Home / Romansa / DILAMAR MALAIKAT MAUT / 05. SEPENGGAL KISAH DI DALAM MIKROLET

Share

05. SEPENGGAL KISAH DI DALAM MIKROLET

Author: Dayat_eMJe
last update Last Updated: 2021-04-30 05:28:53

   Sudah lebih dari satu minggu ini aktivitas kampus tidak seperti biasanya. Setelah melaksanakan ujian akhir semester, seluruh mahasiswa diliburkan selama dua bulan. Namun, aktivitasku hari ini mengharuskan aku berangkat ke kampus untuk mengikuti rapat rohis jam sebelas siang nanti. 

 

Walau jarak yang kutempuh tidak dekat, tapi ini adalah sebuah janji. Walaupun hanya sekedar jadwal, tapi aku harus komitmen terhadap jadwal. Jadwal adalah janji dan janji adalah hutang. Jadi sudah seharusnya seorang muslim bertanggung jawab kepada dirinya dan Allah. Walaupun begitu, Irfan tetap tidak bosan-bosannya mengingatkanku untuk menghadiri rapat itu, penting katanya.

 

Jam sembilan lebih sepuluh menit, setelah membantu Umi mengantar kripik. Aku bersiap menuju kampus, kurapikan peralatan dan kuambil Al-Quran tercinta, lalu ku masukan kedalam saku depan tas ransel berwarna biru tua. Meskipun tas ini usang tapi tas ini bersejarah, ia yang setia menemaniku menuntut ilmu sejak di bangku SD sampai saat ini, sampai menempuh S.1 di universitas Dasar Negara. 

 

Tak lupa aku membawa air putih yang di telah dimasak Umi, itu sangat berguna untukku. Apalagi harga minuman di kampusku sangat mahal. Sebelum berangkat Umi membuatkan ku secangkir teh hangat yang manis. Kuteguk dengan nikmat sambil mengucap syukur. Apapun yang aku miliki sekarang adalah karunia Allah yang patut aku syukuri. Aku tidak ingin menjadi orang yang kufur nikmat seperti almarhum ayah dahulu. Apapun yang terjadi dengan ayahku itu adalah suatu pelajaran berharga yang bisa aku kutip dan aku ambil hikmahnya. 

 

“Hari ini mau kemana Mal?” Tanya Umi ramah.

 

“Ke kampus, mau rapat rihlah untuk besok Mi.” Jawabku sambil memberikan cangkir teh yang telah kuhabiskan.

 

“Ke puncaknya jadi?”

 

In syaa Allah jadi Umi, besok pagi berangkat jam tujuh pagi, pulangnya hari minggu. Tapi pastinya bagaimana aku belum tau, keputusannya setelah rapat siang ini.”

 

Setelah menjawab pertanyaan Umi, aku langsung memasukan sepeda motor kedalam rumah yang tadi kupakai mengantar kripik, dan Umi menaruh cangkir di atas meja. 

 

“Akmal, Umi sampai lupa, bukannya sore ini kamu mengajar di Al-Irsyad?”

 

“Ngajar Umi, nanti setelah ashar aku  juga sudah pulang, dan langsung ke al-Irsyad.”

 

“kok motornya di masukan Mal? Emang kamu tidak mau bawa motor?”

 

“Tidak Mi, hari ini aku ingin pergi naik kendaraan umum saja, soalnya udara hari ini sangat panas. Sudah, Umi tenang saja, yang pasti aku tidak ingin membuat anak-anak TPA itu kecewa kok. Oh iya, Umi mau titip apa? Biar nanti aku belikan.”

 

“Tidak, Umi sedang tidak ingin apa-apa. Ya sudah kamu pergilah nanti terlambat, hati-hati di jalan.”

 

“Mohon doanya Umi. Assalamu'alaikum.”

 

Waalaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.”

 

   Dengan penuh semangat dan melawan rasa malas aku bersiap untuk keluar. Tepat pukul setengah dua belas aku harus sudah berada di Masjid At-Taqwa. Masjid yang menjadi kebanggaan kampusku. 

 

Lokasinya hanya berjarak dua ratus meter dari ruang perkuliahan. Masjid itu tidak pernah sepi dari pagi hingga malam, selalu saja dihiasi dengan berbagai macam ibadah, dari Taman Pendidikan Al-Quran sampai kegiatan Itikaf yang rutin diadakan. 

