“Kalian kenapa, sih? Lagi main india-indiaan?” tanyaku pada lelaki yang wajahnya memang mirip aktor bollywood itu. Reza mengusap wajah, lalu mengulangkan tangan sambil meneruskan larinya mengejar Mbak Merina. Wah seru, nih!Aku sudah hendak mengikuti mereka. Kepo, sebetulnya. Namun suara Bang Zayd terdengar dan membuatku mengurungkan niat. “Asyfa! Mau ke mana?”Aku menoleh, tampak wajah gantengnya Bang Zayd lagi lihatin aku. Tangannya bersedekap di depan dada membuat bulu-bulu lebat yang tumbuh di tangannya itu terlihat. Niat hati yang tadi mau mengikuti Mbak Merina sama Reza, kalah sama gerak kaki yang refleks banget nyamperin Bang Zayd. Gak kuat lihat bulu-bulu lebat itu berasa pengen, pengen nyabutin maksudnya.“Ya, Bang. Mau ke Abang, kok.”Dia menggeleng, lalu melepas tangannya yang tadi saling silang di depan dada, lalu berpindah dan dimasukkan pada dua saku celana. Cool banget gayanya. Dia berjalan sambil menunduk, berlalu meninggalkanku. Aku jadinya berhenti dan menatap pun
Pov Nur – Ibunda AsyfaBerulang kali aku membuka pintu kamar Asyfa hanya demi melihat wajahnya yang sedang lelap. Dia sudah terlelap sejak sore, mungkin capek karena hari ini banyak kunjungan dari keluarga yang menginap juga. Syukurlah Asyfa tumbuh jadi gadis mandiri dan kuat. Sekeras apapun masa kecilnya, dia tak rapuh dan goyah. Bullyan dan hinaan dari teman-teman sebayanya sejak duduk di sekolah dasar, rupanya hanya membuat kian menangguhnya mental Asyfa. Tak terasa, besok dia sudah akan menikah. Jujur, ini masih berasa seperti mimpi. Aku cukup terkejut ketika tiba-tiba seorang laki-laki meminangnya. Lebih terkejut lagi ketika aku tahu latar belakangnya seperti apa. Aku tak pernah melihatnya pacaran. Semenjak putus dari Irfan, lalu berganti dekat dengan Reza, tapi tiba-tiba saja datang orang lain yang melamarnya. Bagiku, Asyfa selalu penuh kejutan. Zayd Zhafar Bardion, seorang laki-laki yang tampak penuh tanggung jawab dan memiliki mental dewasa. Sanak saudara yang kuundang sud
“MasyaAllah cantiknya putri Ibu ….” Suara Ibu membuatku yang baru saja selesai dipoles oleh MUA mendongak. Mataku terasa berat karena dipakaikan bulu-bulu jejadian. Jadi pengantin itu, entah kenapa begitu merepotkan. Sejak shubuh sudah bangun. Masih dingin padahal harus sudah mandi. Lalu ini mukaku dipoles entah dengan berapa lapis dempulan. Alhasil setelah beberapa jam baru selesai. Memang sih, hasilnya memukau. “Ayo, Fa. Sudah ditunggu di meja akad.” Suara Ibu lagi setelah penata rias menyelesaikan sematan peniti pada kerudung yang membalut kepalaku. Meskipun hari-hari, aku belum pakai kerudung. Namun, permintaan Mami Ayu, pada acara akad dan resepsi aku harus tertutup. Yang ditutup itu, lebih ekslusif katanya. Jadi malu. Langkahku yang hendak menuju meja akad tersendat. Sepasang mataku beradu dengan seorang pangeran yang tampak gagah dengan balutan tuxedo warna putih. Dia tengah duduk berhadap-hadapan dengan Bapak dan ada pak penghulu juga di sana. Di kirinya ada kursi kosong. I
“Maafin ya, Bang! Sobatku memang kadang rada-rada,” tukasku sambil nyengir kuda dan menggaruk kepala. “Gak masalah, Papi sama Mami gak pemilih juga jenis musik. Dangdut, oke juga.” Syukurlah, aku merasa lega. Hanya saja, tetap saja sobat durhaka tuh Rita. Lagu yang dibawakannya itu loh, gak pas momennya. Obrolan kami terganggu ketika tampak seorang perempuan dengan gaun panjang yang belahannya sampai p*ha berjalan melenggang. Dia datang sendirian. Wajahnya tampak glowing terawat dengan polesan make up yang memukau. Rambutnya sepunggung digerai. Bang Zayd tampak membuang napas kasar ketika perempuan itu sudah mendekat. Dia masih menyalami Mami Ayu dan tampak mereka pun sudah saling kenal. Aku, melihat tatapan perempuan itu, entah kenapa jadi ingat pada tatapannya Mbak Merlina. Tatapan Mbak Merina ketika melihat Bang Zayd yang membuat aku gak rela. “Selamat, ya, Zayd! Kirain kemarin bohongan waktu kamu bilang sudah ada calon!” tukasnya sambil tersenyum yang tampak dipaksakan. Bicar
“Mau dihukum apa, hmmm?” Suara baritonnya membuat aku semakin terkesiap.“Oh, boleh milih, ya? Bentar-bentar!” Aku berusaha bersikap tenang dan melepaskan tangannya yang melingkar ke pinggang sambil berpikir. Aku pura-pura santai. Hanya saja, tetap saja rasa gugup lebih menang. “Siapa yang bilang boleh milih, hmmm?” Nada bicaranya penuh penekanan. Kurasa efek semalam tidur di luar jadi sensian. “Ehmmm … itu, anu, Bang.” Bingung mau ngomong apa. Bukan karena apa-apa tapi jarak yang habis ini membuat otakku malah gak bisa kerja. Aroma maskulin yang menguar, sentuhan tangan ini dan letupan-letupan seperti sengatan listrik yang mengalir, membuat aku benar-benar sulit berpikir. “Anu?” Alis tebalnya saling bertaut sambil mengulangi kata itu dan itu, justru makin membuatnya terlihat menggemaskan. “Anu, Bang. Nanggung kalau cuma meluk,” tukasku seraya sigap tangan ini kulingkarkan pada tubuhnya lalu kutarik sekalian sehingga kami terjatuh bersama ke atas tempat tidur. “Asyfa! Astagaaa!”
