DIKIRA MISKIN 25"Antika?" Mbak Ranti kaget melihat kedatanganku.Tangan Mbak Ranti dengan cepat memungut benda yang ia jatuhkan tadi, sebuah lipstick."Kok kamu sudah pulang? Bukankah tadi kamu ke sawah? Ngapain kamu kemari?" Pertanyaan konyol terlontar dari mulut Mbak Ranti. Begitulah tingkah orang yang sudah ketangkap basah, aneh."Hellow, Mbak, ini kamarku dan Mas Yudi? Apa nggak kebalik Mbak bertanya seperti itu?" Jangan bilang kalau ini rumah ini milik Ibu jadi, Mbak Ranti bebas keluar masuk tanpa izin, aku bosan mendengar alasan itu, Mbak.""Ya, aku, kangen aja dengan kamar ini, ini, kan dulu memang kamarku? Lihat, wallpaper-nya saja berwarna pink. Aku ingin bernostalgia dengan kamar ini," jawab Mbak Ranti meringis."Terus lipstick itu milikku, kan?" Tanyaku lagi dengan menunjuk lipstick berwarna merah yang berada di tangan Mbak Ranti."Oh, ini, aku diajak oleh Mas Gani kondangan ke acara nikahan temannya sesama pegawai negeri, apalagi ia juga kepala sekolah. Beliau mengundang
DIKIRA MISKIN 26Mata Mbak Ranti berkedip-kedip dan mengangguk kearah Ibu. Aku dan Ibu hanya saling berpandangan, meski tahu kalau Mbak Ranti sedang mencari pembelaan dari Ibunya."Kamu kenapa, Tik? Kedip-kedip gitu? Mata kamu kelilipan atau kesurupan?" Tanya Ibu. syukurin kamu, Mbak. Aku ingin tertawa melihat Mbak Ranti yang salah tingkah, matanya memerah dan tangannya menggaruk kepalanya yang mungkin memang gatal karena ia baru pulang dari sawah dan belum mandi.Mbak Ranti tidak menjawab, ia masih saja mengedipkan mata seperti tadi pada Ibu."Em em em em," kata Mbak Ranti."Apa, sih em em em em?" Tanya Ibu dengan tatapan tajam melihat kelakuan putrinya yang mulai aneh akhir-akhir ini. Apa yang terjadi denganmu Mbak?"Aku salah masuk kamar tadi." Kini Mbak Mawar nyengir dan mengangkat dua jari tangannya, kemudian ngeloyor keluar."Tadi bilang ingin bernostalgia dengan kamar ini dan sudah minta izin ibu, sekarang bilang salah kamar, Mbak masih waras, kan?" Tanyaku.Mbak Ranti berhenti
DIKIRA MISKIN 27"Plis, Bu, apa susahnya bilang jujur kalau Ibu sudah ngasih uang pada Antika biar aku nggak mengejar terus," kata Mbak Ranti."Sudahlah lah, Bu, iyakan saja, biar Mbak Ranti senang," kataku"Nah, tu, kan, Antika saja mau ngaku. Sudahlah aku mau pulang sekarang." Kata Mbak Ranti dengan bersungut-sungut."Lipsticknya Mbak?" Tanganku terulur untuk meminta lipstick yang masih berada dalam genggaman tangannya."Aku mau pinjam, sekalian baju yang kemarin kamu jemur, mana!" Kata Mbak Ranti ketus."Yakin mau pinjam bajuku? Kalau nanti gatel gimana?" "Kalau takut gatel, nanti aku bisa mencucinya lagi, kalau perlu bilas sampai tujuh kali dan salah satunya pakai tanah," jawab Mbak Ranti."Astaghfirullah, emangnya bajuku itu terkena najis berat, sampai harus di cuci kayak gitu?" Kataku seraya mengurut dada."Habis kamu banyak tanya mulu, pinjamin aja kenapa, sih?" Kaya Mbak Ranti mengerucutkan bibir."Ran, yang namanya orang mau pinjam itu harus baik, pintar mengambil hatinya, b
DIKIRA MISKIN 16Kutarik tangan Mbak Wiwid. Ia yang tengah memegang tangan Ibu yang terus meronta meminta agar dilepaskan. Semakin Ibu meronta, semakin kuat juga mereka memegangnya. Mbak Ranti memegang kepala Ibu. Ya Allah, setan apa yang sudah merasuki dua anak kesayangan itu.Dua lawan satu, tentu saja aku kalah. Saat aku hendak menolong Ibu, Mbak Ranti mendorongku hingga jatuh terjengkang. Ibu terus menggelengkan kepalanya pertanda ia tidak mau minum air yang yang diberikan paksa oleh Mbak Ranti dan Mbak Wiwid.Ibu kalah tenaga dengan keduanya, hingga akhirnya cairan dalam botol itu berhasil masuk ke dalam mulut Ibu. Mbak Ranti dan Mbak Wiwid tertawa puas melihatnya."Sebenarnya kalian memberi ibu minuman apa? Kok rasanya aneh?" Tanya Ibu masih dengan napas tersengal. Ibu berusaha memuntahkan kembali air yang tadi sudah terlanjur masuk ke dalam mulutnya. "Jangan bilang kalau itu racun ya, Mbak? Tega ya, sama Ibu sendiri?" Kataku seraya bangkit dari tempatku terjatuh sambil meringi
