***
Erika menatap takut-takut pada pria berwajah tegas yang sedang menggendong Aleetha. "Anu ... maaf sekali, tadi saya cuma asal ngomong. Lagian anak sekecil Aleetha dibiarkan sendirian di alun-alun yang ramai kan bahaya, jadi ... ya, saya kira dia sengaja dibuang. Duh, maaf ya, Pak, mulut saya memang sedikit kurang bisa dikondisikan. Maaf ya." Erika menyenggol lengan Diandra berharap sahabatnya itu turut membela."Beneran Papa mau buang Aleetha?" tanya Aleetha polos. "Tante Ayesha gak mau punya anak kayak Aleetha ya, Pa? Kalau gitu, Papa jangan menikah sama Tante Ayesha, menikah saja sama Tante Diandra. Tante Diandra mau kan jadi Mama Aleetha?" Aleetha menatap Diandra dengan kedua matanya yang bulat.Diandra kikuk mendapat pertanyaan yang keluar dari bibir gadis mungil nan lugu di depannya."Benar kamu tinggalkan Aleetha di sini sendirian, Sha?" tanya Papa Leetha mengacuhkan pertanyaan putrinya pada Diandra."M-- Mas, mana mungkin ....""Aleetha belum pernah berbohong, Sha," sela pria berjambang tipis itu tegas."Jadi kamu lebih percaya sama omongan anak kecil daripada aku, Mas?" Ayesha memekik kesal, "Aku memang belum pernah punya anak, tapi mana mungkin aku tinggalkan Aleetha di sini sendirian. Demi Allah, aku tidak setega itu pada Aleetha, Mas!"Diandra yang mulai jengah memilih mundur setelah menghempaskan tangan Ayesha begitu saja, dia hendak berlalu sambil menarik tangan Erika. Namun tiba-tiba ...."Jangan-jangan kamu yang sudah meracuni otak Aleetha, iya? Ngaku kamu!"Diandra menghentikan langkah dan berbalik menatap Ayesha yang juga sedang melayangkan tatapan sengit ke arahnya. Dada Ayesha membusung. Tangannya berkacak pinggang seakan-akan sedang menantang Diandra yang berada sedikit jauh dari tempatnya berdiri."Kamu dan temanmu sengaja bilang kalau Aleetha dibuang, padahal sebenarnya kamu ingin merebut posisiku! Kamu ingin menjadi Mama Aleetha, ngaku kamu!" teriak Ayesha lantang. "Dasar pelakor! Kamu pasti sudah merencanakan semua ini. Jalang!"Diandra melepaskan tangan Erika dan mendorong bahu Ayesha dengan kasar. "Jaga bicaramu!" ucap Diandra memperingatkan. "Aku bahkan tidak kenal siapa Aleetha, siapa kamu dan siapa pria itu. Cukup udang yang berotak kerdil, kamu jangan," imbuh Diandra menyindir."Aku menemani Aleetha karena dia yang memintaku agar mau menemaninya. Aku bahkan tidak tau bagaimana garis kekeluargaan kalian. Lalu kamu, enak sekali bilang kalau aku sudah merencanakan ini. Lagipula siapa kamu, hah? Siapa pria itu? Aku tidak perduli! Aku hanya kasihan melihat Aleetha mondar-mandir sendirian di alun-alun sebesar ini. Andai bukan aku, tidak menutup kemungkinan dia akan dimanfaatkan orang-orang jahat. Ngerti kamu, hah?"Napas Ayesha memburu. Melihat Diandra yang begitu berani menunjuk-nunjuk wajahnya membuat emosi Ayesha semakin memuncak."Mas, pokoknya kita harus laporkan dia ke Polisi." Ayesha berbicara sambil terus menatap Diandra. "Aku kebingungan mencari Aleetha sampai berjam-jam, lalu dia bilang kalau dia menemani Aleetha? Alasan macam apa itu, dasar gila!""Sya, cukup!""Aku tidak terima diperlakukan seperti ini, Mas. Jelas-jelas perempuan gila itu yang sudah meracuni otak Aleetha. Aku tidak mungkin meninggalkan Aleetha sendirian disini, kamu