DIKIRA MISKIN 15
"Dek, Mas Berangkat, ya?" Kata Mas Yudi, kemudian mengulurkan tangannya, aku meriah dan menciumnya. Setelah itu ia beralih pada Sasya yang masih tertidur lelap.
Hari masih pagi saat Mas Yudi berangkat ke kota. Ya, meski kami tinggal di rumah Ibu, namun Mas Yudi tetap ke kota untuk mengurus resto kami, meski sudah ada Alvin, orang kepercayaannya. Bukannya tidak percaya namun ia harus tetap memastikan kalau usaha kami itu berjalan dengan baik. Yah, setidaknya tiga hari sekali Mas Yudi ke sana.
"Mau pesan dibelikan apa nanti?" Tanya Mas Yudi saat hendak keluar kamar.
"Terserah kamu saja, Mas," jawabku tersenyum.
Mas Yudi juga berpamitan pada Ibu.
"Sebenarnya kamu ini sering-sering ke kota ada keperluan apa, Nak?" Tanya Ibu usai Mas Yudi bersalaman dengannya.
"Aku ada urusan pekerjaan, Bu, do'akan saja agar urusanku lancar ya, Bu," kata Mas Yudi.
"Ya, Nak, Ibu pasti mendo'akan yang terbaik untuk kamu, hati-hati di jalan, semoga selamat sampai tujuan," kata Ibu dengan memeluk anak lelakinya itu. Aku terenyuh melihatnya, dari dulu baru kali ini aku melihat Ibu mendo'akan untuk Mas Yudi.
Dulu, jangankan dido'akan, yang ada sumpah serapah yang keluar dari mulut Ibu. Untung saja saat kami pamit akan merantau Ibu bilang, JANGAN PULANG SEBELUM KAMU SUKSES, meski Ibu mengucapkan dengan nada marah, namun ucapan seorang Ibu tetaplah do'a. Terbukti ucapan itu menjadi nyata sekarang.
"Aku cuma sebentar, Bu, nanti juga pulang, tapi, kalau terpaksa, menginap nggak apa-apa, kan?" Kata Mas Yudi seraya melepas pelukan ibunya.
"Nggak apa-apa, Nak, yang penting kamu pulang dengan selamat nanti," kata Ibu tersenyum.
"Aku titip Ibu, ya, Dek," kata Mas Yudi kini beralih menatapku.
"Ya, Mas,"
"Kamu nggak perlu bilang, pun, Antika pasti merawat dan menjaga Ibu dengan baik. Dia ini memang menantu idaman pokoknya," ucap Ibu dengan senyum mengembang seraya menepuk pundakku.
"Terima kasih ya, Dek, kalau begitu Mas berangkat." Mas Yudi keluar.
Aku dan Ibu mengantar Mas Yudi sampai di depan pintu, dan baru masuk kembali setelah ia menghilang dari pandangan.
_______Matahari sudah mulai naik, aku sudah selesai memandikan Sasya dan menyuapinya. Sementara Ibu sedang menonton acara favoritnya di televisi.
"Kamu nggak masak, Tik?" Tiba-tiba Mbak Ranti datang, namun kali ini ia datang sendiri, tidak membawa pasukan atau keluarga ajaibnya. Tanpa basa-basi, ia langsung membuka tudung saji di atas meja. Matanya melebar saat melihat tidak ada makanan di sana. Aku tadi hanya masak khusus untuk Sasya. Padahal ia sudah membawa piring untuk membawa makanan.
"Nanti sore, Mbak," jawabku dengan malas.
"Kok nanti sore, memangnya pagi ini kalian tidak sarapan?"
"Hari ini aku dan Ibu puasa,"
"Puasa apa? Sunah? Ya Ampun, Tik, sok-sokan pakai puasa sunah segala. Kamu puasa sepanjang hari juga nggak akan bisa kaya. Eh, tapi, benar juga, sih, kalau kamu rajin puasa, biar irit sehingga cepet kaya, ha ha." Mbak Ranti tertawa lebar.
"Ada apa lagi, Ran? Kan sudah Ibu bilang jangan minta makanan setiap hari sama Antika, kasihan," Ibu datang mendekat mendengar suara Mbak Ranti yang tertawa dengan keras.
"Eh, Ibu, Antika bilang kalau kalian puasa. Puasa apa? Ibu, kan sedang sakit, nggak usahlah pakai puasa segala," ucap Mbak Ranti.
