Share

DIKIRA MISKIN
DIKIRA MISKIN
Author: Siti Aisyah

1. Bab 1

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2022-04-27 20:07:03

DIKIRA MISKIN

"Alhamdulillah, restoran kita semakin maju dan sudah memilik cabang. Semoga rasa syukur kita semakin bertambah dan ibadah kita semakin meningkat," ucap Mas Yudi. 

"Aamiin, kamu memang pantas mendapatkan ini semua, Mas. Kamu lelaki yang sangat ulet dan rajin. Orang bilang saat ini kamu sudah panen dari apa yang sudah ditanam sebelumnya. Janji Allah memang nyata. Siapa yang bersabar, maka akan indah pada waktunya." Aku tersenyum. 

Aku dan Mas Yudi sedang berkeliling resto yang baru saja dibuka hari ini. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya yang tampan. Ya, Mas Yudi adalah lelaki paling tampan versi diriku sendiri, entah kalau orang lain menilai seperti apa. Tampan, cantik, itu relatif, bukan? 

Mas Yudi menggengam erat tanganku, "semua ini berkat dukungan kamu, Dek. Di balik suksesnya seorang pria pasti ada wanita yang berperan di belakangnya." 

"Kalau begitu bukan aku yang hebat atau kamu, Mas.  Ini Atas rida dan pertolongan Allah. Kita tidak akan bisa seperti ini jika dipisahkan satu sama lain karena kita saling melengkapi." Aku tersenyum dan menggelayut manja di pundaknya. 

Kami berusaha tersenyum kepada para pengunjung yang hadir hari itu untuk mengikuti acara pembukaan ini. Resto yang lumayan besar ini sudah penuh sehingga tidak ada satu meja pun yang kosong. Hanya ada satu di pojokan dan ke sana lah tujuanku dan Mas Yudi sekarang. 

Mas Yudi mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu mengulurkan padaku. 

"Dek, aku mau minta izin untuk menghubungi seseorang sekarang," katanya. 

"Siapa? Kok sepertinya penting?" tanyaku dengan dahi berkerut. Mau telepon saja harus minta izin, apakah selama ini aku terlalu protektif? 

Mas Yudi tersenyum, "Aku ingin menghubungi seseorang yang sangat penting dalam hidupku." 

Aku semakin penasaran, sebenarnya siapa yang ingin dihubungi suamiku ini? 

"Jangan bilang kalau kamu ingin menelepon salah satu mantan pacar agar dia mau datang ke sini untuk ikut menikmati semua hidangan di sini, ya, Mas." Aku pura-pura cemberut. 

Mas Yudi mengaduk minuman di depannya  lalu meminumnya. Kutatap lelaki yang sudah membersamaiku selama hampir delapan tahun ini. 

Aku yakin Mas Yudi adalah orang yang setia dan tidak mungkin ada wanita lain selain aku. Aku percaya sepenuhnya kalau lelaki sepertinya tidak akan mungkin macam-macam. Ya, sebagai pemilik resto sukses dengan omzet yang besar tidak menutup kemungkinan banyak wanita di luar sana yang mengincarnya. 

Laleki berkumis tipis itu tertawa lalu mencubit hidungku lembut," Mana mungkin aku punya pacar. Hanya lelaki bodoh yang sanggup menduakan atau meninggalkan wanita sebaik kamu." 

Aku tersenyum, "Lalu siapa yang ingin Mas hubungi dan katanya penting itu?" 

Mas Yudi membuka galeri ponselnya dan terlihat di sana ada seorang wanita berkerudung instan yang sedang tersenyum. Dia adalah wanita yang sudah melahirkan Mas Yudi. 

"Jadi, wanita yang sangat penting itu ibu, Mas?" tanyaku. 

Mas Yudi mengangguk, tetapi sesaat kemudian matanya berkaca-kaca. 