percaya padaku kan, Mas?" Ayesha merajuk.Diandra membuang muka kemudian berkata, "Hanya laki-laki bodoh yang mau menikahi perempuan tidak waras seperti dia, ya kan, Rik?" Erika mengangguk membenarkan ucapan Diandra. "Percaya atau tidak, aku yakin Aleetha berbicara jujur. Anak kecil tidak pernah berbohong, dia memang mau membuang Aleetha."Wajah Ayesha semakin padam. Kedua tangan yang semua berkacak pinggang kini tergantung dengan posisi sigap namun keduanya mengepal kuat."Tutup mulutmu, Jalang!" Ayesha berteriak lantang. "Tau apa kau tentangku, hah?"Diandra menjentikkan jari tepat di depan wajah Ayesha. "Itulah yang berusaha aku katakan sejak tadi, Mbak. Tau apa aku tentang kalian? Aku menemani Aleetha karena murni merasa kasihan padanya. Dan kamu ... enak sekali bibir merahmu itu mengatakan kalau aku penculik," sahut Diandra berusaha mengendalikan intonasi suaranya. "Memang ada penculik yang mau-maunya duduk di ruangan terbuka begini apalagi sampai rela menunggu orang tua yang dia culik datang? Ada, gitu?" Diandra memberondong Ayesha dengan banyak pertanyaan. "Aku sebenarnya tidak mau ikut campur terlalu dalam, tapi mulutmu sangat menakutkan. Tidak bisa aku bayangkan kalau Aleetha punya Ibu sepertimu."Diandra hendak berbalik, namun ia urung melakukan itu dan kembali berucap, "Satu lagi, Mbak, dengarkan aku baik-baik! Aku ... bukan jalang dan juga bukan pelakor! Tapi kalau calon suamimu itu mau denganku, ya ... aku tidak menolak." Setelah mengatakan demikian, Diandra menarik tangan Erika dan membawa temannya itu pergi tanpa memperdulikan teriakan Ayesha yang semakin marah."Perempuan gila! Gak waras!"Suara Ayesha masih terdengar namun Diandra mencoba abai. Urusannya telah selesai. Setidaknya Aleetha sudah bertemu dengan orang tuanya."Gila! Kamu benar-benar gila, Di!" gerutu Erika sambil terus mengedarkan pandangan. Takut jika Ayesha mengejar mereka sampai ke tempat parkir motor. "Kalau dia marah dan ngejar kita gimana? Ck, Diandra ... jangan sampai wanita gila tadi gagal menikah, kalau sampai itu terjadi, habislah kita.""Kita gak kenal sama mereka, santai aja sih, Rik," jawab Diandra tak acuh. "Aku tadi cuma kesal aja, enak banget ngatain orang jalang. Kalau aku jalang, gak mungkin Mas Bara selingkuh sama Aluna. Ya kan?"Suara Diandra kembali bergetar. "Stop! Aku sudah bilang kalau waktu menangis yang kamu miliki sudah habis. Ayo pulang!" ucap Erika sambil menekan tangan di udara.Erika merangkul bahu Diandra dan meninggalkan alun-alun Kota Surabaya tepat pada pukul 22.00 WIB.***"Di, ada yang mau aku bicarakan."Diandra yang bersiap menaiki motornya terpaksa menoleh. Mendengar suara Bara seperti sedang menabur garam di lukanya. Perih."Aku naik jabatan, Di ....""Oh, ya, selamat," jawab Diandra tak acuh."Aku berjanji akan menikahi kamu setelah naik jabatan. Kamu masih mau ingat dengan janjiku kan, Di?""Menurut Mas Bara?" Diandra balik bertanya.Bara mengusap wajahnya frustrasi. "Ini murni kecelakaan, Diandra. Jujur, aku seperti sedang dijebak oleh Aluna.""Aku tidak perduli tentang itu, Mas," sahut Diandra lirih. Otaknya teramat lelah memikirkan tentang bagaimana bisa Bara terpikat pada Aluna. "Kamu menghamili Aluna, itu artinya kamu harus menikahinya. Bukankah kemarin