"Antika puasa karena mau mengganti puasa di bulan Ramadhan yang bolong karena berhalangan. Ibu juga mengganti puasa karena sakit," jelas Ibu, dan aku hanya manggut-manggut membenarkan ucapan Ibu.
"Kamu kalau mau puasa, ya, puasa aja, nggak usah mengajak Ibu segala. Ibu ini lagi sakit, kalau dia kenapa-napa, kamu mau tanggung jawab, hah!" Kata Mbak Ranti dengan tatapan tajam ke arahku.
DIKIRA MISKIN 16"Kamu ini ngomong apa, tho, Ran, Antika nggak mengajak Ibu puasa. Ini atas kemauan Ibu sendiri. Enak kalau puasa ada temannya, lagi pula, dengan berpuasa malah membuat Ibu semakin sehat," uap Ibu."Nggak usah ganti kenapa? Aku aja saat Ramadhan kemarin banyak yang bolong, malah banyak bolongnya dari pada yang puasa. Tapi, malas untuk menggantinya sekarang, ups," Mbak Ranti seketika menutup mulutnya saat melihat mata Ibu melotot mendengar ucapannya barusan."Apa? Saat bulan puasa kamu banyak bolongnya dan kamu tidak ada niat untuk menggantinya?" Tanya Ibu dengan tatapan tajam ke arah Mbak Ranti, sehingga membuat ia salah tingkah."Nggak ada yang menagih, Bu," jawab Mbak Ranti menunduk dan bersuara lirih."Ya Allah, Nak, kenapa kamu jadi seperti ini? Padahal sejak kecil Ibu sudah mengajarkan padamu untuk berpuasa. Bahkan Bapak kamu rela menggendong kamu setiap habis zuhur, demi kamu mau berpuasa. Kalau Bapak tahu kamu seperti ini, beliau pasti akan sedih," kata Ibu."
DIKIRA MISKIN 17Ibu mengamati Mas Yudi yang baru saja turun dari mobil dan berjalan menuju pintu.Sasya yang sedari tadi asyik menonton upin ipin di youtube, segera meletakkan ponselnya dan berlari menyambut kepulangan Ayahnya. Dengan sigap Mas Yudi membawa Sasya ke dalam gendongannya dan menciumnya dengan gemas. Mas Yudi berjalan menuju ke arah kami, aku meraih tangan dan menciumnya, kemudian Mas Yudi beralih meraih tangan Ibu yang masih berdiri mematung seraya mengucek matanya berulang kali."Kamu benar Yudi, anak Ibu?" Tanya Ibu seraya membingkai wajah anaknya itu. Tangannya menepuk pipi Mas Yudi kemudian mengitarinya."Ya, Bu, ini Yudi yang tadi berangkat dan sekarang sudah pulang," jawab Mas Yudi seraya masuk ke dalam."Tapi, kok bisa berubah dalam sehari? Sekarang ganteng, sejak kapan gantengnya, atau jangan-jangan kamu bertemu peri kemudian dikutuk jadi ganteng begini?" Tanya Ibu dengan tatapan yang aneh dan masih menepuk-nepuk pipi Mas Yudi."Ada-ada saja Ibu ini, selama ini
DIKIRA MISKIN 18"Bagus kalau kamu sadar diri tidak ikut andil dalam membelinya, ini uang Ibu, dan aku anak kesayangan jadi, aku juga berhak menikmatinya, lagi pula lidah kamu tidak cocok makan makanan mahal seperti ini. makan tempe goreng dan singkong saja sudah cukup. Kalau makan pizza, perut kamu bisa kaget nanti," ucap Mbak Wiwid seraya mengambil lagi pizza itu dan memasukkan ke dalam mulutnya. "Ada apa Mbak datang kemari?" Tanyaku setelah mereka selesai memakan makanan yang di bawa Mas Yudi hingga habis tidak bersisa."Aku ingatkan sekali lagi ya, Tik, jangan sekali-kali tanya seperti itu lagi jika aku ke sini. Ini rumah Ibu, jadi aku bisa datang kapan pun aku mau. Aku ke sini hanya ingin tahu, apa benar itu mobil yang di depan milik Yudi? Sejak kapan Yudi bisa mengendarai mobil seperti itu?" Tanya Mbak Wiwid dengan menautkan alis."Oh, itu mobil majikanku, Mbak," jawab Mas Yudi."Sudah kuduga, itu tidak mungkin mobil kamu. Kalau begitu aku pulang karena sudah mendapat jawaban