Pov Nur -Ibunda Asyfa Badan terasa lelah, padahal seharian tadi hanya berdiri saja untuk menyalami tamu-tamu yang sebagian besar tak aku kenal. Aku bangun dari dudukku lalu berjalan ke arah dapur. Kubuat satu cangkir wedang jahe dengan campuran gula merah ditambah sedikit madu juga. Biasanya badan akan terasa lebih segar. Aku lekas duduk lagi di ruang tengah. Kuletakkan cangkir keramik yang sudah puluhan tahun menemeni setelah kusesap sedikit air jahe hangat kuku yang kubuat. Rasa hangat bercampur manis membuat tubuh ini terasa segar. Kalau ada Asyfa pastinya aku akan kena omelan. Dia kadang terlihat tak peduli, tapi sebetulnya perhatian. Pastilah gula darah dan lain-lain akan jadi bahasan. Padahal hidup tak selamanya tentang itu, kadang selalu ada keinginan sesekali memanjakan diri, agar jiwa merasa nyaman. Kubuang napas kasar. Benar yang Asyfa bilang. Rumah ini begitu sepi tanpa dirinya. Malam ini, putriku sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Jadi mulai hari ini, esok dan sete
“Syfa sudah tahu kok apa yang disukai Bang Zayd, Bu. Dia itu ya, suka sama Syfa. Nah, yang jadi masalah sekarang. Syfa yang gak tahu, sudah ada belum ya calon pengganti Bapak yang disukai sama Ibu?” Uhuk! Uhuk!Pak Hakim yang baru saja meneguk kopi yang disuguhkan, mendadak tersedak. Aneh, yang ditanya Ibu, yang batuk dia. “Syfa!” Ibu bukannya menjawab, malah mendelik tajam. Kalau sudah seperti ini, aku tak berani lagi. Meskipun ingin sekali melihat Ibu terbebas dari Bapak dan masa lalunya. Namun, aku tak bisa memaksa Ibu.Obrolan berakhir ketika Pak Hakim pamit untuk kerja. Rupa-rupanya dengan alasan sedang cuti, Bang Zayd meminta dokumen-dokumen yang harus ditandatanganinya dibawa ke rumah. Cerdas, memang. Jadi … selama Bang Zayd cuti, Pak Hakim akan mungkin sering ke sini.Siangnya, Bang Zayd mengajakku melihat-lihat rumahnya. Kami tiba di sebuah rumah dua lantai. Tak terlalu besar, lebih kecil dari rumah ibu mertuaku, tapi lebih besar dari kediamanku, pastinya. Lantainya ada du
Akhirnya mobil tiba di pekarangan. Bang Zayd berjalan duluan. Aku mengikuti dari belakang. Setelah mengucap salam, terdengar suara orang dari dalam menjawab, tak lama, pintu pun dibukakan. “Ah, Abang? Bang Zayd yang datang, Ai!” Seorang perempuan dengan gamis lebar dan tatapan teduh tersenyum pada suamiku. Lalu dia memanggil nama adik ipar perempuanku tanpa ragu. Siapa perempuan itu? “Woahhh pengantin baru!” Suara Ainina terdengar. Dia tampak sumringah menyambutku. Begitupun menyambut kakak lelakinya. Sementara itu, perempuan yang tadi tampak memberi ruang untuk kami. Dia bahkan langsung kembali ke ruang tengah dan duduk sambil kembali sibuk. Rupanya mereka tengah membuat buket bunga. “Ayo duduk, Mbak! Kalian ke sini gak bilang-bilang, sih! Papi sama Mami baru saja pergi.” Ainina bicara sambil membuka tutup lemari es. Dia mengambilkan satu botol air mineral dingin untukku. Sementara itu, Bang Zayd sendiri langsung membuka lemari es dan mengambil minuman bersoda. “Abang kok minum g