DIKIRA MISKIN 9
Aku dan Ibu saling berpandangan melihat Mbak Wiwid yang masih saja tertawa.
"Tolong, hentikan khayalan tingkat tinggi kamu itu, Tik, aku bisa mati tertawa mendengarnya," pinta Mbak Wiwid masih dengan tertawa lebar. Ia mengusap air matanya yang berderai-derai karena tertawa setelah itu memegang perutnya.
"Terserah, Mbak, mau bilang apa, yang penting memang benar apa yang dikatakan ibu, Mas Yudi juga selalu mengirimi ibu uang. Bahkan untuk menanam cabai di sawah itu juga pakai modal dari Mas Yudi. Kebetulan kami baru saja ada rezeki lebih." Jelasku, berharap Mbak Wiwid berhenti menertawakan kami.
Namun, bukannya berhenti tertawa, wanita yang selalu tampil cantik dan dandan menor di setiap kesempatan itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Apa perlu aku memanggil seseorang agar ia mau berhenti tertawa? Tetapi siapa? Aku takut ia kebablasan soalnya.
"Alah, sok bilang ada rezeki lebih, lebihnya berapa, sih? Paling-paling cuma lima puluh ribu," ucap Mbak Wiwid masih sinis.
"Berapapun tetap kami syukuri, Mbak, besar atau sedikit kami tetap bersyukur. Orang kaya dan punya uang banyak belum tentu cukup, pun sebaliknya, seperti kami yang meski punya penghasilan sedikit sudah cukup sehingga bisa kami sisakan untuk ibu. Meski tidak seberapa. Ya, seperti kata Mbak tadi, memberi ibu uang seperti menabur garam di atas lautan. Bagiku, bisa berbagi dengan ibu adalah hal yang paling membuatku bahagia karena berbagi dengan ibu juga bisa kita niatkan sedekah. Bukankah lebih utama bersedekah kepada keluarga sendiri, termasuk ibu sebelum bersedekah kepada orang lain. Bukannya aku mau minta yang lebih banyak, Mbak, aku hanya ingin ibu mendo'akan agar kami selalu mendapatkan rezeki yang berkah, halal, dan manfaat," ucapku panjang lebar seperti ceramah.
Usai mengucapkan kata-kata itu, aku geli sendiri. Kenapa aku bisa berbicara layaknya ustazah yang sedang ceramah di atas panggung. Namun, apa yang kukatakan barusan itu benar, kan? Kalau sedekah itu sebaiknya mengutamakan orang terdekat. Percuma sedekah jauh-jauh ke sana ke mari, tetapi keluarga sendiri tidak diperhatikan.
"Oh, jadi maksud kamu, hidup kami ini tidak berkah karena tidak pernah berbagi dengan ibu, begitu. Uangku itu banyak dan akan semakin banyak meski tidak pernah memberi ibu uang. Ibu juga akan tetap mendo'akan yang terbaik untukku, karena sebagai anak yang berada di tengah, aku adalah anak kesayangan Ibu. Terbukti, kan, berkat do'a ibu aku bisa mendapatkan seorang suami yaang punya pekerjaan mapan, tidak harus berpanas-panasan, setiap bulan gajian. Tidak seperti Yudi, sungguh malang nasip adikku itu, sudah tidak punya pekerjaan tetap, eh, dapat istri juga model kaya kamu, seandainya ia pintar mencari istri, pasti hidupnya tidak akan seperti ini sekarang," ucap Mbak Wiwid juga panjang lebar, bahkan lebih panjang dari yang kukatakan tadi. Aku jadi gemas mendengar perkataan yang keluar dari mulutnya itu.
Mencoba bersabar menghadapi mulut pedas Kakak suamiku itu. Mbak Wiwid, Mbak Wiwid, sombongnya itu lho kebangetan, nggak ingat apa, kalau baru saja nangis-nangis mau pinjam uang sama aku? Kalau sudah begini, aku yakin orang seperti Mbak Wiwid ini meskipun sudah dikasih pinjam, sombongnya tidak akan hilang. Tak jamin itu.
