Bagaimana aku tidak takjub melihat tempat parkir dan pekarangan yang begitu luas terbentang berhiaskan rumput berwarna hijau yang indah. Aku seperti tidak ingin beranjak dari tempat yang sejuk dan nyaman ini. Persis didepan mataku terdapat bunga-bunga bermekaran menghiasi taman, hembusan angin pegunungan bertiup kencang menyegarkan tubuhku, membuatku memutuskan untuk berkeliling sambil menikmati pemandangan villa.
Disini masih terlihat beberapa peserta ikhwan sibuk menurunkan bawaannya dari dalam bus. Irfan pergi mempersiapkan kamar-kamar untuk para peserta, Seluruh panitia sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Villa ikhwan dan akhwat telah disiapkan saling berhadapan, jaraknya kira-kira empat puluh meter. Disamping taman kulihat keluarga yang terdiri dari Bapak, Ibu dan kedua anaknya sedang asik bercanda riang dipinggir kolam kecil.
Udara semakin dingin dan matahari sudah tidak tampak cahayanya. Kabut sudah mulai mengelilingi tempat ini. Usai shalat Isya, sambil menunggu hidangan, semua peserta ditugaskan membentuk kelompok yang terdiri dari enam orang dalam satu mentor. Masing-masing mentor memberikan materi keislaman dan diskusi. Setiap kelompok diberi nama sahabat-sahabat Rasulullah.Tujuannya agar mereka mengenal sejarah islam di zaman rasulullah dan para khalifah pada masa itu. Aku masuk dalam kelompok Umar bin khattab. Salah satu sahabat nabi yang bertubuh besar dan berwatak keras serta memiliki kharisma pemimpin sejati. Ia seorang pemimpin yang sangat memperhatikan nasib rakyat kecil, bertanggung jawab atas kesengsaraan dan derita rakyatnya. Seorang teladan agung dalam penegakan supremasi hukum yang tak perduli siapapun, baik gubenur maupun anaknya sendiri.
Malam semakin larut, udara dingin terus menyusup melalui sela-sela jendela kamar. Aku melihat semua teman-teman telah tertidur pulas. Aku tak tau apa yang terjadi denganku. Rasa kantuk tidak sedikitpun menghampiri. Mataku enggan tuk terpejam, pikiranku sesekali tertuju kepada Anisa. Baru kali ini aku merasakan perasaan seperti ini. Didepan kamar, Ali dan Deni sedang bersiap-siap melaksanakan tugasnya sebagai keamanan acara. Tugas mereka berjaga-jaga dilingkungan villa malam ini, besok malam adalah giliranku. Entah kenapa aku terpikir ancaman preman-preman tadi. Perasaanku sedikit resah dan tak tenang. Kuhampiri Ali yang sedang memakai baju dingin. "Li, aku ikut jaga ya? Aku gak bisa tidur nih." "Iya boleh, emang kamu gak cape Mal? Dari tadi siang kamu gak is
Setelah menghabiskan perjalanan selama dua setengah jam. Akhirnya kami kembali ke kampus. Baru saja sampai. Mataku sudah terasa lelah, tubuhku berat, dan kepalaku sedikit pusing. Tapi harus kupendam semua itu. Aku masih punya tanggung jawab, yaitu membantu para panitia menurunkan peralatan-peralatan yang dipinjam dari pengurus masjid.Sungguh berat barang-barang ini. Keringatku menetes satu persatu, seperti lelehan lahar panas yang turun dari pegunungan. Terus mengucur bagaikan mata air yang mengalir tanpa henti. Saat berjalan mengangkut karpet besar, tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna merah berhenti didepanku dengan membunyikan klakson.Aku berhenti sejenak, memastikan siapa yang berada di dalam mobil itu. Kaca jendela mulai terbuka perlahan, pengemudi itu melambaikan tangannya memanggilku. Aku sedikit penasaran dibuatn
Aku sadar ketika segelas air menampar wajahku dengan keras. Kubuka mata perlahan, penglihatanku masih terlihat buram. Kugelengkan kepala sambil berusaha memerjapkan mata. Kepalaku terasa berat sekali. Saat aku sepenuhnya telah sadar, aku sudah berada dikursi dengan tangan terikat ke belakang disebuah ruangan yang menurutku begitu mewah. Aku tak tau berada dimana sekarang. Didepanku telah berada Dini bersama dua laki-laki seram berwajah hitam. Berbadan besar, sekujur tubuhnya bertato sambil merokok, seperti orang ambon atau Irian aku tak tahu pasti. "Dimana Aku?" Tanyaku lirih. Kepalaku masih sedikit pusing, mataku perih, kakiku gemetar dan jantungku berdetak kencang. "Dirumah kesayangan gw!" Jawab Dini dengan nada ker
Hujan deras mengucur berkali-kali, langit sesekali diterangi kilat yang menyambar kesana- kemari, dengan dinyanyikan suara guntur menggelegar hebat. Aku berjalan dipayungi hujan, menjejakkan langkah menuju rumah dengan membawa tas ransel dan penggorengan. Aku diam-diam pergi dari rumah itu saat mereka tertidur lelap. Hatiku seperti teriris-iris. Aku telah di siksa dan di nodai oleh Dini. Ya Allah apa yang telah aku perbuat sungguh-sungguh memalukan dan sangat-sangat memalukan! Aku telah terjerumus lembah nista dan terperosok dalam jurang kesesatan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bukannya aku merubah mereka agar menjadi benar tapi malah aku yang ikut terjerumus. Sungguh tak kusangka susu yang kuminum membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku dinodai dan ditelanjangi tanpa sehelai benangpun. Aku telah
