Home / Romansa / DILAMAR MALAIKAT MAUT / 02. LAKSANA SEORANG AYAH 2

Share

02. LAKSANA SEORANG AYAH 2

Author: Dayat_eMJe
last update Last Updated: 2021-04-30 05:21:06

   Suasana jalan masih terlihat lengang ketika aku menuju rumah. Setelah menutup kembali pintu pagar rumah ustadz Ahmad yang terbuat dari besi yang kokoh. Kumelangkah menelusuri beberapa gang kecil yang berkelok-kelok.

 

Rumahku berada paling pojok di ujung gang, dan terbuat dari batako yang telah rapuh. Bertingkat dua dan ukurannya sangat kecil. Hanya terdapat dua kamar tidur, di bawah dan di atas, hanya cukup untukku dan Umi. Tidak seperti tempat tinggal pada umumnya yang besar dan rapih.

 

Lantai rumahku hanya terbuat dari tumpukan pasir dan semen yang di ratakan tanpa ubin. Walaupun keadaan kami demikian, Umi selalu di hormati di wilayah ini. Sesampainya di rumah, kulihat asap yang keluar dari dapur belakang yang kotor dan berdebu.

 

Sepertinya Umi sedang menggoreng kripik singkong menggunakan kompor minyak tanah berwarna hijau yang terbuat dari kaleng. Itu satu-satunya yang kami miliki.

 

Ayahku telah meninggal saat aku berumur dua tahun. Yang tertinggal dari peninggalannya hanya sebuah motor butut yang kupakai mengantarkan keripik ke warung-warung untuk di jual. Kulangkahkan kaki memasuki rumah dengan kaki kanan.

 

Tak lupa kuucapkan salam. Sepertinya Umi tidak mendengar suara salamku. Kumelangkah kedapur, disana Umi dengan penuh semangat menyelesaikan pekerjaannya.

 

“Sudah pulang Mal?” Tanya Umi yang fokus dengan pekerjaannya dan tak menoleh kearahku.

 

“Sudah Umi.”  Tanpa banyak bicara segera kunaik kekamar atas untuk bersiap-siap. Berganti pakaian dan sedikit sisiran.

 

   Kulihat jadwalku hari ini, kamis tanggal dua belas ada rapat rihlah rohis jam sebelas siang dan sore hari aku mengajar TPA. Dan kamis minggu depan rapat rihlah, jumat, sabtu, minggu pelaksanaan acara rihlahnya yang dilaksanakan dipuncak.

 

Jadwal lainnya masih terlihat kosong, belum ada janji. Setelah itu kubuka jendela kamar yang penuh debu. Terlihat bulan mulai menyingkir keperaduan, Angin bersemilir silih berganti, burung-burung berkicau tanpa henti menyambut kedatangan sang fajar.

 

Jarum jam menunjukan pukul enam pagi. Aku harus segera mengantarkan keripik ke warung-warung langganan Umi. Kuturun melewati tangga yang tipis dan reot.

 

Berjualan keripik sudah di lakoni Umi sejak ayah meninggal. Tapi Umi tidak pernah menyerah dan putus asa. Ia berusaha keras mencari nafkah untuk kami.

 

“Mal, ini titipan keripiknya, Jangan lupa kita harus bersikap ramah kepada semua warung langganan kita. Karena hanya itu yang kita bisa berikan kepada mereka. Hanya memberikan senyum dan memberikan penghormatan yang tinggi kepada mereka agar silaturahmi kita dengan mereka tetap terjaga.”

 

“Iya Umi, sebentar aku keluarkan motor dulu.”

 

Kupegang stang sepeda motor lalu kumundurkan perlahan hingga sampai depan pintu rumah. Ruangan rumah yang kecil membuat motor ini sangat sulit dikeluarkan. Umi memberikan keripik di depan pintu rumah.

 

“Mal, Ini ada tiga ratus kantong, hati-hati bawanya, jangan sampai jatuh ya? dan sekalian minta uang bayaran yang kemarin kepada semua warung.”

 

“Iya Umi. Mohon doanya.”

 

   Kucium tangannya penuh syahdu untuk memperoleh restu. Hanya Umi orang tua satu-satunya yang kumiliki. Aku sangat sayang dengannya. Karena surgaku ada di telapak kakinya.

 

“Hati-hati ya Mal.”

 

“Iya Umi.”

