***"Aku bukan menangisi acara lamaran Aluna dan Mas Bara, Bu," aku Diandra dengan sisa tangisnya. "Ucapan Mbak Hani ... astaghfirullah ...." Diandra menghela napas berat, tetangga depan rumahnya itu memang terkenal bermulut pedas, padahal putrinya sedang menanggung aib, tapi ternyata itu tidak lantas menyurutkan niat Mbak Hani untuk menyakiti hati Diandra. "Tenanglah ...." Bu Anis mengurut punggung Diandra dengan telapak tangan. "Tenanglah, Nduk."Diandra mengusap sisa air mata di pipi. Dadanya berangsur longgar, tangisnya mereda, namun luka akibat perkataan pedas Mbak Hani masih membekas di hati. Di depan pintu yang tertutup, Diandra duduk sambil memeluk lutut. "Aku tidak mencintai Papanya Aleetha, Bu." Ucapan Diandra tidak membuat Bu Anis terkejut. "Sejujurnya ini terasa aneh, aku dan beliau baru bertemu dua kali, tapi tadi malam tiba-tiba pria itu melamarku di depan Ibu. Kurasa ... dia hanya sedang mencari pengasuh untuk Aleetha. Ya, meskipun dengan menikahiku, aku tetap pada po
***"Huh, astaghfirullah ...." Diandra mengurut dadanya perlahan. Kalimat istighfar berulang kali keluar dari bibirnya berharap semua rasa kesal di dalam dadanya berangsur terurai. "Lun." Mbak Hani memanggil. "Aluna!" ulangnya. Diandra yang masih berdiri di balik pintu seketika menajamkan pendengaran. "Apa, Mbak Hani?" jawab Aluna ketus. "Kamu beneran hamil, Lun? Jadi benar yang orang-orang bilang kalau kamu sengaja merebut calon suami Diandra?" Diandra hampir tertawa mendengar pertanyaan Mbak Hani pada Aluna. Rasa kesal yang baru saja ia rasakan benar-benar lenyap, apalagi ketika membayangkan wajah Aluna yang dongkol dan marah, puas sekali senyum Diandra kali ini. "Ih, Lun ... makanya bilang sama Ibumu, jangan suka ngatain anak orang. Melani suka banget ngatain Zeya hamil tanpa suami, eh gak taunya anaknya sendiri ....""Eh, Mbak Hani," sela Aluna terdengar marah. "Aku sama Mas Bara minggu depan mau menikah, Mbak Hani lihat sendiri kan kami berdua bertunangan kemarin? Jadi, ya ...
***"Ih, gak cocok di kakiku, ya kan, Sayang?"Bara mendengus kesal melihat sikap Aluna yang dianggap keterlaluan. Pasalnya, sudah lebih dari lima sepatu ia coba, namun wanita hamil itu selalu berkata jika pilihan Diandra tidak cocok di kakinya. "Pilihkan yang bagus dong!" pinta Aluna. "Masa gak punya sepatu yang rekomended sih, daritadi kenapa yang jelek-jelek yang dikasih ke aku. Ih, gak profesional, kamu pasti marah karena aku datang sama Mas Bara, ya kan, Di?"Diandra menoleh dengan malas. "Jangan menyangkut pautkan hal-hal pribadi disini, Lun. Aku sedang bekerja," sahut Diandra berusaha tidak terpancing emosi. "Sepatu yang saya bawa ini keluaran terbaru semua, Bu. Insya Allah rekomended sih ...." "Halah, rekomended apaan, dari tadi yang disodorkan gak ada yang menarik. Kamu sengaja ngasih pilihan yang jelek-jelek, ya kan? Ngaku!"Diandra menarik napas dalam-dalam. "Kalau begitu, silahkan Ibu lihat-lihat dulu, barangkali ada yang cocok di hati ....""Mana manager kalian?!" Alun
***"Arek gendeng!" hardik Erika geram. "Dia yang merebut Bara, dia pula yang bersikap seolah-olah paling tersakiti. Memang bawang merah, jahat lu, Lun!" Erika berkacak pinggang menatap Aluna yang mulai berlari mengejar langkah kaki Bara yang terlihat semakin menjauh. Diandra menghembuskan napas lega, meskipun keributan barusan tidak dapat ia hindari, setidaknya ada banyak orang yang mendukungnya dan berbalik menyerang Aluna. Sedih?Tentu saja. Diandra masih merasakan kehilangan yang luar biasa karena terkadang ketika Bara libur, maka pria itu akan mengunjungi Diandra dan mengajaknya makan siang bersama. Keduanya lalu mencari restoran yang berada di dalam Mall, namun kali ini, sudah hampir sebulan ia tidak pernah mengunjungi restoran langganannya bersama Bara. Diandra menatap punggung Bara yang mulai mengecil. Pria yang mendiami hatinya sejak tiga tahun yang lalu itu mulai menuruni eskalator menuju lantai satu. Di belakangnya, nampak Aluna tergopoh-gopoh mengejar sambil sesekali me
