DIKIRA MISKIN 3
Mbak Wiwid terus saja memohon agar aku mau membantunya. Mungkin sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya agar mereka tidak merendahkanku lagi. Namun, sepertinya aku harus minta izin dulu pada Mas Yudi. Apakah ia mengizinkan atau tidak kalau aku bilang tentang kesuksesan kami pada mereka.
"Ada apa ini, Wid?" Tiba-tiba Mbak Ranti datang dengan tergopoh-gopoh. Ia adalah anak sulung dari keluarga Mas Yudi.
Rumah Mbak Ranti hanya berjarak dua rumah dari rumah Mbak Wiwid. Sungguh beruntungnya ibu mertuaku, punya anak-anak yang punya tempat tinggal dekat dengan dirinya. Jadi, setiap hari bisa bertemu dengan para anak perempuannya.
"Aku punya hutang, Mbak, mereka ini para penagih hutang yang memberi peringatan kalau utangku sudah jatuh tempo seminggu lagi," ucap Mbak Wiwid lirih namun masih bisa kudengar suaranya.
"Terus?"
"Ya, seminggu lagi duitnya harus ada padahal aku belum punya uang dan aku mau pinjam sama Antika," jawab Mbak Wiwid lagi seraya memainkan jari tangannya.
"Apa? Mau pinjam ke Antika? Yang benar saja kamu ini? Antika mana ada duit?" ucap Mbak Ranti dengan nada tinggi. Aku tahu, Mbak Ranti juga sering menghinaku, mereka memang tidak ada bedanya, itulah yang membuat kami tidak betah tinggal di kampung ini.
Mbak Wiwid menunduk sambil memainkan jari tangannya, ia tidak berani melihat ke arah kakaknya yang berdiri dengan berkacak pinggang.
"Ya, mau gimana lagi, Antika, kan saudara kita juga," jawab Mbak Wiwid.
"Saudara, ya saudara. Kalau kamu sakit atau pegal-pegal karena kecapekan, boleh lah kamu minta bantuan untuk minta dipijit atau kerokin, intinya kita bisa minta bantuan dia kalau yang nggak ada hubungannya dengan uang." Ucap Mbak Ranti terus saja merendahkanku. Terus saja, Mbak, nanti kamu akan pingsan saat mengetahui yang sebenarnya kalau adik lelakimu yang selalu kamu hina sudah sukses.
"Benar juga, ya, kenapa aku malah minta bantuan ke Antika yang jelas-jelas tidak punya uang, bisa-bisa dia minjamin aku uang berupa daun," ujar Mbak Wiwid sinis.
Aku hanya bisa menghela napas perlahan, tadi ia merengek minta bantuan dan dalam sekejap berubah menghina seperti ini.
"Kalau kamu butuh bantuan, bilang ke Mbak dong, jangan ke Antika, pasti akan mbak bantu. Kamu, kan adik perempuanku satu-satunya," ucap Mbak Ranti dengan menepuk dada penuh kesombongan.
"Iya, Mbak, aku akan pinjam ke Mbak Ranti saja. Tik, nggak usah kege-eran ya, aku nggak jadi pinjam uang ke kamu yang sudah jelas tidak akan kasih pinjam karena tidak punya uang," ucap Mbak Wiwid lagi.
Apakah dia pikir aku akan meminjamkan yang aku begitu saja pada orang sombong seperti dia meskipun aku ada uang?
"Iya, Mbak , aku juga nggak akan pinjamin uang, kok, meski sebenarnya aku punya uang," aku tersenyum, terpaksa, meski hati ini sebenarnya rasanya bergemuruh setiap kali mendengar hinaan dari kakak suamiku itu.
"Nggak usah mimpi punya uang kamu, Tik, uang dari mana, Yudi saja kerjanya nggak jelas," ucap Mbak Ranti ketus.
Cara pandang Mbak Wiwid tidak pernah berubah, ia menganggap hanya orang yang bekerja dengan pakaian rapi saja yang bisa punya uang.
"Oh, ya, lupakan soal aku yang tadi sempat ingin pinjam uang ke kamu, anggap saja aku tidak pernah ngomong kaya gitu, memalukan, masa seorang Wiwid yang suaminya seorang pegawai mau pinjam uang sama Antika yang hanya punya suami dengan pekerjaan yang tidak jelas," ucap Mbak Wiwid masih dengan nada sinis dan tangan bersedekap.
"Jadi, bagaimana, Bu, uangnya sudah ada, kan sekarang?" tanya salah seorang lelaki berwajah garang yang memakai anting di telinganya.