"Seandainya ibu juga ada di sini, pasti kebahagiaan kita akan semakin lengkap, ya?" ucap Mas Yudi. 

"Kalau begitu telepon saja, Mas, dan bilang kalau kita sudah punya resto bahkan sudah punya cabang," 

Ibu Mas Yudi atau mertuaku tinggal di kampung yang jauh di sana. Sekali pun ia belum pernah datang ke rumah kami yang ada di kota, bahkan ia juga tidak tahu kalau anak lelaki satu-satunya ini sudah sukses. 

Lalu Mas Yudi menelepon. 

"Bagaimana tanggapan ibu setelah dikasih tahu kalau kita sudah punya resto cabang baru, Mas," tanyaku penasaran. 

Lelaki bertubuh tegap itu mendadak berwajah lesu setelah selesai menelepon ibu. 

"Seperti biasa, Dek. Ibu tidak percaya dengan ucapanku apalagi di sana juga ada Mbak Ranti Mbak Wiwid sang ratu kompor." Raut wajah Mas Yudi berubah sendu. 

Aku bangkit lalu berjalan dan berdiri di belakangnya, membungkuk, kulingkarkan di lehernya di lehernya dan berbisik di telinganya, "Sabar, Mas, semoga suatu saat mereka percaya dengan apa yang kita punya agar kita tidak dihina terus." 

Bayangan saat berkunjung ke rumah ibu beberapa tahun yang lalu kembali terlintas di benakku.

"Cari kerja itu yang berkelas, dong, Yud. Masa iya kakak iparmu semuanya menjadi pegawai kamu masih gini-gini aja. Terkadang aku harus malu mengakui kamu sebagai bagian dari keluarga kami. Nggak level," ucap Mbak Wiwid. 

Wanita yang selalu tampil modis itu berkata sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya. 

"Betul itu, Yud. Apa nggak pingin setiap hari selalu tampil dengan memakai seragam yang menjadi simbol sebuah kesuksesan seseorang?" sahut Mbak Ranti dengan nada tinggi. 

Aku menelan ludah yang terasa sangat sulit. Sakit hati, tentu saja itulah yang kurasakan saat ini.

"Alhamdulillah, Mbak. Saat ini kami sudah punya kehidupan yang jauh lebih layak dari sebelumnya," ucapku sambil mengurut dada perlahan agar bisa bersabar menghadapi keduanya. 

Mbak Ranti melotot, "Meski lebih layak, tetap saja kehidupan kami lebih baik, kan? Aku misalnya, punya suami pegawai negeri dan masih punya penghasilan di di sawah yang terkadang tidak akan habis selama berbulan-bulan." 

Saat itu, kami memang belum punya resto seperti sekarang. Mas Yudi hanya menjadi pedagang bakso keliling. 

Ibu datang dan ikut nimbrung obrolan kami, wanita yang kulitnya sudah mulai berkeriput itu duduk di samping Mbak Wiwid. 

"Kakakmu itu benar, Yud. Seharusnya kamu malu kalau tidak menjadi pegawai di rumah ini. Bagaimana kamu bisa menghidupi istrimu jika masih jualan dengan hasil yang tidak menentu seperti itu," ucap ibu. Ucapannya itu sungguh mampu memporak porandakan hatiku. 

Salah satu ucapan ibu yang tidak akan pernah hilang dari ingatanku adalah, "jangan pernah kembali sebelum kamu sukses." 

Benar saja, setelah itu kami tidak pernah datang lagi ke rumah yang hanya membuat kami sakit hati itu. 

"Maaf, Pak, ada seseorang yang ingin bertemu. "Seorang wanita berseragam resto kami datang mendekat dan membuyarkan lamunanku tentang ibu dan para kakak iparku. 

***

Kami sedang sarapan bersama saat ponsel Mas Yudi yang ada di atas meja berdering sebagai  pertanda ada sebuah panggilan masuk. 