malam kalian sudah berembuk kesepakatan?" Diandra tak bisa abai pada rasa penasaran yang mengungkung jiwanya. Meskipun kecewa, tetap saja dia ingin tahu kesepakatan seperti apa yang sudah dicapai oleh Bara dan keluarga Aluna. Walau pada akhirnya tetap hanyalah luka yang akan Dian terima."Kami akan menikah minggu depan," seloroh Bara sambil membuang pandangan."Bagus, kamu memang harus jadi laki-laki yang gentle." Diandra mencoba tersenyum, "Jadi untuk apa kamu menawarkan pernikahan padaku? Bukankah minggu depan kamu sudah menjadi suami orang?"Bara mengangkat kepalanya dan menatap kedua mata Diandra yang mulai redup. "Aku tau kamu pasti terluka. Maafkan aku, Di. Tapi asal kamu tau, aku berusaha menjadikan kamu yang pertama. Aku ingin menepati janjiku padamu. Terima aku lagi, Dian, aku pastikan Aluna dan keluarganya tidak akan bisa menolak hubungan kita."Napas Diandra memburu. Ingin sekali ia melempar tamparan di pipi Bara dengan sekuat-kuatnya, namun urung ia lakukan itu."Aku sudah menemukan pengganti kamu, Mas." Diandra berdusta. "Tolong jangan ganggu aku lagi atau ....""Bohong! Katakan kalau kamu berbohong, Diandra!" bentak Bara. Pergelangan tangan Diandra dicekal dengan kuat hingga perempuan ber-make up tipis itu meringis kesakitan. "Kamu tidak semudah itu melupakan aku. Kamu bohong kan, Di?"Diandra menggeleng. "Aku tidak berbohong, Mas."Plak!Diandra hampir saja tersungkur, namun beruntungnya tangan kokoh seseorang dengan sigap menahan tubuh Diandra."Tante Diandra ...."Diandra menoleh sambil memegang pipinya yang memanas. Melihat gadis kecil yang tidak asing sedang berlari ke arahnya, entah mengapa air mata Diandra berjatuhan dengan begitu deras.Bersambung***"Jangan ikut campur urusan kami, minggir!" Bara yang hendak menarik lengan Diandra sontak didorong kasar oleh pria berwajah tegas di depannya. "Dia calon istriku, lepaskan tanganmu ...."Plak!!!Diandra tiba-tiba berbalik dan menampar pipi Bara tanpa ragu. "Aku tidak akan pernah lupa betapa sakitnya tamparanmu sore ini, Mas," ucap Diandra parau. "Setelah merobek hatiku dengan perselingkuhan hingga berujung kehamilan, sekarang kamu menamparku hanya karena aku bilang sudah punya penggantimu, kamu marah, hah?" Diandra berbicara sambil berteriak mengeluarkan semua sesak yang ada di dalam dadanya. "Kau pikir seberapa dalam aku menyimpan namamu dalam hati? Kau pikir aku tidak bisa mencari pria yang jauh lebih baik, begitu?""Mas Bara, dengarkan aku baik-baik!" Setelah menghela napas panjang, Diandra kembali berbicara, "Bagiku kamu adalah pria paling menjijikkan! Aku sangat beruntung kita berdua gagal menikah. Jika tidak, oh ... aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya berbagi suami
***"Masuk kuburan aja dianjurkan baca salam, masa masuk rumah orang main nyelonong aja," sindir Diandra. "Lagian kenapa kalau tamuku ini lelaki yang bawa anak? Kamu kalau gak tau apa-apa jangan asal nuduh, Lun. Jangan suka menebar fitnah," ucap Diandra lirih namun penuh penekanan."Halah, ngaku aja, Di," sahut Aluna. "Dia suami orang kan?"Aku mengangguk, "Bisa iya, bisa juga tidak," jawab Diandra asal. "Lalu kenapa?"Aluna bergidik kemudian menyahut, "Hih, tuh kan ... kamu emang perempuan gak bener. Bibit pelakor tuh udah