DIKIRA MISKIN 19Mbak Ranti masih saja menggedor pintu dan berteriak dari luar. Hari memang masih terlalu pagi, pintu masih dikunci dari dalam. Ibu masih berada di kamarnya usai sholat subuh tadi.Awalnya aku malas untuk membuka pintu karena Mbak Ranti suka membuat keributan dan datang hanya ingin merendahkan. Apalagi sambil gedor-gedor pintu ia juga berteriak menanyakan mobil siapa yang ada di depan. Haruskah kujawab?Terpaksa aku membuka pintu karena tidak mau terlalu lama mendengar teriakannya yang dapat memecahkan gendang telinga itu."Lama amat buka pintunya, enak banget ya, hidup kamu, jam segini baru bangun," Kata Mbak Ranti dengan muka ditekuk dan bibir mengerucut.Enak saja bilang aku baru bangun, padahal aku sudah selesai mencuci dan hendak memasak mumpung Sasya masih tidur. Jika Sasya sudah bangun, aku sudah tidak bisa ngapa-ngapain lagi. Balita seusia Sasya memang butuh perhatian ekstra sehingga tidak bisa melakukan hal lain saat bersamanya.Di sini, aku harus mengerjakan
DIKIRA MISKIN 20"Oh, aku pikir itu mobilnya si Yudi. Kalau benar, aku juga harus punya." Aku masih mendengar perkataan Mbak Ranti meski sekarang aku sudah berada di dapur, tanganku sudah siap memegang pisau untuk memotong wortel."Kalau kamu pingin mobil, ya, beli saja, nggak usah minta Ibu. Ibu sudah banyak bantu kamu selama ini," ucap Ibu."Ibu nggak ikhlas membantuku dan keluargaku?" Tanya Mbak Ranti tidak terima."Bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas, selama Ibu bisa bantu pasti akan Ibu bantu. Tapi, kamu juga jangan mengandalkan Ibu terus, kamu harus mandiri, apalagi suami kamu seorang pegawai negeri. Percuma menjadi pegawai kalau mau beli mobil saja masih minta Ibu," ucap Ibu. Aku yang mendengar ucapan Ibu dari dapur hanya tersenyum. Rasain kamu, Mbak."Ibu meremehkan aku dan Mas Gani?""Kamu sendiri yang meremehkan dirimu sendiri. Dengan selalu meminta pada Ibu itu sama artinya dengan merendahkan dirimu sendiri." Ucap Ibu."Ah, malas, semenjak Mas Yudi dan Antika tinggal di
DIKIRA MISKIN 21"Memangnya kamu punya utang berapa tho, Wid, sampai menggadaikan sawah segala?" Tanya Ibu."Nggak banyak kok, Bu, lagi pula ini atas kemauan Mbak Ranti sendiri, ia bersedia membayar utang asalkan sawahku dia yang menggarapnya. Lagi pula selama ini aku juga tidak pernah mengurus sawah itu," jawab Mbak Wiwid dengan memainkan jari tangannya."Nggak banyak itu berapa?" Tanya Ibu lagi."Nggak usah kepo kenapa, sih, Bu? Memangnya kalau Ibu tahu akan bayarin utangku? Nggak, kan? Mau aku punya utang berapa pun yang penting Mbak Ranti sudah bantu bayarin. Inilah enaknya punya saudara yang punya banyak uang dan nggak pelit, jika ada salah satu yang kesusahan bisa bantu. Nggak seperti situ, jadi saudara yang tidak ada gunanya sama sekali," ucap Mbak Wiwid dengan nada sinis kearahku dan Mas Yudi.Membantu sih iya, tapi, kalau pada kenyataannya sawah yang dimiliki harus direlakan untuk digarap ya percuma. Itu sama artinya dengan 'tulung mentung' seperti menolong tapi sebenarnya pu
DIKIRA MISKIN 22"Bu," kataku seraya memegang lengan Ibu. Aku merasa tidak enak dengan sikap Mbak Wiwid hari ini. Aku bukannya mengalah, tapi, aku hanya ingin hidup tenang. Uang bisa di cari, tapi, ketenangan harus diciptakan."Biarkan saja, kalau nggak sekali-kali dikasih pelajaran bisa tuman, berlaku seenaknya pada kamu." Ibu mengusap pundakku dengan lembut. Alhamdulillah, Ibu sekarang benar-benar berubah, akhirnya kesabaranku berbuah manis."Apa yang kamu lakukan pada Ibu sehingga ia berubah, pakai pelet? Kamu bisa mempengaruhi Ibu, tetapi, aku tidak, dengar itu!" Kata Mbak Wiwid dengan tatapan tajam kearahku. Tangannya kini menunjuk mukaku."Sudah biarkan saja dia pergi!" kata Ibu kembali mengusap lenganku dengan lembut."Ish." Melihat Ibu yang terus membelaku, tentu saja membuat Mbak Wiwid kalap, dia keluar dengan membawa amarah sehingga pintu yang tidak bersalah pun terkena sasaran, brakk.Sampai di luar, mulut Mbak Wiwid tiada henti mengomel."Itulah akibatnya kalau kita terlal