DIKIRA MISKIN 10"Terserah kamu, Mbak, mau bilang suami kamu pegawai dengan gaji besar, tapi, pada kenyataannya tetap punya ut_," kututup mulutku sendiri karena Mbak Wiwid melotot kearahku saat aku mau bilang kalau dia punya utang. "Punya ut, utang, maksudnya? Kamu punya utang Wid?" tanya Ibu dengan tatapan tajam ke arah Mbak Wiwid, sehingga membuat ia salah tingkah.Mbak Wiwid melotot ke arahku dan aku paham dengan kode yang ia berikan yaitu memintaku untuk tidak memberi tahu ibu kalau ia punya utang tiga puluh juta. "Ah, nggak, kok, Bu?" Mbak Wiwid tersenyum dan maju kemudian menepuk pundak ibunya dengan lembut."Tapi, Antika bilang?" Kini ibu beralih menatapku."Nggak ada, Bu, aku punya utang tapi cuma sedikit, iya, kan, Tik?" Kata Mbak Wiwid dengan mengedipkan matanya berulang kali sebagai kode aku harus mengiyakan ucapannya. Semoga saja bulu mata palsunya tidak rontok digunakan berkedip seperti itu. Mbak Wiwid memang modis dan pintar dandan. Saat di rumah pun, ia selalu memaka
DIKIRA MISKIN 11"Assalamualaikum," terdengar suara salam dari luar, Mas Yudi baru saja pulang dari sawah habis membantu memetik cabai bersama tiga orang lainnya. Hasil panen kali ini cukup banyak."Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintu. Mas Yudi tampak sangat lelah, wajahnya sampai terlihat merah karena panas terkena sengatan sinar matahari.Aku tidak ikut membantu memetik cabai di sawah dan memilih tinggal di rumah. Bukan karena takut kulitku gosong terkena sinar matahari seperti Mbak Wiwid, tapi, karena aku punya anak kecil. Ya, usia Sasya sekarang baru dua tahun saja masih kurang sebulan lagi. Dua hari yang lalu, saat kuajak serta ke sawah, dia malah menginjak-injak tanaman yang baru saja tumbuh, tentu ini sangat merugikan.Kami menikah sudah hampir sembilan tahun, tapi, kami termasuk pasangan yang harus sabar lama dalam mendapatkan momongan.Masih teringat dengan jelas saat tahun pertama aku belum hamil juga, Mbak Wiwid serta Mbak Ranti mulai nyinyir karena aku belum pun
DIKIRA MISKIN 12Aku pikir kehamilanku ini akan disambut dengan suka cita oleh keluarga Mas Yudi, seperti saat Mbak Ranti hamil, mereka begitu bahagia mendengarnya, bahkan sampai diadakan acara besar-besaran untuk merayakannya. Namun, jangankan dirayakan, disambut dengan senyuman pun tidak. Sedih dan sakit hati ini. Hampir saja tangisku pecah menghadapi kenyataan ini.Kami pun mengurungkan niat untuk menginap di rumah Ibu dan memilih pulang lagi dengan membawa sejuta luka yang entah bisa disembuhkan atau tidak. Luka terkena senjata tajam, lambat laun akan mengering dan menghilang. Namun, luka karena lidah yang tajam, sulit untuk dihilangkan. Mas Yudi tetap memberi kabar saat aku melahirkan. Berharap mereka mau datang untuk menyambut kehadiran anggota keluarga baru mereka. Tapi, mereka tidak mau datang juga."Malas, ah, datang, jangankan mendapatkan jamuan yang enak, tempat yang layak saja, pasti tidak akan kami dapatkan," kata Mbak Wiwid dari seberang telepon.Bukan hanya Mbak Wiwid
