DIKIRA MISKIN
"Alhamdulillah, restoran kita semakin maju dan sudah memilik cabang. Semoga rasa syukur kita semakin bertambah dan ibadah kita semakin meningkat," ucap Mas Yudi.
"Aamiin, kamu memang pantas mendapatkan ini semua, Mas. Kamu lelaki yang sangat ulet dan rajin. Orang bilang saat ini kamu sudah panen dari apa yang sudah ditanam sebelumnya. Janji Allah memang nyata. Siapa yang bersabar, maka akan indah pada waktunya." Aku tersenyum.
Aku dan Mas Yudi sedang berkeliling resto yang baru saja dibuka hari ini. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya yang tampan. Ya, Mas Yudi adalah lelaki paling tampan versi diriku sendiri, entah kalau orang lain menilai seperti apa. Tampan, cantik, itu relatif, bukan?
Mas Yudi menggengam erat tanganku, "semua ini berkat dukungan kamu, Dek. Di balik suksesnya seorang pria pasti ada wanita yang berperan di belakangnya."
"Kalau begitu bukan aku yang hebat atau kamu, Mas. Ini Atas rida dan pertolongan Allah. Kita tidak akan bisa seperti ini jika dipisahkan satu sama lain karena kita saling melengkapi." Aku tersenyum dan menggelayut manja di pundaknya.
Kami berusaha tersenyum kepada para pengunjung yang hadir hari itu untuk mengikuti acara pembukaan ini. Resto yang lumayan besar ini sudah penuh sehingga tidak ada satu meja pun yang kosong. Hanya ada satu di pojokan dan ke sana lah tujuanku dan Mas Yudi sekarang.
Mas Yudi mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu mengulurkan padaku.
"Dek, aku mau minta izin untuk menghubungi seseorang sekarang," katanya.
"Siapa? Kok sepertinya penting?" tanyaku dengan dahi berkerut. Mau telepon saja harus minta izin, apakah selama ini aku terlalu protektif?
Mas Yudi tersenyum, "Aku ingin menghubungi seseorang yang sangat penting dalam hidupku."
Aku semakin penasaran, sebenarnya siapa yang ingin dihubungi suamiku ini?
"Jangan bilang kalau kamu ingin menelepon salah satu mantan pacar agar dia mau datang ke sini untuk ikut menikmati semua hidangan di sini, ya, Mas." Aku pura-pura cemberut.
Mas Yudi mengaduk minuman di depannya lalu meminumnya. Kutatap lelaki yang sudah membersamaiku selama hampir delapan tahun ini.Aku yakin Mas Yudi adalah orang yang setia dan tidak mungkin ada wanita lain selain aku. Aku percaya sepenuhnya kalau lelaki sepertinya tidak akan mungkin macam-macam. Ya, sebagai pemilik resto sukses dengan omzet yang besar tidak menutup kemungkinan banyak wanita di luar sana yang mengincarnya.
Laleki berkumis tipis itu tertawa lalu mencubit hidungku lembut," Mana mungkin aku punya pacar. Hanya lelaki bodoh yang sanggup menduakan atau meninggalkan wanita sebaik kamu."
Aku tersenyum, "Lalu siapa yang ingin Mas hubungi dan katanya penting itu?"
Mas Yudi membuka galeri ponselnya dan terlihat di sana ada seorang wanita berkerudung instan yang sedang tersenyum. Dia adalah wanita yang sudah melahirkan Mas Yudi.
"Jadi, wanita yang sangat penting itu ibu, Mas?" tanyaku.
Mas Yudi mengangguk, tetapi sesaat kemudian matanya berkaca-kaca.
"Seandainya ibu juga ada di sini, pasti kebahagiaan kita akan semakin lengkap, ya?" ucap Mas Yudi.
"Kalau begitu telepon saja, Mas, dan bilang kalau kita sudah punya resto bahkan sudah punya cabang,"
Ibu Mas Yudi atau mertuaku tinggal di kampung yang jauh di sana. Sekali pun ia belum pernah datang ke rumah kami yang ada di kota, bahkan ia juga tidak tahu kalau anak lelaki satu-satunya ini sudah sukses.
Lalu Mas Yudi menelepon.
"Bagaimana tanggapan ibu setelah dikasih tahu kalau kita sudah punya resto cabang baru, Mas," tanyaku penasaran.
Lelaki bertubuh tegap itu mendadak berwajah lesu setelah selesai menelepon ibu.