mulai muncul di diri kamu, Diandra." Aluna menggandeng lengan Bibi Melani dan berkata lagi, "Gagal menikah sama Mas Bara bukannya jadi makin baik, ini malah bawa pulang laki orang."Aluna menatap takut-takut ke arah Birru, sementara pria yang sedang diperhatikan oleh Ibu dan anak itu justru terlihat begitu tenang, bahkan sesekali dia meneguk minuman yang ada di hadapan. "Kenapa sih, Di, ada apa?" Bu Anis datang bersama Aleetha. "Loh, Lun ... ngapain?"Aluna menceb
***"Kamu gak perlu bertindak sejauh ini, Di ...."Diandra pura-pura terkejut melihat kedatangan Bara. "Kamu boleh patah hati karena aku, tapi masuk dalam kehidupan rumah tangga wanita lain, kukira itu bukan kamu Diandra."Bara menatap Diandra sendu, berharap wanita yang gagal menjadi istrinya itu tersentuh dengan rasa iba yang dia tunjukkan malam ini. "Kamu memang mengenalku dengan baik," sahut Diandra mencoba tenang, meskipun hatinya saat ini bagai debur ombak yang siap menerjang karang. "Mana mungkin aku tega menghancurkan hidup wanita lain, Mas. Aku bukan Aluna ...."Aluna meradang. Wanita hamil di depan pintu rumah Diandra itu menatap calon suaminya dengan emosi yang siap meledak."Dia duda," seloroh Aluna sembari berjalan mendekati Bara. "Menikahi duda itu aib, Di, kamu mau semua orang membicarakan pernikahanmu yang memalukan ini nantinya?"Diandra terkekeh sumbang. Telapak tangannya terasa gatal ingin menampar pipi Aluna sekeras-kerasnya. Sepupunya itu selalu saja berbicara ta
***Plak ...!!!Aluna berdiri di depan Bara dengan napas memburu. Tangannya terasa kebas, namun tamparan yang baru saja ia layangkan di pipi Bara tidak sedikitpun bisa mengurangi rasa perih di hatinya. "Aku hamil," aku Aluna parau. "Aku hamil anakmu, Mas!" Aluna mendorong bahu Bara kasar. Berharap pria yang minggu depan resmi menjadi suaminya itu tersadar jika ada benihnya di rahim Aluna. "Aku mengandung anakmu, itu artinya kamu harus menikahiku! Kenapa di otakmu hanya ada Diandra, Diandra dan Diandra, hah?! Tatap aku, Mas Bara! Aku Aluna, calon istrimu dan calon ibu dari anak-anakmu!" teriak Aluna menggebu-gebu. Diandra menghela napas lemah. Perseteruan antara Bara dan Aluna tidak serta merta membuat hatinya berbunga-bunga. Wanita muda yang berdiri di samping Bu Anis itu justru merasa jengah dengan keributan yang terjadi di rumahnya malam ini. Sejenak Diandra melirik ke arah Aleetha yang ternyata sedang menatapnya sendu. Mata bulat dengan bulu mata lentik itu terlihat berkaca-kaca
***"Tapi Papa punya ...."Birru memotong ucapan Aleetha. "Saya akan datang lagi hari minggu, Bu. Sampaikan salam saya pada Bapak, maaf karena kedatangan saya malam ini malah bikin Diandra menangis." Birru menatap wajah Bu Anis sebelum akhirnya memindai wajah Diandra cukup lama. "Maafkan saya dan Aleetha," imbuh Birru lirih."Ini bukan salah kamu, Nak," sahut Bu Anis. "Diandra sudah berusaha keras bangkit setelah gagal menikah, tapi ... ya, memang ada saja orang-orang yang bebal dan masih berusaha mengusik kehidupan Diandra. Ini bukan salah Nak Birru dan Aleetha," ujar Bu Anis panjang lebar. "Tentang lamaran kamu, Insya Allah nanti Ibu sampaikan ke Bapak.""Terima kasih, Bu."Birru menggandeng tangan Aleetha dan membawa gadis bermata bulat itu mendekati