DIKIRA MISKIN 29"Ayo katakan, Ran, sebenarnya kamu dapat duit sebanyak itu dari mana? Jangan bilang kalau kamu nyolong. Ibu malu punya anak seorang pencuri. Atau jangan-jangan kamu pelihara tuyul, ya di rumah?" cecar Ibu."Dengarkan aku dulu, Mas Gani, kan seorang Pegawai Negeri Sipil yang selalu berpakaian rapi tidak seperti Yudi. Mas Gani punya penghasilan tetap setiap bulan, ada gaji pokok, serta tunjangan yang lumayan. Nah, kalau Yudi, kan gajinya tidak menentu. Kadang banyak, kadang sedikit, namanya juga jualan. Kadang laris kadang sepi. Aku yakin pasti lebih sering sepi dari pada rame. Jadi, pasti lebih sering tidak punya uang, kan? Makanya sekarang betah di rumah Ibu biar bisa makan secara cuma-cuma alias gratis alias tidak perlu pusing memikirkan uang bulanan." Kata Mbak Ranti dengan senyum sinis."Mbak kita ini hanya mau tanya dari mana Mbak mendapatkan uang, lah kok jawabannya malah jadi membanding-bandingkan antara Mas Gani dan Mas Yudi, sih?" Kesal, dada ini terasa berg
DIKIRA MISKIN 30Aku mengangkat telepon yang berdering, kulihat dari notif, Alvin--orang kepercayaan Mas Yudi yang melakukan panggilan. "Halo? Mas Alvin?" Sapaku setelah menempelkan ponsel di pipi."Ini, Mas, Dek. Ponselnya ada di rumah ya? Ini aku pinjam ponselnya Alvin?" tanya Mas Yudi dari seberang sana. "Iya, Mas," "Syukurlah kalau begitu. Mas pikir hilang. Oh, ya, hari ini mungkin nggak bisa pulang karena ada persiapan untuk besok. Sebuah pesta pernikahan memesan makanan di restoran kita dalam jumlah besar." kata Mas Yudi."Iya, Mas, jaga diri baik-baik, ya," jawabku.Ibu, Mbak Ranti dan Mbak Wiwid mengikutiku masuk kamar. Mereka memang suka kepo, apalagi saat melihat ponsel yang berada ditanganku ini. Ponsel milik Mas Yudi yang ketinggalan."Ponsel siapa ini? Bukan milik kamu, kan? Aku melihat ponsel kamu saat ngasih tahu tentang pasal pencemaran nama baik itu, tidak seperti ini ponselnya?" Tanya Mbak Ranti dengan dahi mengernyit dan celingukan ke sana kemari mencari sesuatu.
DIKIRA MISKIN 31"Kalau Mbak berkenan, aku bisa bantu," kataku dengan menyentuh pundak Mbak Wiwid yang masih saja dikuasai amarah karena motornya yang rusak."Ya ampun, ada yang mau jadi pahlawan kesiangan rupanya. Mau bayar pakai daun? Makanya jangan kebanyakan tidur, jadinya mimpi, kan, woy, bangun, bangun!" Mbak Ranti mengibaskan tangannya di depan wajahku.Dadaku bergemuruh, darahku mendidih seperti sudah naik ke ubun-ubun. Tangan ini mengepal dan sudah siap mendarat di pipi Mbak Ranti. "Jangan sampai tangan ini mendarat di pipi Mbak, ya? Mbak nggak tahu kalau aku ini pernah ikut latihan karate?" kataku dengan tatapan tajam. Kalau tangan ini sampai mendarat di pipinya, aku jamin wajahnya akan babak belur."Hii, takut," Mbak Ranti tertawa terbahak-bahak, bahkan air matanya sampai berderai-derai, berulang kali ia mengusap matanya dengan tangan.Aku mencoba bersabar dengan mengusap dada perlahan dan menghela napas kemudian menghembuskannya. Untunglah rasa emosi negative yang sudah m
DIKIRA MISKIN 32Suara gedoran pintu semakin keras. Ish, nggak sabaran amat orang ini. Kukeringkan tangan dengan lap dan gegas melangkah keluar untuk melihat siapa yang datang untuk membuka pintu, agar orang yang di luar tidak berteriak lagi. Bisa pecah gendang telinga ini jika terus-terusan mendengar teriakan itu.Aku mengintip dari dalam dengan menyibak gorden yang menutup jendela untuk melihat siapa yang datang. Aku takut untuk langsung membuka pintu karena suara laki-laki yang kudengar.Benar saja, tampak seorang lelaki yang datang. Lelaki itu memakai jaket berwarna biru dan berkaca mata. Aduh, siapa lelaki itu? Apa mungkin dia temannya Mas Yudi? Sepertinya aku belum pernah melihatnya? Tetapi, kenapa ia tahu namaku? Aku bisa melihat kalau ia tengah menahan amarah meski hanya melihat dari balik kaca jendela. Aku menggigit bibir bawah, seraya berusaha mengingat-ingat siapa dia? Tetapi, aku tetap tidak bisa menemukan jawaban. Selama ini aku atau pun Mas Yudi tidak pernah punya mu