***"Kalian berdua baru pulang?"Diandra dan Erika saling melempar pandang sebelum akhirnya keduanya mengangguk bersamaan. "Iya, Bu," jawab Erika memecah rasa canggung. "Wah, malam juga ya pulangnya," gumam Bu Salma seraya menatap dua wanita berusia muda di depannya. "Maaf ya, gara-gara saya kalian malah kesini larut malam begini. Saya gak tau kalau pulang kerja kalian berdua semalam ini.""Tidak apa-apa, Bu. Saya yang seharusnya minta maaf karena sudah teledor memakai sepatu yang sudah Ibu beli. Maafkan saya." Diandra membungkukkan badan mengiringi permintaan maaf yang keluar dari bibirnya. "Kebetulan kami berdua memang jaga shift sore, jadi pulangnya cukup malam, Bu." Diandra berusaha tersenyum meskipun canggung dengan situasi yang ia hadapi saat ini. "Duh, saya jadi merasa bersalah. Ayo, masuk dulu!" Bu Salma menggandeng lengan Diandra sementara Erika masih terpaku di tempatnya. "Ayo!" Bu Salma menoleh ke belakang membuat sahabat Diandra itu gelagapan. "I-- iya, Bu," jawabnya ga
***"Rik, kamu baik-baik saja kan?"Erika yang duduk di belakang Diandra hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Jangan tidur, awas kamu!" ancam Diandra ketika merasakan dagu Erika menempel di bahunya. "Di, aku rasa setelah kamu menikah nanti, Pak Duda bakalan ngelarang kamu buat temenan sama aku." Diandra tersenyum mendengar suara Erika yang tetiba melemah. "Keterlaluan gak sih, tadi aku nuduh dia itu supir, Di. Bahkan ... bahkan aku minta supaya dia mundur buat bisa dapetin kamu," ucap Erika menggebu-gebu. "Lagian kenapa kamu bilangnya dia pengangguran sih, Diandra?" gerutu Erika makin gemas. "Y-- ya mana aku tahu, kan yang bilang begitu bukan aku, tapi Aleetha." Diandra membela diri. "Ck, jelek sudah image-ku di depan Pak Duda. Padahal ini peluang, ya kan? Siapa tau setelah kalian menikah, lalu kamu butuh ART, aku siap jadi pembantu di rumah kamu, Di. Gaji bisa kita bicarakan, ya kan? Argh, aku membuang kesempatan emas." Diandra geleng-geleng mendengar perkataan Erika yang s
***"Ini berlian, Di. Gila!"Diandra buru-buru membekap mulut Erika dengan satu tangan. "Jangan keras-keras ngomongnya!" bisik Diandra gemas. Erika menampik tangan Diandra kemudian tersenyum memamerkan barisan giginya yang putih. "Ya, Maaf ....""Berlian dipadukan dengan blue sapphire, Oh Tuhan ... ini cincin mahal, Diandra." Erika geleng-geleng sembari terus menatap gambar cincin dari kontak bernama ‘Leetha’ di ponsel Diandra. "Orang kaya memang effort-nya gak main-main." Erika masih berdecak kagum."Di, hari minggu kita ke alun-alun ya, siapa tahu ada bocah seperti Aleetha. Dia hilang, lalu kita temukan dan ... ternyata bapaknya kaya raya, duda pula. Pokoknya hari minggu kita harus ...."Pletak!Diandra melempar bulpen tepat di kepala Erika. "Mulai gak waras!" cibirnya lirih. "Ck!" Erika memasang wajah kesal. "Sakit tau!" gerutunya. Diandra melirik Erika yang sedang mengusap-usap kepalanya. "Mau kulineran di Kodam, gak?"Mata Erika berbinar, "Kamu yang traktir ya?""Baiklah," jaw
***"Masih waras kan, Di?"Erika berdiri di samping Diandra dengan mata yang masih mengawasi punggung tegap di depan sana. "Kalau aku yang ada di posisi kamu tadi, kupastikan sekarang aku mencak-mencak kegirangan," seloroh Erika. "Diusap kepala, dielus pipi, Ya Tuhan ...."Tanpa sadar Diandra mengusap pipinya yang memerah. Bibirnya tersenyum tipis ketika mengingat betapa perlakuan Birru tadi terasa begitu tulus. "Tuh kan senyum-senyum sendiri, pasti udah gak waras ini." Erika geleng-geleng sambil menyentuh dahi Diandra yang tidak demam. "Apaan sih, Rik!" gerutu Diandra malu."Itu bunga mau diapain?" tanya Erika pada Diandra. Keduanya menatap buket bunga mawar yang tergeletak di depan toko. "Aturan kalau sakit hati, bunganya dibawa pulang. Nambah-nambahin kerjaan aja!" gerutu Erika kesal."Eh, Di ... yakin gak bakalan jatuh cinta sama Pak Duda?"Pertanyaan Erika dibiarkan menggantung begitu saja oleh Diandra. "Berani taruhan gak kalau cincin yang ada di jari manis kamu itu pilihan