 

Di masjid itulah tempat aku mencurahkan suka dukaku selama belajar di kampus Dasar Negara ini. Tempat aku mengadu pada yang Maha pemberi rizki saat aku berada dalam keadaan kritis kehabisan uang. Saat dagangan keluargaku tidak berjalan dengan lancar. Tempat aku bersimpuh menata hati, merancang strategi, dan memperkokoh iman dalam mengarungi kehidupan yang kejam. 

 

   Diluar, terik matahari kian menyengat. Udara panas bercampur polusi membuat dadaku sedikit sesak. Kuayunkan kaki berjalan cepat menuju halte bus yang berjarak lima puluh meter dihadapanku. Tak terasa, sampai juga akhirnya. Tepat didepan mataku terdapat sebuah pasar yang sudah cukup tua umurnya dan sudah sangat lama sekali. 

 

Kata Umi pasar itu sudah beroperasi saat Umi belum lahir. Nama pasar itu adalah pasar Rumput. Entah dari mana asal nama itu dan siapa yang mencetuskan nama itu. 

 

Tapi menurut orang-orang zaman dulu sebelum menjadi pasar Rumput, tempat itu adalah ladang rumput yang luas yang sering dipergunakan untuk memberi makan kuda-kuda delman atau andong yang menjadi transportasi pada masa dahulu. Dan saat di bangun menjadi pasar, diusulkanlah nama pasar rumput yang sesuai dengan tempat sebelumnya.

 

   Disamping halte terlihat beberapa tukang ojek berbaris rapih sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan sebuah karton tipis, aku yakin mereka kepanasan  terpanggang teriknya matahari, mereka sedang menunggu giliran mengangkut penumpang. Sistem yang mereka gunakan adalah budaya antri. 

 

Budaya leluhur nenek moyang yang masih di junjung tinggi, agar tidak terjadi perebutan yang mengakibatkan perkelahian. Masyarakat disini banyak yang mendedikasikan dirinya menjadi tukang ojek untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

 

   Setelah lima menit menunggu, akhirnya aku naik bus metromini jurusan pasar minggu yang lengang. Tidak banyak penumpang yang menaiki bus ini, hanya ada beberapa orang dibangku belakang yang sedang asik ngobrol sambil bersenda gurau. Aku duduk di dekat pintu masuk bagian depan. 

 

Baru beberapa saat berjalan, kondektur menghampiriku sambil mengulurkan tangannya membunyikan uang receh untuk meminta bayaran. Kukeluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya, dan ia memberikan kembali tiga ribu rupiah. Sesampainya di pasar minggu langsung kulanjutkan mikrolet jurusan depok. 

 

Dalam mikrolet, aku duduk dipaling ujung. Karena belum berangkat, mikrolet itu masih sepi dari penumpang, hanya ada seorang ibu yang membawa bayi perempuan kecil mungil berwajah putih. Sepertinya ibu itu baru saja belanja sayuran di pasar. Pasar minggu memang pasar yang sangat terkenal di Jakarta. 

 

   Pasar tradisional yang menjual berbagai macam sayuran dan buah-buahan. Pasar yang aktivitasnya beroperasi hampir 24 jam setiap harinya. Pasar ini selain menyediakan berbagai sayur dan buah-buahan, juga terdapat toko pakaian Ramayana dan Robinson yang terdiri dari beberapa lantai. 

 

Pakaian yang di jual dipasar ini harganya yang cukup murah dan terjangkau untuk masyarakat menengah kebawah. Aktivitas pasar ini sangat aktif, sampai-sampai banyak pedagang yang menjual dagangannya di pinggir-pingir jalan umum yang di lalui kendaraan bermotor. 

 

Tak heran apabila melintasi pasar ini sudah pasti akan terkena macet. Setelah aku menunggu hampir sepuluh menit, barulah beberapa penumpang lain berdatangan masuk kedalam mikrolet. Di ikuti oleh seorang laki-laki berbadan besar berperut buncit yang sedang merokok. 

 

   Gumpalan asap rokok itu mengebul dan membuatku tidak dapat bernapas lega. Kulihat ibu itu mulai menutupi hidung bayinya dengan selendang agar tidak menghirup asap rokok. Aku kasihan kepada si bayi kalau harus menghisap racun dari rokok itu, padahal usianya masih sangat kecil. 

 

Aku heran kenapa bapak itu tidak sadar ada anak kecil di hadapannya. Baru berjalan beberapa saat, tiba-tiba naiklah seorang bapak membawa tiga karung besar yang berisikan cabai. Ibu itu diapit oleh karung cabai yang cukup banyak. Mikrolet yang kunaiki menjadi sumpak dan sesak. 