"Iya, Pak, katanya masih seminggu lagi jatuh temponya," jawab Mbak Wiwid.
"Nggak usah khawatir, Pak, saya jamin Adik saya ini pasti bisa membayar semua utangnya tapi tidak sekarang karena uangnya masih ada di bank dan yang bisa mengambil uangnya hanya suami saya karena kartu ATM dia yang pegang. Pokoknya Mas nggak usah khawatir, seminggu lagi datang ke sini, pasti uangnya sudah siap," ujar Mbak Ranti dengan percaya diri. Kalau dalam penglihatanku sih, bukan percaya diri lagi tapi lebih ke arah sombong.
"Baik, Bu, saya pegang janji Ibu, seminggu lagi saya akan datang lagi dan uang itu sudah Ibu persiapkan sebelum saya datang, saya tidak mau menunggu lama apalagi kalau sampai dibohongi," ucap lelaki penagih utang itu.
Orang yang menagih utang itu ada dua orang, yang satu berperawakan tinggi besar dengan kumis lebat di wajahnya sedangkan yang satunya lagi bertubuh gempal dan berambut botak.
"Beres, kalau masalah itu tidak usah khawatir," kata Mbak Ranti dengan menjentikkan jarinya.
"Kalau begitu kami permisi ya, Bu." Kedua orang itu lalu pergi meninggalkan kami bertiga.
"Memangnya kamu punya utang berapa sama rentenir itu, nanti biar aku bilang sama suamiku," tanya Mbak Ranti setelah penagih itu pergi.
Mbak Wiwid yang tadinya menunduk mendadak semringah mendengar ucapan kakaknya.
"Nggak banyak kok, Mbak?" jawab Mbak Wiwid.
"Nggak banyak itu berapa?" tanya Mbak Ranti dengan nada tinggi.
Dada Mbak Ranti terlihat naik turun, sepertinya emosi sedang menguasai dirinya. Yang punya utang adiknya, tetapi malah dia yang seperti kebakaran jenggot.
"Cuma tiga puluh juta, kok," jawab Mbak Wiwid santai.
"Tiga puluh juta kamu bilang cuma? Itu gaji suamiku selama beberapa bulan?" kata Mbak Ranti dengan nada tinggi."Ya, memang cuma, kan nggak nyampe lima puluh juta, pojoknya kalau belum ada lima puluh juta itu masih sedikit. Mbak sudah janji lho untuk minjamin aku uang," kata Mbak Wiwid santai.
Mbak Wiwid melirik kakak perempuannya yang tadi sudah berjanji akan membayar utangnya."Aku pikir utang kamu satu atau dua juta, paling mentok lima juta ternyata tiga puluh juta, emangnya kamu punya utang sebanyak itu buat apa, Wid? Ah." Mbak Ranti yang tadi sombong mendadak gemetar dan lunglai, tubuhnya ambruk ke tanah, sepertinya ia shock mendengar adiknya punya utang sebanyak itu. Bukan hanya shock, ia bahkan pingsan.
Alamak, gayanya aja sok selangit, mendengar tiga puluh juta saja sudah pingsan. aku jadi ragu apakah Mbak Ranti benar-benar mau meminjamkan uangnya yang hanya tiga puluh juta itu. Kalau aku, uang segitu sudah pasti punya, restoran yang kami miliki di kota memiliki omset sebulan lebih dari itu.
Masa sih, beli kulkas sama mesin cuci sampai punya utang sebesar itu? Kulkasnya itu seperti apa? Mungkinkah kulkas yang dimiliki Mbak Wiwid seperti miliknya para Sultan? Apa mungkin ada keperluan yang lain? Hm, satu pertanyaan yang mungkin sama dengan Mbak Ranti hingga membuat ia pingsan.
DIKIRA MISKIN 4Mbak Ranti jatuh pingsan saat mendengar adiknya punya utang sebesar tiga puluh juta. Suasana menjadi panik, tetapi Mbak Wiwid masih saja santai. Aku harus meminta pertolongan pada beberapa orang yang lewat, tidak mungkin aku mengangkatnya seorang diri, secara tubuh Mbak Ranti lebih besar dari pada aku.Syukurlah ada beberapa orang yang dengan senang hati membantu kami.Akhirnya Mbak Ranti berhasil dibawa masuk ke rumah Mbak Wiwid dan dibaringkan di atas kasur."Aduh, nyusahin banget, sih, Mbak Ranti ini, gitu aja pakai pingsan segala, lebay," ucap Mbak Wiwid dengan mengerucutkan bibir dan tangan bersedekap.Aku mengambil minyak kayu putih dan mendekatkan ke lubang hidung Mbak Ranti, semoga saja ia cepat sadar. Syukurlah tidak begitu lama, perlahan-lahan ia mulai membuka mata dan mengerjap-ngerjap kemudian mengamati sekeliling."Tiga puluh juta? Tiga puluh juta?" Mbak Ranti berkata lirih seperti orang mengigau.