Diandra. "Salim sama Tante Diandra, Tha," pinta Birru lembut. Aleetha patuh, gadis cantik berkulit putih itu mencium punggung tangan Diandra sambil berkata, "Tante, jangan menangis." Diandra menekuk lutut dan mensejajarkan tubuhnya deng
***"Mama gak setuju, Birru!"Salma Diana Ranajaya, para pekerja di rumahnya memanggil dengan sebutan Nyonya, wanita paruh baya yang pandai memadu padankan pakaian itu terlihat gusar dengan penuturan Birru tentang lamarannya pada seorang gadis. Bu Salma menganggapnya gadis, karena Birru yang mengatakan bahwa usia Diandra masih dua puluh empat tahun, dan bagi Bu Salma itu usia yang terlalu muda untuk bisa merawat anak seusia Aleetha. "Menikah lagi itu artinya kamu harus siap mengesampingkan perasaanmu, Birru. Mau tidak mau, setuju atau tidak, kamu memang sedang mencari Ibu sambung untuk Aleetha, bukan hanya seorang istri," tutur Bu Salma. "Ayesha bagi Mama sudah cocok menjadi istri dan ibu untuk Aleetha, kenapa tiba-tiba bilang mau melamar gadis dua puluh tahunan?" Kening Bu Salma mengkerut, kepalanya menggeleng lemah sembari menatap Birru yang sedang duduk di depannya."Kamu dan Ayesha sudah setahun ini menjalin hubungan, dan Mama kira itu sudah cukup membuktikan kalau kamu memang be
***"Aku bukan menangisi acara lamaran Aluna dan Mas Bara, Bu," aku Diandra dengan sisa tangisnya. "Ucapan Mbak Hani ... astaghfirullah ...." Diandra menghela napas berat, tetangga depan rumahnya itu memang terkenal bermulut pedas, padahal putrinya sedang menanggung aib, tapi ternyata itu tidak lantas menyurutkan niat Mbak Hani untuk menyakiti hati Diandra. "Tenanglah ...." Bu Anis mengurut punggung Diandra dengan telapak tangan. "Tenanglah, Nduk."Diandra mengusap sisa air mata di pipi. Dadanya berangsur longgar, tangisnya mereda, namun luka akibat perkataan pedas Mbak Hani masih membekas di hati. Di depan pintu yang tertutup, Diandra duduk sambil memeluk lutut. "Aku tidak mencintai Papanya Aleetha, Bu." Ucapan Diandra tidak membuat Bu Anis terkejut. "Sejujurnya ini terasa aneh, aku dan beliau baru bertemu dua kali, tapi tadi malam tiba-tiba pria itu melamarku di depan Ibu. Kurasa ... dia hanya sedang mencari pengasuh untuk Aleetha. Ya, meskipun dengan menikahiku, aku tetap pada po
***"Huh, astaghfirullah ...." Diandra mengurut dadanya perlahan. Kalimat istighfar berulang kali keluar dari bibirnya berharap semua rasa kesal di dalam dadanya berangsur terurai. "Lun." Mbak Hani memanggil. "Aluna!" ulangnya. Diandra yang masih berdiri di balik pintu seketika menajamkan pendengaran. "Apa, Mbak Hani?" jawab Aluna ketus. "Kamu beneran hamil, Lun? Jadi benar yang orang-orang bilang kalau kamu sengaja merebut calon suami Diandra?" Diandra hampir tertawa mendengar pertanyaan Mbak Hani pada Aluna. Rasa kesal yang baru saja ia rasakan benar-benar lenyap, apalagi ketika membayangkan wajah Aluna yang dongkol dan marah, puas sekali senyum Diandra kali ini. "Ih, Lun ... makanya bilang sama Ibumu, jangan suka ngatain anak orang. Melani suka banget ngatain Zeya hamil tanpa suami, eh gak taunya anaknya sendiri ....""Eh, Mbak Hani," sela Aluna terdengar marah. "Aku sama Mas Bara minggu depan mau menikah, Mbak Hani lihat sendiri kan kami berdua bertunangan kemarin? Jadi, ya ...