 

Aku tidak tahan dengan bau cabai dan asap rokok, membuatku menjadi mual dan ingin muntah. Kulihat ibu itu, setelah kuperhatikan, Aku terkejut. si bayi yang di selimuti selendang telah basah oleh keringatnya.

 

Si bayi mulai menangis, Ibu itu meminta tolong kepada bapak yang membawa cabai untuk membuka jendela. Aku baru sadar kalau bayinya kegerahan. Bapak itu sepertinya tidak mendengar perkataan si ibu. Aku heran dengan bapak itu, sepertinya suara ibu itu tidak kecil. 

 

Apa bapak itu tidak mendengar atau pura-pura tidak mendengar. Ia hanya tetap diam dan tak menanggapi. Si ibu sudah mulai tidak sabar, ia Mulai menggerutu. 

 

“Cup.. cup.. cup.. nak, jangan menangis” Katanya. Tapi bayi itu masih saja menangis. 

 

“Cup..cup..cup..” Katanya lagi. 

 

Tetapi tangisan bayi itu malah kian menjadi-jadi. Lalu si ibu berteriak meminta tolong kembali agar jendela itu dibuka.

 

Kemudian bapak itu membuka jendelanya sedikit. Angin pun masuk melalui jendela yang telah dibuka tadi. Aku mulai bisa menghirup udara segar, walaupun hanya sedikit. Tetapi si bayi masih saja tidak berhenti menangis malah terus menangis semakin kencang. Aku heran kenapa dengan bayi itu, apa mungkin dia merasa sesak atau tidak bisa bernapas atau apa, entahlah. 

 

Si ibu mulai berteriak kasar. Wajahnya memerah dan emosinya menggebu-gebu. Hawa dalam mikrolet seperti ini dapat membuat siapa saja dapat meluapkan amarah. Mungkin ibu itu merasa jendela yang dibuka oleh bapak itu terlalu kecil dan masih membuat si bayi kegerahan. Ibu itu meminta agar jendelanya di buka lebih besar. Dan bapak itu pun menjadi murka. 

 

 “Maaf bu, saya lagi masuk angin tidak bisa buka jendela besar-besar!”

 

“Tapi anak saya kegerahan pak! Apa bapak nggak liat kalau anak saya terus menangis! Apa bapak gak denger tangisannya!” jawab si ibu dengan suara lantang.

 

 “Yasudah, baiklah.”

 

Bapak itu mengalah dan membuka jendelanya lebih besar.

 

   Buss 

 

Serentak hembusan angin masuk menyegarkan suasana. Tiba-tiba pak supir memandang melalui kaca kecil yang berada di atasnya, dan ia menggeleng-gelengkan kepala mendengar teriakan si ibu. Entah kenapa, kurasakan mikrolet mulai berjalan perlahan dan angin yang menerpa wajahku di luar jendela mulai tidak terasa. 

 

Ku tenggok ke arah luar, ternyata jalan sudah macet. Seperti barisan tentara berpawai. Maklum pagi hari, orang-orang sibuk untuk pergi menuju kantor. Tiba-tiba semakin keras saja bayi itu menangis, dan ibu itu marah kepada bayinya. Semakin keras bayi itu menangis, semakin marah si ibu tadi. Bapak berbadan besar itu malah mengeluarkan sebatang rokok yang baru. 

 

Sungguh panas udara di dalam mikrolet ini. Tangisan sang bayi tambah mengeras dan memberontak. Kutatap wajah bayi itu. Aku melihat pancaran di wajahnya seperti menunjukan rasa ketakutan yang luar biasa dalam dirinya. aku yakin dia bukan takut pada bapak berbadan besar itu, tapi kepada ibunya sendiri.

 

Lalu ibu itu mulai geram, dan aku mulai khawatir, tidak sepantasnya seorang ibu geram dan marah kepada anaknya sendiri, apalagi anak itu masih bayi. Tetapi apa yang bisa aku perbuat?

 

   Haruskah aku mengingatkan ibu itu supaya tidak marah dan kesal kepada anaknya? Tapi, apa hakku? Aku hanya orang lain dan belum pantas untuk mengingatkannya. Ingin kukatakan pada si ibu kalau anaknya takut padanya. Bagaimana mungkin seorang bayi akan berhenti menangis apabila dia merasa takut? Ya Allah, bagaimana ini? Tiba-tiba si ibu memukul pantat anak itu karena tidak berhenti menangis. Aku terkejut melihat kejadian itu. 