Mas Yudi yang sedang menikmati roti dengan olesan selai strawberry itu meletakkan rotinya  dan bergegas mengangkat telepon yang sudah menjerit-jerit. 

"Halo, assalamu'alaikum." Mas Yudi menyapa lebih dulu. 

Raut wajah Mas Yudi berubah setelah mendengar jawaban dari seberang sana. 

Sebenarnya siapa yang sudah menelepon suamiku itu sehingga membuat ia bersedih seperti itu? 

Related chapters

  • DIKIRA MISKIN   2. Bab 2

    DIKIRA MISKIN 2"Dik, aku baru saja dapat kabar kalau ibu sakit dan ibu meminta agar kita mau tinggal bersamanya, mau, kan?" kata Mas Yudi usai sarapan."Kenapa harus kita, kan, ada Mbak Ranti dan juga Mbak Wiwid?" tanyaku mengerutkan dahi.Kuhentikan aktifitas yang sedang memotong wortel untuk membuat sup."Ibu maunya aku yang mengurusnya karena aku anak lelaki satu-satunya, mau, ya tinggal di kampung ibu? Soalnya rumah itu milikku, milik kamu juga." Mas Yudi mengusap bahuku."Iya, Mas, aku manut saja, kemana pun kamu pergi, aku ikut," ucapku yang membuat Mas Yudi tersenyum lega."Terima kasih, ya, Dek, kamu memang istri yang baik,""Tapi, bagaimana dengan restoran kita kalau kita tinggal di kampung, nggak mungkin kita akan bolak-balik ke sini, secara dari kampung ke sini, kan lumayan jauh," ucapku."Kalau masalah itu nggak usah khawatir, ada Alvin yang akan menghandle semuanya, mungkin aku akan ke sini

    Last Updated : 2022-04-27
  • DIKIRA MISKIN   3. Bab 3

    DIKIRA MISKIN 3Mbak Wiwid terus saja memohon agar aku mau membantunya. Mungkin sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya agar mereka tidak merendahkanku lagi. Namun, sepertinya aku harus minta izin dulu pada Mas Yudi. Apakah ia mengizinkan atau tidak kalau aku bilang tentang kesuksesan kami pada mereka."Ada apa ini, Wid?" Tiba-tiba Mbak Ranti datang dengan tergopoh-gopoh. Ia adalah anak sulung dari keluarga Mas Yudi.Rumah Mbak Ranti hanya berjarak dua rumah dari rumah Mbak Wiwid. Sungguh beruntungnya ibu mertuaku, punya anak-anak yang punya tempat tinggal dekat dengan dirinya. Jadi, setiap hari bisa bertemu dengan para anak perempuannya."Aku punya hutang, Mbak, mereka ini para penagih hutang yang memberi peringatan kalau utangku sudah jatuh tempo seminggu lagi," ucap Mbak Wiwid lirih namun masih bisa kudengar suaranya."Terus?""Ya, seminggu lagi duitnya harus ada padahal aku belum punya uang dan aku mau pinjam sama Antika," jaw

    Last Updated : 2022-04-27
  • DIKIRA MISKIN   4. Bab 4

    DIKIRA MISKIN 4Mbak Ranti jatuh pingsan saat mendengar adiknya punya utang sebesar tiga puluh juta. Suasana menjadi panik, tetapi Mbak Wiwid masih saja santai. Aku harus meminta pertolongan pada beberapa orang yang lewat, tidak mungkin aku mengangkatnya seorang diri, secara tubuh Mbak Ranti lebih besar dari pada aku.Syukurlah ada beberapa orang yang dengan senang hati membantu kami.Akhirnya Mbak Ranti berhasil dibawa masuk ke rumah Mbak Wiwid dan dibaringkan di atas kasur."Aduh, nyusahin banget, sih, Mbak Ranti ini, gitu aja pakai pingsan segala, lebay," ucap Mbak Wiwid dengan mengerucutkan bibir dan tangan bersedekap.Aku mengambil minyak kayu putih dan mendekatkan ke lubang hidung Mbak Ranti, semoga saja ia cepat sadar. Syukurlah tidak begitu lama, perlahan-lahan ia mulai membuka mata dan mengerjap-ngerjap kemudian mengamati sekeliling."Tiga puluh juta? Tiga puluh juta?" Mbak Ranti berkata lirih seperti orang mengigau.

