Begitu masuk Masjid...
Bwuss..., Terasa hembusan udara sejuk yang di pancarkan lima AC dalam masjid menyambut ramah. Alhamdulillah, Nikmat rasanya jika berada di dalam masjid. Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat berjamaah setelah mendengar iqamah. Kuletakkan tas ranselku di tembok samping masjid. aku berdiri di shaf pertama paling kanan. Kuniatkan dalam hati, terasa kedamaian mengalir deras dalam hembusan nafas. Kuangkat takbir dalam khusyu menghadap Ilahi. Allah terasa begitu dekat, lebih dekat dan sangat dari urat leher.
Usai shalat, aku bertemu dengan Irfan. Ia datang menghampiriku. pucuk di cinta ulam pun tiba. Ia terlihat segar dan berpakaian sangat rapih, dibalut kemeja lengan panjang berwarna merah marun dan celana bahan hitam. Aku ingin diskusi masalah keuanganku. Aku ingin mencari penghasilan tambahan yang tidak menggangguku kuliah dan mengajar TPA.
"Apa kabar Mal?" tanya Irfan sambil menepuk pundak kiriku dan langsung duduk disebelahku.
Aroma parfumnya yang mahal begitu menyengat masuk ke pernafasanku. Aku heran kenapa ia begitu harum hari ini.
"Alhamdulillah, Baik. Kau harum sekali hari ini, ada apa gerangan?"
"Iya..., aku habis menemani ibu kondangan di gedung Bidakara."
"Fan, aku mau minta tolong nih? aku lagi cari kerja sampingan untuk bantu Umi. Apa kau bisa bantu?"
Irfan menatapku, ia diam dan berpikir sambil mengaruk-garuk kepalanya. Kutunggu dia bicara. Semoga saja dia bisa membantuku.
"Oh iya, om ku punya kenalan, ia sedang butuh karyawan penjaga toko buku. Aku yakin kamu pasti bisa. Tapi kalau kau mau?"
"Wah, boleh itu Fan. Mau.. mau..." Kulepaskan senyumku lebar-lebar. Ini adalah peluang untukku. Aku yakin aku pasti bisa.
"Ya sudah, Nanti secepatnya aku kabari ya Mal. Akan aku tanyakan pada Om ku, beliau yang akan merekondasimu."
"Makasih ya Fan. Kau memang dewa penolongku, he..he..he..."
"Ah... kau ini, kalau urusan memuji paling bisa."
"Iya siapa dulu dong, Akmal...he..he..he.."
Saat asik bercanda, tiba-tiba Irfan menoleh kearah hijab. Aku pun melihat ke arah yang sama. Ternyata hijab masjid yang berwarna hijau tua, bergoyang-goyang kencang. Kumelirik jam dinding di atas mihrab. Jarum jam menunjukan pukul satu. Para akhwat sudah memberi isyarat bahwa rapat sudah siap di mulai. Seluruh ikhwan menghampiri hijab itu. Aku dan Irfan bergegas menuju hijab itu. Ikhwan yang hadir rapat hanya sepuluh orang, yang aku tau jumlah anggota ikhwan seluruhnya berjumlah dua puluh lima orang, dan yang akhwat aku juga kurang tau.
Rapat dimulai. Aku duduk di sebelah Irfan. Di antara ikhwan dan akhwat tidak bisa saling bertatap satu sama lain, mereka dipisahkan oleh hijab. Mereka hanya bisa mendengar suaranya saja. Papan tulis di senderkan di tengah hijab, agar terlihat dari kedua belah pihak. Mereka membahas susunan acara dan tugas panitia masing-masing. Kudengarkan pembicaraan mereka, semua di paparkan secara detail tanpa ada yang tersisa. Saat pembagian tugas, aku dikejutkan oleh seorang akhwat yang memutuskan aku menjadi ketua panitia konsumsi bersama Anisa. Aku kaget. Apa yang harus aku lakukan? aku tidak bisa memasak dan tidak punya keahlian di bidang itu.