DIKIRA MISKIN 19Mbak Ranti masih saja menggedor pintu dan berteriak dari luar. Hari memang masih terlalu pagi, pintu masih dikunci dari dalam. Ibu masih berada di kamarnya usai sholat subuh tadi.Awalnya aku malas untuk membuka pintu karena Mbak Ranti suka membuat keributan dan datang hanya ingin merendahkan. Apalagi sambil gedor-gedor pintu ia juga berteriak menanyakan mobil siapa yang ada di depan. Haruskah kujawab?Terpaksa aku membuka pintu karena tidak mau terlalu lama mendengar teriakannya yang dapat memecahkan gendang telinga itu."Lama amat buka pintunya, enak banget ya, hidup kamu, jam segini baru bangun," Kata Mbak Ranti dengan muka ditekuk dan bibir mengerucut.Enak saja bilang aku baru bangun, padahal aku sudah selesai mencuci dan hendak memasak mumpung Sasya masih tidur. Jika Sasya sudah bangun, aku sudah tidak bisa ngapa-ngapain lagi. Balita seusia Sasya memang butuh perhatian ekstra sehingga tidak bisa melakukan hal lain saat bersamanya.Di sini, aku harus mengerjakan
DIKIRA MISKIN 20"Oh, aku pikir itu mobilnya si Yudi. Kalau benar, aku juga harus punya." Aku masih mendengar perkataan Mbak Ranti meski sekarang aku sudah berada di dapur, tanganku sudah siap memegang pisau untuk memotong wortel."Kalau kamu pingin mobil, ya, beli saja, nggak usah minta Ibu. Ibu sudah banyak bantu kamu selama ini," ucap Ibu."Ibu nggak ikhlas membantuku dan keluargaku?" Tanya Mbak Ranti tidak terima."Bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas, selama Ibu bisa bantu pasti akan Ibu bantu. Tapi, kamu juga jangan mengandalkan Ibu terus, kamu harus mandiri, apalagi suami kamu seorang pegawai negeri. Percuma menjadi pegawai kalau mau beli mobil saja masih minta Ibu," ucap Ibu. Aku yang mendengar ucapan Ibu dari dapur hanya tersenyum. Rasain kamu, Mbak."Ibu meremehkan aku dan Mas Gani?""Kamu sendiri yang meremehkan dirimu sendiri. Dengan selalu meminta pada Ibu itu sama artinya dengan merendahkan dirimu sendiri." Ucap Ibu."Ah, malas, semenjak Mas Yudi dan Antika tinggal di
DIKIRA MISKIN 21"Memangnya kamu punya utang berapa tho, Wid, sampai menggadaikan sawah segala?" Tanya Ibu."Nggak banyak kok, Bu, lagi pula ini atas kemauan Mbak Ranti sendiri, ia bersedia membayar utang asalkan sawahku dia yang menggarapnya. Lagi pula selama ini aku juga tidak pernah mengurus sawah itu," jawab Mbak Wiwid dengan memainkan jari tangannya."Nggak banyak itu berapa?" Tanya Ibu lagi."Nggak usah kepo kenapa, sih, Bu? Memangnya kalau Ibu tahu akan bayarin utangku? Nggak, kan? Mau aku punya utang berapa pun yang penting Mbak Ranti sudah bantu bayarin. Inilah enaknya punya saudara yang punya banyak uang dan nggak pelit, jika ada salah satu yang kesusahan bisa bantu. Nggak seperti situ, jadi saudara yang tidak ada gunanya sama sekali," ucap Mbak Wiwid dengan nada sinis kearahku dan Mas Yudi.Membantu sih iya, tapi, kalau pada kenyataannya sawah yang dimiliki harus direlakan untuk digarap ya percuma. Itu sama artinya dengan 'tulung mentung' seperti menolong tapi sebenarnya pu
DIKIRA MISKIN 22"Bu," kataku seraya memegang lengan Ibu. Aku merasa tidak enak dengan sikap Mbak Wiwid hari ini. Aku bukannya mengalah, tapi, aku hanya ingin hidup tenang. Uang bisa di cari, tapi, ketenangan harus diciptakan."Biarkan saja, kalau nggak sekali-kali dikasih pelajaran bisa tuman, berlaku seenaknya pada kamu." Ibu mengusap pundakku dengan lembut. Alhamdulillah, Ibu sekarang benar-benar berubah, akhirnya kesabaranku berbuah manis."Apa yang kamu lakukan pada Ibu sehingga ia berubah, pakai pelet? Kamu bisa mempengaruhi Ibu, tetapi, aku tidak, dengar itu!" Kata Mbak Wiwid dengan tatapan tajam kearahku. Tangannya kini menunjuk mukaku."Sudah biarkan saja dia pergi!" kata Ibu kembali mengusap lenganku dengan lembut."Ish." Melihat Ibu yang terus membelaku, tentu saja membuat Mbak Wiwid kalap, dia keluar dengan membawa amarah sehingga pintu yang tidak bersalah pun terkena sasaran, brakk.Sampai di luar, mulut Mbak Wiwid tiada henti mengomel."Itulah akibatnya kalau kita terlal