DIKIRA MISKIN 13Waktu seminggu terasa berjalan sangat lambat tidak seperti biasa. Aku masih penasaran dengan apa yang akan terjadi dengan Mbak Wiwid jika Mbak Ranti tidak menepati janjinya.Hari yang ditunggu itu masih kurang dua hari lagi. Pagi ini, aku melihat Mbak Wiwid tengah menyiram aneka bunga yang ia tanam di dalam pot yang berjejer rapi di depan rumahnya. Bukan hanya menyiram saja, ia bernyanyi kecil sambil menggoyangkan pinggulnya. Begitu lah, Mbak Wiwid, ia hanya mau mengurus tanaman bunga yang ada di halaman rumah, tapi kalau diminta ke sawah, langsung angkat tangan.Heran aku, kok ada ya, orang punya utang banyak masih bisa bersenandung dan berjoget seperti itu. Hari yang dinanti tiba, jantungku berdebar tidak karuan. Lho, padahal bukan aku yang punya utang, tapi, kenapa malah aku yang ketakutan. Aku takut kakau Mbak Ranti tidak dapat memenuhi janjinya.Sebentar sebentar aku melihat kearah rumah Mbak Wiwid yang bisa terlihat dari sudut rumah Ibu. Semoga hal buruk tidak
DIKIRA MISKIN 14"Kenapa kalian nggak makan?" Tanya Mbak Ranti dengan mulut belepotan dan kepedasan karena ia terlalu banyak memasukkan sambal ke dalam mulutnya. Ia pasti tidak tahu kalau sambal yang kubuat adalah sambal setan dengan pedas level tiga puluh."Melihat kamu makan saja sudah kenyang aku," ucap Ibu, aku hanya mengangguk membenarkan ucapan Ibu."Bagaimana kami mau makan, Mbak, sedang nasinya tinggal sedikit, dan lauknya juga sudah kalian habiskan semua," ucapku dengan bibir mengerucut."Nggak usah cemberut gitu kenapa, nggak enak banget dilihatnya, buat nggak selera makan saja," ucap Mbak Ranti seraya meletakkan sendok ke dalam piring dengan kasar. Gimana mau selera makan, dia sudah memasukkan makanan terlalu banyak ke dalam perut, pasti sudah kenyang banget dia. Aku tidak salah duga, setelah itu dia bersendawa cukup keras. Aduh, aduh, orang nggak berakhlak. Janganlah kamu sendawa dengan keras saat makan di rumah orang, itu termasuk adab saat bertamu. Itulah pesan dari ust
DIKIRA MISKIN 15"Dek, Mas Berangkat, ya?" Kata Mas Yudi, kemudian mengulurkan tangannya, aku meriah dan menciumnya. Setelah itu ia beralih pada Sasya yang masih tertidur lelap.Hari masih pagi saat Mas Yudi berangkat ke kota. Ya, meski kami tinggal di rumah Ibu, namun Mas Yudi tetap ke kota untuk mengurus resto kami, meski sudah ada Alvin, orang kepercayaannya. Bukannya tidak percaya namun ia harus tetap memastikan kalau usaha kami itu berjalan dengan baik. Yah, setidaknya tiga hari sekali Mas Yudi ke sana."Mau pesan dibelikan apa nanti?" Tanya Mas Yudi saat hendak keluar kamar."Terserah kamu saja, Mas," jawabku tersenyum.Mas Yudi juga berpamitan pada Ibu."Sebenarnya kamu ini sering-sering ke kota ada keperluan apa, Nak?" Tanya Ibu usai Mas Yudi bersalaman dengannya."Aku ada urusan pekerjaan, Bu, do'akan saja agar urusanku lancar ya, Bu," kata Mas Yudi."Ya, Nak, Ibu pasti mendo'akan yang terbaik untuk kamu, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan," kata Ibu dengan meme
DIKIRA MISKIN 16"Kamu ini ngomong apa, tho, Ran, Antika nggak mengajak Ibu puasa. Ini atas kemauan Ibu sendiri. Enak kalau puasa ada temannya, lagi pula, dengan berpuasa malah membuat Ibu semakin sehat," uap Ibu."Nggak usah ganti kenapa? Aku aja saat Ramadhan kemarin banyak yang bolong, malah banyak bolongnya dari pada yang puasa. Tapi, malas untuk menggantinya sekarang, ups," Mbak Ranti seketika menutup mulutnya saat melihat mata Ibu melotot mendengar ucapannya barusan."Apa? Saat bulan puasa kamu banyak bolongnya dan kamu tidak ada niat untuk menggantinya?" Tanya Ibu dengan tatapan tajam ke arah Mbak Ranti, sehingga membuat ia salah tingkah."Nggak ada yang menagih, Bu," jawab Mbak Ranti menunduk dan bersuara lirih."Ya Allah, Nak, kenapa kamu jadi seperti ini? Padahal sejak kecil Ibu sudah mengajarkan padamu untuk berpuasa. Bahkan Bapak kamu rela menggendong kamu setiap habis zuhur, demi kamu mau berpuasa. Kalau Bapak tahu kamu seperti ini, beliau pasti akan sedih," kata Ibu."