Seperti yang telah dipaparkan bahwa panitia konsumsi tugasnya didapur. Bagaimana denganku? Aku mulai panik. Keringat dingin keluar membasahi tubuh. Dan siapa Anisa? sepertinya aku baru mendengar nama itu di antara para akhwat yang ada di rohis. Aku di berikan sebuah kertas kecil dari bawah hijab yang telah di tulis oleh akhwat di balik hijab itu. katanya itu nomor telepon rumah Anisa, mereka memberikannya agar aku bisa berkomunikasi untuk menyiapkan peralatan yang di butuhkan.
"Fan, Anisa siapa?" tanyaku berbisik perlahan di kupingnya.
Kulihat Irfan hanya tersenyum-senyum memandangku. aku yakin Irfan tersenyum karena tau kalau aku sangat gugup bila bertemu akhwat. Apalagi harus satu ruangan bersama mereka, didapur. Wah gawat. kulihat ikhwan yang lain juga menatapku dengan tersenyum. Aku semakin salah tingkah saja di buatnya.
"Oh, Ia mahasiswi akuntansi yang baru masuk rohis. Tapi hari ini tidak hadir, ada urusan keluarga kata Irma."
Aku mengerutkan kening. Aku yakin ini pasti ulahnya Irma yang menyuruhku menjadi panitia konsumsi. Kalau tidak siapa lagi, dari semua akhwat irmalah yang cukup akrab denganku dan Irfan. Rapat terus berlangsung, karena cukup banyak yang harus dipersiapkan. Semua panitia juga sudah mendapat tugasnya masing-masing dari ketua panitia Acara. Dari depan mihrab pak Iman mulai mengumandangkan Adzan. Rapat di tutup dan dilanjutkan setelah shalat Ashar. Tapi, aku tidak bisa melanjutkan rapat, karena harus mengajar di masjid al-Irsyad. Usai Shalat aku besiap pamit. Kulihat kembali jam yang melingkar di lengan tangan kananku. Jarum menunjukkan jam setengah empat lewat lima menit. Waktunya sudah mepet.
"Fan, Aku pamit dulu," kataku sambil bangkit berdiri. Irfan ikut berdiri. kupakai tas ransel dan sedikit merapikan baju.
"Mau kemana buru-buru. kan rapatnya belu selesai?"
Sepertinya Irfan lupa jadwalku hari ini. sambil tersenyum aku berkata,
"Mau ke Al-Irsyad ngajar TPA, aku takut anak-anak itu menunggu lama. Kau lupa ya?" Sambil menjawab Irfan menaruh tangannya di kepala,
"Oh iya, aku hampir lupa. Ya sudah, salam buat murid-murid al-Irsyad ya, nanti kalau masih ada waktu aku nyusul membantumu mengajar."
"Iya. Terima kasih. Salam untuk semuanya ya Fan."
"Sip"
Kulihat pak Iman berdiri di teras masjid. Kuambil sepatu dan kusalami beliau. Beliau berpesan supaya aku hati-hati di jalan. Cepat-cepat kuberlari kecil menuju halte. Baru beberapa saat berjalan. Tiba-tiba, Ups, dihadapanku sebuah mobil sedan Volvo terbaru berpelat BS menghampiriku. Mobil itu berhenti di hadapanku.
Lalu keluarlah seorang wanita berbusana muslimah yang begitu indah. Nurfidini Namanya. Ia seorang akhwat yang terpandang di kampusku. Ia wanita yang cantik, putih dan bertubuh tinggi. Walaupun tidak lebih tinggi dariku tapi ia bisa di katakan tinggi dari pada akhwat-akhwat yang lain. Ia sangat kaya dan termasuk wanita terkaya di kampus ini.
Dini adalah anak dari salah seorang petinggi di pemerintahan saat ini. Kedermawanan orang tuanya membuat dosen-dosen dikampus sangat menghormatinya. Hampir setiap acara kegiatan orang tuanya selalu menjadi donatur tunggal. Aku salut padanya, kata temanku Dini wanita solehah yang baik. Dini sangat pendiam dan jarang bicara dalam rapat atau kegiatan yang lain. Bawaannya yang tenang dan terlihat cuek membuat seluruh wanita di kampus segan kepadanya. Saat ini ia baru saja menjabat sebagai wakil ketua keputrian dari seluruh fakultas.