 

Sungguh teganya ibu itu memukul anaknya sendiri yang masih belum mengerti kalau dia berbuat salah. Bayi itu terus manangis dan semakin kencang. Aku tidak tahan melihat wajahnya yang ketakutan, dan aku tidak sanggup mendengar jerit tangisnya. 

 

   Ya Allah, tolonglah bayi itu, aku ingin marah melihatnya. Aku sangat tidak suka melihat seorang ibu berlaku kasar kepada anaknya sendiri. Berikanlah kesabaran kepada ibu itu. Berikan cinta dan kasih sayang ke dalam dadanya. Lambungkan jiwa dengan kelembutan yang murni dan suci dari seorang ibu kepada anaknya. Bapak berbadan besar itu lalu mematikan rokoknya dan berkata kepada si ibu, 

 

"Maaf Ibu, bukan teriakan amarah dan rasa geram yang bisa menghentikan tangisan bayi. Tapi, belaian lembut tangan seorang ibu yang dibutuhkan oleh bayi itu."

 

Aku terkejut mendengar nasehat bapak berbadan besar itu. Hampir tidak percaya seorang bapak yang tidak perduli kesehatan orang lain dengan merokok sembarangan, tiba-tiba melontarkan perkataan yang sangat bijak. Lalu ibu itu membuka selendang yang menutupi anaknya dan langsung memeluknya dengan kasih sayang. Kemudian si bayi tiba-tiba berhenti menangis. 

 

   Tangan mungilnya meraih-raih dada ibunya. Aku ingin menangis melihat pemandangan itu. Aku baru sadar ternyata memang tidak bisa melihat sifat seseorang dari fisiknya saja. Aduhai, seandainya aku adalah ibunya, pasti akan kubelai wajahnya dengan kedua tanganku. Kutimang-timang dengan rasa kasih sayang yang begitu besar dengan berjuta cinta. Dan kutenangkan dia dari keadaan yang menyesakkan ini. 

 

Tak lama kemudian si bapak yang membawa karung cabai itu turun dan si bayi sudah bisa di ajak bercanda oleh si ibu. Ketawa si bayi membuat semua penumpang tersenyum melihatnya. Mikrolet ini masih penuh oleh penumpang. Memang, tidak sepenuh tadi sih, tapi masih sedikit padat. 

 

Angin yang bertiup membuat suasana menjadi sejuk kembali. Mikrolet terus melaju. Tak terasa aku sudah memasuki kawasan lenteng agung dan sebentar lagi aku sampai. 

 

   Sesampainya di stasiun lenteng agung mikrolet berhenti, si ibu dan anaknya mengucapkan terima kasih kepada si bapak berbadan besar sebelum mereka turun. Kulihat jam yang melingkar di lengan tangan kananku. Jarum jam menunjukkan angka setengah dua belas lewat lima menit. 

 

Masya Allah, sebentar lagi sudah waktu Dzuhur, aku harus segera sampai kampus. Mikrolet kembali menurunkan penumpang. Kulihat beberapa orang turun. Sesak mulai menghilang, Suasana menjadi lengang. Hanya tinggal beberapa orang saja. 

 

   Mikrolet berjalan kembali. Tibalah didepan perempatan kampus. Aku meminta supir berhenti, sebelum turun aku berpamitan kepada bapak berbadan besar. Lalu kudekati supir mikrolet itu. Berapa Pak ..? Sambil aku mengulurkan uang limaribu rupiah. Tanpa berbicara Ia mengambil uang yang kuberikan,

 

“Terima kasih yah.” Jawab supir sambil memberi kembalian tiga ribu lima ratus rupiah. 

 

   Memang supir-supir angkutan di metropolitan ini tidak semuanya ramah. Mereka sangat keras dan kasar, banyak juga dari mereka yang suka ugal-ugalan mengendarakan kendaraaannya, selip kiri, selip kanan, tanpa mematuhi rambu-rambu yang berlaku untuk berebut mendapatkan penumpang.

