DIKIRA MISKIN 34"Ibu mau, kan seandainya kuboyong ke kota untuk tinggal di gubuk kami?" tanyaku sekali lagi.Ibu masih diam saja. Pandangannya kembali menerawang, namun tidak juga melepaskan genggaman tangannya. Sedetik kemudian tangan keriput itu mengusap puncak kepalaku. Duh, Ibu, aku terharu. "Ibu takut kalau tempat tinggal kami tidak layak? Ibu tidak usah khawatir, walaupun seadanya, tapi rumah sendiri dan insyaallah nyaman," ucapku karena Ibu masih belum mengeluarkan sepatah kata pun."Tik, Ibu sudah bilang merasa nyaman tinggal bersama kalian. Sesungguhnya yang membuat kita nyaman atau tidak itu bukan tempat tinggal kita. Tapi, ini, Tik." Ibu kembali mengambil tanganku dan meletakkan di dadanya."Hati dan pikiran waras yang akan membuat hidup kita tentram. Aku melihat hidup kalian begitu bahagia dan tentram meski hidup seadanya, karena apa? Ibu tahu kalian berdua adalah orang yang pandai bersyukur. Ya, bersyukur adalah salah satu kunci yang membuat hidup kita lebih bahagia." I
DIKIRA MISKIN 23"Apa? Kamu mau mengajak Ibu untuk tinggal bersama kalian di kota, percaya diri tingkat tinggi, woi!" tanya Mbak Ranti dengan nada tinggi sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan. Matanya melotot seperti hendak keluar dari tempatnya. Sungguh ekspresi wajah yang sangat jelek. Mbak Wiwid pun tidak kalah jelek ekspresinya. Biasa saja kali, Mbak.Baru dengar mau mengajak Ibu saja sudah begitu ekspresinya. Bagaimana kalau mendapat kejutan yang lebih dari ini?"Jadi, kamu mengundang kami untuk membicarakan hal ini? Ya ampun aku pikir mau membicarakan soal warisan!" ucap Mbak Wiwid lantang."Benar, tuh. Padahal aku sudah menghitung berapa warisan yang akan kudapatkan nanti dan sudah ada anggarannya sendiri, mau beli ini mau beli itu. Kalau begitu gagal total rencanaku," timpal Mbak Ranti.Astaghfirullah, kedua anak perempuan kesayangan itu benar-benar keterlaluan. Orangtuanya masih segar bugar bisa-bisanya membahas warisan. Saru banget menurutku. Padahal sebenarnya mereka
DIKIRA MISKIN 24Aku dan Mas Yudi membantu Ibu mengemas pakaian yang akan dibawa. Tidak lupa hadir juga duo sosialita abal-abal. Mereka bertindak sebagai komentator tanpa ada niat sedikitpun untuk membantu kami. Mulut keduanya terus saja mengoceh tiada henti. Sampai berbusa-busa kayaknya meski aku dan Ibu diam saja. Aku memang diam, tapi jangan ditanya kesalnya seperti apa jika terus menerus mendengar ocehan mereka. Untung telinga ini sudah kebal. Anggap saja itu radio."Tik, apalagi yang perlu kita bawa selain pakaian?" tanya Ibu seraya memasukkan pakaian yang sudah dilipat."Pakaian saja, Bu. Itupun nggak usah semuanya, insyaAllah nanti aku belikan yang baru." Mas Yudi yang baru selesai mengelap mobil tiba-tiba masuk dan menjawab pertanyaan Ibu."Yang benar saja, Yud. Masak kamu mau belikan baju buat Ibu. Jangan-jangan kamu beli baju bekas yang ada di pasar loak atau kalau beli baju baru, nanti Ibu disuruh puasa tiga bulan lagi," ucap Mbak Ranti seraya berkacak pinggang."Sudah, Ti
DIKIRA MISKIN 37 Ibu memandang Mas Yudi dan aku secara bergantian dengan tatapan aneh. Apalagi saat satpam itu tersenyum dan memberi hormat dengan menunduk pada Mas Yudi dan juga aku. Kami pun hanya membalas dengan tersenyum. "Kamu kenal dengan satpam itu? Kok dia tahu nama kamu?" tanya ibu dengan tatapan menyelidik. "Iya, Bu. Nanti saja ya tanya-tanyanya. Kita masuk dulu untuk makan, sudah lapar, nih?" Mas Yudi meringis seraya mengusap perutnya. Aku menggandeng lengan ibu, kami segera masuk ke resto hasil kerja keras kami selama ini. Alhamdulillah, setelah sekian tahun kami mampu membuka cabang resto yang ketiga ini. "Ayo, Bu," ajakku karena ibu tampak masih ragu untuk masuk. "Yud, sebaiknya kita jangan makan di sini, ya. Apalagi pakaian ibu seperti ini. Apa boleh makan di tempat sebagus ini?" Ibu melihat ke bawah melihat baju kebaya yang ia padukan dengan kain jarik batik. Ya, ibu memang senang memakai pakaian khas jawa ini, lebih nyaman katanya. "Bu, yang boleh makan di si
