Home / Romansa / DILAMAR MALAIKAT MAUT / 01. LAKSANA SEORANG AYAH 1

Share

DILAMAR MALAIKAT MAUT
DILAMAR MALAIKAT MAUT
Author: Dayat_eMJe

01. LAKSANA SEORANG AYAH 1

Author: Dayat_eMJe
last update Last Updated: 2021-04-30 05:18:52

   Panggilan Adzan subuh dari ribuan menara yang bertebaran di kota Jakarta hanya mampu menggugah hati mereka yang benar-benar tebal imannya. Meskipun hanya untuk sholat berjamaah di Masjid.

 

Mereka yang memiliki tekad beribadah dalam segala musim dan cuaca, seperti mercusuar yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan terik matahari. Ia tiada kenal lelah, tetap teguh pendiriannya seperti yang di titahkan Tuhan sambil berdoa siang dan malam.

 

Akmal, begitu para teman-temanku dan orang-orang memanggilku. Nama lengkapku Akmal Raka Maulana, kata Umi nama Akmal di ambil dari kata Kamil yang bermakna lengkap atau sempurna. Ayah memberi nama itu karena merasa lengkap dan sempurnalah kehidupan mereka dengan kehadiranku saat itu.

 

Sedangkan arti dari nama lengkapku adalah seorang pemimpin yang cerdas dan lebih sempurna, orang tuaku berharap, kelak aku bisa menjadi pemimpin yang cerdas dan juga sempurna, bukan hanya di bidang akademis saja, tapi di bidang agama juga.

 

Pagi ini aku membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu yang sedikit rapuh untuk melaksanakan panggilan ilahi. Aku menongah ke atas, di sana terdapat ribuan bintang berkilauan indah terpancar seperti sedang bertasbih menyahut Asma Allah. Hampir setiap hari di jam yang sama aku selalu melihat keindahan baru, keindahan yang tidak pernah sama setiap harinya.

 

Keindahan yang tidak dapat dilukiskan secara nyata di atas kanvas oleh pelukis manapun. Yang aku tau keindahan itu hanya bisa di rasakan, dinikmati dan dihayati oleh orang-orang yang selalu bersyukur dan mencintai keagungan tuhannya.

 

Tak jauh dari rumah terdapat Masjid Al-Irsyad yang tidak terlalu besar, namun sangat tertata rapi. Ornamen-ornamen klasik menghiasi dinding-dinding Masjid. Lukisan kaligrafi menghiasi dinding dalam kubah berwarna hijau.

 

Aku melangkah memasuki rumah Tuhan yang sangat indah itu. Disana hanya ada tiga kakek tua yang bersiap melaksanakan shalat. Semangat mereka begitu tinggi menyahut panggilan Ilahi.

 

Salah satunya Ustadz Ahmad. Beliau pensiunan jaksa yang kaya raya. Umurnya telah mencapai enam puluh delapan tahun. Beliau sangat ramah, dermawan, piawai dan cerdas. Walau sudah tua, kedalaman ilmu agama dan kefasihannya membaca Al-Qur’an membuat masyarakat memanggilnya dengan sebutan ustadz atau Haji Ahmad.

 

Hampir setiap shalat berjamaah beliau selalu hadir dan datang tepat waktu, tidak kenal kata absen. Rumahnya tak jauh dari masjid ini, kira-kira dua puluh meter. Seluruh masyarakat begitu sayang kepadanya, karena beliau sering sekali membantu masyarakat yang kesusahan. Tapi, di balik itu kondisi masyarakat sekitarku sangatlah memperihatinkan.

 

   Banyak anak muda seumuranku yang terjaring dalam pergaulan bebas dan terjerumus dalam jurang narkoba. Beberapa dari temanku sudah banyak yang meninggal akibat barang haram itu.

 

Perkelahian dan tawuran antar warga selalu menghiasi kampungku yang kecil dan berpenduduk padat. Pencurian, perampokan, penganiayaan selalu datang silih berganti meramaikan tempat dimana aku tinggal.

 

Tempat tinggalku telah menjadi kawasan rawan akan kejahatan. Sampai-sampai daerah ini pernah dijuluki sebagai tempat berkumpulnya para bandar narkoba dari berbagai pelosok negeri.