 

***

Related chapters

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   06. MENGUNDANG SYAHWAT DI DEPAN MASJID

    Aku sampai di Masjid kampus jam dua belas kurang seperempat. Siang yang melelahkan. Kepalaku rasanya seperti mau medidih saat matahari hampir tepat berada diatas kepalaku. Cuaca benar-benar panas. Setelah turun dari mikrolet dan mengambil uang kembalian dari pak supir, segera kugemblok tas ransel butut kesayangan.Aku ingin buru-buru bertemu dengan Irfan, ada yang ingin aku bicarakan padanya mengenai kondisi keuanganku. Aku ingin meminta bantuannya untuk mencarikanku pekerjaan sampingan. Aku melangkah menelusuri jalan setapak dan menyebrangi rel kereta yang sepi. Kupercepat langkah, tiga puluh meter di depan adalah Masjid At-Taqwa yang memiliki kubah besar yang di atasnya bertuliskan nama Allah. Masjid Megah yang memberikan ketenangan apabila berada di dalamnya. Tidak jauh dari pekarangan Masjid aku berpapasan dengan tiga akhwat yang beriringan keluar. Mereka adalah Irma, Ayu dan Rahmah. Mereka adal

    Last Updated : 2021-05-01
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   07. RAPAT RIHLAH

    Begitu masuk Masjid...Bwuss..., Terasa hembusan udara sejuk yang di pancarkan lima AC dalam masjid menyambut ramah. Alhamdulillah, Nikmat rasanya jika berada di dalam masjid. Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat berjamaah setelah mendengar iqamah. Kuletakkan tas ranselku di tembok samping masjid. aku berdiri di shaf pertama paling kanan. Kuniatkan dalam hati, terasa kedamaian mengalir deras dalam hembusan nafas. Kuangkat takbir dalam khusyu menghadap Ilahi. Allah terasa begitu dekat, lebih dekat dan sangat dari urat leher. Usai shalat, aku bertemu dengan Irfan. Ia datang menghampiriku. pucuk di cinta ulam pun tiba. Ia terlihat segar dan berpakaian sangat rapih, dibalut kemeja lengan panjang berwarna merah marun dan celana bahan hitam. Aku ingin diskusi masalah keuangan

    Last Updated : 2021-05-06
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   08. GADIS MISTERIUS

    Halte kampus terlihat begitu sepi dan lengang, yang ada hanya seorang tukang batagor yang sedang menunggu pelanggannya. Kemana semua mikrolet..? sudah lima belas menit aku menunggu tetapi tidak kunjung datang. Cuaca juga sudah terlihat mendung, cahaya matahari sesekali datang dan pergi. Sepertinya aku akan terlambat ke al-Irsyad, hujan rintik mulai turun penlahan. Tak lama kemudian sebuah mikloret biru kusam datang. Beberapa orang turun. Mikrolet menjadi sepi.Aku langsung masuk dan ku duduk di pojok dalam sambil membuka kaca jendela besar-besar. Kutaruh tas ransel di samping kananku. Sungguh tidak seperti biasanya, dihari-hari biasa seperti ini mikrolet selalu padat dan penuh. Mungkin hari ini rizkiku sedang bagus, aku diberikan kenyamanan tiada tara dengan iringan angin yang berhembus kencang. Rasanya seperti menaiki mobil pribadi saja. Aku turun di pasar minggu. Baru saja aku turun, tiba-tiba mi

    Last Updated : 2021-05-21
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   09. MIMPI BURUK UMI

    Dalam lelap, aku melihat seorang gadis kecil berusia delapan tahun berwajah oval dan berambut ikal di sebuah depan sebuah rumah mewah. Ia sedang dicambuk oleh seorang laki-laki bertubuh besar dan seram. Gadis itu meminta tolong padaku agar menyelamatkannya dari siksa yang ia derita. Aku terdiam memandangnya, ia terus menerus disiksa di depan mataku. Ku tak kuasa menolongnya. Tangan mungilnya berusaha menggapai diriku. Ia menangis dan terus menerus memohon. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku hanya bisa mematung. Tiba-tiba Umi datang menghampiriku sambil menangis dan memintaku untuk menolong gadis itu. Saat aku berusaha untuk menolongnya aku serentak terbangun dan beristighfar berkali-kali. Ternyata sudah Jam empat lebih s

    Last Updated : 2021-05-24
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   10. TRAGEDI DEKAT SENTUL

    Dari kejauhan terlihat bus akhwat sudah siap-siap untuk berangkat. Para akhwat sibuk memasukan peralatannya ke dalam bus. Dini tidak ikut bersama akhwat yang lain. Ia membawa kendaraan pribadi, tak heran untukku. Dini sangat sensitif dengan tempat-tempat yang panas dan kotor. Itulah yang selalu kukatakan kepada teman-temanku apabila mereka meledekku dengannya. Aku bagai punguk dan dia bagaikan bulan. Tidak akan cocok sampai kapan pun.Aku heran, kenapa bus ikhwan belum juga datang. Tiba-tiba kejauhan Ali mengumumkan bahwa seluruh ikhwan dan akhwat diminta masuk kedalam masjid. Ada pengarahan dari pimpinan rohis yang tak lain dan tak bukan adalah Irfan. Ali salah satu ikhwan yang menjabat sebagai seksi humas di rohis. Umurnya lebih tua dua tahun dariku. Ia sangat terkenal dan aktif dalam persatuan remaja masjid sejakarta. Banyak acara yang telah di laksanakannya.