DIKIRA MISKIN 23Usai bilang kalau Mas Yudi adalah seorang anak yang tidak pernah diinginkan, tatapan Ibu menerawang seperti adegan dalam sebuah sinetron. Terlihat ia menghela napas perlahan dan menghembuskannya. Aku melihat ada gurat penyesalan di sana.Aku dan Mas Yudi terdiam menunggu kata-kata Ibu yang akan meluncur dari mulutnya dengan sabar. Aku benar-benar menyesal telah lancang menanyakan hal yang seharusnya menjadi rahasia Ibu di masa lalunya. Maafkan aku, Bu, akibat jiwa kekepoanku, harus membuka kembali luka lama yang mungkin sudah terpendam selama berpuluh-puluh tahun."Bu," ucapku dengan meraih pergelangan tangannya. Aku tidak mampu melanjutkan kata-kata lagi, lidahku kelu dan bingung mau bicara apa. Aku benar-benar merasa bersalah sekarang."Ibu menyesal, Nak?" Hanya kalimat itu yang meluncur dari mulut Ibu, bibirnya tampak bergetar saat mengucapkannya."Tidak seharusnya Ibu membedakan kasih sayang antara anak satu dengan yang lain. Laki-laki atau perempuan sama saja, k
DIKIRA MISKIN 87Kami hanya terdiam mendengar permintaan sang keponakan yang sudah beranjak remaja itu. Rifki masih saja menggoyangkan lengan Mas Yudi dan berharap agar ia mau menuruti permintaannya mengizinkan papanya ikut tinggal dengan kami.Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan yang cukup keras dari arah belakang. Kami menoleh serempak."Hebat, kamu, Mas?" kata Elvira dengan masih bertepuk tangan dan berjalan mengitari Mas Ajun."Pak Atmaja?" Mas Ajun pucat pasi saat melihat kedatangan mantan istri dan mertuanya serta Mas Fikar."Pintar sekali kamu mengarang cerita dan memutar balikkan fakta. Kamu layak untuk menjadi aktor yang pandai berakting dan bersandiwara di depan kamera, ck ck ck," ucap Elvira tersenyum sinis."Ada apa ini? Kenapa kalian datang ke sini beramai-ramai?" tanya Mbak Ranti."Kami mendengar kabar kalau Wiwid meninggal. Ya, meski aku benci dengannya, tapi bagaimanapun juga ia adalah calon dari bagian keluarga kami. Saat Mas Fikar menikah dengan Mbak Ranti, otoma
DIKIRA MISKIN 86Aku terpaku di samping jenazah Mbak Wiwid. Lidahku terasa kelu, tidak mampu berkata lagi.Masih teringat dengan jelas saat Mbak Wiwid bilang kalau saat kami datang menjenguknya, ia sudah tidak bernyawa. Sekarang ucapannya itu menjadi nyata. Apakah ini yang disebut dengan ucapan adalah do'a?Semoga Mbak Wiwid sudah bertaubat saat meninggal. Meski banyak harapan yang belum terwujud.Aku ngeri saat melihat wajah Mbak Wiwid yang sudah pucat karena memang nyawa sudah lepas dari raganya. Itu artinya darahnya sudah berhenti mengalir, jantung sudah tidak berdetak dan organ tubuh sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya."Wiwid. Kenapa kamu pergi secepat ini? Mbak sayang kamu, Wid," seru Mbak Ranti sambil memeluk Mbak Ranti yang matanya sudah tertutup rapat."Sabar, Mbak. Ikhlaskan kepergian Mbak Wiwid." Aku mengusap pundak Mbak Ranti dengan lembut.Kami kembali terdiam, larut dakam pikiran masing-masing. Bagaimana dengan ibu? Ibu pasti shock jika mengetahui kenyataan ini, p