 

Tak heran kalau kampungku sangat terkenal di Jakarta, dan seringkali menjadi sorotan publik, kampung menteng tenggulun tepatnya, yang di apit oleh jalur kereta api dan kali malang yang deras dan airnya kotor berwarna coklat.

 

Itulah yang membuat masjid di daerahku selalu saja sepi dan lengang apabila panggilan Allah dikumandangkan, tidak ada satupun kaum muda yang tergerak hatinya. Hanya ada beberapa orang tua yang sudah cukup umur dan uzur yang bersemangat kemasjid. Karena hampir seluruh kaum muda di kampungku tidak perduli akan ajaran agama dan jauh dari akhlak yang terpuji.

 

   Gadis-gadis sebayaku di daerah sini juga sudah banyak yang terperosok dalam lembah nista. Banyak sekali dari mereka sengaja mengorbankan masa mudanya yang seharusnya dipakai untuk menuntut ilmu, tapi mereka malah menghancurkan hidupnya dengan cara berpacaran, bercinta dan selanjutnya hamil di luar nikah, dan yang menghamilinya tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Malah mereka sering kali menjadi tukang palak dan pencopet.

 

Tidak hanya cukup sampai disitu, banyak gadis-gadis yang tidak lulus bersekolah malah mengabdikan dirinya sebagai pekerja sex komersial atau yang sering disebut pelacur. Karena itulah, Aku memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan teman-teman sebayaku didaerah ini. Aku sangat paham, walaupun sifat mereka buruk, tapi kepada sesama teman yang mereka kenal dilingkungannya mereka masih memiliki rasa saling menghormati.

 

   Di daerah tempat tinggalku Ustadz Ahmad memiliki tiga puluh kontrakan yang tersebar luas, dan kami salah satu yang menempati kontarakan itu. Ustadz Ahmad menyuruh kami tinggal dikontrakannya tanpa mengeluarkan biaya, sebab kami sudah tidak mampu membayar uang sewa rumah.

 

Istri beliau yang bernama ibu Halimah telah meninggal tiga tahun lalu karena sakit kanker payudara yang di deritanya. Ustadz Ahmad memiliki tiga orang anak laki-laki yang ketiganya belum juga menikah.

 

Mereka bernama Hasan, Husin dan Marfat. Dari ketiganya tidak ada satupun yang berminat mengikuti jejak ayahnya menjadi seorang ustadz atau pengajar Qur’an. Mereka lebih memilih menjadi karyawan kantor dari pada seorang ustadz yang katanya tidak menghasilkan uang dan tidak bisa menjadi kaya.

 

Salah satu putra ustadz Ahmad yang paling bungsu yang bernama Marfat adalah pengedar narkoba kelas kakap di kampungku. Ia sering sekali menjadi profokator penyebab terjadinya tauran antar warga.

 

Marfat juga sering sekali keluar masuk penjara, dan sekarang ia sedang berada di penjara cipinang terkena hukuman lima tahun penjara karena kedapatan menyimpan narkoba sebanyak satu kilogram ganja kering. Itulah yang sering kali membuat Ustadz Ahmad sedih dan murung. Beliau selalu memikirkan nasib ketiga putranya.

 

   Aku sangat dekat dengan Ustadz Ahmad. Beliau sangat sayang padaku, dengan senang hati beliau mengajarkanku mengaji dan memperdalam ilmu agama secara privat. Beliau ingin menghadiahkan seluruh ilmu yang beliau miliki seluruhnya kepadaku. Jadwal mengajiku dengan ustadz Ahmad seminggu dua kali, yaitu setiap ahad dan rabu.

 

Beliau sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Meskipun beliau sudah tua dan berbadan gemuk dan seluruh rambutnya sudah ber uban, tapi jiwa beliau masih seperti anak muda yang selalu gesit dalam segala hal.  Usai Shalat, aku menyalami ustadz Ahmad, beliau tak bisa menyembunyikan senyumnya bila bertemu denganku. Kerendahan hatinya membuat beliau menjadi salah satu tokoh agama yang sangat di hormati di daerah tempat tinggalku.

 

“Mau kemana Mal kok sepertinya buru-buru?” Tanya ustadz  ramah.

 

Kutatap beliau sesaat, semakin awet muda saja dilihatnya. Jenggotnya yang berwarna putih begitu tertata rapih, tak tampak terlihat tua dengan kulitnya yang putih bersih, walaupun umurnya sudah uzur.