    Last Updated : 2021-05-24
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   11. JATUH HATI

    Bagaimana aku tidak takjub melihat tempat parkir dan pekarangan yang begitu luas terbentang berhiaskan rumput berwarna hijau yang indah. Aku seperti tidak ingin beranjak dari tempat yang sejuk dan nyaman ini. Persis didepan mataku terdapat bunga-bunga bermekaran menghiasi taman, hembusan angin pegunungan bertiup kencang menyegarkan tubuhku, membuatku memutuskan untuk berkeliling sambil menikmati pemandangan villa. Disini masih terlihat beberapa peserta ikhwan sibuk menurunkan bawaannya dari dalam bus. Irfan pergi mempersiapkan kamar-kamar untuk para peserta, Seluruh panitia sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Villa ikhwan dan akhwat telah disiapkan saling berhadapan, jaraknya kira-kira empat puluh meter. Disamping taman kulihat keluarga yang terdiri dari Bapak, Ibu dan kedua anaknya sedang asik bercanda riang dipinggir kolam kecil.

    Last Updated : 2021-05-25
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   12. PENYELAMAT MEMBAWA CINTA

    Udara semakin dingin dan matahari sudah tidak tampak cahayanya. Kabut sudah mulai mengelilingi tempat ini. Usai shalat Isya, sambil menunggu hidangan, semua peserta ditugaskan membentuk kelompok yang terdiri dari enam orang dalam satu mentor. Masing-masing mentor memberikan materi keislaman dan diskusi. Setiap kelompok diberi nama sahabat-sahabat Rasulullah.Tujuannya agar mereka mengenal sejarah islam di zaman rasulullah dan para khalifah pada masa itu. Aku masuk dalam kelompok Umar bin khattab. Salah satu sahabat nabi yang bertubuh besar dan berwatak keras serta memiliki kharisma pemimpin sejati. Ia seorang pemimpin yang sangat memperhatikan nasib rakyat kecil, bertanggung jawab atas kesengsaraan dan derita rakyatnya. Seorang teladan agung dalam penegakan supremasi hukum yang tak perduli siapapun, baik gubenur maupun anaknya sendiri.

    Last Updated : 2021-05-26
  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   13. MALAM MENCEKAM

    Malam semakin larut, udara dingin terus menyusup melalui sela-sela jendela kamar. Aku melihat semua teman-teman telah tertidur pulas. Aku tak tau apa yang terjadi denganku. Rasa kantuk tidak sedikitpun menghampiri. Mataku enggan tuk terpejam, pikiranku sesekali tertuju kepada Anisa. Baru kali ini aku merasakan perasaan seperti ini. Didepan kamar, Ali dan Deni sedang bersiap-siap melaksanakan tugasnya sebagai keamanan acara. Tugas mereka berjaga-jaga dilingkungan villa malam ini, besok malam adalah giliranku. Entah kenapa aku terpikir ancaman preman-preman tadi. Perasaanku sedikit resah dan tak tenang. Kuhampiri Ali yang sedang memakai baju dingin. "Li, aku ikut jaga ya? Aku gak bisa tidur nih." "Iya boleh, emang kamu gak cape Mal? Dari tadi siang kamu gak is

    Last Updated : 2021-05-27

Latest chapter

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   24. TOKO PULSA MERIAH

    Setelah menyelesaikan urusanku dikampus aku langsung bergegas pulang. Sesampainya dirumah aku langsung menuju kamarku, dan aku coba menanyakan bagaimana kabar Anisa pada Irma melalui sambungan telpon. Karena aku belum sanggup untuk perjalanan jauh lagi, ini semua di akibatkan dua mahasiswa tekhnik suruhannya Dini yang tadi memukuliku di perpustakaan.Aku duduk di atas kasur lalu ku ambil handphone di saku celana dan menelpon Irma,"Assallamu'alaikum.""Wa'alaikumussallam, kau tak jadi datang kesini Mal?" Tanya Irma di sebrang sana."Maaf Ma, badanku tiba-tiba terasa sangan pegal sekali. Jadi tadi selesai dari kampus aku langsung pulang ke rumah.""Oh ya