    Last Updated : 2022-04-27
  • DIKIRA MISKIN   5. Bab 5

    DIKIRA MISKIN 5Rasa penasaran masih bergelayut dalam dada, apa rencana Mbak Ranti sebenarnya?"Kamu nggak usah khawatir dan bersedih lagi, semingggu lagi uang itu pasti sudah ada." Senyum Mbak Ranti mengembang. Tangannya membelai rambut adik kesayangannya itu."Benar kata kamu, uang 30 juta itu kecil," imbuh Mbak Ranti dengan menjentikkan jarinya."Ya, Mbak, bagi kita uang segitu memang kecil, tidak seperti Antika, dia tidak mungkin punya uang sebanyak itu. Jangankan punya, lihat saja pasti belum pernah, kan?" kata Mbak Wiwid sinis."Kalau begitu aku pulang dulu Mbak," ucapku. Tiba-tiba aku menyesal, kenapa aku tadi buru-buru menolongnya kalau seperti ini keadaannya. Jangankan ucapan terima kasih, justru hinaan yang kudapatkan. Seharusnya aku sadar diri, orang seperti Mbak Wiwid dan Mbak Ranti tidak mungkin butuh bantuanku."Pulang ya pulang saja, tidak ada yang melarang, kamu ke sini juga tidak ada yang mengundang, kamu datang

    Last Updated : 2022-04-27
  • DIKIRA MISKIN   6. Bab 6

    DIKIRA MISKIN 5Aku maklum jika Mbak Wiwid menganggap uang yang kubelanjakan diberi Ibu. Saat ini Ibu memang sedang panen cabai, apalagi harga cabai juga sekarang lumayan bagus. Hasil panen Ibu juga melimpah, karena memang sawahnya luas, meski sekarang lahan yang Ibu garap sudah berkurang karena diberikan kepada Mbak Ranti dan Mbak Wiwid. Ya, Mbak Wiwid dan Mbak Ranti sudah punya bagian sawah masing-masing.Lahan yang digarap Ibu saat ini adalah bagian Mas Yudi. Namun, karena Mas Yudi merantau, maka, lahan itu Ibu yang menggarapnya meski Ibu harus mengupah orang untuk membantu menggarap sawahnya.Ibu hanya ke sawah hanya untuk melakukan pekerjaan ringan saja. Seperti mencabuti rumput liar atau saat musim panen seperti sekarang. Biasanya cabai akan dipetik setiap lima hari sekali.Semenjak sakit, Ibu tidak pernah ke sawah lagi. Beliau menyuruh orang untuk memetik cabainya. Sekarang Mas Yudi juga tengah ikut panen di sawah bersama para pekerja lain."Nggak usah pelit sama aku kalau yang

    Last Updated : 2022-05-24
  • DIKIRA MISKIN   7. Bab 7

    DIKIRA MISKIN 7"Apa Ibu bilang, coba katakan sekali lagi? Aku nggak salah dengar, kan, kalau Yudi setiap bulan selalu mengirim uang kepada Ibu?" Mbak Wiwid melebarkan mata seraya maju dan mencoba meraba kening Ibu lagi. Ibu mundur beberapa langkah saat tanya anak perempuannya itu ingin meraba keningnya. "Ibu tidak panas, tapi, kenapa dari tadi bicaranya seperti ada yang tidak beres? Ngaco terus ngomongnya.Tadi nyeramahin aku dan sekarang bilang kalau setiap bulan Yudi selalu kirim uang. Tidak mungkin, Bu. Ibu jangan mimpi, bangun, woy!" ucap Mbak Wiwid dengan nada tinggi dengan tangan yang ia kibaskan di depan wajah Ibu.Aku menekan dada perlahan karena kaget melihat perlakuan Mbak Wiwid pada ibunya. Beginikah sikap seorang anak yang sangat di sayang pada ibunya? Sungguh tidak pantas."Mbak, nggak sopan berbicara seperti itu dengan Ibu. Ibu ini ibu kandung Mbak yang harus kita hormati." Ucapku seraya menepuk pundak Ibu, posisiku kini berada di belakang Ibu."Habis aku kesel, dari t