DIKIRA MISKIN 17Ibu mengamati Mas Yudi yang baru saja turun dari mobil dan berjalan menuju pintu.Sasya yang sedari tadi asyik menonton upin ipin di youtube, segera meletakkan ponselnya dan berlari menyambut kepulangan Ayahnya. Dengan sigap Mas Yudi membawa Sasya ke dalam gendongannya dan menciumnya dengan gemas. Mas Yudi berjalan menuju ke arah kami, aku meraih tangan dan menciumnya, kemudian Mas Yudi beralih meraih tangan Ibu yang masih berdiri mematung seraya mengucek matanya berulang kali."Kamu benar Yudi, anak Ibu?" Tanya Ibu seraya membingkai wajah anaknya itu. Tangannya menepuk pipi Mas Yudi kemudian mengitarinya."Ya, Bu, ini Yudi yang tadi berangkat dan sekarang sudah pulang," jawab Mas Yudi seraya masuk ke dalam."Tapi, kok bisa berubah dalam sehari? Sekarang ganteng, sejak kapan gantengnya, atau jangan-jangan kamu bertemu peri kemudian dikutuk jadi ganteng begini?" Tanya Ibu dengan tatapan yang aneh dan masih menepuk-nepuk pipi Mas Yudi."Ada-ada saja Ibu ini, selama ini
DIKIRA MISKIN 87Kami hanya terdiam mendengar permintaan sang keponakan yang sudah beranjak remaja itu. Rifki masih saja menggoyangkan lengan Mas Yudi dan berharap agar ia mau menuruti permintaannya mengizinkan papanya ikut tinggal dengan kami.Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang cukup keras dari arah belakang. Kami menoleh serempak."Hebat, kamu, Mas?" kata Elvira dengan masih bertepuk tangan dan berjalan mengitari Mas Ajun."Pak Atmaja?" Mas Ajun pucat pasi saat melihat kedatangan mantan istri dan mertuanya serta Mas Fikar."Pintar sekali kamu mengarang cerita dan memutar balikkan fakta. Kamu layak untuk menjadi aktor yang pandai berakting dan bersandiwara di depan kamera, ck ck ck," ucap Elvira tersenyum sinis."Ada apa ini? Kenapa kalian datang ke sini beramai-ramai?" tanya Mbak Ranti."Kami mendengar kabar kalau Wiwid meninggal. Ya, meski aku benci dengannya, tapi bagaimanapun juga ia adalah calon dari bagian keluarga kami. Saat Mas Fikar menikah dengan Mbak Ranti, otoma
DIKIRA MISKIN 86Aku terpaku di samping jenazah Mbak Wiwid. Lidahku terasa kelu, tidak mampu berkata lagi.Masih teringat dengan jelas saat Mbak Wiwid bilang kalau saat kami datang menjenguknya, ia sudah tidak bernyawa. Sekarang ucapannya itu menjadi nyata. Apakah ini yang disebut dengan ucapan adalah do'a?Semoga Mbak Wiwid sudah bertaubat saat meninggal. Meski banyak harapan yang belum terwujud.Aku ngeri saat melihat wajah Mbak Wiwid yang sudah pucat karena memang nyawa sudah lepas dari raganya. Itu artinya darahnya sudah berhenti mengalir, jantung sudah tidak berdetak dan organ tubuh sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya."Wiwid. Kenapa kamu pergi secepat ini? Mbak sayang kamu, Wid," seru Mbak Ranti sambil memeluk Mbak Ranti yang matanya sudah tertutup rapat."Sabar, Mbak. Ikhlaskan kepergian Mbak Wiwid." Aku mengusap pundak Mbak Ranti dengan lembut.Kami kembali terdiam, larut dakam pikiran masing-masing. Bagaimana dengan ibu? Ibu pasti shock jika mengetahui kenyataan ini, p