Tiba-tiba aku teringat ledekan teman-teman kepadaku, katanya Dini simpatik dan suka padaku. Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk. Memiliki wanita atau isteri salehah adalah dambaan setiap muslim. Tapi...ah, aku ini punguk dan dia adalah bulan. Aku ini gembel kotor dari pinggiran Jakarta dan dia adalah bidadari dari keluarga terpandang yang kaya raya. Ia menghampiriku dengan tersenyum,
"Mau kemana Mal kok buru-buru?" tanya Dini dengan menunjukan senyum yang ramah sambil menatap wajahku. Sekejap kutundukan kepala.
"Wa'alaikumussalam. Saya mau pulang, ada pekerjaan lain yang harus saya kerjakan."
"Rapatnya sudah selesai?"
"Belum, rapatnya masih berlangsung. Aku pergi dulu ya." Jawabku terburu-buru. Aku tidak ingin adik-adik kecil di al-Irsyad menungguku terlalu lama.
"Mal, gimana kalau di anter supirku saja?"
"Tidak usah, terima kasih. Saya duluan ya Din, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam" Ia menjawab salamku.
Kulanjutkan berjalan tanpa menoleh kearahnya. Aku tau dia masih memandang ke arahku, tapi aku tidak berani untuk menoleh. Aku sedikit terkejut, kenapa tiba-tiba ia menjadi begitu perhatian padaku. Apa yang di bilang temanku itu benar? Ah, aku tak perduli. Aku tidak ingin berprasangka yang tidak-tidak.
***
Halte kampus terlihat begitu sepi dan lengang, yang ada hanya seorang tukang batagor yang sedang menunggu pelanggannya. Kemana semua mikrolet..? sudah lima belas menit aku menunggu tetapi tidak kunjung datang. Cuaca juga sudah terlihat mendung, cahaya matahari sesekali datang dan pergi. Sepertinya aku akan terlambat ke al-Irsyad, hujan rintik mulai turun penlahan. Tak lama kemudian sebuah mikloret biru kusam datang. Beberapa orang turun. Mikrolet menjadi sepi.Aku langsung masuk dan ku duduk di pojok dalam sambil membuka kaca jendela besar-besar. Kutaruh tas ransel di samping kananku. Sungguh tidak seperti biasanya, dihari-hari biasa seperti ini mikrolet selalu padat dan penuh. Mungkin hari ini rizkiku sedang bagus, aku diberikan kenyamanan tiada tara dengan iringan angin yang berhembus kencang. Rasanya seperti menaiki mobil pribadi saja. Aku turun di pasar minggu. Baru saja aku turun, tiba-tiba mi
Dalam lelap, aku melihat seorang gadis kecil berusia delapan tahun berwajah oval dan berambut ikal di sebuah depan sebuah rumah mewah. Ia sedang dicambuk oleh seorang laki-laki bertubuh besar dan seram. Gadis itu meminta tolong padaku agar menyelamatkannya dari siksa yang ia derita. Aku terdiam memandangnya, ia terus menerus disiksa di depan mataku. Ku tak kuasa menolongnya. Tangan mungilnya berusaha menggapai diriku. Ia menangis dan terus menerus memohon. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa mematung. Tiba-tiba Umi datang menghampiriku sambil menangis dan memintaku untuk menolong gadis itu. Saat aku berusaha untuk menolongnya aku serentak terbangun dan beristighfar berkali-kali. Ternyata sudah Jam empat lebih s
Dari kejauhan terlihat bus akhwat sudah siap-siap untuk berangkat. Para akhwat sibuk memasukan peralatannya ke dalam bus. Dini tidak ikut bersama akhwat yang lain. Ia membawa kendaraan pribadi, tak heran untukku. Dini sangat sensitif dengan tempat-tempat yang panas dan kotor. Itulah yang selalu kukatakan kepada teman-temanku apabila mereka meledekku dengannya. Aku bagai punguk dan dia bagaikan bulan. Tidak akan cocok sampai kapan pun.Aku heran, kenapa bus ikhwan belum juga datang. Tiba-tiba kejauhan Ali mengumumkan bahwa seluruh ikhwan dan akhwat diminta masuk kedalam masjid. Ada pengarahan dari pimpinan rohis yang tak lain dan tak bukan adalah Irfan. Ali salah satu ikhwan yang menjabat sebagai seksi humas di rohis. Umurnya lebih tua dua tahun dariku. Ia sangat terkenal dan aktif dalam persatuan remaja masjid sejakarta. Banyak acara yang telah di laksanakannya.