 

“Ah, tidak juga ustadz, setelah ini saya mau bantu Umi. Kasihan Umi kalau harus bekerja sendiri.” Jawabku datar.

 

Beliau langsung paham apa yang akan aku lakukan. Sebab beliaulah yang memberikan modal untuk ibu berdagang kripik singkong. Bahkan sesekali beliau sering berkunjung kerumah.

 

“Bagaimana kabar Fatimah? Apa ia sehat?” Tanya ustadz kembali.

 

Alhamdulillah. Sehat Ustadz.”

 

   Fatimah nama ibuku. Aku memanggilnya dengan sebutan Umi, Ustadz Ahmad sangat perduli dengan keadaan kami. Sampai-sampai biaya kuliahku beliau yang membiayai. Beliau ingin aku menjadi seorang sarjana yang soleh dansukses, itu harapan terakhirnya. Karena semua anaknya tidak ada yang bisa diharapkan.

 

Aku tak ingin mengecewakannya. Setiap hari aku belajar dan belajar untuk mendapatkan nilai yang terbaik di kampus. Beliau selalu bangga padaku.

 

“Ustadz sedang sakit yah? Kok mata ustadz merah. ” tanyaku khawatir.

 

   Kulihat wajahnya begitu murung. Seperti ada masalah yang menghampirinya. Matanya celong dan sedikit merah seperti sedang sakit. Biasanya manusia kalau sudah tua akan sangat mudah terkena penyakit.

 

Kondisi tubuhnya mudah surut serta kehilangan stamina tubuh. Tapi aku yakin, bukan itu yang memyebabkan ustadz Ahmad sakit. Pasti ini ulah ketiga anaknya.

 

“Ah tidak. Hanya kurang tidur saja. Cuaca akhir-akhir ini sering sekali hujan, dan itu yang membuatku kurang enak badan.” Jawabnya.

 

   Aku berjalan mengantarkan beliau pulang. Kutuntun dengan penuh sayang. Beliau sudah tidak bisa berjalan jauh, Kesehatannya terlihat sudah mulai berkurang, tidak seperti waktu muda, segar berstamina.

 

Waktu muda beliau sangat aktif berolah raga dan berceramah di masjid-masjid. Salah satu filosofi ustadz Ahmad yang membuatku kagum adalah Tiada hari tanpa berdakwah.

 

Beliau mengajarkan padaku bahwa selama kita masih sehat, perbanyaklah beramal dan beribadah untuk tabungan kita di akhirat. Karena hidup di dunia ini hanya sementara dan di akhiratlah hidup kita akan kekal abadi, jadi perbanyaklah amal ibadah selama kita masih berada di dunia.

 

Karena semua yang kita kerjakan di dunia akan di pertanggung jawabkan semuanya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Sambil berjalan ustadz Ahmad meletakkan tangan kanannya di pundak kiriku. Dan beliau berpesan,

 

“Jangan lupa salam buat ibumu di rumah. Bilang padanya lain waktu aku mau mampir.”

 

“Iya ustadz, pasti akan saya sampaikan.” Jawabku senyum.

 

   Ustadz Ahmad sangat perduli dengan keadaan Umi. Beliau sudah banyak membantu kami. Sesekali beliau memberikan uang belanja apabila hasil jualan kripik Umi sedang tidak membuahkan hasil. Sambil berjalan, tidak lupa beliau selalu menasehati dan menceramahiku agar tidak melakukan hal-hal buruk, beliau tidak ingin aku menjadi seperti anak-anak muda sebayaku di kampung ini. Beliau menasehatiku laksana seorang ayah yang perduli terhadap anaknya.

 

   Rumah ustadz Ahmad sangat mewah. Satu-satunya yang terbesar di kampung ini. Tapi aku heran, kenapa terlihat begitu hening, seperti tidak ada aktivitas di dalam rumahnya. Mungkin setelah shalat semua penghuninya tidur kembali. Aku buka pintu pagar yang terbentang lebar berwarna hijau. Bentuknya sedikit unik seperti anak panah yang sedang berbaris, ujungnya lancip dan tajam.