 

   Segera aku meluncur kesepuluh warung yang jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar beberapa kilo dari rumah. Tapi yang membuatku lama adalah aku harus mengantar kesepuluh warung dan melintasi jalan yang berkelok-kelok dan kecil.

 

Pada  setiap warung aku harus menitipkan tiga puluh kantong. Untuk satu keripik Umi menjual seharga seribu rupiah. Kalau di hitung-hitung cukuplah untuk makan sehari-hari.

 

Selain berjualan, Umi juga mengajar ibu-ibu pengajian di Masjid Al-Irsyad, dan aku membantu mengajarkan anak-anak TPA setiap kamis sore. Hari ini tugasku yang mengajar.

 

Uang suka rela hasil mengajar aku gunakan untuk kebutuhanku sehari-hari dan sisanya kutabung untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Di warung ko Ahong jualan kripik yang kemarin baru habis lima belas kantong, masih sisa setengahnya.

 

   Kulanjutkan ke warung-warung yang lain. Aku ingat nasehat Umi agar selalu bersikap ramah kepada semua pemilik warung. Dari semua warung yang aku kunjungi ternyata hasil jualan kripik Umi tak semuanya habis, dari seluruhnya aku hanya membawa uang seratus tujuh puluh ribu rupiah. Itu juga penjualan selama lima hari.

 

   Astaghfirullah, Tiba-tiba teringat titipan ustadz Ahmad untuk Umi belum aku berikan, hampir saja aku lupa. Ini adalah sebuah amanat yang harus aku berikan. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali lupa, padahal sedang tidak ada satupun yang aku pikirkan.

 

Tak terasa sudah setengah jam aku berkeliling. Matahari sudah mulai meninggi ke angkasa, menyinari seluruh alam dengan sinar keemasannya. Terlihat Jalan-jalan mulai padat oleh kendaraan bermotor yang berdesak-desakkan.

 

Semua orang mulai terlihat sibuk pergi mencari nafkah. Jakarta pagi hari sudah seperti lautan kendaraan yang berbaris menuju persingahannya masing-masing.

 

   Warung terakhir yang kusinggahi adalah warung haji jaja, beliau yang paling ramah dari yang lain. Setiap aku datang, beliau selalu membuatkan aku teh manis dan memberikan sarapan untukku. Tapi kali ini ibu Hamadah yang membuatkannya. Beliau Istrinya pak jaja, teman sekolah Umi waktu kecil.

 

Mereka sangat akrab dan sudah seperti saudara kandung. Wajahnya juga sedikit mirip, tak heran bila ibu Hamadah sayang denganku, karena beliau tidak mempunyai keturunan. Kuberikan titipan kripik dan mengambil hasil yang telah laku terjual. Sebelum aku pulang, Ibu Hamadah membungkuskan nasi dan lauk untuk sarapan Umi.

 

“Ini untuk sarapan ibumu Mal, aku yakin dia pasti belum makan, ambillah.” Ujar ibu Hamadah.

 

   Aku tak bisa berkata-kata. Aku ingin sekali menolak pemberiannya. Aku tak ingin selalu merepotkannya. Tapi apabila aku menolaknya nanti ibu Hamadah pasti akan marah padaku. Yang aku tau ibu Hamadah juga salah satu pelanggan setia Umi. Jadi aku tak ingin mengecewakannya.

 

“Makasih bu.” Jawabku haru.

 

“O  ya mal, aku dengar kabar dari temanku yang tinggal di dekat rumahmu katanya Fatimah sakit ya? Sakit apa?”

 

“Iya, Memang beberapa hari lalu Umi sakit flu dan meriang selama dua hari, Tapi, Alhamdulillah sekarang sudah sembuh, dansudah sehat kembali.”

 

“Syukur Alhamdulillah, kalau ibumu sudah sehat. Bilang padanya jangan terlalu di porsir tenaganya, nanti bisa ngedrop lagi. Emang ibumu itu seorang pekerja keras sejati, semua pekerjaan ia lakoni tanpa kenal lelah, dari jual kripik, ngajar ngaji sampai mengerjakan pekerjaan rumah. Wah kalau aku sih nggak sanggup deh, Makanya aku minta pakai pembantu. Satu lagi, Jangan lupa sekalian salam buat ibumu ya Mal? Kapan-kapan suruh ia main kemari, bilang aku kangen dengannya.”

