Share

8. Bab 8

DIKIRA MISKIN 8

Aku mengambil minum untuk meredakan emosi yang sudah tersulut ini. Jika tiba saatnya nanti, akan aku katakan yang sebenarnya dan kupastikan mereka tidak akan menghina dan menertawakanku seperti ini lagi. 

"Tentu saja dia nggak akan bilang, pasti malu, seandainya benar Yudi memberi uang pasti jumlahnya tidak seberapa. Percuma saja mengirimi uang kalau pada kenyataanya uang yang Mas Yudi berikan lebih sedikit daripada punya Ibu sendiri. Itu sama artinya dengan menabur garam di atas laut, percuma. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ngasih uang biar dikira anak dan menantu baik padahal hanya ingin mendapatkan uang yang lebih banyak dari Ibu. Licik ya, rupanya kalian paham dengan konsep memancing, untuk mendapatkan ikan harus menggunakan umpan. Ya, seperti Antika ini, sok-sokan ngasih uang padahal hanya ingin mendapatkan yang lebih banyak. Selamat Tik, kamu berhasil memperdaya Ibu. Buktinya sekarang kamu dan Yudi diminta tinggal di sini," ucap Mbak Wiwid dengan nada sinis dan merendahkan.

"Cukup, Wid, jangan hina dan merendahkan adik iparmu lagi. Ibu meminta mereka bertiga tinggal di sini agar Ibu ada yang merawat karena kamu dan Ranti tidak peduli pada Ibu," hardik Ibu.

Aku tertegun melihat reaksi ibu yang membentak anak kesayangannya demi membelaku. Mimpi apa aku semalam? 

"Ibu?" Mbak Wiwid juga kaget dengan ucapan ibunya yang tiba-tiba membentaknya.

"Kenapa? Kaget? Ibu membentak kamu?" Kata Ibu lagi.

"Aduh, aduh, ternyata pengaruh Antika cukup besar pada Ibu. Dari dulu Ibu tidak pernah membentakku karena aku adalah anak kesayangan Ibu dan Bapak. Kenapa sekarang Ibu jadi begini, mentang-mentang Bapak sudah tiada?" tanya Mbak Wiwid.

"Ibu sekarang sadar karena sudah memanjakan kamu selama ini sehingga kamu menjadi berbuat sesuka hati dan suka merendahkan orang lain. Sadar, Nak, Antika itu istri dari Adik kamu, dia bagian dari keluarga kita juga,"  ucap  yang tadi sudah melotot kini berucap lembut. Tangannya meraih pundak Mbak Wiwid, tetapi anak perempuannya itu menepisnya. 

"Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggap ia sebagai bagian keluargaku meski Ibu sekarang sudah menyayanginya," ucap Mbak Wiwid dengan tangan bersedekap.

Ibu hanga menggelengkan kepala melihat tingkah anak yang selama ini ia banggakan begitu keras kepala. 

"Aku kasihan sama Antika, Bu, mimpinya terlalu tinggi, siapa yang akan percaya kalau setiap bulan Yudi selalu mengirim uang. Daripada buat Ibu lebih baik buat ditabung untuk beli rumah di kota nanti, ha ha ha," Mbak Wiwid tertawa lebar.

"Buat apa beli rumah di kota, ini rumah Yudi dan akan tetap tinggal di sini menemani Ibu," jawab ibu.

Mereka tidak tahu kami sudah punya rumah di kota yang lumayan bagus. Ya, mereka belum pernah mengunjung kami di kota, jadi, tidak tahu keadaan kami yang sebenarnya. Bahkan saat aku melahirkan Sasya pun, mereka tidak sudi menjenguk dengan berbagai alasan. 

"Dek, maafkan aku," ucap Mas Yudi sendu. Waktu itu ia baru saja pulang dari rumah ibu untuk memberi tahu kalau aku baru saja melahirkan. 

"Mas minta maaf untuk apa?" Aku mengusap pundaknya dengan lembut. 

"Ibu tidak mau menjenguk anak kita padahal ia cucunya juga, kan?" Mata suamiku berkaca-kaca dan setelah itu bulir bening sudah tidak membasahi pipinya. 

"Mbak Ranti dan Mbak Wiwid juga?" tanyaku dengan hati yang berdesir perih melihat suamiku menangis. 

Mas Yudi mengangguk. 

Ingatan saat mereka mengabaikan undangan kami untuk menghadiri acara syukuran atas kelahiran Sasya waktu itu begitu membekas di hati.

Mbak Wiwid masih tertawa mengejekku yang dia anggap telah bermimpi terlalu tinggi. Semoga dia tidak pingsan nanti saat tahu siapa kami yang sebenarnya. Semoga jantungnya masih kuat saat menyadari bahwa orang yang selama ini mereka hina dan rendahkan lebih kaya darinya. Ya, suatu saat mereka pasti akan tahu juga. Hanya saja tidak sekarang karena memang belum waktunya.

  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Indrawally
tidak seru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status