    Last Updated : 2022-05-24
  • DIKIRA MISKIN   8. Bab 8

    DIKIRA MISKIN 8Aku mengambil minum untuk meredakan emosi yang sudah tersulut ini. Jika tiba saatnya nanti, akan aku katakan yang sebenarnya dan kupastikan mereka tidak akan menghina dan menertawakanku seperti ini lagi. "Tentu saja dia nggak akan bilang, pasti malu, seandainya benar Yudi memberi uang pasti jumlahnya tidak seberapa. Percuma saja mengirimi uang kalau pada kenyataanya uang yang Mas Yudi berikan lebih sedikit daripada punya Ibu sendiri. Itu sama artinya dengan menabur garam di atas laut, percuma. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ngasih uang biar dikira anak dan menantu baik padahal hanya ingin mendapatkan uang yang lebih banyak dari Ibu. Licik ya, rupanya kalian paham dengan konsep memancing, untuk mendapatkan ikan harus menggunakan umpan. Ya, seperti Antika ini, sok-sokan ngasih uang padahal hanya ingin mendapatkan yang lebih banyak. Selamat Tik, kamu berhasil memperdaya Ibu. Buktinya sekarang kamu dan Yudi diminta tinggal di sini," ucap Mbak Wiwid dengan nada sin

    Last Updated : 2022-05-24
  • DIKIRA MISKIN   9. Bab 9

    DIKIRA MISKIN 9Aku dan Ibu saling berpandangan melihat Mbak Wiwid yang masih saja tertawa."Tolong, hentikan khayalan tingkat tinggi kamu itu, Tik, aku bisa mati tertawa mendengarnya," pinta Mbak Wiwid masih dengan tertawa lebar. Ia mengusap air matanya yang berderai-derai karena tertawa setelah itu memegang perutnya. "Terserah, Mbak, mau bilang apa, yang penting memang benar apa yang dikatakan ibu, Mas Yudi juga selalu mengirimi ibu uang. Bahkan untuk menanam cabai di sawah itu juga pakai modal dari Mas Yudi. Kebetulan kami baru saja ada rezeki lebih." Jelasku, berharap Mbak Wiwid berhenti menertawakan kami. Namun, bukannya berhenti tertawa, wanita yang selalu tampil cantik dan dandan menor di setiap kesempatan itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Apa perlu aku memanggil seseorang agar ia mau berhenti tertawa? Tetapi siapa? Aku takut ia kebablasan soalnya. "Alah, sok bilang ada rezeki lebih, lebihnya berapa, sih? Paling-paling cuma lima puluh ribu," ucap Mbak Wiwid masih sin

