DIKIRA MISKIN 7
"Apa Ibu bilang, coba katakan sekali lagi? Aku nggak salah dengar, kan, kalau Yudi setiap bulan selalu mengirim uang kepada Ibu?" Mbak Wiwid melebarkan mata seraya maju dan mencoba meraba kening Ibu lagi.
Ibu mundur beberapa langkah saat tanya anak perempuannya itu ingin meraba keningnya.
"Ibu tidak panas, tapi, kenapa dari tadi bicaranya seperti ada yang tidak beres? Ngaco terus ngomongnya.Tadi nyeramahin aku dan sekarang bilang kalau setiap bulan Yudi selalu kirim uang. Tidak mungkin, Bu. Ibu jangan mimpi, bangun, woy!" ucap Mbak Wiwid dengan nada tinggi dengan tangan yang ia kibaskan di depan wajah Ibu.
Aku menekan dada perlahan karena kaget melihat perlakuan Mbak Wiwid pada ibunya. Beginikah sikap seorang anak yang sangat di sayang pada ibunya? Sungguh tidak pantas.
"Mbak, nggak sopan berbicara seperti itu dengan Ibu. Ibu ini ibu kandung Mbak yang harus kita hormati." Ucapku seraya menepuk pundak Ibu, posisiku kini berada di belakang Ibu.
"Habis aku kesel, dari tadi kamu selalu di bela Ibu. Mana mungkin setiap bulan Yudi selalu kirim uang sama Ibu. Mau makan aja susah? Gimana bisa kirim uang untuk Ibu? Kalau ngehalu jangan ketinggian, kalau jatuh sakit lho?" Ujar Mbak Wiwid sinis.
"Memang benar kenyataannya begitu," kata Ibu.
"Tidak percaya, apa jangan-jangan Ibu yang selalu kirim uang buat Yudi dan istrinya ini, kemudian uang itu dikirimkan lagi kepada Ibu biar seolah-olah Yudi yang mengirim semata-semata untuk cari muka?" Kata Mbak Wiwid.
"Ribet amat, Ibu mengirim uang kemudian dikirim lagi," imbuhnya lagi masih dengan nada sinis.
"Terserah kamu mau bilang apa, aku tidak memaksa kamu untuk percaya dengan ucapanku tentang Yudi yang selalu mengirimiku uang secara diam-diam. Ibu memang tidak pernah bilang sama kamu dan juga Ranti karena Yudi yang melarang," ucap Ibu.
"Aku tetap tidak percaya. Mana ada penjual bakso yang bisa kirim uang kepada ibunya setiap bulan? Untuk makan sama bayar kontrakan saja sudah nyukup-nyukupin, jadi tidak mungkin bisa menyisihkan uang untuk Ibu," ucap Mbak Wiwik panjang lebar.
"Tik, sudah saatnya kamu bilang ke kakak-kakak kamu kalau sebenarnya setiap bulan selalu mengirim uang biar mereka tidak merendahkanmu lagi. Ibu kasihan sama kamu yang selalu dihina dan direndahkan oleh keluarga suamimu sendiri. Ibu sekarang sadar, untuk menyayangi seseorang tidak harus yang berseragam rapi, namun, yang pengertian seperti kamu sudah cukup. Maafkan ibu yang selama ini hanya mengikuti Bapak yang membenci kamu padahal kamu adalah menantu yang baik," ucap Ibu dengan lembut. Semoga Ibu benar-benar berubah, mau menyayangiku sepenuh hati.Mbak Wiwid melotot padaku lalu tertawa terbahak-bahak padahal tidak ada yang lucu menurutku.