DIKIRA MISKIN 85"Bagaimana, Yud? Apakah kamu berhasil menemui Ajun dan mengancamnya?" tanya Mbak Ranti. Mas Yudi baru saja pulang dari menjalankan misi yang diminta wanita yang akan segera menikah itu."Tidak," jawab Mas Yudi. Tanganya meraih gelas di hadapannya dan segera meminum habis minuman yang tersaji di meja."Maksudmu tidak, apa?" tanya Mbak Ranti dengan dahi mengernyit."Aku tidak berhasil menemui Ajun karena ternyata dia sudah pisah dengan Elvira," kata Mas Yudi."Apa?" "Tadi aku ke rumah Elvira. Awalnya dia marah-marah padaku, dia bilang aku tidak becus menjaga kakak sehingga Mbak Wiwid berbuat nekat. Pusing aku, Mbak Wiwid yang berbuat, aku harus ikut menanggung akibat." Mas Yudi mengusap pelipisnya. Aku segera duduk di sampingnya dan memberikan sentuhan hangat."Terus Ajun sekarang tinggal di mana?" tanya Mbak Ranti. "Mana aku tahu, Mbak. Intinya Mbak tidak perlu khawatir, jika menikah dengan Fikar, Ajun tidak akan ada di sana. Keluarganya tidak akan tahu kalau Mbak Ra
DIKIRA MISKIN 84"Pokoknya aku tidak mau punya kakak ipar dari keluarga Atmaja." Mbak Wiwid masih saja cemberut, sementara Mbak Ranti sudah pergi membawa rasa jengkel."Aku sudah merestui hubungan mereka. Orangtuanya juga sudah datang melamar dan kita tinggal menentukan tanggal untuk melangsungkan acara pernikahan," ucap Ibu."Aku akan menggagalkan pernikahan mereka. Bagaimanapun caranya." Tangan kurus Mbak Wiwid mengepal."Bagaimana caranya, Mbak, kan ada di sini? Sakit lagi," tanya Mas Yudi."Aku akan mati dan arwahku akan gentayangan, kemudian mengganggu Mbak Ranti dan Mas Fikar sehingga mereka tidak akan bisa hidup tenang dan pernikahan pun gagal. Aku yang sudah berada di alam lain akan tertawa saat melihat Mbak Ranti menangis karena gagal nikah dengan lelaki kaya." Mbak Wiwid tersenyum puas. Ia pasti sedang membayangkan kalau menjadi arwah penasaran itu menyenangkan. "Suatu pemikiran yang konyol. Memangnya ada arwah penasaran? Mbak Wiwid ini korban film horror kayaknya. Tidak ad
DIKIRA MISKIN 83Kami saling berpandangan saat Mbak Ranti bilang nama calon suaminya sama dengan yang dibilang Mbak Wiwid. Apa mungkin hanya namanya saja yang sama? Atau memang yang mereka maksud itu orang yang sama? Kenapa bisa kebetulan banget begitu?"Kamu kenal dengan lelaki yang bernama Zulfikar Atmaja?" Bukan hanya aku yang penasaran, Mas Yudi juga."Kalau Zulfikar Atmaja, aku kenal, tapi entah dia yang kumaksud atau orang lain. Mungkin hanya namanya yang sama, kan?" Mbak Wiwid tersenyum."Ya, mungkin hanya namanya yang kebetulan sama. Dia seorang manager di sebuah perusahaan bonafit. Dia sering datang ke resto-ku," jelas Mas Yudi. Pernyataannya menjawab rasa penasaranku."Oh." Mbak Siwid hanya ber 'oh' ria dan tidak bertanya lagi."Kamu yakin tidak mau kusewakan pengacara agar masa tahanan kamu bisa berkurang, Mbak?" tanya Mas Yudi mengalihkan pembicaraan."Iya, aku mau di sini sampai masa tahananku habis sambil memperbaiki diri. Lagi pula aku juga tidak mau utangku semakin me
DIKIRA MISKIN 82Rifki histeris melihat kondisi mamanya, pun dengan kami. Apalagi Ibu, ia bahkan sampai gemetar melihat anak yang selama ini ia manja dan ia rindukan sedang mengalami masa kritis.Ibu terus melantunkan istigfar. Tangannya mengusap lengan Mbak Wiwid."Ya Allah, sembuhkanlah anakku, berilah ia kesempatan untuk memperbaiki diri. Kami sudah memaafkan kesalahannya," ucap Ibu tulus.Mata Mbak Wiwid yang awalnya melotot dan seperti menahan sakit, tiba-tiba terpejam dan tubuhnya mendadak lemas setelah beberapa saat sebelumnya terlihat kaku."Kenapa dengan anak saya, Dok? Dia akan baik-baik saja, kan?" Ibu panik."Tenang, Bu. Pasien hanya pingsan," jawab Dokter Rudy."Dokter tidak bohong, kan? Anak saya tidak mati, kan?" tanya Ibu lagi seraya memeluk Mbak Wiwid yang mata kini sudah terpejam. Aku melihat ada seukir senyum di bibirnya.Mbak Wiwid masih hidup, terlihat dengan jelas dadanya masih naik turun. Saat tanganku mendekat di lubang hidung, masih ada embusan napas di sana.