DIKIRA MISKIN 85"Bagaimana, Yud? Apakah kamu berhasil menemui Ajun dan mengancamnya?" tanya Mbak Ranti. Mas Yudi baru saja pulang dari menjalankan misi yang diminta wanita yang akan segera menikah itu."Tidak," jawab Mas Yudi. Tanganya meraih gelas di hadapannya dan segera meminum habis minuman yang tersaji di meja."Maksudmu tidak, apa?" tanya Mbak Ranti dengan dahi mengernyit."Aku tidak berhasil menemui Ajun karena ternyata dia sudah pisah dengan Elvira," kata Mas Yudi."Apa?" "Tadi aku ke rumah Elvira. Awalnya dia marah-marah padaku, dia bilang aku tidak becus menjaga kakak sehingga Mbak Wiwid berbuat nekat. Pusing aku, Mbak Wiwid yang berbuat, aku harus ikut menanggung akibat." Mas Yudi mengusap pelipisnya. Aku segera duduk di sampingnya dan memberikan sentuhan hangat."Terus Ajun sekarang tinggal di mana?" tanya Mbak Ranti. "Mana aku tahu, Mbak. Intinya Mbak tidak perlu khawatir, jika menikah dengan Fikar, Ajun tidak akan ada di sana. Keluarganya tidak akan tahu kalau Mbak Ra
DIKIRA MISKIN 84"Pokoknya aku tidak mau punya kakak ipar dari keluarga Atmaja." Mbak Wiwid masih saja cemberut, sementara Mbak Ranti sudah pergi membawa rasa jengkel."Aku sudah merestui hubungan mereka. Orangtuanya juga sudah datang melamar dan kita tinggal menentukan tanggal untuk melangsungkan acara pernikahan," ucap Ibu."Aku akan menggagalkan pernikahan mereka. Bagaimanapun caranya." Tangan kurus Mbak Wiwid mengepal."Bagaimana caranya, Mbak, kan ada di sini? Sakit lagi," tanya Mas Yudi."Aku akan mati dan arwahku akan gentayangan, kemudian mengganggu Mbak Ranti dan Mas Fikar sehingga mereka tidak akan bisa hidup tenang dan pernikahan pun gagal. Aku yang sudah berada di alam lain akan tertawa saat melihat Mbak Ranti menangis karena gagal nikah dengan lelaki kaya." Mbak Wiwid tersenyum puas. Ia pasti sedang membayangkan kalau menjadi arwah penasaran itu menyenangkan. "Suatu pemikiran yang konyol. Memangnya ada arwah penasaran? Mbak Wiwid ini korban film horror kayaknya. Tidak ad
DIKIRA MISKIN 83Kami saling berpandangan saat Mbak Ranti bilang nama calon suaminya sama dengan yang dibilang Mbak Wiwid. Apa mungkin hanya namanya saja yang sama? Atau memang yang mereka maksud itu orang yang sama? Kenapa bisa kebetulan banget begitu?"Kamu kenal dengan lelaki yang bernama Zulfikar Atmaja?" Bukan hanya aku yang penasaran, Mas Yudi juga."Kalau Zulfikar Atmaja, aku kenal, tapi entah dia yang kumaksud atau orang lain. Mungkin hanya namanya yang sama, kan?" Mbak Wiwid tersenyum."Ya, mungkin hanya namanya yang kebetulan sama. Dia seorang manager di sebuah perusahaan bonafit. Dia sering datang ke resto-ku," jelas Mas Yudi. Pernyataannya menjawab rasa penasaranku."Oh." Mbak Siwid hanya ber 'oh' ria dan tidak bertanya lagi."Kamu yakin tidak mau kusewakan pengacara agar masa tahanan kamu bisa berkurang, Mbak?" tanya Mas Yudi mengalihkan pembicaraan."Iya, aku mau di sini sampai masa tahananku habis sambil memperbaiki diri. Lagi pula aku juga tidak mau utangku semakin me
DIKIRA MISKIN 82Rifki histeris melihat kondisi mamanya, pun dengan kami. Apalagi Ibu, ia bahkan sampai gemetar melihat anak yang selama ini ia manja dan ia rindukan sedang mengalami masa kritis.Ibu terus melantunkan istigfar. Tangannya mengusap lengan Mbak Wiwid."Ya Allah, sembuhkanlah anakku, berilah ia kesempatan untuk memperbaiki diri. Kami sudah memaafkan kesalahannya," ucap Ibu tulus.Mata Mbak Wiwid yang awalnya melotot dan seperti menahan sakit, tiba-tiba terpejam dan tubuhnya mendadak lemas setelah beberapa saat sebelumnya terlihat kaku."Kenapa dengan anak saya, Dok? Dia akan baik-baik saja, kan?" Ibu panik."Tenang, Bu. Pasien hanya pingsan," jawab Dokter Rudy."Dokter tidak bohong, kan? Anak saya tidak mati, kan?" tanya Ibu lagi seraya memeluk Mbak Wiwid yang mata kini sudah terpejam. Aku melihat ada seukir senyum di bibirnya.Mbak Wiwid masih hidup, terlihat dengan jelas dadanya masih naik turun. Saat tanganku mendekat di lubang hidung, masih ada embusan napas di sana.