DIKIRA MISKIN 5Rasa penasaran masih bergelayut dalam dada, apa rencana Mbak Ranti sebenarnya?"Kamu nggak usah khawatir dan bersedih lagi, semingggu lagi uang itu pasti sudah ada." Senyum Mbak Ranti mengembang. Tangannya membelai rambut adik kesayangannya itu."Benar kata kamu, uang 30 juta itu kecil," imbuh Mbak Ranti dengan menjentikkan jarinya."Ya, Mbak, bagi kita uang segitu memang kecil, tidak seperti Antika, dia tidak mungkin punya uang sebanyak itu. Jangankan punya, lihat saja pasti belum pernah, kan?" kata Mbak Wiwid sinis."Kalau begitu aku pulang dulu Mbak," ucapku. Tiba-tiba aku menyesal, kenapa aku tadi buru-buru menolongnya kalau seperti ini keadaannya. Jangankan ucapan terima kasih, justru hinaan yang kudapatkan. Seharusnya aku sadar diri, orang seperti Mbak Wiwid dan Mbak Ranti tidak mungkin butuh bantuanku."Pulang ya pulang saja, tidak ada yang melarang, kamu ke sini juga tidak ada yang mengundang, kamu datang
DIKIRA MISKIN 5Aku maklum jika Mbak Wiwid menganggap uang yang kubelanjakan diberi Ibu. Saat ini Ibu memang sedang panen cabai, apalagi harga cabai juga sekarang lumayan bagus. Hasil panen Ibu juga melimpah, karena memang sawahnya luas, meski sekarang lahan yang Ibu garap sudah berkurang karena diberikan kepada Mbak Ranti dan Mbak Wiwid. Ya, Mbak Wiwid dan Mbak Ranti sudah punya bagian sawah masing-masing.Lahan yang digarap Ibu saat ini adalah bagian Mas Yudi. Namun, karena Mas Yudi merantau, maka, lahan itu Ibu yang menggarapnya meski Ibu harus mengupah orang untuk membantu menggarap sawahnya.Ibu hanya ke sawah hanya untuk melakukan pekerjaan ringan saja. Seperti mencabuti rumput liar atau saat musim panen seperti sekarang. Biasanya cabai akan dipetik setiap lima hari sekali.Semenjak sakit, Ibu tidak pernah ke sawah lagi. Beliau menyuruh orang untuk memetik cabainya. Sekarang Mas Yudi juga tengah ikut panen di sawah bersama para pekerja lain."Nggak usah pelit sama aku kalau yang
DIKIRA MISKIN 7"Apa Ibu bilang, coba katakan sekali lagi? Aku nggak salah dengar, kan, kalau Yudi setiap bulan selalu mengirim uang kepada Ibu?" Mbak Wiwid melebarkan mata seraya maju dan mencoba meraba kening Ibu lagi. Ibu mundur beberapa langkah saat tanya anak perempuannya itu ingin meraba keningnya. "Ibu tidak panas, tapi, kenapa dari tadi bicaranya seperti ada yang tidak beres? Ngaco terus ngomongnya.Tadi nyeramahin aku dan sekarang bilang kalau setiap bulan Yudi selalu kirim uang. Tidak mungkin, Bu. Ibu jangan mimpi, bangun, woy!" ucap Mbak Wiwid dengan nada tinggi dengan tangan yang ia kibaskan di depan wajah Ibu.Aku menekan dada perlahan karena kaget melihat perlakuan Mbak Wiwid pada ibunya. Beginikah sikap seorang anak yang sangat di sayang pada ibunya? Sungguh tidak pantas."Mbak, nggak sopan berbicara seperti itu dengan Ibu. Ibu ini ibu kandung Mbak yang harus kita hormati." Ucapku seraya menepuk pundak Ibu, posisiku kini berada di belakang Ibu."Habis aku kesel, dari t
DIKIRA MISKIN 8Aku mengambil minum untuk meredakan emosi yang sudah tersulut ini. Jika tiba saatnya nanti, akan aku katakan yang sebenarnya dan kupastikan mereka tidak akan menghina dan menertawakanku seperti ini lagi. "Tentu saja dia nggak akan bilang, pasti malu, seandainya benar Yudi memberi uang pasti jumlahnya tidak seberapa. Percuma saja mengirimi uang kalau pada kenyataanya uang yang Mas Yudi berikan lebih sedikit daripada punya Ibu sendiri. Itu sama artinya dengan menabur garam di atas laut, percuma. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ngasih uang biar dikira anak dan menantu baik padahal hanya ingin mendapatkan uang yang lebih banyak dari Ibu. Licik ya, rupanya kalian paham dengan konsep memancing, untuk mendapatkan ikan harus menggunakan umpan. Ya, seperti Antika ini, sok-sokan ngasih uang padahal hanya ingin mendapatkan yang lebih banyak. Selamat Tik, kamu berhasil memperdaya Ibu. Buktinya sekarang kamu dan Yudi diminta tinggal di sini," ucap Mbak Wiwid dengan nada sin
