DIKIRA MISKIN 16Kutarik tangan Mbak Wiwid. Ia yang tengah memegang tangan Ibu yang terus meronta meminta agar dilepaskan. Semakin Ibu meronta, semakin kuat juga mereka memegangnya. Mbak Ranti memegang kepala Ibu. Ya Allah, setan apa yang sudah merasuki dua anak kesayangan itu.Dua lawan satu, tentu saja aku kalah. Saat aku hendak menolong Ibu, Mbak Ranti mendorongku hingga jatuh terjengkang. Ibu terus menggelengkan kepalanya pertanda ia tidak mau minum air yang yang diberikan paksa oleh Mbak Ranti dan Mbak Wiwid.Ibu kalah tenaga dengan keduanya, hingga akhirnya cairan dalam botol itu berhasil masuk ke dalam mulut Ibu. Mbak Ranti dan Mbak Wiwid tertawa puas melihatnya."Sebenarnya kalian memberi ibu minuman apa? Kok rasanya aneh?" Tanya Ibu masih dengan napas tersengal. Ibu berusaha memuntahkan kembali air yang tadi sudah terlanjur masuk ke dalam mulutnya. "Jangan bilang kalau itu racun ya, Mbak? Tega ya, sama Ibu sendiri?" Kataku seraya bangkit dari tempatku terjatuh sambil meringi
DIKIRA MISKIN 29"Ayo katakan, Ran, sebenarnya kamu dapat duit sebanyak itu dari mana? Jangan bilang kalau kamu nyolong. Ibu malu punya anak seorang pencuri. Atau jangan-jangan kamu pelihara tuyul, ya di rumah?" cecar Ibu."Dengarkan aku dulu, Mas Gani, kan seorang Pegawai Negeri Sipil yang selalu berpakaian rapi tidak seperti Yudi. Mas Gani punya penghasilan tetap setiap bulan, ada gaji pokok, serta tunjangan yang lumayan. Nah, kalau Yudi, kan gajinya tidak menentu. Kadang banyak, kadang sedikit, namanya juga jualan. Kadang laris kadang sepi. Aku yakin pasti lebih sering sepi dari pada rame. Jadi, pasti lebih sering tidak punya uang, kan? Makanya sekarang betah di rumah Ibu biar bisa makan secara cuma-cuma alias gratis alias tidak perlu pusing memikirkan uang bulanan." Kata Mbak Ranti dengan senyum sinis."Mbak kita ini hanya mau tanya dari mana Mbak mendapatkan uang, lah kok jawabannya malah jadi membanding-bandingkan antara Mas Gani dan Mas Yudi, sih?" Kesal, dada ini terasa berg
DIKIRA MISKIN 30Aku mengangkat telepon yang berdering, kulihat dari notif, Alvin--orang kepercayaan Mas Yudi yang melakukan panggilan. "Halo? Mas Alvin?" Sapaku setelah menempelkan ponsel di pipi."Ini, Mas, Dek. Ponselnya ada di rumah ya? Ini aku pinjam ponselnya Alvin?" tanya Mas Yudi dari seberang sana. "Iya, Mas," "Syukurlah kalau begitu. Mas pikir hilang. Oh, ya, hari ini mungkin nggak bisa pulang karena ada persiapan untuk besok. Sebuah pesta pernikahan memesan makanan di restoran kita dalam jumlah besar." kata Mas Yudi."Iya, Mas, jaga diri baik-baik, ya," jawabku.Ibu, Mbak Ranti dan Mbak Wiwid mengikutiku masuk kamar. Mereka memang suka kepo, apalagi saat melihat ponsel yang berada ditanganku ini. Ponsel milik Mas Yudi yang ketinggalan."Ponsel siapa ini? Bukan milik kamu, kan? Aku melihat ponsel kamu saat ngasih tahu tentang pasal pencemaran nama baik itu, tidak seperti ini ponselnya?" Tanya Mbak Ranti dengan dahi mengernyit dan celingukan ke sana kemari mencari sesuatu.