"Seperti biasa, Dek. Ibu tidak percaya dengan ucapanku apalagi di sana juga ada Mbak Ranti Mbak Wiwid sang ratu kompor." Raut wajah Mas Yudi berubah sendu.
Aku bangkit lalu berjalan dan berdiri di belakangnya, membungkuk, kulingkarkan di lehernya di lehernya dan berbisik di telinganya, "Sabar, Mas, semoga suatu saat mereka percaya dengan apa yang kita punya agar kita tidak dihina terus."
Bayangan saat berkunjung ke rumah ibu beberapa tahun yang lalu kembali terlintas di benakku.
"Cari kerja itu yang berkelas, dong, Yud. Masa iya kakak iparmu semuanya menjadi pegawai kamu masih gini-gini aja. Terkadang aku harus malu mengakui kamu sebagai bagian dari keluarga kami. Nggak level," ucap Mbak Wiwid.
Wanita yang selalu tampil modis itu berkata sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya.
"Betul itu, Yud. Apa nggak pingin setiap hari selalu tampil dengan memakai seragam yang menjadi simbol sebuah kesuksesan seseorang?" sahut Mbak Ranti dengan nada tinggi.
Aku menelan ludah yang terasa sangat sulit. Sakit hati, tentu saja itulah yang kurasakan saat ini.
"Alhamdulillah, Mbak. Saat ini kami sudah punya kehidupan yang jauh lebih layak dari sebelumnya," ucapku sambil mengurut dada perlahan agar bisa bersabar menghadapi keduanya.
Mbak Ranti melotot, "Meski lebih layak, tetap saja kehidupan kami lebih baik, kan? Aku misalnya, punya suami pegawai negeri dan masih punya penghasilan di di sawah yang terkadang tidak akan habis selama berbulan-bulan."
Saat itu, kami memang belum punya resto seperti sekarang. Mas Yudi hanya menjadi pedagang bakso keliling.
Ibu datang dan ikut nimbrung obrolan kami, wanita yang kulitnya sudah mulai berkeriput itu duduk di samping Mbak Wiwid.
"Kakakmu itu benar, Yud. Seharusnya kamu malu kalau tidak menjadi pegawai di rumah ini. Bagaimana kamu bisa menghidupi istrimu jika masih jualan dengan hasil yang tidak menentu seperti itu," ucap ibu. Ucapannya itu sungguh mampu memporak porandakan hatiku.
Salah satu ucapan ibu yang tidak akan pernah hilang dari ingatanku adalah, "jangan pernah kembali sebelum kamu sukses."
Benar saja, setelah itu kami tidak pernah datang lagi ke rumah yang hanya membuat kami sakit hati itu.
"Maaf, Pak, ada seseorang yang ingin bertemu. "Seorang wanita berseragam resto kami datang mendekat dan membuyarkan lamunanku tentang ibu dan para kakak iparku.
***
Kami sedang sarapan bersama saat ponsel Mas Yudi yang ada di atas meja berdering sebagai pertanda ada sebuah panggilan masuk.
Mas Yudi yang sedang menikmati roti dengan olesan selai strawberry itu meletakkan rotinya dan bergegas mengangkat telepon yang sudah menjerit-jerit.
"Halo, assalamu'alaikum." Mas Yudi menyapa lebih dulu.
Raut wajah Mas Yudi berubah setelah mendengar jawaban dari seberang sana.
Sebenarnya siapa yang sudah menelepon suamiku itu sehingga membuat ia bersedih seperti itu?