 

“Iya bu, nanti akan saya sampaikan. mari bu, Assalamu’alaikum.”

 

Wa'laikumussalam.”

 

   Saat aku memalingkan badan dan melangkah menuju sepeda motor, tiba-tiba telingaku menangkap ada suara yang memanggil-mangil namaku dari dalam rumah. Kuhentikan langkah, suaranya seperti sudah kukenal. Ternyata pak Jaja berlari keluar dari dalam rumah dengan membawa sebuah kantong plastik berwarna hitam.

 

“Mal, ini ada baju koko, aku sudah tak muat memakainya, sepertinya cocok untukmu. Ambillah?”

 

“Terima kasih Pak Jaja.” Jawabku senang.

 

“Hati-hati di jalan ya Mal.” Saut Pak Jaja dengan senyumnya sambil membetulkan sarungnya yang kedodoran.

 

“Iya, terima kasih Pak.”

 

   Kupacu sepeda motor dengan segera, hatiku terasa berbunga-bunga bisa mendapatkan baju koko dari pak jaja yang sangat bagus berwarna biru terang. Aku tidak pernah punya baju koko sebagus ini.

 

Baju koko adalah salah satu pakaian kesukaanku, sangat sopan untuk di pakai kemana saja dan kapan saja. Aku sering sekali memakai baju koko untuk kegiatanku sehari-hari. Tapi lebih sering lagi aku pakai untuk mengajar di Al-Irsyad. Kata Umi, kalau aku mengenakan baju koko akan terlihat tampan seperti almarhum ayah.

 

***

Related chapters

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   03. AIR MATA UMI

    Waktu sudah menunjukan pukul delapan pagi. Kutelusuri jalan dan gang kecil yang berkelok-kelok, suara bising kereta api sesekali terdengar membuat telingaku gatal. Tepat di depan mataku terdapat sekelompok anak-anak kecil sedang berlari-larian kesana kemari.Beberapa di antara mereka ada juga yang bermain sepeda-sepedaan. Sepertinya beberapa dari mereka adalah murid-muridku di TPA Al-Irsyad. Umur mereka sekitar dua sampai empat tahun. kuhentikan sepeda motor sejenak untuk mengamati mereka bermain. Serentak mereka melihat wajahku lalu berlari menghampiriku dan berebut mencium tanganku.

    Last Updated : 2021-04-30
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   04. MASA LALU AYAHKU

    Sekarang Aku tahu, ternyata Umi itu di jodohkan dengan Ayahku, karena keinginan kakekku. Padahal, tidak ada salahnya menurutku jika Umi mempunyai keinginannya sendiri.Sambil air mata terus menetes dipipinya, Umi pun melanjutkan Ceritanya."Dia tidak pernah bersyukur atas apa yang Allah berikan kepadanya. Lalu dia di ajak oleh seorang temannya untuk bermain judi dengan kalangan orang-orang kaya yang menurutnya sangat terpandang. Katanya kalau sekali menang bisa membeli mobil baru dan hidup kita akan makmur. Umi sudah melarangnya, dan sudah menasehatinya kal

    Last Updated : 2021-04-30
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   05. SEPENGGAL KISAH DI DALAM MIKROLET

    Sudah lebih dari satu minggu ini aktivitas kampus tidak seperti biasanya. Setelah melaksanakan ujian akhir semester, seluruh mahasiswa diliburkan selama dua bulan. Namun, aktivitasku hari ini mengharuskan aku berangkat ke kampus untuk mengikuti rapat rohis jam sebelas siang nanti.Walau jarak yang kutempuh tidak dekat, tapi ini adalah sebuah janji. Walaupun hanya sekedar jadwal, tapi aku harus komitmen terhadap jadwal. Jadwal adalah janji dan janji adalah hutang. Jadi sudah seharusnya seorang muslim bertanggung jawab kepada dirinya dan Allah. Walaupun begitu, Irfan tetap tidak bosan-bosannya mengingatkanku untuk menghadiri rapat itu, penting katanya.

