Fitri tampak sedikit heran, saat Abdul langsung memarkir mobilnya, tepat di depan rumahnya. "Loh, saya belum bilang rumah saya yang mana, kok Mas Abdul sudah tahu ya??" tanya Fitri, menatap wajah Abdul, penuh selidik. Abdul tertawa renyah, mendengar pertanyaan Fitri barusan."Ternyata sampean memang benar-benar lupa sama saya ya?" tanya Abdul tertawa lirih."Loh, memangnya kita pernah bertemu sebelumnya? " tanya Fitri masih terlihat heran."Mbak ingat tidak, waktu itu ada tamu dari juragan Suryo, yang menabrak Sampean, terus belanjaan nya rusak semua?" ungkap Abdul, mencoba membuka kenangan pertama kali mereka bertemu.Fitri tampak mencoba mengingatnya."Masya Allah, jadi Mas Abdul yang waktu itu melamar Ndoro Mayang??" seru Fitri tak percaya. "Hehehe, akhirnya inget juga" ucap Abdul."Sudah, ayo turun Mbak, buruan di temui Ibunya" Abdul kemudian membuka pintu mobilnya dan keluar, sambil merenggangkan otot-ototnya, yang terasa pegal.Fitri langsung menghambur, masuk ke rumah dan me
"Bu Retno!! Jogo omongan sampean!! anakku Fitri tidak mungkin berbuat seperti itu!!!" teriak bu Siti, dengan dada naik turun, karena emosi yang membuncah, mendengar perempuan itu, merendahkan putrinya, sampai seperti itu. Bu Retno hanya mencebik, dan tampak memandang rendah pada bu Siti."Ya kan aku ngomong opo anane!! Ngono ae kok nesu!!" jawab Bu Retno, santai. (aku kan ngomong apa adanya, gitu aja kok marah)Sudah tak dapat lagi menahan emosinya yang selama ini terpendam, bu Siti bergerak dengan cepat, menuju bu Retno yang tengah duduk dengan pongah nya itu. Tanpa banyak bicara, bu Siti yang selama ini selalu mengalah, dan sabar menghadapi perangai majikannya yang songong itu, segera menarik rambut bu Retno yang kriting pendek itu dengan sangat keras."Adoohhhh wes edann kowe Siti!!! Ucul!! culno pora?!! Pakne...tulungi aku ki lo!!" jerit bu Retno kesakitan.(Sudah gila kamu siti, lepas, lepasin nggak? Tolong aku Pak)Kejadian yang begitu cepat, membuat Pak Suryo, tampak terceng
Kini Fitri pindah dari kosan nya, dan tinggal bersama sang ibu, di rumah yang di pinjamkan oleh Abdul..."Mas, kami tidak enak jika hanya terus menikmati apa yang Mas Abdul berikan.Ibu ingin membuka warung sarapan di depan rumah ini, apakah boleh?" tanya Fitri, kepada Abdul sore itu, ketika pemuda itu sengaja menunggu Fitri di gerbang kampus..Abdul tertawa, "Ya pasti boleh lah Mbak" ujar Abdul, terkekeh."Padahal saya baru berencana, membuatkan Ibu warung sembako saja, biar tidak capek, di kampung sana.Karena saya lihat, ibu seperti kurang bahagia ada di kota" ungkap Abdul, dengan pandangan serius.Fitri tampak termangu, mendengar ucapan pemuda yang ada di hadapannya itu.Memang beberapa kali, ibunya mengatakan, sangat merindukan suasana di desa.Apalagi ini sudah satu bulan lebih, ibunya tinggal bersamanya.Fitri yang sibuk dengan kuliah nya, kurang memperhatikan hal itu, justru malah Abdul, yang selalu lebih mengerti."Kenapa Mas Abdul begitu perhatian kepada kami?" tanya Fitri,
"Gggimana Kak?" tanya Mayang gugup, dengan raut wajah yang cemas.Dion meraup wajahnya kasar, kemudian menyerahkan benda pipih kecil itu, ke tangan Mayang.Wajah gadis itu seketika memucat, dan menutup mulutnya, dengan sebelah tangannya."Lalu kita harus bagaimana Kak" ratap Mayang, mulai menangis."Aku tidak tahu, aku tidak mungkin menikahimu dalam waktu dekat ini May, bisa-bisa Papa dan Mama membunuhku" jawab Dion, tampak meremas rambut kepalanya sendiri."Apalagi sekarang aku tinggal menunggu wisuda saja, bisa rusak citra ku, jika tiba-tiba menikah" ucap Dion lagi."Mau tidak mau, kita harus segera menggugurkan nya May. Mumpung masih baru, jika di biarkan, perutmu nanti akan segera membesar" ucap Dion, dengan wajah yang terlihat panik."Tapi aku takut Kak" ucap Mayang lirih."Jangan takut, aku nanti akan mencari informasi, untuk kamu bisa melakukan aborsi" jawab Dion menenangkan.Mayang pun akhirnya, hanya dapat mengangguk pasrah.******Hari ini kedua orangtua Dion, baru saja pula