DIKIRA MISKIN 8Aku mengambil minum untuk meredakan emosi yang sudah tersulut ini. Jika tiba saatnya nanti, akan aku katakan yang sebenarnya dan kupastikan mereka tidak akan menghina dan menertawakanku seperti ini lagi. "Tentu saja dia nggak akan bilang, pasti malu, seandainya benar Yudi memberi uang pasti jumlahnya tidak seberapa. Percuma saja mengirimi uang kalau pada kenyataanya uang yang Mas Yudi berikan lebih sedikit daripada punya Ibu sendiri. Itu sama artinya dengan menabur garam di atas laut, percuma. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ngasih uang biar dikira anak dan menantu baik padahal hanya ingin mendapatkan uang yang lebih banyak dari Ibu. Licik ya, rupanya kalian paham dengan konsep memancing, untuk mendapatkan ikan harus menggunakan umpan. Ya, seperti Antika ini, sok-sokan ngasih uang padahal hanya ingin mendapatkan yang lebih banyak. Selamat Tik, kamu berhasil memperdaya Ibu. Buktinya sekarang kamu dan Yudi diminta tinggal di sini," ucap Mbak Wiwid dengan nada sin
DIKIRA MISKIN 9Aku dan Ibu saling berpandangan melihat Mbak Wiwid yang masih saja tertawa."Tolong, hentikan khayalan tingkat tinggi kamu itu, Tik, aku bisa mati tertawa mendengarnya," pinta Mbak Wiwid masih dengan tertawa lebar. Ia mengusap air matanya yang berderai-derai karena tertawa setelah itu memegang perutnya. "Terserah, Mbak, mau bilang apa, yang penting memang benar apa yang dikatakan ibu, Mas Yudi juga selalu mengirimi ibu uang. Bahkan untuk menanam cabai di sawah itu juga pakai modal dari Mas Yudi. Kebetulan kami baru saja ada rezeki lebih." Jelasku, berharap Mbak Wiwid berhenti menertawakan kami. Namun, bukannya berhenti tertawa, wanita yang selalu tampil cantik dan dandan menor di setiap kesempatan itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Apa perlu aku memanggil seseorang agar ia mau berhenti tertawa? Tetapi siapa? Aku takut ia kebablasan soalnya. "Alah, sok bilang ada rezeki lebih, lebihnya berapa, sih? Paling-paling cuma lima puluh ribu," ucap Mbak Wiwid masih sin
DIKIRA MISKIN 10"Terserah kamu, Mbak, mau bilang suami kamu pegawai dengan gaji besar, tapi, pada kenyataannya tetap punya ut_," kututup mulutku sendiri karena Mbak Wiwid melotot kearahku saat aku mau bilang kalau dia punya utang. "Punya ut, utang, maksudnya? Kamu punya utang Wid?" tanya Ibu dengan tatapan tajam ke arah Mbak Wiwid, sehingga membuat ia salah tingkah.Mbak Wiwid melotot ke arahku dan aku paham dengan kode yang ia berikan yaitu memintaku untuk tidak memberi tahu ibu kalau ia punya utang tiga puluh juta. "Ah, nggak, kok, Bu?" Mbak Wiwid tersenyum dan maju kemudian menepuk pundak ibunya dengan lembut."Tapi, Antika bilang?" Kini ibu beralih menatapku."Nggak ada, Bu, aku punya utang tapi cuma sedikit, iya, kan, Tik?" Kata Mbak Wiwid dengan mengedipkan matanya berulang kali sebagai kode aku harus mengiyakan ucapannya. Semoga saja bulu mata palsunya tidak rontok digunakan berkedip seperti itu. Mbak Wiwid memang modis dan pintar dandan. Saat di rumah pun, ia selalu memaka
DIKIRA MISKIN 11"Assalamualaikum," terdengar suara salam dari luar, Mas Yudi baru saja pulang dari sawah habis membantu memetik cabai bersama tiga orang lainnya. Hasil panen kali ini cukup banyak."Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintu. Mas Yudi tampak sangat lelah, wajahnya sampai terlihat merah karena panas terkena sengatan sinar matahari.Aku tidak ikut membantu memetik cabai di sawah dan memilih tinggal di rumah. Bukan karena takut kulitku gosong terkena sinar matahari seperti Mbak Wiwid, tapi, karena aku punya anak kecil. Ya, usia Sasya sekarang baru dua tahun saja masih kurang sebulan lagi. Dua hari yang lalu, saat kuajak serta ke sawah, dia malah menginjak-injak tanaman yang baru saja tumbuh, tentu ini sangat merugikan.Kami menikah sudah hampir sembilan tahun, tapi, kami termasuk pasangan yang harus sabar lama dalam mendapatkan momongan.Masih teringat dengan jelas saat tahun pertama aku belum hamil juga, Mbak Wiwid serta Mbak Ranti mulai nyinyir karena aku belum pun