Ketika aku tersadar Umi sudah berada disisiku. Ia membangunkanku dengan cara mengelus-elus pipi. Kepalaku masih terasa berat dan kakiku terasa pegal-pegal. Ini karena hampir seharian aku berjalan kaki. Kutanyakan padanya jam berapa sekarang? Umi menjawab jam empat lewat sepuluh menit. Lalu kutanya lagi, apakah hari ini hari senin? Umi menjawab iya. Kemarin aku sudah tidak mengaji dengan ustadz Ahmad. Beliau pasti menayakanku. Aku bertanya kembali pada Umi, pakah kemarin Ustadz Ahmad datang kerumah? Umi menjawab Iya. Aku yakin Umi pasti sudah menjelaskan kenapa aku tidak datang ke masjid. Hari ini aku harus bertemu dengan ustadz Ahmad dan aku harus minta maaf padanya. Tiba-tiba tanganku terasa sangat sulit digerakkan. Umi berusaha memijat tubuh dan tanganku. Tapi ku bilan
Pagi hari kira-kira pukul empat subuh. Hujan rintik-rintik perlahan turun mengguyur kota jakarta yang masih terlihat lengang. Seperti biasanya kota jakarta baru akan ramai pada pukul setengah enam pagi, dimana masyarakatnya berbondong-bondong pergi menuju kantornya masing-masing. Usai shalat shubuh, Umi sibuk membereskan perlengkapan rumah. Perabotan yang tidak terlalu penting dimasukan ke dalam kardus, untuk mencicil persiapan pindah bulan depan. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak shalat shubuh di masjid, tapi di rumah berjamaah dengan Umi. Aku masih sedih dengan kepergian ustadz Ahmad. Kejadian ustadz Ahmad yang tiba-tiba jatuh saat menjadi imam, masih terngiang-ngiang di dalam otakku. Bagaimana aku tidak sedih. Setelah mendengar pemberitahuan meninggalnya ustadz Ahmad dari beberapa menara masjid, aku dan Umi segera berlari kembali kerumah beliau. Kesedihanku sudah ti
Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i
Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya
Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un
Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala
Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb
Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.
Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i
Pagi hari kira-kira pukul empat subuh. Hujan rintik-rintik perlahan turun mengguyur kota jakarta yang masih terlihat lengang. Seperti biasanya kota jakarta baru akan ramai pada pukul setengah enam pagi, dimana masyarakatnya berbondong-bondong pergi menuju kantornya masing-masing. Usai shalat shubuh, Umi sibuk membereskan perlengkapan rumah. Perabotan yang tidak terlalu penting dimasukan ke dalam kardus, untuk mencicil persiapan pindah bulan depan. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak shalat shubuh di masjid, tapi di rumah berjamaah dengan Umi. Aku masih sedih dengan kepergian ustadz Ahmad. Kejadian ustadz Ahmad yang tiba-tiba jatuh saat menjadi imam, masih terngiang-ngiang di dalam otakku. Bagaimana aku tidak sedih. Setelah mendengar pemberitahuan meninggalnya ustadz Ahmad dari beberapa menara masjid, aku dan Umi segera berlari kembali kerumah beliau. Kesedihanku sudah ti
Ketika aku tersadar Umi sudah berada disisiku. Ia membangunkanku dengan cara mengelus-elus pipi. Kepalaku masih terasa berat dan kakiku terasa pegal-pegal. Ini karena hampir seharian aku berjalan kaki. Kutanyakan padanya jam berapa sekarang? Umi menjawab jam empat lewat sepuluh menit. Lalu kutanya lagi, apakah hari ini hari senin? Umi menjawab iya. Kemarin aku sudah tidak mengaji dengan ustadz Ahmad. Beliau pasti menayakanku. Aku bertanya kembali pada Umi, pakah kemarin Ustadz Ahmad datang kerumah? Umi menjawab Iya. Aku yakin Umi pasti sudah menjelaskan kenapa aku tidak datang ke masjid. Hari ini aku harus bertemu dengan ustadz Ahmad dan aku harus minta maaf padanya. Tiba-tiba tanganku terasa sangat sulit digerakkan. Umi berusaha memijat tubuh dan tanganku. Tapi ku bilan
Hujan deras mengucur berkali-kali, langit sesekali diterangi kilat yang menyambar kesana- kemari, dengan dinyanyikan suara guntur menggelegar hebat. Aku berjalan dipayungi hujan, menjejakkan langkah menuju rumah dengan membawa tas ransel dan penggorengan. Aku diam-diam pergi dari rumah itu saat mereka tertidur lelap. Hatiku seperti teriris-iris. Aku telah di siksa dan di nodai oleh Dini. Ya Allah apa yang telah aku perbuat sungguh-sungguh memalukan dan sangat-sangat memalukan! Aku telah terjerumus lembah nista dan terperosok dalam jurang kesesatan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bukannya aku merubah mereka agar menjadi benar tapi malah aku yang ikut terjerumus. Sungguh tak kusangka susu yang kuminum membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku dinodai dan ditelanjangi tanpa sehelai benangpun. Aku telah