    Last Updated : 2021-04-30
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   06. MENGUNDANG SYAHWAT DI DEPAN MASJID

    Aku sampai di Masjid kampus jam dua belas kurang seperempat. Siang yang melelahkan. Kepalaku rasanya seperti mau medidih saat matahari hampir tepat berada diatas kepalaku. Cuaca benar-benar panas. Setelah turun dari mikrolet dan mengambil uang kembalian dari pak supir, segera kugemblok tas ransel butut kesayangan.Aku ingin buru-buru bertemu dengan Irfan, ada yang ingin aku bicarakan padanya mengenai kondisi keuanganku. Aku ingin meminta bantuannya untuk mencarikanku pekerjaan sampingan. Aku melangkah menelusuri jalan setapak dan menyebrangi rel kereta yang sepi. Kupercepat langkah, tiga puluh meter di depan adalah Masjid At-Taqwa yang memiliki kubah besar yang di atasnya bertuliskan nama Allah. Masjid Megah yang memberikan ketenangan apabila berada di dalamnya. Tidak jauh dari pekarangan Masjid aku berpapasan dengan tiga akhwat yang beriringan keluar. Mereka adalah Irma, Ayu dan Rahmah. Mereka adal

    Last Updated : 2021-05-01
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   07. RAPAT RIHLAH

    Begitu masuk Masjid...Bwuss..., Terasa hembusan udara sejuk yang di pancarkan lima AC dalam masjid menyambut ramah. Alhamdulillah, Nikmat rasanya jika berada di dalam masjid. Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat berjamaah setelah mendengar iqamah. Kuletakkan tas ranselku di tembok samping masjid. aku berdiri di shaf pertama paling kanan. Kuniatkan dalam hati, terasa kedamaian mengalir deras dalam hembusan nafas. Kuangkat takbir dalam khusyu menghadap Ilahi. Allah terasa begitu dekat, lebih dekat dan sangat dari urat leher. Usai shalat, aku bertemu dengan Irfan. Ia datang menghampiriku. pucuk di cinta ulam pun tiba. Ia terlihat segar dan berpakaian sangat rapih, dibalut kemeja lengan panjang berwarna merah marun dan celana bahan hitam. Aku ingin diskusi masalah keuangan

    Last Updated : 2021-05-06
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   08. GADIS MISTERIUS

    Halte kampus terlihat begitu sepi dan lengang, yang ada hanya seorang tukang batagor yang sedang menunggu pelanggannya. Kemana semua mikrolet..? sudah lima belas menit aku menunggu tetapi tidak kunjung datang. Cuaca juga sudah terlihat mendung, cahaya matahari sesekali datang dan pergi. Sepertinya aku akan terlambat ke al-Irsyad, hujan rintik mulai turun penlahan. Tak lama kemudian sebuah mikloret biru kusam datang. Beberapa orang turun. Mikrolet menjadi sepi.Aku langsung masuk dan ku duduk di pojok dalam sambil membuka kaca jendela besar-besar. Kutaruh tas ransel di samping kananku. Sungguh tidak seperti biasanya, dihari-hari biasa seperti ini mikrolet selalu padat dan penuh. Mungkin hari ini rizkiku sedang bagus, aku diberikan kenyamanan tiada tara dengan iringan angin yang berhembus kencang. Rasanya seperti menaiki mobil pribadi saja. Aku turun di pasar minggu. Baru saja aku turun, tiba-tiba mi

    Last Updated : 2021-05-21
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   09. MIMPI BURUK UMI

    Dalam lelap, aku melihat seorang gadis kecil berusia delapan tahun berwajah oval dan berambut ikal di sebuah depan sebuah rumah mewah. Ia sedang dicambuk oleh seorang laki-laki bertubuh besar dan seram. Gadis itu meminta tolong padaku agar menyelamatkannya dari siksa yang ia derita. Aku terdiam memandangnya, ia terus menerus disiksa di depan mataku. Ku tak kuasa menolongnya. Tangan mungilnya berusaha menggapai diriku. Ia menangis dan terus menerus memohon. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa mematung. Tiba-tiba Umi datang menghampiriku sambil menangis dan memintaku untuk menolong gadis itu. Saat aku berusaha untuk menolongnya aku serentak terbangun dan beristighfar berkali-kali. Ternyata sudah Jam empat lebih s

    Last Updated : 2021-05-24
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   10. TRAGEDI DEKAT SENTUL