DIKIRA MISKIN 81"Ada apa, Yud?" Ibu meletakkan sendok dan menatap Mas Yudi dengan nada khawatir."Enggak tahu, Bu. Kita hanya diminta untuk datang menjenguk Mbak Wiwid," jawab Mas Yudi."Ya Allah, apa yang terjadi dengan anakku itu?" "Maafkan aku, Bu. Seharusnya sudah sejak tadi kalian menjenguk Wiwid, tapi gara-gara acara ini, jadi tertiuda hingga harus di telepon lagi," ucap Mbak Ranti seraya menggigit bibir bawah."Ini bukan salah kamu, Nak. Berdo'a saja agar Wiwid tidak apa-apa." Ibu berusaha tersenyum meski aku yakin hatinya perih membayangkan hal buruk yang terjadi dengan anaknya yang ada di dalam penjara. Ya, semarah-marahnya seorang Ibu, ia tidak mungkin menginginkan hal buruk menimpa anaknya."Ibu sudah memaafkan Mbak Wiwid, kan? Ikhlaskan dia Bu, agar Allah mengampuni dosanya," ucapku seraya mengusap pundak Ibu."Innalillah, memangnya Wiwid is dead," ucap Mbak Ranti dengan nada tinggi, matanya melotot kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangan."Siapa yang bilang?" tany
DIKIRA MISKIN 80Aku dan Mbak Ranti yang baru saja selesai memasak untuk persiapan nanti malam terkejut dengan kedatangan Mas Yudi dan teriakan ibu."Kita harus menjenguk Wiwid. Pantas saja beberapa hari ini perasaanku tidak enak. Tidur juga sering mimpi buruk. Apa ini ada hubungannya dengannya yang sakit parah itu?" kata ibu.Aku dan Mbak Ranti saling berpandangan. Kulihat aneka makanan yang sudah siap untuk acara istimewa nanti. Jika ibu dan Mas Yudi menjenguk Mbak Wiwid, bagaimana dengan acara ini?"Bu," ucap Mbak Ranti seraya mengusap tangan ibu."Kamu tidak usah khawatir, Ran. Ibu akan menjenguk Wiwid, tetapi tidak sekarang karena ini hari istimewa yang kamu tunggu dan tidak mungkin dibatalkan," ucap ibu tersenyum."Kalau Ibu mau jenguk Wiwid, aku juga tidak akan protes kok, Bu. Aku tahu, dari dulu Wiwid memang selalu yang diutamakan karena ia adalah anak emasnya Ibu dan Bapak," ucap Mbak Ranti menunduk.Ya, meski aku tidak bersama mereka dari kecil, tetapi aku tahu, Mbak Wiwid s
DIKIRA MISKIN 79Ibu berjalan keluar ruangan dan Wiwid berusaha mengejarnya, tetapi seorang petugas menahannya. Ibu sudah tidak menggubris Wiwid lagi. Mungkin ibu sudah terlanjur kecewa."Ibu, maafkan aku!" Mbak Wiwid meronta dalam cekalan tangan seorang petugas, tetapi ibu sudah tidak peduli lagi. Ibu malah semakin mempercepat langkahnya. Ia memilih masuk mobil dan menguncinya rapat-rapat.Aku dan Rifki menyusul ibu ke dalam mobil. Sementara Mas Yudi membuat laporan mengenai Mas Wahyu yang telah menganiaya Rifki. Semoga prosesnya cepat sehingga ia segera mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya."Tik," ucap ibu seraya memelukku erat, air matanya terus bercucuran. Bahunya terguncang."Alhamdulilah, laporan kita sudah dalam proses. Polisi akan segera mencari keberadaan Mas Wahyu. Setelah ini ia tidak akan hidup tenang lagi. Ke manapun ia pergi , polisi pasti akan menemukannya. Meski masuk ke lubang semut sekalipun," kata Mas Yudi."Ya, orang jahat memang harus mendapat bal