    Last Updated : 2022-05-24

Latest chapter

  • DIKIRA MISKIN   87. Bab 87

    DIKIRA MISKIN 87Kami hanya terdiam mendengar permintaan sang keponakan yang sudah beranjak remaja itu. Rifki masih saja menggoyangkan lengan Mas Yudi dan berharap agar ia mau menuruti permintaannya mengizinkan papanya ikut tinggal dengan kami.Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang cukup keras dari arah belakang. Kami menoleh serempak."Hebat, kamu, Mas?" kata Elvira dengan masih bertepuk tangan dan berjalan mengitari Mas Ajun."Pak Atmaja?" Mas Ajun pucat pasi saat melihat kedatangan mantan istri dan mertuanya serta Mas Fikar."Pintar sekali kamu mengarang cerita dan memutar balikkan fakta. Kamu layak untuk menjadi aktor yang pandai berakting dan bersandiwara di depan kamera, ck ck ck," ucap Elvira tersenyum sinis."Ada apa ini? Kenapa kalian datang ke sini beramai-ramai?" tanya Mbak Ranti."Kami mendengar kabar kalau Wiwid meninggal. Ya, meski aku benci dengannya, tapi bagaimanapun juga ia adalah calon dari bagian keluarga kami. Saat Mas Fikar menikah dengan Mbak Ranti, otoma

  • DIKIRA MISKIN   86. Bab 86

    DIKIRA MISKIN 86Aku terpaku di samping jenazah Mbak Wiwid. Lidahku terasa kelu, tidak mampu berkata lagi.Masih teringat dengan jelas saat Mbak Wiwid bilang kalau saat kami datang menjenguknya, ia sudah tidak bernyawa. Sekarang ucapannya itu menjadi nyata. Apakah ini yang disebut dengan ucapan adalah do'a?Semoga Mbak Wiwid sudah bertaubat saat meninggal. Meski banyak harapan yang belum terwujud.Aku ngeri saat melihat wajah Mbak Wiwid yang sudah pucat karena memang nyawa sudah lepas dari raganya. Itu artinya darahnya sudah berhenti mengalir, jantung sudah tidak berdetak dan organ tubuh sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya."Wiwid. Kenapa kamu pergi secepat ini? Mbak sayang kamu, Wid," seru Mbak Ranti sambil memeluk Mbak Ranti yang matanya sudah tertutup rapat."Sabar, Mbak. Ikhlaskan kepergian Mbak Wiwid." Aku mengusap pundak Mbak Ranti dengan lembut.Kami kembali terdiam, larut dakam pikiran masing-masing. Bagaimana dengan ibu? Ibu pasti shock jika mengetahui kenyataan ini, p

  • DIKIRA MISKIN   85. Bab 85

    DIKIRA MISKIN 85"Bagaimana, Yud? Apakah kamu berhasil menemui Ajun dan mengancamnya?" tanya Mbak Ranti. Mas Yudi baru saja pulang dari menjalankan misi yang diminta wanita yang akan segera menikah itu."Tidak," jawab Mas Yudi. Tanganya meraih gelas di hadapannya dan segera meminum habis minuman yang tersaji di meja."Maksudmu tidak, apa?" tanya Mbak Ranti dengan dahi mengernyit."Aku tidak berhasil menemui Ajun karena ternyata dia sudah pisah dengan Elvira," kata Mas Yudi."Apa?" "Tadi aku ke rumah Elvira. Awalnya dia marah-marah padaku, dia bilang aku tidak becus menjaga kakak sehingga Mbak Wiwid berbuat nekat. Pusing aku, Mbak Wiwid yang berbuat, aku harus ikut menanggung akibat." Mas Yudi mengusap pelipisnya. Aku segera duduk di sampingnya dan memberikan sentuhan hangat."Terus Ajun sekarang tinggal di mana?" tanya Mbak Ranti. "Mana aku tahu, Mbak. Intinya Mbak tidak perlu khawatir, jika menikah dengan Fikar, Ajun tidak akan ada di sana. Keluarganya tidak akan tahu kalau Mbak Ra