"May, kamu sudah di DO dari kampus" ucap Rina dan Diva, kepada Mayang pagi itu, ketika mereka melihat Mayang, sedang bersiap untuk berangkat kuliah, setelah sekian lama, dia hanya main-main terus bersama dengan Dion.Mayang tampak terkejut."Kok bisa?" tanya Mayang ."Kamu jarang masuk dan sering tidak mengerjakan tugas May, terus nilai IPK kamu itu di bawah standar terus selama 4 semester ini" jelas Rina, menatap prihatin, pada Mayang "Kata Bu Rahma, beliau sudah mengirimkan surat ke rumah orangtua mu, tapi Bapak Ibumu tidak datang" ucap Diva, juga terlihat iba.Mayang tampak tercenung di tempatnya.Jika ia sudah di keluarkan, lalu apa yang harus ia katakan, kepada kedua orangtua nya itu??"Ya sudah kalau begitu, kami berangkat dulu ya May" ucap dua temannya itu. Mayang hanya dapat menatap nanar, kedua temannya itu.Kini namanya sudah tak tercantum lagi sebagai seorang mahasiswi, di kampus itu, karena dia sudah di keluarkan. 'Apa yang harus aku lakukan sekarang?? aku tidak bisa di
Mayang akhirnya hanya dapat menangis sesenggukan di tempat tidurnya. Bu Retno dan pak Suryo juga tampak sangat susah wajahnya. "Bagaimana kalau orang-orang tahu, dengan kehamilan itu Mayang!!" seru bu Retno, ikut menangis.Mbah Tukimi, segera membereskan barang bawaannya."Saya mau pulang dulu Ndoro" ujarnya berpamitan."Eeh, Mbah !! tunggu, awas ya, jangan sampai ada orang lain yang tahu dengan kejadian ini" ucap bu Retno, kemudian mengangsurkan beberapa lembar uang ke tangan wanita renta itu."Masiyo aku ora ngomong, tapi sing jenenge batang, mesti bakal konangan" jawabnya, tetap menerima uang itu.(Meskipun aku tidak bilang2, tapi yang namanya bangkai, pasti tetap akan ketahuan)Kedua angan bu Retno tampak mengepal. Sungguh ia tidak akan sanggup, jika hal ini akan di ketahui oleh warga."Sopo sing wes metengi kowe Nduk! Omongo nyang Bapak!!" seru pak Suryo. "Ayo parani ae Pak!! (ayo kita datangi saja)" ajak bu Retno. Pak Suryo mengangguk setuju. Segera ia hubungi mobil yang bia
"Edan kowe Bune!!" (gila kamu) seru pak Suryo. "La piye maneh Pak, Mayang ki iseh kuliah, cita-cita né durung kesampaian, sing jelas wetenge bakal tambah gede!!" seru bu Retno, kalap.(bagaimana lagi, Mayang masih kuliah, cita-cita nya belum tercapai, yg jelas, perutnya juga akan semakin membesar).Pak Suryo terdiam, yang di ucapkan oleh istrinya itu memang ada benarnya.Siapa tahu, setelah Mayang menggugurkan kandungannya, dia kelak akan mendapatkan jodoh yang baik, dan bisa melanjutkan kuliahnya dengan tenang."Yo wes Bune, opo jare mu, aku manut" (ya sudah, terserah kamu, aku ikut saja) jawab pak Suryo akhirnya. Merekapun akhirnya menuju ke sudut desa, di pinggiran sebuah hutan, di kawasan itu, menuju rumah mbah Riyem, wanita tua, yang sering di mintai tolong untuk proses melahirkan, dan juga dia melayani untuk menggugurkan kandungan."Delok"en disek Di, sepi opo ora?" perintah pak Suryo, kepada Pardi, yang menyopir kendaraan. "Sepi Juragan" jawab Pardi, setelah turun sebentar,
Hari ini Rina dan Diva sedang liburan semester, jadi mereka pulang selama dua minggu, untuk mengistirahatkan otaknya, begitupun dengan Fitri, yang juga sedang libur.Oleh karena itulah, Abdul memilih momen itu, untuk meresmikan hubungan mereka. "Mayangnya ada Budhe?" tanya mereka siang itu, pada bu Retno, yang sedang mengawasi para pekerjanya menjemur padi."Ono, tapi masih tidur" jawab bu Retno. "Oh iya, sudah liburan lama, kok baru nongol? Nyang ndi ae? (kemana saja)" tanya bu Retno, kepada dua teman putrinya itu.Rina dan Diva tampak saling berpandangan. "Kami baru libur kok Budhe" jawab Rina."La kok iso? kalian kan satu kampus ambek anakku, jare Mayang libur selama 6 bulanan (La kok bisa, kalian kan satu kampus sama anakku, kata mayang libur selama 6 bulan )" ujar bu Retno tampak memicingkan matanya. Rina dan Diva tampak semakin bingung mendengar itu."Mayang pasti belum bilang ini" bisik Rina, kepada Diva.Diva mengangguk."Eng, sebenarnya anu Budhe, mungkin Mayang belum bil