 

Kuantar ustadz Ahmad sampai di depan garasi. Disana terdapat lima mobil mewah berbagai warna. Semua anaknya diberikan mobil satu persatu. Pikiranku mulai melayang, Andaikan aku menjadi anaknya mungkin hidup ini terasa indah.

 

Aku membayangkan Berangkat menuju kampus dengan mobil sambil mendengarkan musik dan ditemani AC yang dingin. Wah asiknya, bisa kuajak Umi dan teman-teman ke puncak melihat pemandangan indah. Semakin lama khayalanku semakin yang tidak-tidak.

 

"Mau mampir dulu Mal?” suara ustadz Ahmad menyadarkanku dari khayalan yang sangat jauh dari kenyataan.

 

“Langsung pulang aja ustadz. Umi sudah menunggu di rumah, mau antar jualan kripik.”

 

Lalu tiba-tiba ustadz Ahmad  mengeluarkan amplop dari kantong baju koko nya.

 

“Ini untuk ibumu dan uang kebutuhan kuliahmu. Ambillah!! Semoga bisa bermanfaat.”

 

“Terima kasih Ustadz.” Kuambil amplop itu dengan tangan kanan dan langsung kucium tangannya penuh rasa ta’zhim lalu kumasukan kedalam saku celana bahanku berwarna hitam.

 

   Aku yakin sekali, Sepertinya beliau sudah mempersiapkan amplop itu sejak tadi. Beliau tahu kalau aku tidak pernah absen sholat subuh di masjid ini. beliau pamit masuk,  kupandangi cara beliau berjalan, takut-takut ia terjatuh.

 

Cara berjalannya sudah sedikit lambat dan mudah lemas, seperti layangan singit. Sambil berjalan masuk sesekali beliau menoleh ke arahku. Kuberikan senyum terindahku untuknya.

 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rafli123
Jedi berfikir sama, andaikan Akmal di kasih salah satu mobilnya mungkin lebih baik yaa...lanjut Thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   02. LAKSANA SEORANG AYAH 2

    Suasana jalan masih terlihat lengang ketika aku menuju rumah. Setelah menutup kembali pintu pagar rumah ustadz Ahmad yang terbuat dari besi yang kokoh. Kumelangkah menelusuri beberapa gang kecil yang berkelok-kelok.Rumahku berada paling pojok di ujung gang, dan terbuat dari batako yang telah rapuh. Bertingkat dua dan ukurannya sangat kecil. Hanya terdapat dua kamar tidur, di bawah dan di atas, hanya cukup untukku dan Umi. Tidak seperti tempat tinggal pada umumnya yang besar dan rapih.Lantai rumahku hanya terbuat dari tumpukan pasir dan semen yang di ratakan tan

    Last Updated : 2021-04-30
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   03. AIR MATA UMI

    Waktu sudah menunjukan pukul delapan pagi. Kutelusuri jalan dan gang kecil yang berkelok-kelok, suara bising kereta api sesekali terdengar membuat telingaku gatal. Tepat di depan mataku terdapat sekelompok anak-anak kecil sedang berlari-larian kesana kemari.Beberapa di antara mereka ada juga yang bermain sepeda-sepedaan. Sepertinya beberapa dari mereka adalah murid-muridku di TPA Al-Irsyad. Umur mereka sekitar dua sampai empat tahun. kuhentikan sepeda motor sejenak untuk mengamati mereka bermain. Serentak mereka melihat wajahku lalu berlari menghampiriku dan berebut mencium tanganku.

    Last Updated : 2021-04-30
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   04. MASA LALU AYAHKU

    Sekarang Aku tahu, ternyata Umi itu di jodohkan dengan Ayahku, karena keinginan kakekku. Padahal, tidak ada salahnya menurutku jika Umi mempunyai keinginannya sendiri.Sambil air mata terus menetes dipipinya, Umi pun melanjutkan Ceritanya."Dia tidak pernah bersyukur atas apa yang Allah berikan kepadanya. Lalu dia di ajak oleh seorang temannya untuk bermain judi dengan kalangan orang-orang kaya yang menurutnya sangat terpandang. Katanya kalau sekali menang bisa membeli mobil baru dan hidup kita akan makmur. Umi sudah melarangnya, dan sudah menasehatinya kal

    Last Updated : 2021-04-30
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   05. SEPENGGAL KISAH DI DALAM MIKROLET