  • DIKIRA MISKIN   84. Bab 84

    DIKIRA MISKIN 84"Pokoknya aku tidak mau punya kakak ipar dari keluarga Atmaja." Mbak Wiwid masih saja cemberut, sementara Mbak Ranti sudah pergi membawa rasa jengkel."Aku sudah merestui hubungan mereka. Orangtuanya juga sudah datang melamar dan kita tinggal menentukan tanggal untuk melangsungkan acara pernikahan," ucap Ibu."Aku akan menggagalkan pernikahan mereka. Bagaimanapun caranya." Tangan kurus Mbak Wiwid mengepal."Bagaimana caranya, Mbak, kan ada di sini? Sakit lagi," tanya Mas Yudi."Aku akan mati dan arwahku akan gentayangan, kemudian mengganggu Mbak Ranti dan Mas Fikar sehingga mereka tidak akan bisa hidup tenang dan pernikahan pun gagal. Aku yang sudah berada di alam lain akan tertawa saat melihat Mbak Ranti menangis karena gagal nikah dengan lelaki kaya." Mbak Wiwid tersenyum puas. Ia pasti sedang membayangkan kalau menjadi arwah penasaran itu menyenangkan. "Suatu pemikiran yang konyol. Memangnya ada arwah penasaran? Mbak Wiwid ini korban film horror kayaknya. Tidak ad

  • DIKIRA MISKIN   83. Bab 83

    DIKIRA MISKIN 83Kami saling berpandangan saat Mbak Ranti bilang nama calon suaminya sama dengan yang dibilang Mbak Wiwid. Apa mungkin hanya namanya saja yang sama? Atau memang yang mereka maksud itu orang yang sama? Kenapa bisa kebetulan banget begitu?"Kamu kenal dengan lelaki yang bernama Zulfikar Atmaja?" Bukan hanya aku yang penasaran, Mas Yudi juga."Kalau Zulfikar Atmaja, aku kenal, tapi entah dia yang kumaksud atau orang lain. Mungkin hanya namanya yang sama, kan?" Mbak Wiwid tersenyum."Ya, mungkin hanya namanya yang kebetulan sama. Dia seorang manager di sebuah perusahaan bonafit. Dia sering datang ke resto-ku," jelas Mas Yudi. Pernyataannya menjawab rasa penasaranku."Oh." Mbak Siwid hanya ber 'oh' ria dan tidak bertanya lagi."Kamu yakin tidak mau kusewakan pengacara agar masa tahanan kamu bisa berkurang, Mbak?" tanya Mas Yudi mengalihkan pembicaraan."Iya, aku mau di sini sampai masa tahananku habis sambil memperbaiki diri. Lagi pula aku juga tidak mau utangku semakin me

  • DIKIRA MISKIN   82. Bab 82

    DIKIRA MISKIN 82Rifki histeris melihat kondisi mamanya, pun dengan kami. Apalagi Ibu, ia bahkan sampai gemetar melihat anak yang selama ini ia manja dan ia rindukan sedang mengalami masa kritis.Ibu terus melantunkan istigfar. Tangannya mengusap lengan Mbak Wiwid."Ya Allah, sembuhkanlah anakku, berilah ia kesempatan untuk memperbaiki diri. Kami sudah memaafkan kesalahannya," ucap Ibu tulus.Mata Mbak Wiwid yang awalnya melotot dan seperti menahan sakit, tiba-tiba terpejam dan tubuhnya mendadak lemas setelah beberapa saat sebelumnya terlihat kaku."Kenapa dengan anak saya, Dok? Dia akan baik-baik saja, kan?" Ibu panik."Tenang, Bu. Pasien hanya pingsan," jawab Dokter Rudy."Dokter tidak bohong, kan? Anak saya tidak mati, kan?" tanya Ibu lagi seraya memeluk Mbak Wiwid yang mata kini sudah terpejam. Aku melihat ada seukir senyum di bibirnya.Mbak Wiwid masih hidup, terlihat dengan jelas dadanya masih naik turun. Saat tanganku mendekat di lubang hidung, masih ada embusan napas di sana.