DIKIRA MISKIN 12Aku pikir kehamilanku ini akan disambut dengan suka cita oleh keluarga Mas Yudi, seperti saat Mbak Ranti hamil, mereka begitu bahagia mendengarnya, bahkan sampai diadakan acara besar-besaran untuk merayakannya. Namun, jangankan dirayakan, disambut dengan senyuman pun tidak. Sedih dan sakit hati ini. Hampir saja tangisku pecah menghadapi kenyataan ini.Kami pun mengurungkan niat untuk menginap di rumah Ibu dan memilih pulang lagi dengan membawa sejuta luka yang entah bisa disembuhkan atau tidak. Luka terkena senjata tajam, lambat laun akan mengering dan menghilang. Namun, luka karena lidah yang tajam, sulit untuk dihilangkan. Mas Yudi tetap memberi kabar saat aku melahirkan. Berharap mereka mau datang untuk menyambut kehadiran anggota keluarga baru mereka. Tapi, mereka tidak mau datang juga."Malas, ah, datang, jangankan mendapatkan jamuan yang enak, tempat yang layak saja, pasti tidak akan kami dapatkan," kata Mbak Wiwid dari seberang telepon.Bukan hanya Mbak Wiwid
DIKIRA MISKIN 13Waktu seminggu terasa berjalan sangat lambat tidak seperti biasa. Aku masih penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan Mbak Wiwid jika Mbak Ranti tidak menepati janjinya.Hari yang ditunggu itu masih kurang dua hari lagi. Pagi ini, aku melihat Mbak Wiwid tengah menyiram aneka bunga yang ia tanam di dalam pot yang berjejer rapi di depan rumahnya. Bukan hanya menyiram saja, ia bernyanyi kecil sambil menggoyangkan pinggulnya. Begitu lah, Mbak Wiwid, ia hanya mau mengurus tanaman bunga yang ada di halaman rumah, tapi kalau diminta ke sawah, langsung angkat tangan.Heran aku, kok ada ya, orang punya utang banyak masih bisa bersenandung dan berjoget seperti itu. Hari yang dinanti tiba, jantungku berdebar tidak karuan. Lho, padahal bukan aku yang punya utang, tapi, kenapa malah aku yang ketakutan. Aku takut kakau Mbak Ranti tidak dapat memenuhi janjinya.Sebentar sebentar aku melihat kearah rumah Mbak Wiwid yang bisa terlihat dari sudut rumah Ibu. Semoga hal buruk tidak
DIKIRA MISKIN 14"Kenapa kalian nggak makan?" Tanya Mbak Ranti dengan mulut belepotan dan kepedasan karena ia terlalu banyak memasukkan sambal ke dalam mulutnya. Ia pasti tidak tahu kalau sambal yang kubuat adalah sambal setan dengan pedas level tiga puluh."Melihat kamu makan saja sudah kenyang aku," ucap Ibu, aku hanya mengangguk membenarkan ucapan Ibu."Bagaimana kami mau makan, Mbak, sedang nasinya tinggal sedikit, dan lauknya juga sudah kalian habiskan semua," ucapku dengan bibir mengerucut."Nggak usah cemberut gitu kenapa, nggak enak banget dilihatnya, buat nggak selera makan saja," ucap Mbak Ranti seraya meletakkan sendok ke dalam piring dengan kasar. Gimana mau selera makan, dia sudah memasukkan makanan terlalu banyak ke dalam perut, pasti sudah kenyang banget dia. Aku tidak salah duga, setelah itu dia bersendawa cukup keras. Aduh, aduh, orang nggak berakhlak. Janganlah kamu sendawa dengan keras saat makan di rumah orang, itu termasuk adab saat bertamu. Itulah pesan dari ust
DIKIRA MISKIN 15"Dek, Mas Berangkat, ya?" Kata Mas Yudi, kemudian mengulurkan tangannya, aku meriah dan menciumnya. Setelah itu ia beralih pada Sasya yang masih tertidur lelap.Hari masih pagi saat Mas Yudi berangkat ke kota. Ya, meski kami tinggal di rumah Ibu, namun Mas Yudi tetap ke kota untuk mengurus resto kami, meski sudah ada Alvin, orang kepercayaannya. Bukannya tidak percaya namun ia harus tetap memastikan kalau usaha kami itu berjalan dengan baik. Yah, setidaknya tiga hari sekali Mas Yudi ke sana."Mau pesan dibelikan apa nanti?" Tanya Mas Yudi saat hendak keluar kamar."Terserah kamu saja, Mas," jawabku tersenyum.Mas Yudi juga berpamitan pada Ibu."Sebenarnya kamu ini sering-sering ke kota ada keperluan apa, Nak?" Tanya Ibu usai Mas Yudi bersalaman dengannya."Aku ada urusan pekerjaan, Bu, do'akan saja agar urusanku lancar ya, Bu," kata Mas Yudi."Ya, Nak, Ibu pasti mendo'akan yang terbaik untuk kamu, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan," kata Ibu dengan meme