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   23. ANCAMAN KERAS

    Setelah dari rumah Irma, aku langsung berangkat menuju kampus untuk mengembalikan buku-buku akhir semester yang pernah aku pinjam di perpustakaan, sekaligus mendaftar pengisian jadwal mata kuliah baru yang hanya di selenggarakan hari ini.Dalam perjalanan aku merasa baru mengerti dan sadar kenapa Anisa menitipkan jilbab hitamnya padaku waktu di puncak. ternyata ia takut kalau jilbabnya akan di buang dan ia juga akan disiksa oleh ayahnya. Aku terus berpikir bagaimana mencari jalan keluar untuk membantu Anisa. Ia tidak mungkin selamanya berada di rumah Irma. Ia secepatnya harus di pindahkan ke tempat yang lebih aman.Tempat dimana Anisa bisa mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan. Aku yakin cepat atau lambat orang tua Anisa pasti akan mencari Anisa, mereka tidak akan membiarkan Anisa hilang begitu saja. Aku mulai terpikir un

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   22. PENGAKUAN ANISA

    Irma berusaha menenangkan Anisa dengan memberikan pelukan hangat sambil mengusap-usap punggungnya. Wajah Anisa pucat, tubuhnya lemas, dan terdapat luka memar di pipi dan bibirnya. Itu pasti akibat tamparan keras ayahnya semalam. Irma menyuruh Anisa menceritakan pada kami apa yang terjadi. Tapi ia malah terus menangis. Aku memberikan kode pada Irma agar Anisa dibiarkan saja dulu. Karena Aku harus pergi ke kampus nanti aku kembali. Saat ingin beranjak, tiba-tiba Anisa memutuskan untuk bercerita saat ini juga, Irma kembali duduk disamping Anisa dengan wajah tertunduk. Kutunggu Anisa bicara, sambil ku alihkan pandangan agar aku tidak menatapnya. Lalu ia mulai bicara sambil terisak-isak, "Mal, aku mau minta maaf atas perilaku Dedi dan Orang tuaku yang telah menyakitimu. Semalaman aku telah disiksa oleh Ayah. Ayah bilang semala

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   21. KABAR BURUK

    Kupacu sepeda motorku dengan cepat menjauh dari rumah mewah tersebut. Setibanya di pertengahan jalan raya menuju rumah, aku dikejutkan oleh suasana jalan yang terlihat lengang dan sepi. Seperti tidak ada aktivitas. Aku menghentikan sepeda motorku sejenak. kulihat Batu-batu besar berserakan di tengah-tengah jalan. sekelompok polisi terlihat sedang berjaga-jaga dan memblokade jalan.Aku mulai panik, mungkin baru saja terjadi tawuran antar warga. Pasti anak-anak kampungku telah berbuat ulah kembali. Baru saja tiga bulan yang lalu berdamai dengan kampung sebrang, dan sekarang sudah bertikai kembali. Kuhampiri pak polisi itu dan meminta izin agar aku bisa pulang kerumah, merekapun membuka blokade dan mengizinkanku masuk. Saat aku melewati pos kemanan aku bertemu sekelompok anak-anak muda kampung yang sedang berjaga-jaga. Wajah mereka terlihat marah dan geram seperti api yang memb

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   20. MENGANTARKANMU PULANG

    Sambil menunggu Anisa di dalam masjid, Pak Iman menawarkanku bertadarus Al-Qur'an bersama usai shalat maghrib sampai menjelang Is'ya. Aku tersanjung mendengar tawarannya. Beliau mengajariku membaca Al-Quran dengan makhorijul huruf yang benar. Beliau memintaku membaca surat Al-Baqarah, aku membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali beliau membetulkan bacaanku. Tak terasa waktu shalat Isy'a tiba. Beliau menyuruhku mengumandangkan Adzan. Aku ikuti permintaannya. Alhamdulillah, suaraku tidak terlalu buruk. Masih cukup banyak masyarakat yang datang menunaikan shalat usai mendengar suaraku. Beliau tersenyum padaku. Usai shalat pak Iman pamit pergi kerumah temannya yang sakit. Ia mengajakku, tapi aku bilang aku sudah ada janji. Masjid masih terlihat ramai, ada beberapa orang sedang berzikir dan membaca Al-Qur'an.

