***Birru menarik lengan Ayesha kasar, hampir saja wanita yang sudah dia dekati selama lebih dari tiga tahun itu limbung. "Mas, kamu ...." Rahang Ayesha mengatup rapat. Sikap Birru berubah tak acuh sejak kedatangan Diandra, begitu pikirnya. "Sha, ini tempat umum, jangan memancing keributan," ucap Birru lirih."Apa? Aku memancing keributan?" Suara Ayesha meninggi. "Dia yang memancing keributan, Mas. Dialah orangnya!" Wajah Diandra dituding dengan jari telunjuk Ayesha. "Dia yang memancing keributan diantara kita, Mas Birru. Mas sadar gak sih, hah?"Dada Ayesha naik turun. "Tiga tahun kita menjalani hubungan, haruskah kandas begitu saja hanya demi anak bau kencur ini, Mas?" Satu per satu air mata Ayesha berjatuhan. "Kamu berjanji akan menikahiku tahun ini, aku bahkan mencoba bersabar merawat Aleetha meskipun aku tau anakmu itu tidak menyukaiku. Tapi, Mas ... haruskah kamu melewatkan aku begitu saja setelah penantian panjang yang aku berikan?"Diandra merasa tidak nyaman mendapatkan tat
***“Mencintai orang ‘baru’ bukanlah hal yang mudah, namun bertahan dengan segala luka yang orang ‘lama’ ciptakan hanya menambah perih pada borok yang masih basah. Bisakah aku mencintai pria selain Mas Bara dalam kurun waktu paling cepat?” ~Diandra.***"Kamu baik-baik saja, Diandra?"Birru melepaskan genggaman tangannya. "Maafkan saya, Dian ....""Saya baik-baik saja, Pak. Hanya ... ya, sedikit kesal," jawab Diandra jujur. "Terima kasih sudah membela saya di depan banyak orang.""Saya yang seharusnya berterima kasih," sahut Birru ragu. "Ini pasti sulit buatmu, Dian, tapi saya mohon ... jangan mundur hanya karena Ayesha. Aleetha dan saya ... butuh kamu."Pipi Diandra memanas. Jantungnya kembali berdegup kencang mendengar permintaan Birru yang terdengar pilu."Ayesha biar saya yang urus, kamu jangan khawatir. Ya?"Diandra mengangguk tegas. "Ya, Pak.""Besok mintalah cuti, saya ingin bertemu Bapak dan Ibu," ucap Birru. "Ta-- tapi Pak Birru bilang hari minggu ....""Itu terlalu lama, Di
***"Kok mendadak sekali lamarannya, Mbak Anis?" tanya Bulek Sania."Iya loh. Pagi masak-masak, malamnya lamaran. Mendadak sekali sih, Bu Anis," sahut Bu Ida-- tetangga samping rumah Diandra. Bu Anis sengaja meminta bantuan beberapa tetangga untuk membuat jamuan di acara lamaran Diandra nanti malam. "Iya, aneh sekali tiba-tiba lamaran. Kamu hamil, Dian?" sahut Mbak Hani sambil tersenyum sinis. "Ini kali ya yang namanya karma. Kamu kan suka banget ngatain Zeya, eh ternyata kamu hamil di luar nikah juga." Mbak Hani mengupas sayur di dapur sambil terus berbicara."Mbak Hani!" Bu Ida menyenggol lengan Mbak Hani. Tetangga depan rumah Diandra itu mencebik sambil memasang raut wajah tidak suka."Ya biarin sih, Bu Ida, lagian dulu sok-sokan ngatain Zeya murahan, jual diri, eh gak taunya ....""Saya gak hamil, Mbak Hani," sela Diandra. "Mau bukti? Apa perlu saya testpack sekarang juga biar Mbak Hani percaya kalau saya gak hamil?"Diandra berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa seperti ter
***"Ha ... ha ..., Dian kamu lucu ya," ucap Bibi Melani kemudian tertawa lagi. "Duh sampai sakit perut Bibi." Wanita paruh baya itu memegangi perutnya lalu kembali berkata, "Bara itu staff di Perusahaan besar. Kamu tau kan gaji di Perusahaan itu sebanyak apa? Mana mungkin Aluna kesusahan setelah menikah, yang ada malah kamu nanti yang jadi benalu buat anak dan menantuku. Awas kamu ya, jangan ganggu Aluna apalagi memanfaatkan kebaikan hati Bara ke kamu. Bibi gak akan tinggal diam, Diandra!"Diandra terkekeh sumbang. Bodoh sekali karena setelah tiga tahun berlalu, ia justru baru menyadari jika Aluna dan keluarganya terobsesi dengan kehidupan mapan yang Bara punya. Sikap manis Aluna dan Bibi Melani semata-mata bukan karena menganggap Bara sebagai calon suami saudaranya sendiri, melainkan mereka ingin merebut Bara secara perlahan-lahan tanpa ada yang menyadari. Dan ... berhasil!Aluna hamil anak Bara dan Diandra mundur tanpa diminta. "Mending kamu pikirkan lagi deh, Di. Dia