  • DIKIRA MISKIN   81. Bab 81

    DIKIRA MISKIN 81"Ada apa, Yud?" Ibu meletakkan sendok dan menatap Mas Yudi dengan nada khawatir."Enggak tahu, Bu. Kita hanya diminta untuk datang menjenguk Mbak Wiwid," jawab Mas Yudi."Ya Allah, apa yang terjadi dengan anakku itu?" "Maafkan aku, Bu. Seharusnya sudah sejak tadi kalian menjenguk Wiwid, tapi gara-gara acara ini, jadi tertiuda hingga harus di telepon lagi," ucap Mbak Ranti seraya menggigit bibir bawah."Ini bukan salah kamu, Nak. Berdo'a saja agar Wiwid tidak apa-apa." Ibu berusaha tersenyum meski aku yakin hatinya perih membayangkan hal buruk yang terjadi dengan anaknya yang ada di dalam penjara. Ya, semarah-marahnya seorang Ibu, ia tidak mungkin menginginkan hal buruk menimpa anaknya."Ibu sudah memaafkan Mbak Wiwid, kan? Ikhlaskan dia Bu, agar Allah mengampuni dosanya," ucapku seraya mengusap pundak Ibu."Innalillah, memangnya Wiwid is dead," ucap Mbak Ranti dengan nada tinggi, matanya melotot kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangan."Siapa yang bilang?" tany

  • DIKIRA MISKIN   80. Bab 80

    DIKIRA MISKIN 80Aku dan Mbak Ranti yang baru saja selesai memasak untuk persiapan nanti malam terkejut dengan kedatangan Mas Yudi dan teriakan ibu."Kita harus menjenguk Wiwid. Pantas saja beberapa hari ini perasaanku tidak enak. Tidur juga sering mimpi buruk. Apa ini ada hubungannya dengannya yang sakit parah itu?" kata ibu.Aku dan Mbak Ranti saling berpandangan. Kulihat aneka makanan yang sudah siap untuk acara istimewa nanti. Jika ibu dan Mas Yudi menjenguk Mbak Wiwid, bagaimana dengan acara ini?"Bu," ucap Mbak Ranti seraya mengusap tangan ibu."Kamu tidak usah khawatir, Ran. Ibu akan menjenguk Wiwid, tetapi tidak sekarang karena ini hari istimewa yang kamu tunggu dan tidak mungkin dibatalkan," ucap ibu tersenyum."Kalau Ibu mau jenguk Wiwid, aku juga tidak akan protes kok, Bu. Aku tahu, dari dulu Wiwid memang selalu yang diutamakan karena ia adalah anak emasnya Ibu dan Bapak," ucap Mbak Ranti menunduk.Ya, meski aku tidak bersama mereka dari kecil, tetapi aku tahu, Mbak Wiwid s

  • DIKIRA MISKIN   79. Bab 79

    DIKIRA MISKIN 79Ibu berjalan keluar ruangan dan Wiwid berusaha mengejarnya, tetapi seorang petugas menahannya. Ibu sudah tidak menggubris Wiwid lagi. Mungkin ibu sudah terlanjur kecewa."Ibu, maafkan aku!" Mbak Wiwid meronta dalam cekalan tangan seorang petugas, tetapi ibu sudah tidak peduli lagi. Ibu malah semakin mempercepat langkahnya. Ia memilih masuk mobil dan menguncinya rapat-rapat.Aku dan Rifki menyusul ibu ke dalam mobil. Sementara Mas Yudi membuat laporan mengenai Mas Wahyu yang telah menganiaya Rifki. Semoga prosesnya cepat sehingga ia segera mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya."Tik," ucap ibu seraya memelukku erat, air matanya terus bercucuran. Bahunya terguncang."Alhamdulilah, laporan kita sudah dalam proses. Polisi akan segera mencari keberadaan Mas Wahyu. Setelah ini ia tidak akan hidup tenang lagi. Ke manapun ia pergi , polisi pasti akan menemukannya. Meski masuk ke lubang semut sekalipun," kata Mas Yudi."Ya, orang jahat memang harus mendapat bal

DMCA.com Protection Status