DIKIRA MISKIN 2"Dik, aku baru saja dapat kabar kalau ibu sakit dan ibu meminta agar kita mau tinggal bersamanya, mau, kan?" kata Mas Yudi usai sarapan."Kenapa harus kita, kan, ada Mbak Ranti dan juga Mbak Wiwid?" tanyaku mengerutkan dahi.Kuhentikan aktifitas yang sedang memotong wortel untuk membuat sup."Ibu maunya aku yang mengurusnya karena aku anak lelaki satu-satunya, mau, ya tinggal di kampung ibu? Soalnya rumah itu milikku, milik kamu juga." Mas Yudi mengusap bahuku."Iya, Mas, aku manut saja, kemana pun kamu pergi, aku ikut," ucapku yang membuat Mas Yudi tersenyum lega."Terima kasih, ya, Dek, kamu memang istri yang baik,""Tapi, bagaimana dengan restoran kita kalau kita tinggal di kampung, nggak mungkin kita akan bolak-balik ke sini, secara dari kampung ke sini, kan lumayan jauh," ucapku."Kalau masalah itu nggak usah khawatir, ada Alvin yang akan menghandle semuanya, mungkin aku akan ke sini
DIKIRA MISKIN 3Mbak Wiwid terus saja memohon agar aku mau membantunya. Mungkin sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya agar mereka tidak merendahkanku lagi. Namun, sepertinya aku harus minta izin dulu pada Mas Yudi. Apakah ia mengizinkan atau tidak kalau aku bilang tentang kesuksesan kami pada mereka."Ada apa ini, Wid?" Tiba-tiba Mbak Ranti datang dengan tergopoh-gopoh. Ia adalah anak sulung dari keluarga Mas Yudi.Rumah Mbak Ranti hanya berjarak dua rumah dari rumah Mbak Wiwid. Sungguh beruntungnya ibu mertuaku, punya anak-anak yang punya tempat tinggal dekat dengan dirinya. Jadi, setiap hari bisa bertemu dengan para anak perempuannya."Aku punya hutang, Mbak, mereka ini para penagih hutang yang memberi peringatan kalau utangku sudah jatuh tempo seminggu lagi," ucap Mbak Wiwid lirih namun masih bisa kudengar suaranya."Terus?""Ya, seminggu lagi duitnya harus ada padahal aku belum punya uang dan aku mau pinjam sama Antika," jaw
DIKIRA MISKIN 4Mbak Ranti jatuh pingsan saat mendengar adiknya punya utang sebesar tiga puluh juta. Suasana menjadi panik, tetapi Mbak Wiwid masih saja santai. Aku harus meminta pertolongan pada beberapa orang yang lewat, tidak mungkin aku mengangkatnya seorang diri, secara tubuh Mbak Ranti lebih besar dari pada aku.Syukurlah ada beberapa orang yang dengan senang hati membantu kami.Akhirnya Mbak Ranti berhasil dibawa masuk ke rumah Mbak Wiwid dan dibaringkan di atas kasur."Aduh, nyusahin banget, sih, Mbak Ranti ini, gitu aja pakai pingsan segala, lebay," ucap Mbak Wiwid dengan mengerucutkan bibir dan tangan bersedekap.Aku mengambil minyak kayu putih dan mendekatkan ke lubang hidung Mbak Ranti, semoga saja ia cepat sadar. Syukurlah tidak begitu lama, perlahan-lahan ia mulai membuka mata dan mengerjap-ngerjap kemudian mengamati sekeliling."Tiga puluh juta? Tiga puluh juta?" Mbak Ranti berkata lirih seperti orang mengigau.
DIKIRA MISKIN 5Rasa penasaran masih bergelayut dalam dada, apa rencana Mbak Ranti sebenarnya?"Kamu nggak usah khawatir dan bersedih lagi, semingggu lagi uang itu pasti sudah ada." Senyum Mbak Ranti mengembang. Tangannya membelai rambut adik kesayangannya itu."Benar kata kamu, uang 30 juta itu kecil," imbuh Mbak Ranti dengan menjentikkan jarinya."Ya, Mbak, bagi kita uang segitu memang kecil, tidak seperti Antika, dia tidak mungkin punya uang sebanyak itu. Jangankan punya, lihat saja pasti belum pernah, kan?" kata Mbak Wiwid sinis."Kalau begitu aku pulang dulu Mbak," ucapku. Tiba-tiba aku menyesal, kenapa aku tadi buru-buru menolongnya kalau seperti ini keadaannya. Jangankan ucapan terima kasih, justru hinaan yang kudapatkan. Seharusnya aku sadar diri, orang seperti Mbak Wiwid dan Mbak Ranti tidak mungkin butuh bantuanku."Pulang ya pulang saja, tidak ada yang melarang, kamu ke sini juga tidak ada yang mengundang, kamu datang