Bagaimana aku tidak takjub melihat tempat parkir dan pekarangan yang begitu luas terbentang berhiaskan rumput berwarna hijau yang indah. Aku seperti tidak ingin beranjak dari tempat yang sejuk dan nyaman ini. Persis didepan mataku terdapat bunga-bunga bermekaran menghiasi taman, hembusan angin pegunungan bertiup kencang menyegarkan tubuhku, membuatku memutuskan untuk berkeliling sambil menikmati pemandangan villa. Disini masih terlihat beberapa peserta ikhwan sibuk menurunkan bawaannya dari dalam bus. Irfan pergi mempersiapkan kamar-kamar untuk para peserta, Seluruh panitia sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Villa ikhwan dan akhwat telah disiapkan saling berhadapan, jaraknya kira-kira empat puluh meter. Disamping taman kulihat keluarga yang terdiri dari Bapak, Ibu dan kedua anaknya sedang asik bercanda riang dipinggir kolam kecil.
Udara semakin dingin dan matahari sudah tidak tampak cahayanya. Kabut sudah mulai mengelilingi tempat ini. Usai shalat Isya, sambil menunggu hidangan, semua peserta ditugaskan membentuk kelompok yang terdiri dari enam orang dalam satu mentor. Masing-masing mentor memberikan materi keislaman dan diskusi. Setiap kelompok diberi nama sahabat-sahabat Rasulullah.Tujuannya agar mereka mengenal sejarah islam di zaman rasulullah dan para khalifah pada masa itu. Aku masuk dalam kelompok Umar bin khattab. Salah satu sahabat nabi yang bertubuh besar dan berwatak keras serta memiliki kharisma pemimpin sejati. Ia seorang pemimpin yang sangat memperhatikan nasib rakyat kecil, bertanggung jawab atas kesengsaraan dan derita rakyatnya. Seorang teladan agung dalam penegakan supremasi hukum yang tak perduli siapapun, baik gubenur maupun anaknya sendiri.
Malam semakin larut, udara dingin terus menyusup melalui sela-sela jendela kamar. Aku melihat semua teman-teman telah tertidur pulas. Aku tak tau apa yang terjadi denganku. Rasa kantuk tidak sedikitpun menghampiri. Mataku enggan tuk terpejam, pikiranku sesekali tertuju kepada Anisa. Baru kali ini aku merasakan perasaan seperti ini. Didepan kamar, Ali dan Deni sedang bersiap-siap melaksanakan tugasnya sebagai keamanan acara. Tugas mereka berjaga-jaga dilingkungan villa malam ini, besok malam adalah giliranku. Entah kenapa aku terpikir ancaman preman-preman tadi. Perasaanku sedikit resah dan tak tenang. Kuhampiri Ali yang sedang memakai baju dingin. "Li, aku ikut jaga ya? Aku gak bisa tidur nih." "Iya boleh, emang kamu gak cape Mal? Dari tadi siang kamu gak is
Setelah menghabiskan perjalanan selama dua setengah jam. Akhirnya kami kembali ke kampus. Baru saja sampai. Mataku sudah terasa lelah, tubuhku berat, dan kepalaku sedikit pusing. Tapi harus kupendam semua itu. Aku masih punya tanggung jawab, yaitu membantu para panitia menurunkan peralatan-peralatan yang dipinjam dari pengurus masjid.Sungguh berat barang-barang ini. Keringatku menetes satu persatu, seperti lelehan lahar panas yang turun dari pegunungan. Terus mengucur bagaikan mata air yang mengalir tanpa henti. Saat berjalan mengangkut karpet besar, tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna merah berhenti didepanku dengan membunyikan klakson.Aku berhenti sejenak, memastikan siapa yang berada di dalam mobil itu. Kaca jendela mulai terbuka perlahan, pengemudi itu melambaikan tangannya memanggilku. Aku sedikit penasaran dibuatn
Aku sadar ketika segelas air menampar wajahku dengan keras. Kubuka mata perlahan, penglihatanku masih terlihat buram. Kugelengkan kepala sambil berusaha memerjapkan mata. Kepalaku terasa berat sekali. Saat aku sepenuhnya telah sadar, aku sudah berada dikursi dengan tangan terikat ke belakang disebuah ruangan yang menurutku begitu mewah. Aku tak tau berada dimana sekarang. Didepanku telah berada Dini bersama dua laki-laki seram berwajah hitam. Berbadan besar, sekujur tubuhnya bertato sambil merokok, seperti orang ambon atau Irian aku tak tahu pasti. "Dimana Aku?" Tanyaku lirih. Kepalaku masih sedikit pusing, mataku perih, kakiku gemetar dan jantungku berdetak kencang. "Dirumah kesayangan gw!" Jawab Dini dengan nada ker
Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya
Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un
Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala
Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb
Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.
Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i
Pagi hari kira-kira pukul empat subuh. Hujan rintik-rintik perlahan turun mengguyur kota jakarta yang masih terlihat lengang. Seperti biasanya kota jakarta baru akan ramai pada pukul setengah enam pagi, dimana masyarakatnya berbondong-bondong pergi menuju kantornya masing-masing. Usai shalat shubuh, Umi sibuk membereskan perlengkapan rumah. Perabotan yang tidak terlalu penting dimasukan ke dalam kardus, untuk mencicil persiapan pindah bulan depan. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak shalat shubuh di masjid, tapi di rumah berjamaah dengan Umi. Aku masih sedih dengan kepergian ustadz Ahmad. Kejadian ustadz Ahmad yang tiba-tiba jatuh saat menjadi imam, masih terngiang-ngiang di dalam otakku. Bagaimana aku tidak sedih. Setelah mendengar pemberitahuan meninggalnya ustadz Ahmad dari beberapa menara masjid, aku dan Umi segera berlari kembali kerumah beliau. Kesedihanku sudah ti
Ketika aku tersadar Umi sudah berada disisiku. Ia membangunkanku dengan cara mengelus-elus pipi. Kepalaku masih terasa berat dan kakiku terasa pegal-pegal. Ini karena hampir seharian aku berjalan kaki. Kutanyakan padanya jam berapa sekarang? Umi menjawab jam empat lewat sepuluh menit. Lalu kutanya lagi, apakah hari ini hari senin? Umi menjawab iya. Kemarin aku sudah tidak mengaji dengan ustadz Ahmad. Beliau pasti menayakanku. Aku bertanya kembali pada Umi, pakah kemarin Ustadz Ahmad datang kerumah? Umi menjawab Iya. Aku yakin Umi pasti sudah menjelaskan kenapa aku tidak datang ke masjid. Hari ini aku harus bertemu dengan ustadz Ahmad dan aku harus minta maaf padanya. Tiba-tiba tanganku terasa sangat sulit digerakkan. Umi berusaha memijat tubuh dan tanganku. Tapi ku bilan
Hujan deras mengucur berkali-kali, langit sesekali diterangi kilat yang menyambar kesana- kemari, dengan dinyanyikan suara guntur menggelegar hebat. Aku berjalan dipayungi hujan, menjejakkan langkah menuju rumah dengan membawa tas ransel dan penggorengan. Aku diam-diam pergi dari rumah itu saat mereka tertidur lelap. Hatiku seperti teriris-iris. Aku telah di siksa dan di nodai oleh Dini. Ya Allah apa yang telah aku perbuat sungguh-sungguh memalukan dan sangat-sangat memalukan! Aku telah terjerumus lembah nista dan terperosok dalam jurang kesesatan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bukannya aku merubah mereka agar menjadi benar tapi malah aku yang ikut terjerumus. Sungguh tak kusangka susu yang kuminum membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku dinodai dan ditelanjangi tanpa sehelai benangpun. Aku telah