DIKIRA MISKIN 31"Kalau Mbak berkenan, aku bisa bantu," kataku dengan menyentuh pundak Mbak Wiwid yang masih saja dikuasai amarah karena motornya yang rusak."Ya ampun, ada yang mau jadi pahlawan kesiangan rupanya. Mau bayar pakai daun? Makanya jangan kebanyakan tidur, jadinya mimpi, kan, woy, bangun, bangun!" Mbak Ranti mengibaskan tangannya di depan wajahku.Dadaku bergemuruh, darahku mendidih seperti sudah naik ke ubun-ubun. Tangan ini mengepal dan sudah siap mendarat di pipi Mbak Ranti. "Jangan sampai tangan ini mendarat di pipi Mbak, ya? Mbak nggak tahu kalau aku ini pernah ikut latihan karate?" kataku dengan tatapan tajam. Kalau tangan ini sampai mendarat di pipinya, aku jamin wajahnya akan babak belur."Hii, takut," Mbak Ranti tertawa terbahak-bahak, bahkan air matanya sampai berderai-derai, berulang kali ia mengusap matanya dengan tangan.Aku mencoba bersabar dengan mengusap dada perlahan dan menghela napas kemudian menghembuskannya. Untunglah rasa emosi negative yang sudah m
DIKIRA MISKIN 32Suara gedoran pintu semakin keras. Ish, nggak sabaran amat orang ini. Kukeringkan tangan dengan lap dan gegas melangkah keluar untuk melihat siapa yang datang untuk membuka pintu, agar orang yang di luar tidak berteriak lagi. Bisa pecah gendang telinga ini jika terus-terusan mendengar teriakan itu.Aku mengintip dari dalam dengan menyibak gorden yang menutup jendela untuk melihat siapa yang datang. Aku takut untuk langsung membuka pintu karena suara laki-laki yang kudengar.Benar saja, tampak seorang lelaki yang datang. Lelaki itu memakai jaket berwarna biru dan berkaca mata. Aduh, siapa lelaki itu? Apa mungkin dia temannya Mas Yudi? Sepertinya aku belum pernah melihatnya? Tetapi, kenapa ia tahu namaku? Aku bisa melihat kalau ia tengah menahan amarah meski hanya melihat dari balik kaca jendela. Aku menggigit bibir bawah, seraya berusaha mengingat-ingat siapa dia? Tetapi, aku tetap tidak bisa menemukan jawaban. Selama ini aku atau pun Mas Yudi tidak pernah punya mu
DIKIRA MISKIN 33Iseng-iseng aku membuka aplikasi biru. Eh, kenapa aku jadi kepo sekarang? Nggak, kok, aku hanya ingin tahu saja. Apakah Mbak Wiwid mengunggahnya di facebook juga.Aku memang punya ponsel dan sudah punya akun facebook juga, tetapi jarang membukanya. Saat kubuka aplikasi biru itu, postingan Mbak Wiwid yang pertama kali nongol di beranda. Dua buah foto dengan caption yang sama dengan yang yang ia bagikan di status WhatsApp.Mamae Fitri memberikan komentar pertamanya, Wah, cantik sekali gelangnya, secantik orangnya. Tidak berapa lama komentar itu dibalas oleh Mbak Wiwid, sang pembuat status--iya, dong siapa dulu, Wiwid gitu loh. Komentar kedua datang dari Diana--daripada buat beli gelang, mending buat bayar utang. Setelah ada komentar ini, postingan bergambar Mbak Wiwid yang tengah selfie dan gelang itu langsung di hapus. Eh, tetapi kok Mbak Ranti belum berkomentar ya? Apa dia belum melihat postingan pamer adiknya ini? Ya, Mbak Ranti memang orangnya rajin, rajin ke sawa
DIKIRA MISKIN 34"Ibu mau, kan seandainya kuboyong ke kota untuk tinggal di gubuk kami?" tanyaku sekali lagi.Ibu masih diam saja. Pandangannya kembali menerawang, namun tidak juga melepaskan genggaman tangannya. Sedetik kemudian tangan keriput itu mengusap puncak kepalaku. Duh, Ibu, aku terharu. "Ibu takut kalau tempat tinggal kami tidak layak? Ibu tidak usah khawatir, walaupun seadanya, tapi rumah sendiri dan insyaallah nyaman," ucapku karena Ibu masih belum mengeluarkan sepatah kata pun."Tik, Ibu sudah bilang merasa nyaman tinggal bersama kalian. Sesungguhnya yang membuat kita nyaman atau tidak itu bukan tempat tinggal kita. Tapi, ini, Tik." Ibu kembali mengambil tanganku dan meletakkan di dadanya."Hati dan pikiran waras yang akan membuat hidup kita tentram. Aku melihat hidup kalian begitu bahagia dan tentram meski hidup seadanya, karena apa? Ibu tahu kalian berdua adalah orang yang pandai bersyukur. Ya, bersyukur adalah salah satu kunci yang membuat hidup kita lebih bahagia." I
DIKIRA MISKIN 23"Apa? Kamu mau mengajak Ibu untuk tinggal bersama kalian di kota, percaya diri tingkat tinggi, woi!" tanya Mbak Ranti dengan nada tinggi sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melotot seperti hendak keluar dari tempatnya. Sungguh ekspresi wajah yang sangat jelek. Mbak Wiwid pun tidak kalah jelek ekspresinya. Biasa saja kali, Mbak.Baru dengar mau mengajak Ibu saja sudah begitu ekspresinya. Bagaimana kalau mendapat kejutan yang lebih dari ini?"Jadi, kamu mengundang kami untuk membicarakan hal ini? Ya ampun aku pikir mau membicarakan soal warisan!" ucap Mbak Wiwid lantang."Benar, tuh. Padahal aku sudah menghitung berapa warisan yang akan kudapatkan nanti dan sudah ada anggarannya sendiri, mau beli ini mau beli itu. Kalau begitu gagal total rencanaku," timpal Mbak Ranti.Astaghfirullah, kedua anak perempuan kesayangan itu benar-benar keterlaluan. Orangtuanya masih segar bugar bisa-bisanya membahas warisan. Saru banget menurutku. Padahal sebenarnya mereka