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   19. UNDANGAN DAN ANCAMAN

    Setelah sekian lama berbincang-bincang, akhirnya aku meminta izin lebih pamit dulu pada Umi dan Ibu Hamadah untuk melanjutkan akivitasku menuju masjid At-Taqwa. Saat aku melintas di jalan suepomo, entah kenapa tiba-tiba ban motorku kempes. Setelah kuselidiki ternyata sebuah paku berukuran sedang telah bersarang disana. Kutarik paku itu, kemudian aku dorong motor menuju tukang tambal ban yang berjarak cukup jauh, kira-kira 2 km. Tubuhku terasa lelah, udara panas seperti memanggang kulitku, keringat mulai bercucuran. Kulihat jam tangan, sudah pukul setengah dua belas siang, tak lama lagi waktu dzuhur tiba. Sambil menunggu motorku, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang kakek tua berjalan sambil memikul dagangannya. Tubuhnya kurus dan kulitnya keriput, kalau di prediksi kira-kira umurnya diatas tujuh puluh tahun. Sungguh kasihan kakek itu, entah kenapa dihari tuanya i

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   18. SELEPAS KEPERGIAN USTADZ AHMAD

    Pagi hari kira-kira pukul empat subuh. Hujan rintik-rintik perlahan turun mengguyur kota jakarta yang masih terlihat lengang. Seperti biasanya kota jakarta baru akan ramai pada pukul setengah enam pagi, dimana masyarakatnya berbondong-bondong pergi menuju kantornya masing-masing. Usai shalat shubuh, Umi sibuk membereskan perlengkapan rumah. Perabotan yang tidak terlalu penting dimasukan ke dalam kardus, untuk mencicil persiapan pindah bulan depan. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak shalat shubuh di masjid, tapi di rumah berjamaah dengan Umi. Aku masih sedih dengan kepergian ustadz Ahmad. Kejadian ustadz Ahmad yang tiba-tiba jatuh saat menjadi imam, masih terngiang-ngiang di dalam otakku. Bagaimana aku tidak sedih. Setelah mendengar pemberitahuan meninggalnya ustadz Ahmad dari beberapa menara masjid, aku dan Umi segera berlari kembali kerumah beliau. Kesedihanku sudah ti

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   17. KEPERGIAN SANG USTADZ

    Ketika aku tersadar Umi sudah berada disisiku. Ia membangunkanku dengan cara mengelus-elus pipi. Kepalaku masih terasa berat dan kakiku terasa pegal-pegal. Ini karena hampir seharian aku berjalan kaki. Kutanyakan padanya jam berapa sekarang? Umi menjawab jam empat lewat sepuluh menit. Lalu kutanya lagi, apakah hari ini hari senin? Umi menjawab iya. Kemarin aku sudah tidak mengaji dengan ustadz Ahmad. Beliau pasti menayakanku. Aku bertanya kembali pada Umi, pakah kemarin Ustadz Ahmad datang kerumah? Umi menjawab Iya. Aku yakin Umi pasti sudah menjelaskan kenapa aku tidak datang ke masjid. Hari ini aku harus bertemu dengan ustadz Ahmad dan aku harus minta maaf padanya. Tiba-tiba tanganku terasa sangat sulit digerakkan. Umi berusaha memijat tubuh dan tanganku. Tapi ku bilan

  • DILAMAR MALAIKAT MAUT   16. PERMOHONAN DI ATAS SAJADAH

    Hujan deras mengucur berkali-kali, langit sesekali diterangi kilat yang menyambar kesana- kemari, dengan dinyanyikan suara guntur menggelegar hebat. Aku berjalan dipayungi hujan, menjejakkan langkah menuju rumah dengan membawa tas ransel dan penggorengan. Aku diam-diam pergi dari rumah itu saat mereka tertidur lelap. Hatiku seperti teriris-iris. Aku telah di siksa dan di nodai oleh Dini. Ya Allah apa yang telah aku perbuat sungguh-sungguh memalukan dan sangat-sangat memalukan! Aku telah terjerumus lembah nista dan terperosok dalam jurang kesesatan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Bukannya aku merubah mereka agar menjadi benar tapi malah aku yang ikut terjerumus. Sungguh tak kusangka susu yang kuminum membuatku tak sadarkan diri. Tubuhku dinodai dan ditelanjangi tanpa sehelai benangpun. Aku telah

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status