DIKIRA MISKIN 23Usai bilang kalau Mas Yudi adalah seorang anak yang tidak pernah diinginkan, tatapan Ibu menerawang seperti adegan dalam sebuah sinetron. Terlihat ia menghela napas perlahan dan menghembuskannya. Aku melihat ada gurat penyesalan di sana.Aku dan Mas Yudi terdiam menunggu kata-kata Ibu yang akan meluncur dari mulutnya dengan sabar. Aku benar-benar menyesal telah lancang menanyakan hal yang seharusnya menjadi rahasia Ibu di masa lalunya. Maafkan aku, Bu, akibat jiwa kekepoanku, harus membuka kembali luka lama yang mungkin sudah terpendam selama berpuluh-puluh tahun."Bu," ucapku dengan meraih pergelangan tangannya. Aku tidak mampu melanjutkan kata-kata lagi, lidahku kelu dan bingung mau bicara apa. Aku benar-benar merasa bersalah sekarang."Ibu menyesal, Nak?" Hanya kalimat itu yang meluncur dari mulut Ibu, bibirnya tampak bergetar saat mengucapkannya."Tidak seharusnya Ibu membedakan kasih sayang antara anak satu dengan yang lain. Laki-laki atau perempuan sama saja, k
DIKIRA MISKIN 24"Oh, iya, aku sedang bikin kue." Tepuk jidat dan langsung berlari ke dapur untuk melihat kue yang tadi kubuat. Mematikan kompor dan membuka oven, kue yang sedang kupanggang sudah hitam karena gosong."Kenapa, Tik?" Ibu dan Mas Yudi menyusulku ke dapur."I--ini, Bu," kataku terbata dengan tangan memegang kue yang sudah tidak layak makan. Ya Allah, baru saja aku merasa bahagia karena Ibu sudah mulai sayang, sekarang aku malah ceroboh membuat kue gosong. Apa memang aku dan Ibu tidak ditakdirkan untuk akur dan saling menyayangi?"Ha ha ha ha," Ibu tertawa lebar melihat kue di tanganku."Ibu nggak marah?" Tanyaku heran melihat Ibu malah tertawa, padahal dalam bayanganku Ibu akan marah dan memakiku karena sudah membuat oven miliknya gosong dan aku sudah berencana bilang akan menggantinya."Jangan marah sama Antika ya, Bu, masalah oven, nanti Yudi yang akan belikan," kata Mas Yudi. Lagi, pikiran kami sama."Siapa yang marah? Kalau hanya oven Ibu bisa beli lagi, Ibu juga puny
DIKIRA MISKIN 25"Antika?" Mbak Ranti kaget melihat kedatanganku.Tangan Mbak Ranti dengan cepat memungut benda yang ia jatuhkan tadi, sebuah lipstick."Kok kamu sudah pulang? Bukankah tadi kamu ke sawah? Ngapain kamu kemari?" Pertanyaan konyol terlontar dari mulut Mbak Ranti. Begitulah tingkah orang yang sudah ketangkap basah, aneh."Hellow, Mbak, ini kamarku dan Mas Yudi? Apa nggak kebalik Mbak bertanya seperti itu?" Jangan bilang kalau ini rumah ini milik Ibu jadi, Mbak Ranti bebas keluar masuk tanpa izin, aku bosan mendengar alasan itu, Mbak.""Ya, aku, kangen aja dengan kamar ini, ini, kan dulu memang kamarku? Lihat, wallpaper-nya saja berwarna pink. Aku ingin bernostalgia dengan kamar ini," jawab Mbak Ranti meringis."Terus lipstick itu milikku, kan?" Tanyaku lagi dengan menunjuk lipstick berwarna merah yang berada di tangan Mbak Ranti."Oh, ini, aku diajak oleh Mas Gani kondangan ke acara nikahan temannya sesama pegawai negeri, apalagi ia juga kepala sekolah. Beliau mengundang
DIKIRA MISKIN 26Mata Mbak Ranti berkedip-kedip dan mengangguk kearah Ibu. Aku dan Ibu hanya saling berpandangan, meski tahu kalau Mbak Ranti sedang mencari pembelaan dari Ibunya."Kamu kenapa, Tik? Kedip-kedip gitu? Mata kamu kelilipan atau kesurupan?" Tanya Ibu. syukurin kamu, Mbak. Aku ingin tertawa melihat Mbak Ranti yang salah tingkah, matanya memerah dan tangannya menggaruk kepalanya yang mungkin memang gatal karena ia baru pulang dari sawah dan belum mandi.Mbak Ranti tidak menjawab, ia masih saja mengedipkan mata seperti tadi pada Ibu."Em em em em," kata Mbak Ranti."Apa, sih em em em em?" Tanya Ibu dengan tatapan tajam melihat kelakuan putrinya yang mulai aneh akhir-akhir ini. Apa yang terjadi denganmu Mbak?"Aku salah masuk kamar tadi." Kini Mbak Mawar nyengir dan mengangkat dua jari tangannya, kemudian ngeloyor keluar."Tadi bilang ingin bernostalgia dengan kamar ini dan sudah minta izin ibu, sekarang bilang salah kamar, Mbak masih waras, kan?" Tanyaku.Mbak Ranti berhenti