    Dari kejauhan terlihat bus akhwat sudah siap-siap untuk berangkat. Para akhwat sibuk memasukan peralatannya ke dalam bus. Dini tidak ikut bersama akhwat yang lain. Ia membawa kendaraan pribadi, tak heran untukku. Dini sangat sensitif dengan tempat-tempat yang panas dan kotor. Itulah yang selalu kukatakan kepada teman-temanku apabila mereka meledekku dengannya. Aku bagai punguk dan dia bagaikan bulan. Tidak akan cocok sampai kapan pun.Aku heran, kenapa bus ikhwan belum juga datang. Tiba-tiba kejauhan Ali mengumumkan bahwa seluruh ikhwan dan akhwat diminta masuk kedalam masjid. Ada pengarahan dari pimpinan rohis yang tak lain dan tak bukan adalah Irfan. Ali salah satu ikhwan yang menjabat sebagai seksi humas di rohis. Umurnya lebih tua dua tahun dariku. Ia sangat terkenal dan aktif dalam persatuan remaja masjid sejakarta. Banyak acara yang telah di laksanakannya.

    Last Updated : 2021-05-24

Latest chapter

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   24. TOKO PULSA MERIAH

    Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   23. ANCAMAN KERAS

    Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   22. PENGAKUAN ANISA

    Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   21. KABAR BURUK

    Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   20. MENGANTARKANMU PULANG

    Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   19. UNDANGAN DAN ANCAMAN

    Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   18. SELEPAS KEPERGIAN USTADZ AHMAD

    Pagi hari kira-kira pukul empat subuh. Hujan rintik-rintik perlahan turun mengguyur kota jakarta yang masih terlihat lengang. Seperti biasanya kota jakarta baru akan ramai pada pukul setengah enam pagi, dimana masyarakatnya berbondong-bondong pergi menuju kantornya masing-masing. Usai shalat shubuh, Umi sibuk membereskan perlengkapan rumah. Perabotan yang tidak terlalu penting dimasukan ke dalam kardus, untuk mencicil persiapan pindah bulan depan. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak shalat shubuh di masjid, tapi di rumah berjamaah dengan Umi. Aku masih sedih dengan kepergian ustadz Ahmad. Kejadian ustadz Ahmad yang tiba-tiba jatuh saat menjadi imam, masih terngiang-ngiang di dalam otakku. Bagaimana aku tidak sedih. Setelah mendengar pemberitahuan meninggalnya ustadz Ahmad dari beberapa menara masjid, aku dan Umi segera berlari kembali kerumah beliau. Kesedihanku sudah ti

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   17. KEPERGIAN SANG USTADZ

    Ketika aku tersadar Umi sudah berada disisiku. Ia membangunkanku dengan cara mengelus-elus pipi. Kepalaku masih terasa berat dan kakiku terasa pegal-pegal. Ini karena hampir seharian aku berjalan kaki. Kutanyakan padanya jam berapa sekarang? Umi menjawab jam empat lewat sepuluh menit. Lalu kutanya lagi, apakah hari ini hari senin? Umi menjawab iya. Kemarin aku sudah tidak mengaji dengan ustadz Ahmad. Beliau pasti menayakanku. Aku bertanya kembali pada Umi, pakah kemarin Ustadz Ahmad datang kerumah? Umi menjawab Iya. Aku yakin Umi pasti sudah menjelaskan kenapa aku tidak datang ke masjid. Hari ini aku harus bertemu dengan ustadz Ahmad dan aku harus minta maaf padanya. Tiba-tiba tanganku terasa sangat sulit digerakkan. Umi berusaha memijat tubuh dan tanganku. Tapi ku bilan

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   16. PERMOHONAN DI ATAS SAJADAH

    Hujan deras mengucur berkali-kali, langit sesekali diterangi kilat yang menyambar kesana- kemari, dengan dinyanyikan suara guntur menggelegar hebat. Aku berjalan dipayungi hujan, menjejakkan langkah menuju rumah dengan membawa tas ransel dan penggorengan. Aku diam-diam pergi dari rumah itu saat mereka tertidur lelap. Hatiku seperti teriris-iris. Aku telah di siksa dan di nodai oleh Dini. Ya Allah apa yang telah aku perbuat sungguh-sungguh memalukan dan sangat-sangat memalukan! Aku telah terjerumus lembah nista dan terperosok dalam jurang kesesatan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bukannya aku merubah mereka agar menjadi benar tapi malah aku yang ikut terjerumus. Sungguh tak kusangka susu yang kuminum membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku dinodai dan ditelanjangi tanpa sehelai benangpun. Aku telah

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status