DIKIRA MISKIN 5Aku maklum jika Mbak Wiwid menganggap uang yang kubelanjakan diberi Ibu. Saat ini Ibu memang sedang panen cabai, apalagi harga cabai juga sekarang lumayan bagus. Hasil panen Ibu juga melimpah, karena memang sawahnya luas, meski sekarang lahan yang Ibu garap sudah berkurang karena diberikan kepada Mbak Ranti dan Mbak Wiwid. Ya, Mbak Wiwid dan Mbak Ranti sudah punya bagian sawah masing-masing.Lahan yang digarap Ibu saat ini adalah bagian Mas Yudi. Namun, karena Mas Yudi merantau, maka, lahan itu Ibu yang menggarapnya meski Ibu harus mengupah orang untuk membantu menggarap sawahnya.Ibu hanya ke sawah hanya untuk melakukan pekerjaan ringan saja. Seperti mencabuti rumput liar atau saat musim panen seperti sekarang. Biasanya cabai akan dipetik setiap lima hari sekali.Semenjak sakit, Ibu tidak pernah ke sawah lagi. Beliau menyuruh orang untuk memetik cabainya. Sekarang Mas Yudi juga tengah ikut panen di sawah bersama para pekerja lain."Nggak usah pelit sama aku kalau yang
DIKIRA MISKIN 7"Apa Ibu bilang, coba katakan sekali lagi? Aku nggak salah dengar, kan, kalau Yudi setiap bulan selalu mengirim uang kepada Ibu?" Mbak Wiwid melebarkan mata seraya maju dan mencoba meraba kening Ibu lagi. Ibu mundur beberapa langkah saat tanya anak perempuannya itu ingin meraba keningnya. "Ibu tidak panas, tapi, kenapa dari tadi bicaranya seperti ada yang tidak beres? Ngaco terus ngomongnya.Tadi nyeramahin aku dan sekarang bilang kalau setiap bulan Yudi selalu kirim uang. Tidak mungkin, Bu. Ibu jangan mimpi, bangun, woy!" ucap Mbak Wiwid dengan nada tinggi dengan tangan yang ia kibaskan di depan wajah Ibu.Aku menekan dada perlahan karena kaget melihat perlakuan Mbak Wiwid pada ibunya. Beginikah sikap seorang anak yang sangat di sayang pada ibunya? Sungguh tidak pantas."Mbak, nggak sopan berbicara seperti itu dengan Ibu. Ibu ini ibu kandung Mbak yang harus kita hormati." Ucapku seraya menepuk pundak Ibu, posisiku kini berada di belakang Ibu."Habis aku kesel, dari t
DIKIRA MISKIN 8Aku mengambil minum untuk meredakan emosi yang sudah tersulut ini. Jika tiba saatnya nanti, akan aku katakan yang sebenarnya dan kupastikan mereka tidak akan menghina dan menertawakanku seperti ini lagi. "Tentu saja dia nggak akan bilang, pasti malu, seandainya benar Yudi memberi uang pasti jumlahnya tidak seberapa. Percuma saja mengirimi uang kalau pada kenyataanya uang yang Mas Yudi berikan lebih sedikit daripada punya Ibu sendiri. Itu sama artinya dengan menabur garam di atas laut, percuma. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ngasih uang biar dikira anak dan menantu baik padahal hanya ingin mendapatkan uang yang lebih banyak dari Ibu. Licik ya, rupanya kalian paham dengan konsep memancing, untuk mendapatkan ikan harus menggunakan umpan. Ya, seperti Antika ini, sok-sokan ngasih uang padahal hanya ingin mendapatkan yang lebih banyak. Selamat Tik, kamu berhasil memperdaya Ibu. Buktinya sekarang kamu dan Yudi diminta tinggal di sini," ucap Mbak Wiwid dengan nada sin
DIKIRA MISKIN 9Aku dan Ibu saling berpandangan melihat Mbak Wiwid yang masih saja tertawa."Tolong, hentikan khayalan tingkat tinggi kamu itu, Tik, aku bisa mati tertawa mendengarnya," pinta Mbak Wiwid masih dengan tertawa lebar. Ia mengusap air matanya yang berderai-derai karena tertawa setelah itu memegang perutnya. "Terserah, Mbak, mau bilang apa, yang penting memang benar apa yang dikatakan ibu, Mas Yudi juga selalu mengirimi ibu uang. Bahkan untuk menanam cabai di sawah itu juga pakai modal dari Mas Yudi. Kebetulan kami baru saja ada rezeki lebih." Jelasku, berharap Mbak Wiwid berhenti menertawakan kami. Namun, bukannya berhenti tertawa, wanita yang selalu tampil cantik dan dandan menor di setiap kesempatan itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Apa perlu aku memanggil seseorang agar ia mau berhenti tertawa? Tetapi siapa? Aku takut ia kebablasan soalnya. "Alah, sok bilang ada rezeki lebih, lebihnya berapa, sih? Paling-paling cuma lima puluh ribu," ucap Mbak Wiwid masih sin