duda, punya
***"Keterlaluan, Bapak gak bisa tinggal diam kalau seperti ini, Bu!" Pak Basuki mondar-mandir di ruang tamu sambil sesekali membuang napas kasar. "Kemarin Birru bilang bakal datang malam ini, tapi sekarang ....""Pak, tenang!" sela Bu Anis parau."Mana bisa Bapak tenang, Bu!" Suara Pak Basuki meninggi. "Dia memohon-mohon pada Bapak minta restu mau melamar Diandra, giliran Bapak setuju, dia malah ngilang entah kemana," sahut Pak Basuki menggebu-gebu. "Pak, Birru pasti punya alasan kenapa sampai ....""Alasan apa, hah?" Kedua bola mata Pak Basuki membulat lebar. "Alasan untuk mempermalukan Diandra dan membuatnya kecewa, begitu?"Diandra duduk di samping Bibi Aisyah. Matanya menatap daun pintu yang masih terbuka lebar meskipun jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Semua tetangga dan kerabat dekat diminta pulang, mengingat hari sudah semakin malam namun Birru dan keluarganya tak kunjung datang. Pandangan Diandra kosong. Tidak ada air mata di dua matanya yang teduh. Waja
***"Mau apa?"Diandra berdiri di ambang pintu tanpa mempersilahkan tamunya untuk masuk. Wajahnya ketus, sengaja agar pria di depannya segera hengkang."Setidaknya biarkan aku masuk, Di," jawab Bara. "Kita bicara di dalam. Apa begini cara kamu menyambut tamu?""Aku gak ada waktu, Mas," sahut Diandra. "Bicara sekarang kalau memang ada hal penting, kalau gak ... aku tutup pintunya!"Bara tertawa lirih. "Kamu berubah, Di," ucapnya. "Apa luka yang aku ciptakan masih membekas di hati kamu? Tidak bisakah aku obati luka itu dengan kita kembali bersama? Hmm?"Gila!" hardik Diandra setengah berbisik. "Ayolah, aku tau pria itu tidak jadi melamar." Bara menatap wajah Diandra yang berubah masam. "Cuma aku yang serius ke kamu, Diandra, pertimbangan tawaranku ini."Diandra menyentak napas dengan kasar. "Pergilah, Mas! Salah-salah orang lain bisa mengira aku sedang menggoda calon suami sepupuku sendiri. Muak sekali berurusan dengan kekasih kamu itu." Diandra berbicara tanpa menatap wajah Bara. "Lag
***"Tha ...." Diandra mengecup punggung tangan Aleetha yang memucat. "Tante Diandra datang, Sayang." Tangis Diandra pecah. Matanya nanar menatap tubuh mungil yang terbaring lemah di depannya. Senyum yang biasanya terlempar ceria, kini bibirnya mengatup rapat seperti sedang menikmati rasa sakit yang mendera. Di ruang ICU, hanya ada Diandra dan Aleetha, sementara keluarga yang lain menunggu di ruang tunggu. Setelah operasi karena pendarahan di otak, kondisi Aleetha masih dipantau ketat oleh Dokter yang bertugas. Gadis mungil berkulit putih itu terbaring dengan kondisi yang mampu membuat siapapun yang menatapnya menangis sesenggukan."Tante disini, Sayang ...." Bahu Diandra bergetar. Seluruh wajahnya basah bahkan punggung tangan Aleetha tak luput dari air matanya yang berjatuhan. Di balik pintu ruang ICU, Birru menatap pemandangan di depan matanya dengan perasaan hancur. Pewaris tunggal Perusahaan Ranajaya itu berkali-kali mendongak agar air matanya tidak kembali berjatuhan. Setelah
***Birru sudah berada di rumah Diandra sejak pukul delapan pagi. Rencananya, hari ini dia dan Diandra akan menemui teman Aleetha, meskipun Birru sendiri tidak yakin jika gadis kecil yang mendorong putrinya itu mau membuka mulut. Bu Anis menyuguhkan secangkir kopi di atas meja sementara Diandra masih belum keluar dari dalam kamar."Diminum dulu, Nak!" pinta Bu Anis. "Bapak gak bisa ikut jaga Aleetha, jatah liburnya sudah habis."Birru mengangguk mengerti, "Tidak apa-apa, Bu. Saya justru gak enak kalau seperti ini, saya merepotkan Bapak dan Ibu.""Ngomong apa kamu ini, Le. Aleetha itu sudah kami anggap seperti cucu sendiri," sahut Bu Anis. "Bapak semalaman gak bisa tidur, kepikiran Aleetha katanya."Birru menunduk menyembunyikan raut mukanya yang sendu. Bukan hanya Pak Basuki, semua keluarganya pun kesulitan mengistirahatkan tubuh karena khawatir dengan keadaan Aleetha."Ini sudah hampir 48 jam pasca operasi, tapi Aleetha bahkan belum membuka matanya, Bu. Saya cemas sekali," ucap Birr