DIKIRA MISKIN 38Air mata ibu terus bercucuran, ia masih berdiri dengan mengusap foto suaminya yang tengah tersenyum itu. "Yud, kamu tahu, kan kalau kami tidak pernah menyukai kamu bahkan tidak pernah menganggapmu ada. Kenapa masih sudi memasang foto kami? Memangnya tidak bosan melihat ini setiap hari?" tanya Ibu, kini ia duduk dan menyenderkan bahunya di kursi."Bu, walau bagaimanapun juga kalian adalah orangtuaku. Dengan memasang foto kalian aku merasa kalian selalu bersamaku dan membersamai di setiap langkahku. Setiap aku pulang ke rumah dan melihat foto ini, membuatku semangat untuk tetap bekerja hingga sukses sampai sekarang. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membuktikan pada bapak kalau aku bisa sukses dengan usahaku sendiri." Mas Yudi juga mengusap foto bapak. Seseorang yang ia rindukan pelukannya, dan tidak akan pernah kesampaian sampai kapanpun."Sayang, Bapak tidak sempat melihat kesuksesanku ya, Bu," ucap Mas Yudi sendu."Kenapa kamu menyembunyikan kesuksesan i
DIKIRA MISKIN 27Mbak Ranti masih saja mengoceh tiada henti. Sepertinya ia memang cocok menjadi seorang stand up comedy, bagaimana tidak? Bisa makan di sini karena dapat gratisan saja sombongnya selangit. Namun, tidak membuat orang tertawa yang mendengarnya, malah membuat orang gedeg tiada tara. Benar-benar ingin kusumpal dengan sambal level tertinggi yang ada di resto ini agar ia bisa diam.Kurapikan kembali bajuku dan berjalan menuju ke tempat Mas Yudi dan Mbak Ranti yang sedang adu mulut."Mas," ucapku setelah sampai di dekat mereka."Antika? Kamu di sini juga?" tanya Mbak Ranti seraya membekap mulutnya dengan kedua tangan. Biasa saja kali, Mbak."Iya, Mbak," jawabku."Stop! Aku tidak akan bertanya ngapain kamu di sini karena aku sudah tahu jawabannya. Kamu bekerja? Jangan jawab dulu, biar aku tebak. Kamu pasti kerja menjadi tukang sapu atau tukang cuci piring, ya?" Mulut Mbak Ranti terus saja mencerocos disertai tawa lebar."Bagus lah kalau begitu. Itu artinya kamu seorang istri p
DIKIRA MISKIN 28Pov Ranti"Kamu kenapa, Mas, kok sepertinya senang banget? Sampai bersiul-siul gitu?" tanyaku pada Mas Wahyu yang baru saja pulang mengajar."Besok, aku diundang teman yang sedang merayakan anniversary pernikahannya yang ke sepuluh. Dia mengundang kami untuk makan di restoran yang ada di kota, yey." Mas Wahyu bersorak kegirangan seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim oleh ibunya. Melihat suamiku kegirangan, malah membuatku manyun."Kok, kamu malah cemberut gitu, hilang cantiknya, loh. Senyum dong!" Mas Wahyu memegang daguku, senyum terpaksa tercipta di bibirku sembari menatap wajah suamiku yang paling ganteng itu."Habis, kamu bahagia sendiri, tidak ngajak aku." Aku cemberut lagi, sementara tanganku bersedekap di dada."Kata siapa aku bahagia sendiri? Kita dipersilahkan untuk mengajak pasangan masing-masing. Jadi, kamu boleh ikut," kata Mas Wahyu, sontak membuat mataku berbinar."Yang benar, Mas?" tanyaku untuk meyakinkan, jantung ini serasa jumpalitan
DIKIRA MISKIN 29Pov Ranti 2Aku setuju dengan pendapat Wiwid. Yudi pasti mendapat kekayaan dengan cara yang tidak wajar. Mana ada orang yang bisa kaya mendadak, bisa punya resto dan mobil, jangan-jangan ia juga sudah punya rumah."Ayo, Wid, sekarang kamu panggil Ajun!""Ada apa kalian ribut-ribut," tanya Mas Wahyu yang sedari tadi nonton televisi."Mas, saat kamu di resto tadi melihat Yudi dan Antika tidak?" "Aku tidak lihat sama sekali karena asyik ngobrol dengan teman-teman, habis tempatnya nyaman, namun sayang belum sempat makan keburu dipanggil satpam karena kamu pingsan," ucap Mas Wahyu dengan wajah kesal."Enggak usah cemberut gitu kenapa, sih, Mas? Aku juga kecewa karena harus pingsan sehingga tidak bisa makan, jangankan makan, lihat interior restonya saja belum," ucapku dengan tangan bersedekap."Ada apa, Mbak. Memanggilku kemari?" tanya Ajun yang baru datang bersama Wiwid seraya menjatuhkan bobotnya di sofa."Kamu tahu nggak kalau si Yudi itu ternyata kaya?" tanyaku pada Aj