    Sudah lebih dari satu minggu ini aktivitas kampus tidak seperti biasanya. Setelah melaksanakan ujian akhir semester, seluruh mahasiswa diliburkan selama dua bulan. Namun, aktivitasku hari ini mengharuskan aku berangkat ke kampus untuk mengikuti rapat rohis jam sebelas siang nanti.Walau jarak yang kutempuh tidak dekat, tapi ini adalah sebuah janji. Walaupun hanya sekedar jadwal, tapi aku harus komitmen terhadap jadwal. Jadwal adalah janji dan janji adalah hutang. Jadi sudah seharusnya seorang muslim bertanggung jawab kepada dirinya dan Allah. Walaupun begitu, Irfan tetap tidak bosan-bosannya mengingatkanku untuk menghadiri rapat itu, penting katanya.

    Last Updated : 2021-04-30
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   06. MENGUNDANG SYAHWAT DI DEPAN MASJID

    Aku sampai di Masjid kampus jam dua belas kurang seperempat. Siang yang melelahkan. Kepalaku rasanya seperti mau medidih saat matahari hampir tepat berada diatas kepalaku. Cuaca benar-benar panas. Setelah turun dari mikrolet dan mengambil uang kembalian dari pak supir, segera kugemblok tas ransel butut kesayangan.Aku ingin buru-buru bertemu dengan Irfan, ada yang ingin aku bicarakan padanya mengenai kondisi keuanganku. Aku ingin meminta bantuannya untuk mencarikanku pekerjaan sampingan. Aku melangkah menelusuri jalan setapak dan menyebrangi rel kereta yang sepi. Kupercepat langkah, tiga puluh meter di depan adalah Masjid At-Taqwa yang memiliki kubah besar yang di atasnya bertuliskan nama Allah. Masjid Megah yang memberikan ketenangan apabila berada di dalamnya. Tidak jauh dari pekarangan Masjid aku berpapasan dengan tiga akhwat yang beriringan keluar. Mereka adalah Irma, Ayu dan Rahmah. Mereka adal

    Last Updated : 2021-05-01
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   07. RAPAT RIHLAH

    Begitu masuk Masjid...Bwuss..., Terasa hembusan udara sejuk yang di pancarkan lima AC dalam masjid menyambut ramah. Alhamdulillah, Nikmat rasanya jika berada di dalam masjid. Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat berjamaah setelah mendengar iqamah. Kuletakkan tas ranselku di tembok samping masjid. aku berdiri di shaf pertama paling kanan. Kuniatkan dalam hati, terasa kedamaian mengalir deras dalam hembusan nafas. Kuangkat takbir dalam khusyu menghadap Ilahi. Allah terasa begitu dekat, lebih dekat dan sangat dari urat leher. Usai shalat, aku bertemu dengan Irfan. Ia datang menghampiriku. pucuk di cinta ulam pun tiba. Ia terlihat segar dan berpakaian sangat rapih, dibalut kemeja lengan panjang berwarna merah marun dan celana bahan hitam. Aku ingin diskusi masalah keuangan

    Last Updated : 2021-05-06
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   08. GADIS MISTERIUS

    Halte kampus terlihat begitu sepi dan lengang, yang ada hanya seorang tukang batagor yang sedang menunggu pelanggannya. Kemana semua mikrolet..? sudah lima belas menit aku menunggu tetapi tidak kunjung datang. Cuaca juga sudah terlihat mendung, cahaya matahari sesekali datang dan pergi. Sepertinya aku akan terlambat ke al-Irsyad, hujan rintik mulai turun penlahan. Tak lama kemudian sebuah mikloret biru kusam datang. Beberapa orang turun. Mikrolet menjadi sepi.Aku langsung masuk dan ku duduk di pojok dalam sambil membuka kaca jendela besar-besar. Kutaruh tas ransel di samping kananku. Sungguh tidak seperti biasanya, dihari-hari biasa seperti ini mikrolet selalu padat dan penuh. Mungkin hari ini rizkiku sedang bagus, aku diberikan kenyamanan tiada tara dengan iringan angin yang berhembus kencang. Rasanya seperti menaiki mobil pribadi saja. Aku turun di pasar minggu. Baru saja aku turun, tiba-tiba mi

    Last Updated : 2021-05-21
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   09. MIMPI BURUK UMI

