar menjadi istri yang baik ya Allah. Ku mohon beri aku kesempatan!" Doaku, ku khususkan untuk kak Alvin.Selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan.Satu jam kami berkendara akhirnya sampai di rumah sakit.Aku berlarian menuju kamar mayat yang di tunjuk salah satu perawat, ketika aku bertanya tentang korban kecelakaan dengan menggunakan mobil kak Alvin.Setibanya di depan ruangan itu, terlihat ada beberapa polisi, dan kak Alvin? apa dia benar kak Alvin? Ku langkahkan
" Tadi Aku mampir ke rumah bunda" kak Alvin melepaskan genggaman tangannya." Kata Bunda, Farel tidak bisa di selamatkan"DegDetakan jantungku melemah, tulang tulang di tubuhku seakan copot dari persendian, mata ini tidak bisa menahan untuk terpejam. Semua gelap."Zahra! Bangun Zahrah!"Aroma minyak kayu putih menyengat di hidungku, perlahan ku buka mata ini. Terdengar suara kak Alvin memanggilku." Kak Alvin" lirihku mendudukan tubuh ini yang awalnya terbaring di atas ranjang." Kamu, gak apa apa?" tanya kak Alvin, raut wajahnya begitu panik."Aku baik baik saja,Kak . Maaf" tangisku pun pecah. Ia langsung memelukku yang menundukkan kepala." Maafkan aku, Kak. Ampuni aku!"Sungguh hati ini tidak bisa menahan duka yang sedang menyelimuti. Meski kucoba tegar, namun tidak bisa di pungkiri, perasaanku terhadap Farel masih ada. Ya Allah hina sekali diri ini." Istirahatlah Zahrah""
Cahaya mentari pagi sudah mulai masuk melalui cela cela jendela yang sengaja aku buka. Hari ini aku dan kak Alvin berencana berziarah ke makam mamah, papah, dan ayah.Aku membantu kak Alvin mengenakan pakaiannya, nampak jelas kalau dia masih merasa sakit di bagian punggungnya.Sesekali pandangan kami bertemu, menimbulkan rasa canggung dan membuat tanganku gugup kalau harus memasukkan kancing satu persatu kemejanya.Setelah selesai bersiap kami langsung berangkat ke pusara Mamah dan papah terlebih dahulu. Masih dalam kebisuan, di dalam mobil kami seperti orang asing bukan layaknya pasangan suami istri."Zahra,apa hobi kamu?" tanya kak Alvin mengajakku mengobrol." Menulis,kak," jawab ku singkat." Makanan favorit?"" Nasi"Seperti ada yang aneh dengan jawabanku, kak Alvin malah terkekeh. Aku langsung menatapnya."Ma'af" ia menghentikan tawanya. suasana kembali hening. Hingga mobil berhenti di lahan parkir tempat p
hari pernikahanpun tiba, sesuai permintaanku tidak ada kemeriahan, hanya beberapa keluarga yang datang" Saya terima nikah dan kawinnya Zahra Nur Aulia binti Khosim dengan maskawin tersebut. Tunai! "" Sah? ""Sah !""Alhamdulillah "Kak Alvin menyematkan cincin di jari manisku, dan untuk pertama kalinya aku memberanikan diri mencium punggung tangannya.Setelah malam itu, tanganku kembali tersentuh olehnya . Dulu disertai rasa takut, sedangkan sekarang dengan menyebut nama Allah terasa nyaman. Dia suamiku.Akan nikah selesai semua tamu berangsur pulang, termaksud Bunda. Hiasan pengantin yang memang tidak terlalu banyak, tidak memakan waktu lama untuk merapikan kembali.Walau tidak ada resepsi atau pesta yang mewah , namun hari ini begitu melelahkan. Aku letih.*****" Kita sholat sunah dulu," Ajak kak Alvin.Kami pun menunaikan sholat 2 rakaat. Setelah selesai sholat kak Alvin membuka baju kokoh
Kami pun langsung melangkah menuju mobil. Kak Alvin menyalakan mobilnya, mengantar aku dan Bunda menjenguk Farel di rumah sakit. "Vin, besok kalian akan menikah. Bunda tidak ingin Zahra terus menyimpan masalalunya sehingga menjadi duri dalam rumah tangga kalian." Bunda memegang tanganku, matanya dilirikan ke arah kak Alvin yang sedang menyetir.Aku pun mengerti maksud Bunda. "Kak, mantan kekasihku mengalami kecelakaan, tadi kakaknya memintaku untuk menemuinya, sekarang kita akan menjenguk."Siiit! Mendadak kak Alvin menghentikan mobilnya. Terlihat kalau ia sangat terkejut dengan perkataanku. "Ma-af," Ia kembali menjalankan mesin mobilnya. "Apa Alvin keberatan dengan permintaan, Bunda? Mengantar Zahra ke rumah sakit?" tanya Bunda. "Tidak, Bun. Bukankah menjenguk orang sakit adalah sunah, apa lagi dia adalah orang yang kita kenal."Bukan hanya kenal, Kak. Dia juga orang yang aku sayan
Pagi ini cuaca benar-benar mewakili hatiku. Tidak ada hangatnya sinar mentari, tertutup oleh awan mendung. Mampukah aku menghalau awan hitam itu? Sementara sang mentari saja ikhlas akan takdirnya."Zahra, apa yang sedang kamu pikirkan?" Bunda menghampiriku yang sedang duduk di teras rumah."Tidak ada, Bun," jawabku singkat. Mata Bunda menerawang jauh ke depan. "Rasulullah pernah bersabda. Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridhoi akan agama dan akhlaknya, maka nikahkan lah dengannya, jika kamu tidak menerima lamarannya niscaya terjadi fitnah dibumi dan kerusakan yang luas."Pandangannya tidak beralih. "Alvin adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupmu. Namun, saat dia datang memintamu berjalan bersama untuk mencari ridho Allah, Bunda tidak kuasa menolaknya. Berada di posisimu mungkin sangat berat, karena Bunda yakin, kamu masih mencintai Farel."Di hadapkannya tubuh Bunda ke arahku. "Besok, kamu akan menikah. Apa kamu bisa menjaga kehormatan Bunda dengan menjadi istr
Sepanjang perjalanan, benak ini selalu teringat perkataan Farel. Apa benar selama ini ia mencariku? Apa keputusan Ayah dan Bunda mengajakku pindah secara tidak langsung menjauhkanku dari Farel? Namun, kalau saat itu kami tidak pindah, mungkin kak Alvin akan datang sesuai ucapannya yang juga mencariku untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Laju mobil kak Alvin melambat, aku melihat dari balik pintu banyak pengendara lalu lalang ke tengah jalan raya. "Sepertinya habis terjadi kecelakaan," ucap kak Alvin. "Hati-hati, Vin. Banyak orang melintas" "Iya, Bun."Dengan sangat pelan kak Alvin terus melajukan mobilnya. Setelah agak menjauh dari tempat kejadian, Ia pun berkendara dengan kecepatan normal lagi. Selang beberapa menit, kami pun sampai di rumah kak Alvin. Rumah yang begitu besar, berlantai dua, dengan gaya eropa, seperti istana di negri dongeng. Kak Alvin mengajak aku dan Bunda masuk. Di ruang tamu, sudah ada pak Ustadz Iman dan Ustadz Danu beserta istri mereka"Assalamu'al