DIKIRA MISKIN 9Aku dan Ibu saling berpandangan melihat Mbak Wiwid yang masih saja tertawa."Tolong, hentikan khayalan tingkat tinggi kamu itu, Tik, aku bisa mati tertawa mendengarnya," pinta Mbak Wiwid masih dengan tertawa lebar. Ia mengusap air matanya yang berderai-derai karena tertawa setelah itu memegang perutnya. "Terserah, Mbak, mau bilang apa, yang penting memang benar apa yang dikatakan ibu, Mas Yudi juga selalu mengirimi ibu uang. Bahkan untuk menanam cabai di sawah itu juga pakai modal dari Mas Yudi. Kebetulan kami baru saja ada rezeki lebih." Jelasku, berharap Mbak Wiwid berhenti menertawakan kami. Namun, bukannya berhenti tertawa, wanita yang selalu tampil cantik dan dandan menor di setiap kesempatan itu malah semakin tertawa terbahak-bahak. Apa perlu aku memanggil seseorang agar ia mau berhenti tertawa? Tetapi siapa? Aku takut ia kebablasan soalnya. "Alah, sok bilang ada rezeki lebih, lebihnya berapa, sih? Paling-paling cuma lima puluh ribu," ucap Mbak Wiwid masih sin
DIKIRA MISKIN 10"Terserah kamu, Mbak, mau bilang suami kamu pegawai dengan gaji besar, tapi, pada kenyataannya tetap punya ut_," kututup mulutku sendiri karena Mbak Wiwid melotot kearahku saat aku mau bilang kalau dia punya utang. "Punya ut, utang, maksudnya? Kamu punya utang Wid?" tanya Ibu dengan tatapan tajam ke arah Mbak Wiwid, sehingga membuat ia salah tingkah.Mbak Wiwid melotot ke arahku dan aku paham dengan kode yang ia berikan yaitu memintaku untuk tidak memberi tahu ibu kalau ia punya utang tiga puluh juta. "Ah, nggak, kok, Bu?" Mbak Wiwid tersenyum dan maju kemudian menepuk pundak ibunya dengan lembut."Tapi, Antika bilang?" Kini ibu beralih menatapku."Nggak ada, Bu, aku punya utang tapi cuma sedikit, iya, kan, Tik?" Kata Mbak Wiwid dengan mengedipkan matanya berulang kali sebagai kode aku harus mengiyakan ucapannya. Semoga saja bulu mata palsunya tidak rontok digunakan berkedip seperti itu. Mbak Wiwid memang modis dan pintar dandan. Saat di rumah pun, ia selalu memaka
DIKIRA MISKIN 11"Assalamualaikum," terdengar suara salam dari luar, Mas Yudi baru saja pulang dari sawah habis membantu memetik cabai bersama tiga orang lainnya. Hasil panen kali ini cukup banyak."Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintu. Mas Yudi tampak sangat lelah, wajahnya sampai terlihat merah karena panas terkena sengatan sinar matahari.Aku tidak ikut membantu memetik cabai di sawah dan memilih tinggal di rumah. Bukan karena takut kulitku gosong terkena sinar matahari seperti Mbak Wiwid, tapi, karena aku punya anak kecil. Ya, usia Sasya sekarang baru dua tahun saja masih kurang sebulan lagi. Dua hari yang lalu, saat kuajak serta ke sawah, dia malah menginjak-injak tanaman yang baru saja tumbuh, tentu ini sangat merugikan.Kami menikah sudah hampir sembilan tahun, tapi, kami termasuk pasangan yang harus sabar lama dalam mendapatkan momongan.Masih teringat dengan jelas saat tahun pertama aku belum hamil juga, Mbak Wiwid serta Mbak Ranti mulai nyinyir karena aku belum pun