    Dalam lelap, aku melihat seorang gadis kecil berusia delapan tahun berwajah oval dan berambut ikal di sebuah depan sebuah rumah mewah. Ia sedang dicambuk oleh seorang laki-laki bertubuh besar dan seram. Gadis itu meminta tolong padaku agar menyelamatkannya dari siksa yang ia derita. Aku terdiam memandangnya, ia terus menerus disiksa di depan mataku. Ku tak kuasa menolongnya. Tangan mungilnya berusaha menggapai diriku. Ia menangis dan terus menerus memohon. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa mematung. Tiba-tiba Umi datang menghampiriku sambil menangis dan memintaku untuk menolong gadis itu. Saat aku berusaha untuk menolongnya aku serentak terbangun dan beristighfar berkali-kali. Ternyata sudah Jam empat lebih s

    Last Updated : 2021-05-24

Latest chapter

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   24. TOKO PULSA MERIAH

    Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   23. ANCAMAN KERAS

    Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   22. PENGAKUAN ANISA

    Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   21. KABAR BURUK

    Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   20. MENGANTARKANMU PULANG

    Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   19. UNDANGAN DAN ANCAMAN

    Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   18. SELEPAS KEPERGIAN USTADZ AHMAD

    Pagi hari kira-kira pukul empat subuh. Hujan rintik-rintik perlahan turun mengguyur kota jakarta yang masih terlihat lengang. Seperti biasanya kota jakarta baru akan ramai pada pukul setengah enam pagi, dimana masyarakatnya berbondong-bondong pergi menuju kantornya masing-masing. Usai shalat shubuh, Umi sibuk membereskan perlengkapan rumah. Perabotan yang tidak terlalu penting dimasukan ke dalam kardus, untuk mencicil persiapan pindah bulan depan. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak shalat shubuh di masjid, tapi di rumah berjamaah dengan Umi. Aku masih sedih dengan kepergian ustadz Ahmad. Kejadian ustadz Ahmad yang tiba-tiba jatuh saat menjadi imam, masih terngiang-ngiang di dalam otakku. Bagaimana aku tidak sedih. Setelah mendengar pemberitahuan meninggalnya ustadz Ahmad dari beberapa menara masjid, aku dan Umi segera berlari kembali kerumah beliau. Kesedihanku sudah ti

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   17. KEPERGIAN SANG USTADZ

    Ketika aku tersadar Umi sudah berada disisiku. Ia membangunkanku dengan cara mengelus-elus pipi. Kepalaku masih terasa berat dan kakiku terasa pegal-pegal. Ini karena hampir seharian aku berjalan kaki. Kutanyakan padanya jam berapa sekarang? Umi menjawab jam empat lewat sepuluh menit. Lalu kutanya lagi, apakah hari ini hari senin? Umi menjawab iya. Kemarin aku sudah tidak mengaji dengan ustadz Ahmad. Beliau pasti menayakanku. Aku bertanya kembali pada Umi, pakah kemarin Ustadz Ahmad datang kerumah? Umi menjawab Iya. Aku yakin Umi pasti sudah menjelaskan kenapa aku tidak datang ke masjid. Hari ini aku harus bertemu dengan ustadz Ahmad dan aku harus minta maaf padanya. Tiba-tiba tanganku terasa sangat sulit digerakkan. Umi berusaha memijat tubuh dan tanganku. Tapi ku bilan

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   16. PERMOHONAN DI ATAS SAJADAH

    Hujan deras mengucur berkali-kali, langit sesekali diterangi kilat yang menyambar kesana- kemari, dengan dinyanyikan suara guntur menggelegar hebat. Aku berjalan dipayungi hujan, menjejakkan langkah menuju rumah dengan membawa tas ransel dan penggorengan. Aku diam-diam pergi dari rumah itu saat mereka tertidur lelap. Hatiku seperti teriris-iris. Aku telah di siksa dan di nodai oleh Dini. Ya Allah apa yang telah aku perbuat sungguh-sungguh memalukan dan sangat-sangat memalukan! Aku telah terjerumus lembah nista dan terperosok dalam jurang kesesatan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bukannya aku merubah mereka agar menjadi benar tapi malah aku yang ikut terjerumus. Sungguh tak kusangka susu yang kuminum membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku dinodai dan ditelanjangi tanpa sehelai benangpun. Aku telah

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status