DIKIRA MISKIN 81"Ada apa, Yud?" Ibu meletakkan sendok dan menatap Mas Yudi dengan nada khawatir."Enggak tahu, Bu. Kita hanya diminta untuk datang menjenguk Mbak Wiwid," jawab Mas Yudi."Ya Allah, apa yang terjadi dengan anakku itu?" "Maafkan aku, Bu. Seharusnya sudah sejak tadi kalian menjenguk Wiwid, tapi gara-gara acara ini, jadi tertiuda hingga harus di telepon lagi," ucap Mbak Ranti seraya menggigit bibir bawah."Ini bukan salah kamu, Nak. Berdo'a saja agar Wiwid tidak apa-apa." Ibu berusaha tersenyum meski aku yakin hatinya perih membayangkan hal buruk yang terjadi dengan anaknya yang ada di dalam penjara. Ya, semarah-marahnya seorang Ibu, ia tidak mungkin menginginkan hal buruk menimpa anaknya."Ibu sudah memaafkan Mbak Wiwid, kan? Ikhlaskan dia Bu, agar Allah mengampuni dosanya," ucapku seraya mengusap pundak Ibu."Innalillah, memangnya Wiwid is dead," ucap Mbak Ranti dengan nada tinggi, matanya melotot kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangan."Siapa yang bilang?" tany
DIKIRA MISKIN 80Aku dan Mbak Ranti yang baru saja selesai memasak untuk persiapan nanti malam terkejut dengan kedatangan Mas Yudi dan teriakan ibu."Kita harus menjenguk Wiwid. Pantas saja beberapa hari ini perasaanku tidak enak. Tidur juga sering mimpi buruk. Apa ini ada hubungannya dengannya yang sakit parah itu?" kata ibu.Aku dan Mbak Ranti saling berpandangan. Kulihat aneka makanan yang sudah siap untuk acara istimewa nanti. Jika ibu dan Mas Yudi menjenguk Mbak Wiwid, bagaimana dengan acara ini?"Bu," ucap Mbak Ranti seraya mengusap tangan ibu."Kamu tidak usah khawatir, Ran. Ibu akan menjenguk Wiwid, tetapi tidak sekarang karena ini hari istimewa yang kamu tunggu dan tidak mungkin dibatalkan," ucap ibu tersenyum."Kalau Ibu mau jenguk Wiwid, aku juga tidak akan protes kok, Bu. Aku tahu, dari dulu Wiwid memang selalu yang diutamakan karena ia adalah anak emasnya Ibu dan Bapak," ucap Mbak Ranti menunduk.Ya, meski aku tidak bersama mereka dari kecil, tetapi aku tahu, Mbak Wiwid s
DIKIRA MISKIN 79Ibu berjalan keluar ruangan dan Wiwid berusaha mengejarnya, tetapi seorang petugas menahannya. Ibu sudah tidak menggubris Wiwid lagi. Mungkin ibu sudah terlanjur kecewa."Ibu, maafkan aku!" Mbak Wiwid meronta dalam cekalan tangan seorang petugas, tetapi ibu sudah tidak peduli lagi. Ibu malah semakin mempercepat langkahnya. Ia memilih masuk mobil dan menguncinya rapat-rapat.Aku dan Rifki menyusul ibu ke dalam mobil. Sementara Mas Yudi membuat laporan mengenai Mas Wahyu yang telah menganiaya Rifki. Semoga prosesnya cepat sehingga ia segera mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya."Tik," ucap ibu seraya memelukku erat, air matanya terus bercucuran. Bahunya terguncang."Alhamdulilah, laporan kita sudah dalam proses. Polisi akan segera mencari keberadaan Mas Wahyu. Setelah ini ia tidak akan hidup tenang lagi. Ke manapun ia pergi , polisi pasti akan menemukannya. Meski masuk ke lubang semut sekalipun," kata Mas Yudi."Ya, orang jahat memang harus mendapat bal